Udara dingin masuk melalui celah-celah jendela kamarku. Dingin pagi itu menghampiri kakiku dan membuat kemalasanku pergi seketika. Kutatap jarum jam didinding merah jambu kamarku. Masih terlalu pagi bagiku untuk pergi ke kelas. Namun hari ini berbeda, aku harus pergi ke kelas praktikum yang memang harus datang lebih pagi agar aku mendapatkan tempat paling nyaman untuk memulai praktikum yang ku senangi. Menulis.
Aku berjalan menyusuri ketenangan Kota Malang pagi itu. Pagi yang sangat dingin akan membuat orang lain masih dalam selimutnya atau mungkin sedang mandi dengan air hangat. Namun aku, Ayustika Rahman dengan restu kedua orang tuaku melewati embun pagi itu dengan semangat. Tidak lupa kukirimkan foto selfie kepada kedua orang tuaku untuk meminta doa kelas praktikum pertamaku.
Tidak seperti dugaanku, kelas praktikum sudah hampir penuh. Ternyata aku salah membaca jadwal. Sebenarnya aku lupa memakai kaca mataku untuk melihat jadwal. Kebenarannya adalah aku sudah terlambat. Hanya tersisa dua kursi dibaris paling belakang didekat pintu keluar.
“Silahkan duduk”
Teknisi berperut buncit itu sedang memperhatikanku, bahkan sebelum aku membuka pintu karena memang ruangan itu transparan dari luar. Ruang praktikum kami berdinding kaca sehingga suara dari luar sangat kecil kemungkinan bisa mengganggu. Aku memberi salam dan duduk dikursi yang masih kosong.
“Ran?”
“Hai, Ayu. Lu dikelas pertama juga? Waa seneng banget gua dari tadi gak ada yang bisa diajak ngobrol. Habis ini ke kantin bareng gua ya”, kata Ranti penuh antusias. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
“Baiklah, mari kita buka buku panduan halaman….”
“Maaf, saya terlambat”
Suara itu membuat jantungku berhenti sesaat kemudian berdetak lebih cepat. Ruangan itu tiba-tiba terasa kosong saat pria itu berjalan menuju kearahku. Lebih tepatnya kursi kosong disebelah kananku. Tepat didekat pintu keluar. Pandanganku tidak lepas darinya sampai dia terduduk dan merapikan nafasnya yang berantakan karena terlambat datang. Apa jantungku berdetak karena aku juga kelelahan berjalan kaki menuju kampus? Elakku dalam hati.
“Wah,, Yasser lu juga di kelas pertama? Keren, keren. Kayaknya kita bakalan sering bertemu deh sampai lulus. Haha”
Ucapan Ran menyadarkanku bahwa ruangan tidak sedang kosong. Kutatap layar didepanku dan mengikuti apa yang telah ditugaskan oleh teknisi yang membimbing praktikum saat itu. Tapi bohong jika aku sudah baik-baik saja. Nafasku bahkan sudah mulai berantakan. Bibirku gatal seolah ingin menyebut namanya. Yasser. Seperti yang kudengar dari Ranti. Namanya, Yasser.
”Ay, lu gakpapa?”
“Hah? Apa Ran?”
“Ayu, lu sakit? Muka lu pucat banget”, Ran mulai khawatir.
“Aku gakpapa kok, Ran. Ke toilet dulu ya”.
Seperti yang dikatakan oleh Ranti, sepertinya aku sedang tidak baik-baik saja. Apa mungkin hanya gara-gara Yasser aku sakit? Itu benar-benar konyol.
Kulangkahkan kakiku untuk berdiri, kepalaku terasa sangat pening dan tubuhku gemetar. Yasser menggeser kursinya memudahkanku untuk melewatinya tetapi aku justru jatuh ke lantai. Setelah itu aku tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya.
