Loading...
Logo TinLit
Read Story - Reach Our Time
MENU
About Us  

Kita saling merasa terikat. Tapi nyatanya, kau bergerak menjauhi dalam pekat rasa. Apakah ini akhir dari kata kita? Atau sebenarnya, dari awal pertemuan ini terjadi tak pernah ada kata kita? Jelaskan sekarang! Agar ku bisa mengerti perasaanmu padaku.

 

Seperti biasa, Raisha memilih berdiri dekat pintu gerbong kereta, sambil menatap pemandangan luar jendela. Pikirannya kini tertuju pada sosok lelaki paling aneh yang pernah ditemuinya beberapa pekan lalu. Siapa lagi, kalau bukan Adiyasa. 

Pagi tadi, dengan anehnya lelaki itu memberikan tiga buah roti dengan sikap yang dingin. Bukankah, seminggu lalu ia berpesan agar tak menganggapnya sebagai orang asing. Bukankah itu langkah awal pertemanan mereka? Lalu apa yang terjadi pagi tadi? Apakah waktu mengikis ingatannya tentang Raisha? Atau ia anggap pertemuan itu hanya senda gurau belaka?

"Apa gue terlalu percaya diri? Mungkin, gua terlalu dibawa perasaan?" batin Raisha. Ia pun menghela nafas. 

Kala itu, gerbong mulai penuh sesak dengan penumpang. Rasanya benar-benar tak nyaman. Raisha pun meletakkan ranselnya di bagian dada. Takut-takut kecopetan. Tanpa sadar, tepat di belakang Raisha ada sosok Adiyasa yang berusaha sekuat tenaga menahan dorongan arus penumpang.

"Aduh, jangan dorong-dorong dong!"

"Yaudah, majuan dikit dong! Masih lega tuh."

"Tolong yah ini di kereta, jadi harap tahu diri!"

Raisha pun baru tersadar akan keberadaan Adiyasa, setelah menelisik sekitar. Tubuhnya memang cukup tinggi dan besar dari Raisha. Walau, sebenarnya Raisha sendiri tergolong gadis berpostur tinggi juga. Namun, Adiyasa mampu menjadi benteng pertahanan baginya.

Kebisingan gerbong kereta setidaknya dapat menutupi kepekatan emosi gusar yang saat ini mereka rasakan. Pada keheningan diri, mereka saling melirik. Melihat satu sama lain. Walau jarak diantaranya begitu dekat. Namun pikiran mereka tak berbicara seperti itu. 

Bak pasangan, mungkin pengandaian bertemu mantan bisa menerangkan kecanggungan diantaranya. Dimana lelakinya masih mau menjaga gadisnya walau kini tak ada lagi rasa. Sayangnya, mereka bukan seperti itu. Entah status hubungan apa yang tepat untuk keduanya. Mereka pun tak tahu.

Gara-gara hukum gravitasi, saat kereta hendak berhenti di stasiun pertama, tak pelak kerumunan orang yang berdiri di dalamnya ikut bergerak sesuai pernyataan gaya newton II. Dengan sigap, salah satu tangan Adiyasa menahan bahu Raisha yang terlihat lemah. Sebabnya bukan lain untuk menahan posisi tubuh Raisha agar tetap stabil.

Hati Raisha berdegup kencang. "Makasih," ujarnya. Namun sayang, Adiyasa masih bersikap dingin padanya. Ia tak merespon Raisha. Rasanya, Raisha sudah tak sabar lagi meluapkan emosinya pada lelaki itu. Lelaki yang membuat pikirannya stuck. Layaknya, sedang menyelesaikan algoritma pemrograman yang error karena bug (kesalahan logika).

Ia berusaha meredam emosinya sebisa mungkin. Paling tidak sampai mereka transit di Bekasi. Ah, tidak. Mungkin setelah turun dari kereta terakhir. Ia harus memikirkan waktu yang pas. Kalau-kalau, lelaki itu menjauhi maka ia harus mengejarnya bahkan walau berlari. Setidaknya, ia tidak mau memupuk masalah lagi. Tadi siang, masalah dengan HIMA-nya belum terselesaikan. Paling tidak, jangan pada lelaki ini.

Hanya saja, Adiyasa adalah seseorang yang bisa dipercaya untuk menorehkan keluh kesah. Walau, pertemuannya baru beberapa pekan lalu. Entah mengapa, Raisha dengan mudah percaya dengan ketulusan darinya. Dan ia tak mau kehilangan dirinya.

