Setiap harinya, tubuh manusia berubah menjadi pribadi baru. Tiap individu saling menyadari perbuatan kemarin, lusa, bahkan bertahun-tahun lamanya. Konsekuensi inilah yang dapat mempengaruhi sikap, hingga segala hal menyangkut dirinya. Semuanya tanpa sadar terhubung pada garis merah. Garis takdir yang tak bisa terelakkan.
Sudah hampir seminggu, Raisha sengaja meliburkan diri untuk mengurusi bapaknya. Dan akhirnya, hari itu ia kembali pergi berkuliah. Rasanya sedikit berbeda, hati Raisha menjadi lebih nyaman. Pasalnya, Wahyu sudah mendapatkan penanganan patah tulang dari rumah sakit. Pasca operasi, Wahyu kini sedang menjalani masa pemulihannya.
"Pak, udah bapak duduk aja di sini! Capek nanti!" ujar Raisha khawatir.
"Bapak kan mau lihat kamu berangkat kuliah!"
Raisha tersenyum melihat semangat bapaknya. Wahyu pun berusaha dengan alat bantu jalannya, mengantarkan Raisha hingga depan pintu gerbang rumah.
Supir ojek online pun tiba, akhirnya mereka pun berpisah. Raisha pun menyalami tangan bapaknya. "Hati hati yah Ca!" ujar bapaknya. Raisha pun melambaikan tangan. Walau Raisha sedikit malu melakukannya, namun jika bapaknya bisa senang tak apa sekali-kali melakukan hal dramatis seperti itu.
Lagi, hiruk pikuk stasiun menyambut Raisha pada jarak dua puluh meter dari pintu masuknya. Seperti biasa, supir itupun memberhentikan kendaraanya di zona yang sedikit lenggang. Raisha memaklumi itu, walau dirinya harus berjalan sedikit lebih jauh.
Walau hanya seminggu, hati Raisha sedikit senang dengan rutinitas seperti itu. Entah kenapa, ia merasakan energi positif mengalir dalam darahnya. Dengan kebisingan kerumunan orang yang menunggu datangnya kereta. Aroma roti yang tercium dari kedai roti kesukaanya selama perjalanan menuju peron. Dan hembusan angin yang datang ketika kereta tiba.
Senyuman itu mulai tergurat manis di wajah Raisha. Sembari berjalan melewati berbagai kedai menuju peron, Raisha mengenang berbagai cobaan yang bisa dihadapinya. Dirinya seperti terisi semangat baru. Walau sedikit resah dengan apa yang akan dihadapinya ketika kuliah. Namun, ia tak ingin mengecewakan busana kemeja cerah pilihan bapaknya.
Selang beberapa saat kemudian, aliran darah Raisha terasa berdesir. Penampakan lelaki yang sudah tak asing baginya itu, muncul di depan matanya. Membuat guratan senyum itu semakin lebar untuk menyambut.
Namun, dugaan Raisha akan lelaki itu tak terjadi. Lelaki itu tak menyapanya, dan malah berputar berlawanan arah. "Dia kenapa?" batinnya. Hanya saja itu benar membingungkan hati Raisha. Apakah ada sesuatu yang salah darinya?
Raisha terdiam sejenak, mengamati langkah kaki Adi yang semakin jauh dari pandangannya. Ia menghela nafas. Ah, mungkin dia sudah lupa dengannya. Atau dia tak ingin berhubungan lagi dengannya. Lalu, apa maksud perkataan terakhirnya. Bukankah Adi sudah tidak menganggap dirinya gadis asing? Pikiran kalut itu benar-benar membuncah.
Raisha kembali meniti langkah memasuki gerbong kereta. Ia pun menempati kursi kosong yang letaknya tak jauh dari pintu gerbong. Demi menceriakan suasana, ia pun sengaja mendengarkan alunan musik pop dengan earphone-nya.
Ketika menelisik keadaan, matanya kembali menangkap lelaki itu lagi. Hatinya kini sedikit berdegup, lantaran lelaki itu menghampirinya. "Nih buat lo!" ujar Adi sambil melempar pelan bingkisan roti ke pangkuannya. Isinya sesuai dengan apa yang pernah Raisha pinta. Raisha membuka salah satu earphonenya.