Saat aku membuka mata aku sudah tidak berada diruang praktikum. Badanku terasa panas. Ada aliran dalam denyut darahku. Aroma yang pernah kuhirup sebelumnya. Kurasa aku pernah berbaring disana sebelumnya.
“Lu gakpapa? Ay”
Ranti menggenggam tanganku sambil meneteskan air mata. Aku mengangguk dan tersenyum untuk membuatnya tak cemas. Aku menyadari bahwa Ranti adalah orang baik dan dia akan selalu kuanggap begitu. Mulai hari itu aku memutuskan untuk menyayanginya. Aku mencintai Ranti sebagai sahabatku.
”Gua gakpapa kan balik praktikum? Kasihan Yasser nungguin didepan”
Yasser? Didepan? Dia ikut mengantarku? Ya Tuhan malunya aku. Berapa kali setiap aku bertemu dengannya selalu terjadi masalah?
“Ah, maafkan aku merepotkan kalian. Sampaikan maafku padanya juga ya”
“Aih, justru gua yang minta maaf ninggalin lu sendiri. Teknisi galak udah balik soalnya tadi habis ngantar lu kesini juga”
“Sampaikan maafku juga kepada beliau ya. Terima kasih Ran, Yasser juga, semuanya”
“Apaan sih lu? Merinding gua. Udah ah gua balik dulu. Hati-hati ya”
Setelah Ran meninggalkan klinik aku dapat menatap Yasser dari balik tirai bilikku. Dia menatap sekilas kearah bilikku. Aku tersenyum dan kuyakin mukaku pasti merah.
Ternyata benar aku memang sedang tidak bak-baik saja hari itu. Bukan karena aku duduk disebelah Yasser atau aku mengetahui namanya. Aku memang sedang sakit. Itu yang kuyakini hingga sekarang. Aku tidak boleh memupuk perasaanku terus menerus kepadanya. Bisa jadi dia tidak ditakdirkan untukku. Dan aku akan terluka jikalau aku masih terus memikirkannya. Cepat atau lambat kalian juga akan mengerti semuanya.
Kutatap jam di pergelangan tanganku. Seharusnya praktikum pertamasudah berakhir, aku ingin mengikuti praktikum kedua agar tidak akan banyak tugas yang menumpuk nantinya. Namun seingatku saat itu aku tidak bisa, entah badanku kembali lemas atau dokter yang melarangku pergi aku sudah lupa. Seingatku malam itu aku menginap disana, hanya aku satu-satunya pasien yang menginap hari itu. Klinik kampusku memang tidak begitu besar dan memang klinik mahasiswa dan umum dipisahkan agar tidak ada pemebebanan biaya untuk mahasiswa.
Karena belum memiliki teman dekat dan masih canggung dengan Ranti aku memilih untuk memesan makanan secara online. Meski nutrisi tubuhku dialirkan melalui aliran darahku, namun aku tetap butuh makan untuk meminum obat. Perawat yang menjagaku juga sangat ramah, membantuku untuk ke kamar mandi atau sekedar membantuku mengisi daya baterai ponsel. Tapi akan canggung bila aku memintanya membelikan makanan bukan? Haha
“Hai Ayu”
“Hai? Teman-teman ngapain kalian kesini? Ran kamu yang ngasih tahu mereka?”
“Ya gimana ya? Kan gua orangnya emang ember”
“Kita itu khawatir sama kamu”, kata gadis tinggi berkaca mata yang berdiri disamping Adi. Namanya Kumala. Dan satu lagi gadis gemuk dengan lesung pipi yang menawan, namanya Dewi. Mereka adalah teman pertama Ranti dan akhirnya mereka menjadi temanku. Entah bagaimana awalnya bahkan kami memiliki grup obrolan sendiri yang hanya berisikan kami berempat.
“Cepat sembuh ya Ran”, kata Adi sembari menaruh buah-buahan dimeja dekat tempatku berbaring.
“Lu pasti belum makan kan? Sebentar lagi Yasser sampai kita makan bareng-bareng, Ok?”