"Adiyasa!" teriak Raisha dari kejauhan. Tentu saja, ia harus menyiapkan diri sebelum berteriak memanggil lelaki itu. Kalimat apa yang harus diajukan pertama kali. Respon apa yang harus dibuat pada mimik wajahnya. Yah, seperti itu. Agar tak terlalu kentara rasa salah tingkahnya.

Otomatis, Adiyasa pun menghentikan langkahnya. Badannya pun mulai menoleh ke arah Raisha. Ia menunggu, sang gadis untuk berjalan menghampiri. Saat itu, hati Raisha benar-benar berdegup kencang. Namun, ia harus fokus pada rasa penasaran atas dasar apa lelaki itu bersikap dingin padanya. Iya, saat itu ia harus segera tahu.

Raisha pun mulai berjalan mendekatinya. Setelah tepat berdiri di depannya, ia menelan ludah terlebih dahulu sebelum berbicara.

"Lo masih inget nama gue?" ujar Adiyasa tiba-tiba.

"Eh?!" Raisha sedikit kikuk dengan respon Adiyasa yang diluar perkiraanya.

"Iyalah, emang kenapa?"

"Syukur deh. Bagus kalau begitu. Terus kenapa lo panggil gue?" tanya Adiyasa terlihat penasaran. Tentu saja, Adiyasa tahu pertanyaan apa yang akan diajukan Raisha. Apalagi kalau bukan pasal sikap anehnya yang tiba-tiba itu.

"Kenapa? Kenapa lo jadi dingin gini?"

Adiyasa membalas tatapan mata Raisha yang serius itu dengan pandangan sedih. Tentu saja, Raisha benar-benar bingung dengan perubahan mimik wajah itu.

"Mau mampir ke convenience store dulu?"

"Iya, gue juga ada hal yang perlu dibicarain,"

Raisha pun mengiyakan ajakan Adiyasa. Mungkin akan ada penjelasan panjang atas itu semua. Mereka pun memilih air mineral kemasan dan beberapa snack ringan. Lalu, setelah selesai mereka langsung menempati meja yang kosong.

Awalnya, Raisha mencoba sekuat tenaga untuk membuka tutup botol air minum itu sendiri. Tanpa Raisha pinta pun, Adiyasa segera menyambar botol kemasan itu. Lalu menbukakan tutup botolnya. Raisha hanya terdiam kikuk, dengan perlakuan lelaki itu.

"Lo emang mau bicara apa?" tanya Adiyasa penasaran.

"Sebenarnya... gu..gue..."

Adiyasa masih menanti perkataan Raisha selanjutnya.

"GUE SUKA SAMA LOO!" teriak Raisha diluar kendali. Sontak Adiyasa terkejut dengan pengungkapan perasaan tersebut.

Raisha mulai mengatur nafasnya, sambil menunggu kalimat jawaban dari lelaki tersebut. Degup jantungnya benar-benar berdebar kencang. Walau, perasaannya kini sedikit lega setelah mengatakan.

Mungkin Raisha akan ditolak. Dan ia harus menerimanya. Karena, ia tak bisa mengubah perasaan orang lain demi ego perasaannya. Tapi setidaknya, ia bisa mengeluarkan perasaannya yang mulai timbul sejak Adiyasa mulai mengulurkan bantuan padanya.

Adiyasa menghela nafas. Kalimat jawaban yang akan dikatakan setelah ini, pasti ditunggu Raisha. Namun, ia mulai merubah suasana menjadi lebih serius.

"Sebelum gua jawab, pengungkapan perasaan lo yang mendadak ini. Gua akan jawab pertanyaan lo yang pertama,"

"Masih ingat dua hari lalu?" lanjut Adiyasa membuka percakapan. Tentu saja, Raisha memicingkan mata tanda tanya besar. Sepertinya, saat itu dia tak bertemu dengan Adiyasa. Ada momen apa hari itu?

"Saat itu, lo berkunjung ke makam almarhumah ibu lo."

Raisha sontak terkejut. Dari mana Adiyasa bisa tahu, pasal itu. Apakah dia memata-matai dirinya. Lantas apa maksud dari perkataanya. Adiyasa, segera tahu pikiran apa yang sedang ada di kepala Raisha, setelah melihat mimik wajahnya itu. Namun, ia tetap melanjutkan kalimat selanjutnya.

"Ternyata, dia adalah ibu lo. Seketika gua sedikit takut karena keberadaan lo."

"Maksud lo?"

"Asal lo tahu. Disana juga ada almarhum bokap gua yang dikuburkan gak jauh dari posisi makam almarhumah ibu lo."