"Jangan dibalikin! Terserah lo mau apain!" ujar Adi. Ia pun lalu berjalan pergi menjauhi Raisha. Raisha bingung dengan tingkah Adi dan apa yang harus dilakukannya.
Dibukanya bungkusan itu, dan didapatinya tiga buah roti di dalam. Raisha tertegun dan merasa tak enak hati dengan pemberian Adi. Namun, rasa gengsi merajai dirinya. Ia pun hanya berdiam, namun menyimpan dengan baik pemberian Adi.
Pintu kereta pun terbuka. Raisha pun berdiri bangun hendak meneruskan untuk transit. Begitupun Adi. Langkah mereka berdua mengarah ke tujuan yang sama. Namun, Raisha memberi jarak di belakang Adi. Matanya tak lengah mengarah Adi.
Mereka pun memasuki gerbong yang berbeda. Tak saling melihat satu sama lain. Saling menyibukkan diri dengan dunianya masing-masing. Mendengarkan musik menjadi pilihan Raisha, sedang Adi lebih memilih chatting dengan grup UKMnya.
Raisha mulai memesan ojek online untuk sampai ke kampusnya. Sementara Adi, seperti biasa akan dijemput Farhan. Setelah pemberian roti, memang tak ada percakapan atau saling pandang diantara mereka. Raisha dan Adi mulai berusaha ingin melupakan satu sama lain.
Mungkin, pemberian roti itulah yang menjadi awal dan akhir diantara mereka. Walau hati Raisha masih menyimpan tanda tanya besar. Gerangan apaI yang membuat Adi seperti itu.
******
Dio tertegun dengan keberadaan Raisha di sampingnya. Apalagi pakaian yang dikenakannya pun sedikit berbeda dari biasanya. Ia hampir mengucek mata melihat perubahan pada Raisha.
"Ini beneran Ica? Atau maba?" ujar Dio tertegun. Raisha hanya diam tak menanggapi. Dio pun sudah mengkonfirmasi bahwa gadis itu memang Raisha yang dikenal.
Tak hanya Dio yang terkejut, teman-teman sekelasnya pun dari depan sampai belakang menggunjingkan penampilan Raisha. Namun Raisha merasa santai dalam menanggapi perlakuan itu, karena ia memang sudah memperkirakan.
"Ca, lo udah lihat papan mading di depan?" tanya Dio.
"Kenapa?"
"Lo jadi salah satu penanggung jawab kegiatan Ca!"
Ucapan Dio benar-benar mengejutkan dirinya. Padahal baru seminggu ia tak masuk, namun kini ia sudah harus bertempur di medan perang. Raisha menghela nafas, menahan emosi.
Pikiran kelut Raisha makin menjadi ketika ia benar melihat papan mading yang bertuliskan namanya sebagai salah satu penanggung jawab. Ia pun dengan segera menemui ketua Hima. Yang pasti ia akan menolak keputusan itu, namun ia sedikit pesimis ketika penolakannya tidak diterima. Paling tidak, ia sudah melakukan apa yang ingin dilakukannya.
Raisha pun pergi menuju sekret menemui para pengurus tinggi Hima yang katanya sedang rapat mingguan. Pintu pun dibuka, dan akhirnya Raisha masuk kedalam sangkar harimau. Kebanyakan dari pengurus inti memang masih dijabat oleh kating beda satu-dua tingkat dengan Raisha.
Semua mata menuju pada Raisha, layaknya orang yang sedang diinterogasi. "Mau ngapain kamu? Gak lihat kalau kita lagi rapat? Gak nanya sama yang lain kalau kita lagi rapat?" ujar salah satu kating cowok. "Dasar gak sopan banget sih nih anak" celetuk salah satu kating cewek. Bima sebagai ketum pun menengahi masalah itu. "Kenapa Ca?" tanyanya.
"Mohon maaf sebelumnya kalau saya sudah mengganggu. Tapi, ini satu-satunya cara agar kakak-kakak bisa mempertimbangkan omongan saya." ucap Raisha hati-hati.
"Udah gak usah banyak ngeles. Kamu mau ngapain kesini?" tanya salah satu kating cewek.
"Saya keberatan dengan keputusan kakak-kakak menjadikan saya sebagai salah satu penanggung jawab kegiatan diskusi publik itu!" ujar Raisha.