“Yasser? Dia datang juga?”, tanyaku sembari menatap sekelilingku memastikan keberadaan Yasser.
“Iya, dia masih beli makan buat kita”, kata Dewi yang sedang mengupaskan buah untukku.
“Tapi aku udah pesan lewat online”
“Halah gakpapa nanti biar Dewi yang makan, kan biasanya begitu”
Kami tertawa mendengar Kumala dengan polosnya berkata seperti itu. Kumala dan Dewi sudah saling mengenal sejak mereka masih duduk di bangku SMP. Sejak SMP mereka selalu berada di kelas yang sama sampai sekarang kuliahpun begitu. Mereka berasal dari Surabaya. Kota yang kuharapkan menjadi tempatku kuliah. Oh iya aku belum beritahu kalian kota asal Adi. Dia berasal dari Solo, jadi dia sedikit pendiam orangnya atau biasa disebut kalem. Tapi jangan salah, itu Cuma awalnya saja. Lama mengenalnya akan membuat kalian hafal bagaimana caranya berbicara, mengeluh dan menghakimi orang lain.
“Ah itu Yasser”, kata Kumala.
“Kau memesan ini disaat sakit seperti ini?” Yasser mengangkat pesananku dan memberikannya kepada Ranti. “Ini, makan ini saja”, katanya sembari meletakkan semangkuk bubur ayam dipangkuanku. Wajahnya terlihat sedikit kesal, aku hanya terdiam menurutinya.
“Ya ampun Ayu, kamu pesan makanan pedas? Untung yang nerima Yasser”, kata Dewi mulai memotong buah.
“Yang bener, untung Yasser membelikannya makanan yang benar. Bubur. Kalau Yasser belinya disamakan seperti kita kan sama saja Ayu gak makan”, celoteh Kumala.
“Udah ah, gua laper. Yok makan”, kata Ranti.
Mereka berlima memasang karpet di lantai dan makan bersama dibawah. Aku menaruh mangkukku di meja dan berusaha untuk turun dari tempat tidur. Ku raih mangkukku dan duduk diantara mereka dibawah.
“Eh, kamu ngapain turun? Naik lagi gih”, kata Adi sembari memegang lenganku. Ingin berusaha membuatku berdiri.
“Kalau aku makan diatas dengan duduk bersandar dan kalian duduk melingkar dibawah bersama, apa itu adil?” kataku memasang wajah murung.
“Tapi kan kamu sedang sakit nak”, kata Dewi sambil merapikan kunyahan dimulutnya.
“Kata kalian kita teman”, kataku.
“Ay, lu tu lagi sakit…”
“Biarkan dia”,sahut Yasser.
“Apa?”
“Yas?”
“Biarkan dia duduk bersama kita. Berkumpul seperti ini tidak akan membuatnya kedinginan kan? Apa dia hampir mati sampai harus terus berada diatas tempat tidur?”
Penjelasan Yasser membuat semuanya terdiam dan melanjutkan makan mereka. Yasser memang terlihat tegas saat mengambil keputusan. Bahkan dia bisa marah tanpa menatap orang lain. Sedari tadi pandangannya tidak lepas dari makanan miliknya. Seperti aku yang memandanginya tanpa henti.
“Aish, makan aja belepotan loh”, Kumala membantu membersihkan makanan di sekitar bibirku. Aku hanya tersenyum seolah aku ini masih anak-anak.
Setelah kuketahui namanya, duniaku seolah berubah. Impianku pun menjadi samar. Saat aku mengetahui satu hal tentangnya, ak selalu ingin mencari tahu yang lainnya. Senyumnya yang masih samar. Perhatiannya yang selalu disembunyikan. Kehangatannya yang berselimut salju. Aku mulai dapat menatapnya dicelah pandangannya.
