Seharusnya Marsha sudah terbiasa. Seharusnya ia sudah bisa menerima perlakuan ketus dan ucapan kasar Dennis. Seharusnya ia bisa menahan semua pukulan dan tamparan Dennis tanpa perlu mengeluarkan air mata. Seharusnya ia juga sudah tahu, jika adik ibunya kembali mengunjungi mereka, itu adalah saat yang tepat untuk mengatakan hal yang sebenarnya tentang dua tahun lalu.
Tentang apa yang terjadi hingga membuat Dennis begitu membencinya.
Tapi ia belum siap. Tidak, ia tidak akan pernah siap.
Menjadi saksi tunggal kematian kedua orangtuanya membuat dirinya menjadi begitu rapuh dan tak berdaya.
“Marsha tambah cantik aja.” tante Maya berkata persis setelah wanita itu duduk di kursi penumpang belakang.
“Makasih, Tante.” Marsha hanya bisa tersenyum canggung. Di sebelah mereka, Dennis menggulirkan bola mata dan melajukan mobil.
Pembicaraan berlangsung hangat, lebih mengenai keadaan Marsha dan Dennis yang sejak empat tahun lalu sudah pindah ke Jakarta. Dennis yang memfokuskan kariernya ke dunia hiburan, sedangkan Marsha yang selalu sibuk belajar agar bisa mendapatkan jurusan dan perguruan tinggi favorit. Keinginan keduanya sudah terkabul sekarang ini. Dennis sudah menjadi model untuk beberapa majalah meski usianya masih muda, dan Marsha merupakan murid cemerlang di SMA nya dulu dan kampusnya sekarang ini.
Mereka sudah sampai di rumah. Setidaknya, rumah bagi Dennis. Marsha tidak pernah merasa itu rumahnya karena meskipun saat SMA ia selalu berada di rumah itu, ketika sudah menjadi mahasiswa, ia jarang sekali berada di sana karena tidak tahan dengan perlakuan Dennis. Ia ada di sana hanya jika kakak ibunya itu berkunjung.
Maya terperanjat begitu memasuki rumah. “Ya ampun.” serunya. “Kalian udah nggak pernah ke sini, ya?”
Marsha agak kaget. Karena memang dirinya sudah jarang tinggal di rumah, melainkan di kos temannya yang dekat dengan gedung fakultasnya. Tapi Dennis?
“Aku sibuk, Tan.” Dennis berkata, yang Marsha yakini pasti kalimat setelahnya adalah dusta. “Aku lebih sering di apartemen temanku. Aku malah ngira Marsha yang sering pulang.”
Satu kata itu sudah membuktikan satu hal ke Maya: Dennis sudah tidak pernah memantau perkuliahan Marsha sejak dua tahun lalu. Namun, Maya tidak berkomentar apapun. Ia hanya menatap perabotan rumah yang sangat berdebu.
Dennis sudah menatap ke arah Marsha dengan penuh ancaman. Tujuh belas tahun mengenal Dennis, dengan dua tahun terakhir yang penuh kebencian, membuatnya tahu apa maksud tatapan itu.
“Tante sama Bang Dennis nunggu di luar aja. Biar aku yang bersih-bersih.”
Marsha memperhatikan dua orang itu berjalan menuju serambi rumah depan, yang setidaknya Dennis masih mau membersihkan dua kuris dan meja di sana tidak terlalu berdebu. Koper berukuran besar milik tantenya ditinggal di ruang tengah yang merangkap ruang tamu. Hal ini menandakan tante Maya akan tinggal cukup lama di sini, dan baik Dennis maupun Marsha harus pulang ke sini dari setiap kegiatan mereka.
Marsha mengambil masker di ransel, mulai dengan membersihkan kamar Dennis terlebih dahulu, yang ternyata tidak terlalu kotor. Ia mendengus sinis. Abangnya pasti pulang ke sini beberapa kali, tapi tidak sejarang dirinya, karena setiap kali ia ke sini, ia pasti tidak bertemu Dennis.