"Maaf, pak Ketum boleh saya berbicara?" ujar Vinka sambil mengacungkan tangan. Tangan Raisha mulai berkeringat. Hatinya berdegup kencang. Namun, ia berusaha menahan dirinya agar dilihat tak lemah.
"Kamu itu sudah kami percayakan, kalau kamu bisa mengurus kegiatan ini. Untuk memilih kamu, kita juga perlu waktu untuk berdiskusi. Memangnya kamu kira, kita asal-asalan dalam memilih orang. Padahal ini termasuk kegiatan tahunan kita yang berskala besar. Memangnya, kita mau acara ini gagal gara-gara asal pilih orang. Tolong hargai keputusan kami!" jelas Vinka. Raisha benar-benar bingung harus berkata apa. Dia hanya terdiam dan menduduk.
"Ica, apa yang dibilang Vinka itu benar. Kita benar-benar gak asal dalam memilih orang. Apalagi kegiatan ini juga akan dipantau oleh kepala jurusan. Mana berani kita berbuat aneh-aneh. Kalau kamu kesusahan, kan ada tim anggota kamu yang membantu. Kamu juga bisa bertanya sama kita kalau ada masalah yang gak bisa kamu tangani. Jadi bagaimana?" tutur Raka. Raisha pun hanya mengangguk mengiyakan.
Dendam itu masih ada dalam pikiran Raisha. Ia benar-benar sedikit terancam dengan situasi seperti itu. Niat jahatnya pun kembali menghantui dirinya. Ia berencana untuk meretas situs website Himanya. Pandangan lemah tak ingin disandangnya. Ia harus berbuat sesuatu, agar dirinya tak dipermainkan seperti itu.
*****
Beberapa truk pengangkut tumpukan tabloid itu akhirnya datang. Beberapa anggota UKM Pers itu memang sudah berhari-hari menunggunya. Ingin segera melihat hasil perjuangannya yang telah dibukukan. Perasaan lega itu tak bisa ditepiskan, namun ketika membagikan ke seluruh civitas akademika biasanya menjadi momok yang memalaskan.
Beberapa dus satu per satu dikeluarkan. Adi dan Farhan sengaja membuka salah satu dus, dan segera mengambil tabloid di dalamnya. Begitupun anggota lain, tak sabar untuk melihat hasilnya.
"Akhirnya selesai juga nih tabloid." ujar Farhan sambil membuka tiap lembarannya. Adi hanya tersenyum mengiyakan.
"Cus, amanin!" ujar Anton.
Biasanya mereka mengamankan di gudang penyimpanan. Yah walaupun memang banyak barang yang tak terurus, setidaknya masih tersedia slot untuk penyimpanan tabloid mereka sebelum dibagikan esok hari.
Baru beberapa langkah berjalan mengangkat dus, Adi yang melamun tak sengaja menjatuhkan dus besar itu. Lantaran kakinya tanpa sadar tidak melangkah ke arah yang tepat. Padahal, ia sering melewati pintu pembatas dengan halaman depan gedung. Lantai yang sedikit berundak itu akhirnya mendapatkan mangsa.
"Di lo gak apa-apa?" ujar Farhan segera menghampiri. Adi diam tak menanggapi, ia hanya fokus membereskan beberapa tabloid yang sudah berserakan. Farhan dan Anton pun membantunya, tanpa bertele-tele. Farhan segera tau gelagat sahabatnya jika seperti itu. Ia akan menanyakannya jika waktunya sudah pas.
Setelah selesai, Farhan langsung mengajak Adi pergi mencari makan. Dengan sepeda motor matic-nya, mereka pun melesat pergi. Arah tujuan Farhan hari ini sedikit berbeda, bukan tempat makan yang biasa dikunjungi. Adi hanya mengikut saja, tak memberi tanggapan. "Nih anak dari pagi kenapa sih?" batin Farhan.
Mereka pun segera menduduki tempat yang kosong. Pramusaji segera menghampiri, siap mencatat pesanan mereka. "Lo mau makan apa Di?" tanya Farhan. "Gua ngikut aja!" ujar Adi tampak tak berselera.