“Ay, gua gak bisa nemenin lu disini malam ini. Gakpapa kan? Soalnya Maya nungguin gua”, kata Ranti yang bergegas untuk pergi. “Sampai besok guys”, sapanya sekilas lalu pergi meninggalkan ruangan dimana yang lainnya juga bersiap untuk pulang.
“Kita juga pulang ya Ay, ada urusan soalnya. Jaga diri ya, kalau perawatnya jahat langsung bilang ke kita. Ok?”, Dewi mempertemukan jari telunjuknya dengan ibu jari seolah membentuk huruf O dan ketiga jari yang lainnya dibiarkan tegak.
“Mana ada perawat jahat, aih Dewi ini. Kita pamit ya Ayu sayang”, kata Kumala.
“Eh bentar”, Kumala menatap Adi dan Yasser yang masih duduk dilantai. “Kalian berdua masih mau disini?”, tanya Kumala.
“Adi, Yasser. Kalian pulang lebih dulu juga tidak apa-apa. Aku ingin segera tidur”, kataku. Adi menatap kearah Yasser, memberikan sebuah isyarat yang aku tidak mengerti.
“Ah, ya sudahlah. Aku sama Dewi duluan ya. Bye”, Kumala dan Dewi meninggalkan ruangan yang hanya tersisa kami, aku, Adi dan Yasser.
Beberapa menit kami lewati hanya dengan saling menatap tanpa berbicara. Aku tidak mengerti apa yang mereka bahas saat berbincang berdua tapi aku benar-benar berharap mereka segera pulang malam itu. Aku sudah cukup lelah dan ingin segera tidur. Kubaca buku yang sedari tadi kupegang untuk menghilangkan kantukku. Tetapi justru buku itu membiusku, sampai akhirnya aku tertidur.
“Mas, bangun mas. Permisi saya mau ganti infus pasien”
Suara perawat itu membangunkanku. Mataku masih sedikit terbuka dan ternyata masih ditempat yang sama. Kukedipkan mataku beberapa kali untuk menormalkan pandanganku. Kupandang ke arah perawat yang sedang berdiri dihadapanku. Dia membawa peralatan dan siap untuk mengganti kantung cairan infus milikku.
“Oh adik, sudah bangun? Masih merasa pusing, dik?”
“Sudah lebih baik mbak”
“Kalau begitu saya bawakan resep obat rawat jalan ya. Kata dokter adik sudah boleh pulang hari ini. Ditunggu sampai cairannya habis saja ya, dik”, kata perawat itu yang akan meninggalkanku sendiri lagi.
“Em permisi mbak, tadi saya dengar mbak sedang membangunkan sesesorang. Kalau boleh tahu, siapa ya mbak?”
“Oh, mas-mas yang nungguin adik? Sepertinya dia masih ke kamar mandi. Saya permisi ya”, kata mbak perawat yang cantik itu sembari meninggalkan ruanganku.
Pikiranku bertanya-tanya siapa diantara Adi dan Yasser yang tinggal untuk menungguiku. Apa mungkin mereka berdua menjagaku semalaman? Ah biarlah nanti aku juga akan mengetahui siapa yang menjagaku semalaman.
Rasa penasaranku terjawab setelah beberapa menit kemudian seorang pria keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat segar dan aromanya harum. Sepertinya dia telah selesai mandi. Dan kudapati dia. Yasser. Dia menyadari bahwa aku menatapnya. Saat dia menatap ke arahku segera kualihkan pandanganku ke arah ponsel yang kugenggam. Aku berpura-pura memainkan ponselku. Mungkin dia dapat membaca wajahku yang gugup dan sedikit canggung. Dia hanya diam, berjalan melewatiku dan duduk di kursi yang dia pindahkan sedikit jauh dari tempat tidurku. Apa dia semalam duduk disebelahku saat tidur? Astaga jantungku mulai berdetak lebih kencang lagi. Kucoba mengatur nafasku agar tidak terlihat jelas bahwa aku sedang salah tingkah dihadapannya.
“Wah, kalian sudah bangun?”