Raisha sedikit terdiam, menunggu kalimat Adiyasa selanjutnya. Saat ini, mungkin ia akan mendengarkan cerita Adiyasa hingga selesai. Walau, sepertinya pikiran Raisha sudah sedikit menduga. Akan alur pembicaraan lelaki itu.

"Iya, lo udah bisa menebaknya. Huh, rasanya benar aneh. Kalau lo tahu posisi gue saat itu."

Saat ini perasaan Raisha pun begitu. Benar-benar tak terduga. Walau begitu, ia tetap menunggu kalimat apa yang selanjutnya akan dilontarkan Adiyasa.

"Waktu, insiden itu terjadi. Gue masih umur delapan tahun. Masih kelas dua SD kalau gak salah. Iya, awal semester dari libur panjang."

Adiyasa sedikit menghela nafas, sebelum melanjutkan kisahnya. Ia kembali mengingat sisa memori yang hingga kini terkenang dalam ingatannya. Terus dan menerus. Hingga pada satu titik, ia pernah membenci almarhumah ayahnya. Dan, waktu pun walau melambat mulai menyadarkan diri Adiyasa dari pemikiran bodohnya itu. Proses pendewasaan diri itu memang benar adanya.

"Papa meninggal begitu cepatnya. Sampai sempat gue berpikir, kalau Tuhan itu benar kejam. Tuhan gak adil dengan keluarga gue."

Mata Adiyasa mulai berkaca-kaca. Namun, ia masih bisa menahan emosi sesaatnya itu.

Raisha tetap hening, saat mendengarkan setiap kalimat yang diutarakan Adiyasa. Pikirannya pun kini mulai terbawa suasana yang diciptakan dari tiap kata Adiyasa.

"Belum sempat hati ini berkabung, tiba-tiba beberapa orang datang ke rumah kami. Meminta pertanggung jawaban ini dan itu. Mama kelihatan bingung, panik dan sedih. Andai saat itu, gue sudah berada di umur sekarang. Setidaknya, bisa jadi pertahanan bagi Mama."

Tentu saja, saat itu Adiyasa mulai larut pada kisahnya. Hingga tanpa sadar, Raisha sedari tadi menatap ke arahnya.

"Mereka meminta ganti rugi dengan nominal besar, tak kira-kira. Padahal, keluarga kami pun juga korban. Dan, menurut gue saat itu, papa bukan tersangka utama yang patut disalahkan atas itu semua. Papa juga meninggal gara-gara insiden itu."

"Rasanya benar-benar gak adil. Kenapa mereka tak memikirkan perasaan kami. Apalagi, kebanyakan dari mereka adalah lelaki dewasa. Mereka berteriak pada mama saat itu. Dari mana kami akan mendapatkannya? Benar-benar situasi tak terduga."

Adiyasa menegak air mineral dari botol kemasan, sebelum melanjutkan kisahnya. Raisha kini terlihat sedikit murung.

"Untung saja, perusahaan papa juga turut membantu pada proses pemakaman. Karena itu, letak posisi pemakaman kedua orang tua kita malah dekat. Ah, awalnya sempat kesal. Kenapa, harus begitu."

Adiyasa menoleh sesaat ke arah Raisha. Ia mulai sedikit bersalah karenanya.

"Maaf. Bukannya gue menghardik lo saat ini. Gue cuma mau cerita aja kok. Biar lo paham perasaan gue saat bertemu dengan lo."

Raisha mengangguk mengiyakan. Rasanya, ia mulai memahami.

"Akhirnya, mama banting tulang menjadi pengganti ayah dalam hal mencari nafkah. Saat itu, yang bisa gue bantu adalah menjaga adik gue. Untung kita umurnya gak terlalu jauh." ujar Adiyasa sedikit tersenyum.

"Waktu pun kian bergulir. Rasa kehilangan itu lama-lama memudar. Dan kami pun bisa bangkit dari keterpurukan. Karena sosok mama. Entah apa yang akan terjadi, kalau kita gak punya mama sekuat beliau."

Raisha kembali menunduk, saat Adiyasa mengucap kata 'mama'.

"Mama bilang, kita harus tetap berziarah ke makam almarhumah ibu lo. Karena, kami tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang."

"Sebenarnya, mama masih merasa bersalah atas insiden itu. Beliau selalu memohon di makam almarhumah ibu lo. Memohon agar kalian bisa memaafkan kesalahan papa yang tak disangka itu. Andai saja, papa lebih berhati-hati saat berkendara mungkin kejadian itu tak akan terjadi."