"Di, lo kenapa sih? Bad mood?" tanya Farhan ingin tau. Adi menghela nafas. "Gak tau gua bawaannya lagi males aja." jawab Adi, sambil menaruh kepala di meja. "Ck, pasti cewek itu? Mending lo cari cewek lain." ujar Farhan sambil memainkan gadget di tangannya. Adi pun menatap kosong ke arah bawah.
"Silahkan!" ujar pramusaji menyodorkan makanan mereka. Farhan sedikit terkejut melihat pramusaji itu.
"Eh Ani bukan sih?" tanya Farhan. Gadis itu sedikit menoleh dan menyadari teman SMAnya.
"Farhan? Lo mahasiswa sini?" tanya Ani. Farhan pun melupakan Adi, sahabatnya yang sedang dilanda kegalauan. Farhan dan Ani pun saling memberikan kontak satu sama lain.
"Dunia kecil banget yah? Gue bisa ketemu teman SMA gua di bogor masa?" ucap Farhan sambil mengamati reaksi Adi. Adi mengangguk mengiyakan, namun pikirannya tak sejalan. Malas menyahuti.
*****
Perjalanan pulang kala itu, membuat pikiran Adi semakin melalang jauh memikirkan status hubungannya dengan gadis itu. Satu per satu memori pertemuan dengannya kembali memutar dalam otaknya. Berkali-kali Adi menghela nafas, bermaksud ingin menenangkan gejolak hati.
Ia sangat sadar dengan apa yang dilakukannya pada Raisha. Dan, seharusnya ia tak seperti itu. Namun kejadian pekan lalu membuat dirinya harus menjauhi Raisha. Rasa bersalah kini membelenggu hatinya.
"Gue harus lupain dia. Lagian gue juga belum ada hubungan apa-apa sama dia. Gue ngelakuin itu semua yah gara-gara dia buat gue khawatir. Masa gue gak boleh khawatir ke dia. Iyalah, emang siapa lo di? Temen bukan, pacar bukan."
Adi terus menggerutu dalam hatinya. Tentang pertemuannya dengan si cewek misterius. Seseorang yang belum lama ini mengusik pikirannya. Namun, hubungannya hanya sekedar angin lalu.
Ketika dirinya sampai di stasiun, kali ini ia sedikit menyiapkan diri. Berusaha acuh pada gadis itu, jikalau bertemu. Cari kesibukan lain, ketika ia menatapnya. Hapus pikiran tentang dirinya. Itulah tekad Adi sebelum memasuki stasiun.
Peluang pertemuan Adi dan Raisha memang tergolong besar. Apalagi arah yang dilaluinya sama. Jadi, mau tak mau Adi harus memiliki tekad kuat untuk melupakannya. Namun, ketika ia menyadari keberadaan si gadis, hatinya mulai berdegup kencang. Pandangannya mulai tak lepas dari sosok cewek misterius itu.
Pikirannya mulai tersadar, untuk kembali pada niat awal. Ia pun segera menyibukkan diri dengan gadgetnya, lalu mencari tempat terjauh dari si gadis. Namun, rasa penasaran mengalahkan niat tekad melupakannya. Sehingga, walau jarak mereka jauh setidaknya Adi dapat memantau gerak-geriknya.
Mata Adi sebentar-bentar melirik Raisha dari kejauhan. Lalu, tiba-tiba Raisha seperti hendak terjatuh. Untung saja, Raisha memiliki keseimbangan yang stabil. Adi menghentikan langkahnya, menatap Raisha yang sekarang sedang mengikat tali sepatunya yang terlepas. Adi menghela nafas.
Langkah kaki mereka kini sudah sampai di tempat tunggu datangnya kereta. Mata Adi masih belum melepas pandangan ke arahnya.
Dilihatnya kala itu, Raisha sedang berdiri bersandar di tiang dengan tatapan kosong. Lalu, ia mengambil roti pemberian dari Adi tadi pagi yang ternyata belum sempat dihabiskan. Raisha menatap beberapa detik pada bingkisan roti, dan akhirnya memakan roti tersebut.
"Huh, sesibuk apa sih dia sampai makannya baru jam segini? Tapi syukur deh kalau gak dibuang." batin Adi.
Akhirnya, kereta pun tiba sepuluh menit sedikit terlambat. Berduyun-duyun tiap orang memasuki gebrong di hadapannya. Begitupun Adi dan Raisha.
cant wait next chapter