“Adi?”, kataku seketika menaikkan posisi dudukku lebih tegak.
“Aku hanya ingin memberikan ini. Aku harus segera ke kelas pagi ini. Duluan ya. Nanti aku balik lagi kesini”, kata Adi sembari meletakkan makanan dimeja lalu bergegas pergi.
“Terima kasih, Adi”, teriakku. Namun sepertinya Adi tidak mendengarkannya. Dia hanya berlalu dan bergegas ke kelas paginya.
“Hah, aku rasa aku juga sudah mulai lapar”, kata Yasser berdiri dari tempat duduknya.
“Kamu nungguin aku semalaman? Kenapa tidak pulang?”
“Adi mendadak ada urusan, lalu aku harus meninggalkan beruangmu yang jatuh ke lantai?”
“Teddy? Dia terjatuh semalam?”, Yasser hanya mengangguk. Kuusap Teddy yang sedari tadi berada dipangkuanku. “Terima kasih”
“Kau tidak ada kata lain yang harus diucapkan selain terima kasih?”
“Apa?”
“Haruskah aku jelaskan?”
“Yas..?”
“Baiklah, kau sedang sakit aku tidak akan memulai. Cepat makan dan minum obatmu. Kita ada kuliah malam ini, kau tidak mau datang lagi?”, katanya dengan menyelipkan rasa kesal dikalimatnya.
“Maaf”, kataku sebelum memakan makanan yang telah dia siapkan untukku.
Yasser tidak menjawab permintaan maafku. Dia hanya terfokus pada makanannya. Aku tahu dia pasti sangat kesal karena baru saja aku mengenalnya kemarin, aku sudah memberikannya banyak masalah. Tapi kenapa dia juga harus peduli dengan Teddy yang terjatuh? Jujur saat itu aku pun kesal kepadanya karena menggunakan nada bicara yang menyebalkan. Tapi setelah kupikirkan memang aku yang menyebabkan masalah itu. Hash sudahlah terserah dia saja. Aku hanya bisa menerimanya.
Hari telah berganti malam, aku juga telah kembali ke kost dan bersiap berangkat kuliah malam itu. Adi menawariku untuk pergi kuliah bersama karena memang saatnya kuliah bersama, namun aku menolaknya. Akan lebih baik jika aku tidak merepotkan banyak orang ditempat yang jauh dari rumahku. Bandung. Aku merindukan kotaku.
Kelas malam itu kelas terasa lebih luas. Banyak mahasiswa yang tidak hadir dengan berbagai alasan. Dan sudah menjadi rahasia umum jika budaya ‘titip absensi’ masih berlaku dikalangan mahasiswa sekarang. Alih-alih setia kawan katanya. Pembahasan kuliah malam itu hanyalah pembagian kelompok mengenai pemediaan tulisan awal yang akan menjadi project kami selama satu tahun kedepan.
“Karena teman kalian ada yang baru saja sakit, maka bapak akan memberikannya pathner kerja yang memadai. Ada keluhan?”
“Tidak pak”
“Baiklah, Ayustika Rahman akan menjadi tim kerja dari Yasser Andre Irawan. Selebihnya kalian bisa memilih pasangan kalian masing-masing. Ingat, kalian harus mempertimbangkan keadaan teman kalian karena setiap tim hanya terdiri dari dua orang, pilihlah teman yang kalian nyaman bersamanya”
“Pak, maaf saya keberatan”, kata Yasser.
“Apa alasan anda menolak Ayu?”
“Saya tidak menolaknya pak. Tapi kenapa harus saya? Dia juga cukup berkompeten dibidang ini, saya rasa bukan saya yang seharusnya satu tim dengannya”
“Kalau begitu menurutmu, siapa yang pantas menjadi timnya? Atau mungkin anda sudah memiliki target tim?”
“Emm. Pak, sebenarnya saya…”
“Kau hanya beralasan”, dosenku sudah mulai menunjukan rasa kecewanya terhadap sikap Yasser.