Mereka pun saling menatap satu sama lain. Hanya saja, air mata Raisha kini mulai mengalir di pipinya. Dengan segera, ia menutup wajahnya.

Saat itu yang terdengar hanya isakan tangis Raisha. Adiyasa hanya terdiam sendu menatap Raisha di sampingnya. Akhirnya, benang merah itu muncul juga. Bukan, memang sejak awal sudah menampakkan wujudnya. Sayang, mereka terlambat menyadarinya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
Can You Hear My Heart?
455      270     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
Bittersweet My Betty La Fea
4592      1464     0     
Romance
Erin merupakan anak kelas Bahasa di suatu SMA negeri. Ia sering dirundung teman laki-lakinya karena penampilannya yang cupu mirip tokoh kutu buku, Betty La Fea. Terinspirasi dari buku perlawanan pada penjajah, membuat Erin mulai berani untuk melawan. Padahal, tanpa disadari Erin sendiri juga sering kali merundung orang-orang di sekitarnya karena tak bisa menahan emosi. Di satu sisi, Erin j...
Help Me
6019      1807     6     
Inspirational
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jika manusia berfikir bahwa dunia adalah kehidupan yang mampu memberi kebahagiaan terbesar hingga mereka bangun pagi di fikirannya hanya memikirkan dunia yang bersifat fana. Padahal nyatanya kehidupan yang sesungguhnya yang menentukan kebahagiaan serta kepedihan yakni di akhirat. Semua di adili seadil adilnya oleh sang maha pencipta. Allah swt. Pe...
Eagle Dust
335      246     0     
Action
Saat usiaku tujuh tahun, aku kehilangan penglihatan karena ulah dua pria yang memperkosa mom. Di usia sebelas tahun, aku kehilangan mom yang hingga sekarang tak kuketahui sebabnya mengapa. Sejak itu, seorang pria berwibawa yang kupanggil Tn. Van Yallen datang dan membantuku menemukan kekuatan yang membuat tiga panca inderaku menajam melebihi batas normal. Aku Eleanor Pohl atau yang sering mereka...
Trip
936      476     1     
Fantasy
Sebuah liburan idealnya dengan bersantai, bersenang-senang. Lalu apa yang sedang aku lakukan sekarang? Berlari dan ketakutan. Apa itu juga bagian dari liburan?
It's Our Story
1067      499     1     
Romance
Aiza bukan tipe cewek yang suka nonton drama kayak temen-temennya. Dia lebih suka makan di kantin, atau numpang tidur di UKS. Padahal dia sendiri ketua OSIS. Jadi, sebenernya dia sibuk. Tapi nggak sibuk juga. Lah? Gimana jadinya kalo justru dia yang keseret masuk ke drama itu sendiri? Bahkan jadi tokoh utama di dalamnya? Ketemu banyak konflik yang selama ini dia hindari?
Love Rain
20533      2764     4     
Romance
Selama menjadi karyawati di toko CD sekitar Myeong-dong, hanya ada satu hal yang tak Han Yuna suka: bila sedang hujan. Berkat hujan, pekerjaannya yang bisa dilakukan hanya sekejap saja, dapat menjadi berkali-kali lipat. Seperti menyusun kembali CD yang telah diletak ke sembarang tempat oleh para pengunjung dadakan, atau mengepel lantai setiap kali jejak basah itu muncul dalam waktu berdekatan. ...
ketika hati menentukan pilihan
378      286     0     
Romance
Adinda wanita tomboy,sombong, angkuh cuek dia menerima cinta seorang lelaki yang bernama dion ahmad.entah mengapa dinda menerima cinta dion ,satu tahun yang lalu saat dia putus dari aldo tidak pernah serius lagi menjalani cintanya bertemu lelaki yang bernama dion ahmad bisa mengubah segalanya. Setelah beberapa bulan menjalani hubungan bersama dion tantangan dalam hubungan mereka pun terjadi mula...
Salju di Kampung Bulan
2098      962     2     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
NAZHA
438      331     1     
Fan Fiction
Sebuah pertemuan itu tidak ada yang namanya kebetulan. Semuanya pasti punya jalan cerita. Begitu juga dengan ku. Sang rembulan yang merindukan matahari. Bagai hitam dan putih yang tidak bisa menyatu tetapi saling melengkapi. andai waktu bisa ku putar ulang, sebenarnya aku tidak ingin pertemuan kita ini terjadi --nazha