Setelah merapikan dan menyapu kamar itu, Marsha berpindah ke kamarnya, yang jelas merupakan ruangan paling kotor yang ada di rumah ini. Kebencian yang ada di diri Dennis membuat Marsha berpindah-pindah tinggal di kos teman-temannya selama dua bulan secara berkala. Teman-temannya sudah menyuruhnya untuk mencari kos untuk dirinya sendiri, tapi ia tidak memiliki uang karena jelas, Dennis yang mengontrol keuangannya. Dan Dennis akan membunuhnya bila ia melakukan itu.
Marsha betul-betul tidak menyangka debu di kamarnya adalah debu paling tebal yang ada di ruangan lain. Jadi, ia menghabiskan waktu paling lama untuk membersihkan kamarnya. Tantenya tentu saja akan tidur disini. Rumah ini kecil, hanya memiliki dua kamar tidur, dapur, ruang tamu yang merangkap ruang tengah, dan satu kamar mandi.
Gadis itu menyelesaikan membersihkan kamarnya sendiri kira-kira empat puluh menit. Seprai dan tirai jendelanya sudah diganti dan tidak ada lagi debu di lantai dan meja. Ia lanjut membersihkan dapur.
Dan ketika ia membersihkan ruang tengah, ia sayup-sayup mendengar pembicaraan Dennis dan tante Maya, mengingat serambi depan dan ruang tengah hanya dibatasi oleh dinding berjendela dan sebuah pintu.
“.. kamu mau kayak gini, Den? Kamu kok jadi jahat banget sama Marsha?”
Marsha berdiri di sudut ruangan dekat jendela yang tirainya tertutup. Ia pura-pura mengepel lantai dekat jendela.
“Aku nggak bisa, Tan.” kata suara Dennis tanpa kedengaran bersalah. “Iya, aku tahu aku dulu sayang banget sama dia, tapi sejak Bapak sama Ibuku meninggal, dan dia nggak mau bilang kenapa, aku jadi benci banget sama dia.”
“Oh, bukan karena kamu yang nggak sengaja dengar para tetangga bilang kalau Marsha yang bikin rumah kalian kebakar?”
Marsha membeku, menghentikan kegiatannya.
Sejujurnya, Marsha berpikir Dennis membencinya karena ia yang tidak mau mengungkapkan alasan mengapa kedua orangtuanya meninggal. Tapi disini, ia akhirnya tahu mengapa Dennis bisa sampai berani meninju dan menamparnya.
Tante Maya tersenyum kecut. “Jadi, kamu lebih percaya omongan tetangga kamu dari Marsha sendiri? Sampai-sampai kamu berkoar-koar ke keluarga bapak ibumu kalau Marsha yang ngebakar rumah dan dia selamat tapi nggak mikir keadaan Bapak sama Ibu kamu?”
Marsha sebisa mungkin mengendalikan diri agar tongkat pel tidak terjatuh, dan ia yang tidak terisak. Ia masih harus mendengar, untuk tahu, untuk meyakinkan diri, untuk menguatkan diri.
Dennis sama sekali belum bersuara, tidak bisa menyangkal.
“Kamu bahkan pernah bilang ke para wartawan kalau kamu anak tunggal kan?”
Marsha tidak kaget dengan hal ini. Banyak orang di kampus adalah penggemar Dennis, dan mereka sama sekali tidak tahu bahwa adiknya selama ini ada di depan hidung mereka.
“Tante nggak pengen tahu apa yang terjadi?” Dennis akhirnya berbicara.
“Tentu, Tante mau tahu.” Maya mengangguk. “Tapi Tante nggak mau mendesak Marsha. Bagaimanapun, dia saksi tunggal. Dia yang tahu apa yang terjadi. Dia sendiri yang ada di sana pas rumah kalian terbakar. Tante nggak mau mendesak dia, dia pasti sangat terpukul. Dan Tante yakin kamu tahu tentang ini, hanya saja kamu udah nggak peduli setelah kamu dengar para tetangga bilang kalau Marsha yang membakar rumah.”