“Maaf bapak, Ayu juga menolak permintaan bapak. Ayu sudah memiliki tim”
Kalian pasti tahu aku sedang berbohong saat itu kan? Setidaknya dosen itu tidak akan menekan keinginan Yasser. Terdengar jelas ditelingaku bahwa Yasser tidak ingin melakukannya bersamaku. Terlebih itu akan terjadi selama dua semester. Suasana kelas saat itu juga sedang tidak baik. Mungkin jika Yasser tahu aku berbohong dia akan menganggapku sok baik seperti pandanganya malam itu.
Kelas telah selesai, aku mengemasi barangku kedalam tas. Dewi, Kumala dan Ranti menghampiriku. Sepertinya mereka sudah memiliki tim. Sudah dapat ditebak jika Dewi akan berpasangan dengan Kumala, dan Ranti? Aku tidak yakin dia belum mendapatkan penawaran dari orang lain. Ranti berada diurutan 20 besar saat tes masuk, pasti dia sudah mendapatkan banyak tawaran dari orang lain. Terlebih banyak yang menyukai dirinya. Karena kelas sebelumnya aku tidak datang, aku tidak tahu siapa saja yang belum memiliki pasangan. Apa aku harus menanyai mereka satu-satu? Apa aku harus menunggu seseorang mengajakku? Tapi bagaimana mereka tahu kalau aku belum memiliki pasangan? Aku sudah mengumumkan kalau aku saat itu sudah memiliki pasangan kerja, bukan? Bodoh sekali, sekarang aku kebingungan harus bagaimana. Padahal mendengar namanya disebut bersama namaku saja aku sudah sangat bahagia. Tapi itu tidak lama. Aku sedikit kecewa.
“Ayu lu gakpapa?”, tanya Ranti.
“Ay”
“Ay”
“Ayu”, teriak Kumala.
“Ah iya?” kutatap wajah masing-masing temanku itu. Kupasang wajah ceriaku yang biasa mereka lihat.
“Ah gak jadi, yuk pulang Dew”, Kumala menggandeng Dewi dan pergi pulang bersama.
“Hati-hati ya”, kataku meneriaki Dewi dan Kumala yang hanya membalasnya dengan lambaian tangan tanpa menatap kearahku dan Ranti.
“Ran, sebenernya Yas….”
“Maaf Ay, aku sudah bersama Ranti”, sahut Yasser.
Seketika mataku terbuka lebar dan alisku terangkat. Aku sedikit terkejut, apa maksud dari ucapannya otakku menerimanya dengan makna berbeda. Kurasakan keringat mengalir dari dahiku yang jelas-jelas kami berada diruangan ber-AC, juga malam itu cukup dingin di Kota Malang.
“A? I..ya?”, kataku terbata.
“Gua satu tim sama Yasser Ay. Gua ngerasa gak enak sama lu. Lu pasti belum punya tim, kan lu baru masuk kelas ini hari ini”
“Oh, jangan katakan maaf. Kalian membuatku terlihat menyedihkan. Nanti juga pasti aku mendapatkannya”, kataku mencoba menenangkan mereka. Sebenarnya lebih kepada menenangkan diriku sendiri.
“Tentu saja, kau berada diurutan nomor 3 setelahku, siapa yang akan menyiakan kemampuan itu?”, kata Yasser mencoba menghiburku. Aku tersenyum seperti biasa. Senyumku yang tak pernah kusembunyikan sebentar saja.
“Oh ya, lu pulang sama siapa Ay?”, Tanya Ranti.
“Em, aku masih ada urusan Ran”
“Hm, yaudah gua balik dulu ya sama Yasser. See you”.
Yasser hanya menyapaku dengan senyumannya. Lagi-lagi aku tersipu. Meski perasaanku sedang tidak baik-baik saja aku masih tetap sama. Ayu yang ceria. Begitulah aku seharusnya dikenal dunia. Ayu yang selalu tersenyum dan tertawa lepas. Ayu yang melakukan apa saja asalkan dia nyaman tanpa melukai orang lain. Ayu. Aku.
Aku berjalan menyusuri jalan sepi menuju kost. Aku berbohong kepada Ranti agar dia tidak memaksakan untuk mengantarku pulang. Lagi pula aku tahu malam itu dia pulang bersama Yasser. Entah mengapa itu cukup menggangu pikiranku. Terlebih ucapan Yasser saat meminta maaf kepadaku.
“Maaf Ay, aku sudah bersama Ranti”
“Aaww”
Karena memikirkan hal tersebut, aku tidak menyadari ada lubang didepanku. Kakiku tergelincir jatuh terpeleset kedalam lubang. Kakiku tergores, lukanya cukup panjang dan berdarah karena celana yang kupakai tidak terlalu tebal. Ada benda tajam yang merobek celana beserta kakiku didalamnya. Aku mencoba mengangkat kakiku keluar dari lubang. Berhasil. Tanpa meminta bantuan aku mencoba untuk berdiri dan kembali berjalan menuju kost ku yang sudah tidak jauh.
Sesampainya di kamar kubasuh lukaku dan mengobatinya sendiri. Aku mengganti baju dan membersihkan wajahku bersiap untuk tidur. Lagi-lagi yang kupikirkan adalah Yasser. Caranya menyebut nama Ranti. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa aku berpikir sejauh itu. Namun itu bukan tidak mungkin kan? Yasser menyukai Ranti sebagai seorang perempuan.
Tanpa diminta air mataku jatuh, pipiku mulai basah. Akupun pasrah. Kubiarkan hatiku yang gelisah meluapkan air mata yang akhirnya akan menguap juga. Karena bahan bakar dari senyumku besok adalah air mataku di malam hari. Lagi pula aku senang jika dapat menangis dimalam hari menjelang tidur. Kurasaa tidurku akan lebih nyenyak setelahnya.
Kutarik selimut dan kucoba untuk memejamkan mata yang telah lelah mengeluarkan airnya. Namun ponselku tak membiarkan aku tidur lebih awal. Dia berdering memberitahukan seseorang sedang memanggilku untuk berbicara. Aku heran kenapa harus ada yang menelponku diwaktu aku ingin segera tidur. Kurasa suaraku sedang tidak seperti biasanya malam itu. Serak. Mungkin karena aku baru saja menangis. Kuraih ponselku diatas meja dan kutekan tombol agar orang yang menelponku dapat memulai pembicaraan malam itu.
“Ayu? Selamat malam”
“Iya, selamat malam”
“Ay, ini aku, Adi”
“Iya, di. Ayu tau”
“Ayu mau gak jadi timnya Adi untuk dua semester kedepan?”
“Kenapa bicara melalui telepon?”
“Tadi Adi buru-buru pulang. Jadinya gak sempat bilang ke Ayu”
“Ayu mau tidur dulu ya. Besok kita bicarakan di kelas”
“Baiklah, selamat tidur Ay”
“Iya Adi, terima kasih”
Setelah mematikan telepon dari Adi mataku kembali segar. Otakku kembali berpikir. Apa kuterima saja ajakan Adi ya? Lagi pula peringkatnya cukup bagus. Dia juga pernah menjadi penulis terbaik di SMAnya dulu. Lainnya tinggal kuolah sedikit dengan bantuannya tentu saja. Tapi apa aku bisa nyaman dengan Adi untuk satu tahun ke depan? Apa aku tidur saja ya? Mungkin saat aku bangun aku bisa mendapatkan jawabannya.