Air mata Marsha jatuh. Dua tahun lalu, sejak kematian kedua orangtuanya, akhirnya ia mengerti kenapa anggota keluarganya yang lain tidak mau menerimanya selain kakak ibunya itu. Ia ingin sekali berterima kasih kepada wanita itu.
“Tapi ini udah dua tahun, Tan!” Dennis berteriak penuh emosi. “Sampai kapan dia mau bilang apa yang terjadi? Aku kuat nunggu enam bulan, tapi bahkan sampai sekarang dia nggak pernah mau bilang! Wajar aja kan aku lebih percaya tetangga? Semua saudara Bapak dan Ibu percaya sama aku kecuali Tante!”
“Dia bukan nggak mau, dia belum siap, Den.” Tanpa diduga, balasan yang diterima Dennis akan selembut kain sutra. “Tante bukan nggak percaya sama kamu, Tante nggak percaya sama tetangga kalian. Nggak masuk akal banget alasan mereka.”
Dan Dennis terdiam lagi.
“Tante yakin, ada saatnya Marsha pasti punya keberanian untuk bilang ke kamu. Kamu cuma harus lebih bersabar aja. Bagaimanapun, dia tetap adikmu, nggak peduli kamu sampai bersumpah kepada Tuhan kalau kamu anak tunggal.”
Marsha akhirnya membersihkan sisa ruang tamu, lalu menaruh semua alat kebersihan di dapur, dan menuju kamarnya, menangis dalam diam.
***
Marsha seharusnya sudah tahu, bukan hanya Dennis yang akan diwawancarai oleh tantenya.
Setelah makan malam siap, Maya memutuskan menuju kamar Marsha terlebih dahulu. Gadis itu tengah duduk di kursi meja belajarnya dengan kepala tertunduk sedang menekuni sesuatu.
“Ayo, Mar, makan.” ajak Maya. Setengah tubuhnya tampak di kusen pintu.
“Duluan aja, Tan.” tolak Marsha tanpa mengangkat wajah. “Aku punya lima praktikum besok.”
“Jangan menghindar.” sergah wanita itu. “Tante tahu kamu nggak mau makan satu meja sama abangmu, begitu juga abangmu, tapi sekarang dia udah nungguin kamu.”
Marsha berhenti menulis. Ia mengangkat wajah. Kacamatanya turun sampai cuping hidung. “Itu cuma formalitas. Dia mau makan di sini cuma karena ada Tante, bukan karena aku. Aku juga mau tinggal disini karena ada Tante.”
Maya kini menampakkan seluruh tubuhnya di ambang pintu. “Nah, berarti udah lama banget kan kalian nggak makan bareng?”
Marsha tidak menjawab, membenarkan dalam hati. Ia menghela napas. “Abang nggak suka sama aku, Tan.”
“Terus kenapa? Kamu juga nggak suka sama dia kan? Atau lebih tepatnya, kalian udah kayak bukan kakak beradik lagi?”
Hening.
“Abang masih akan benci sama aku sampai aku berani bilang apa yang terjadi waktu Bapak sama Ibu meninggal.” Marsha tersenyum pahit.
Maya tertegun beberapa saat. “Kamu.. masih belum berani bilang?”
Marsha menggeleng. “Maaf, Tante, tapi aku belum siap. Aku nggak tahu kenapa. Kalau diingat aja udah bikin aku nangis, gimana kalau nanti aku ngomong..”
Maya menghampiri keponakannya, mengusap-usap bahu Marsha dengan lembut.
Air mata Marsha jatuh lagi. “Maaf, Tante..” lirihnya. “Makasih udah baik banget sama aku..”
Malam itu, ketiganya menikmati makan malam tanpa membicarakan apapun.
Ahhhi gemeeees Uda kepooo
Comment on chapter 6 - Sakit