Ponselku kembali berbunyi, tidak mungkin itu pesan dari Adi karena dia tahu aku akan segera tidur. Tanpa menebak lagi kubuka bebrapa pesan yang belum sempat kubaca. Ada beberapa yang hanya spam dan beberapa lagi obrolan grup. Dan seperti pemikiranku ada beberapa pesan juga yang berasal dari teman kelasku. Mereka menawariku untuk menjadi tim dan beberapa diantaranya hanya menanyakan apakah aku sudah memiliki tim. Mungkin tujuan mereka tetap sama memintaku menjadi tim mereka. Seperti yang kalian tahu aku memang cukup populer dikelas, mungkin karena aku tidak terlalu bodoh dan aku selalu terlihat bersemangat. Aku memutuskan untuk tidur tanpa membalas satupun dari pesan mereka. Itulah alasanku mematikan pemberitahuan pembacaan pesan. Agar mereka tidak mengetahui apakah pesan mereka sudah kubaca atau belum.
Aku berusaha tidur kembali dan mematikan penggunaan data selulerku agar ponselku tidak membangunkanku kecuali alarm dipagi hari untuk berangkat kuliah.
“Ayustika Rahman akan menjadi tim kerja dari Yasser Andre Irawan”
“Pak, maaf saya keberatan”
“Maaf bapak, Ayu juga menolak permintaan bapak. Ayu sudah memiliki tim”
“Maaf Ay, aku sudah bersama Ranti”
Krrriiiiiiiiiinnnnggggg
“YAS”
Ternyata hari sudah pagi, aku terbangun dengan menyebut namanya. Kenapa? Mungkin karena aku bermimpi mengenai pembagian tim dikelas semalam. Kunyalakan data seluler ponselku untuk melihat nama-nama temanku yang mengajak menjadi teman timku. Dari sepuluh mahasiswa yang mengajakku bekerja sama aku hanya memikirkan dua nama, yaitu Adi dan Alfia. Biar aku jelaskan siapa itu Alfia. Kami saling mengenal saat hari pertama memasuki kampus yaitu hari dimana kami masih menjadi calon mahasiswa baru. Dia adalah teman pertamaku yang sebenarnya. Tapi aku belum menganggapnya teman, hanya orang yang kukenal. Rumahnya tidak jauh dari kampus, jadi dia membantuku mencari kost dulu saat aku benar-benar memilih untuk mencari ilmu disini. Setidaknya itu akan memudahkanku nantinya jika aku menjadi timnya. Aku memang tidak mudah menganggap seseorang sebagai teman meskipun dia memiliki peran yang penting, seperti Alfia. Entah nanti dia akan menjadi temanku atau tidak.
Selain Alfia dan Adi, aku menjawab pesan dari teman-temanku dengan meminta maaf agar mereka mencari teman yang lain secepatnya. Karena mulai minggu depan perencanaan sudah harus dijalankan. Begitupun aku memikirkan diriku, dengan siapakah seharusnya aku? Karena aku belum menemukan kenyamanan diantara kedua orang itu aku memutuskan untuk membuka data mahasiswa baru yang kebetulan dikelasku akulah yang memilikinya. Aku melihat resume mereka saat sebelum menjadi mahasiswa. Keduanya memang hebat dibidang jurnalistik dan pemediaan tapi keduanya juga memiliki kelemahan yang mereka tulis dalam formulir pendaftaran.
Setelah membaca seluruh resume dari kedua teman kelasku itu. Aku memilih Alfia, selain dia adalah seorang perempuan yang baik, dia lebih banyak akan menjadi temanku suatu saat nanti. Meski prestasi Adi lebih banyak dibandingkan Alfia, aku rasa jika bekerjasama selama satu tahun aku akan lebih nyaman bersama Alfia.
Alfia, Mari kita berteman
Andai mencintai adalah hal yang begitu sederhana
Seperti ucapan “Aku mencintaimu”
Tidak akan ada luka karena hati yang dipatahkan
Bahagiakupun sederhana
Contohnya
Namaku dan namamu berdampingan
Meski hanya dalam sebuah tulisan samar
nice story!! :)
Comment on chapter Kamu Siapa?