“Adi, maafin Ayu ya. Ayu satu tim sama Alfia”
Kutekan tombol kirim untuk mengirim pesanku kepada Adi. Aku berharap dia segera menemukan teman satu tim yang bisa membantunya atau lebih tepatnya bisa dia bantu. Kulewati jalan persimpangan menuju kampus. Langkahku sedikit pincang. Seingatku selain terluka kakiku juga sedikit terkilir meski tidak parah cukup menyakitkan jika harus berjalan kaki menuju kampus. Tapi bagaimana lagi, saat itu kendaraanku belum tiba di Malang. Atau sepertinya Ayah memang tidak berniatan mengirimiku sepeda motor waktu itu. Aku bahkan lupa kapan tepatnya aku mulai mengendarai sepeda motor ke kampus.
Sesampainya dikelas segera kuambil ponselku disaku tas bagian kanan. Seperti biasa, aku menirimkan fotoku dikelas kepada kedua orang tuaku. Dan seperti biasa pula, mereka tidak menjawab pesanku. Hal itu juga salah satu alasanku tidak mengaktifkan tanda pesan telah dibaca agar aku tidak tahu pesanku sudah terbaca atau belum. Jika pesanku terbaca namun tidak terbalas, itu akan melukai sedikit perasaanku. Kalian mengerti maksudku bukan?
“Ay, gimana?”
“Eh, Adi. Ayu sudah mengirim pesan ke Adi loh tadi pagi”
“Oh ya?”
“Iya, Ayu gak bisa. Maaf ya Adi seharusnya Ayu bilang lebih awal”
“Ya ampun, gakpapa. Santai aja Ayu. Ngomong-ngomong, Ayu cocok pakai rok. Hehe”
“Haha, Aamiin Adi Aamiin”
Adi memilih duduk disebelahku. Karena kelas masih sepi dan akan dimulai 30 menit kemudian, kuraih ponselku dan kutancapkan headset untuk mendengarkan musikku sendiri. Tempat dudukku tetap sama sejak awal, baris kedua dari depan bertempat didekat jendela. Meskipun berpindah ruangan akan kuusahakan mendapatkan tempat yang sama. Karena aku sangat sering jenuh ditengah materi kuliah, solusinya adalah menatap keluar jendela. Meskipun tidak ada pemandangan yang patut dibanggakan, menurutku alam diluar sana tetap terlihat menawan dari pada materi kuliah yang membosankan.
Beberapa menit telah terlewati, tidak terasa lembaran dimejaku sudah hampir penuh dengan keluh kesahku. Kelas sudah hampir penuh oleh mahasiswa dengan berbagai profile. Beberapa sibuk dengan penampilannya untuk foto dan di post diakun social media mereka. Beberapa sibuk mempersiapkan diri menemui orang-orang baru. Mereka terlihat gugup hanya untuk mengobrol dengan orang lain. Terlihat jelas bagaimana mereka memalingkan wajahnya kearah buku yang tidak benar-benar mereka baca. Begitupun aku yang lebih memilih musik dan lembar kertas yang sudah mulai penuh. Kebiasaanku adalah menuangkan keluh kesahku agar hariku lebih ringan dilakukan selanjutnya. Biarkan kertas itu membawa semua masalah yang telah kutulis lalu kubuang ketempat yang semestinya. Senyumku kembali berseri. Aku siap menghadapi siapa saja dengan cara apa saja.
“Ayu”, tiba-tiba Dewi memelukku.
“Ada apa Dew?”
“Tahu nih, lebay banget”, cetus Kumala.
“Haha gakpapa Cuma mau peluk Ayu. Ke kamar mandi yuk, sepertinya dandananku payah”
“Taruh tas dulu”, Kumala menaruh tas tepat dibelakang tempat dudukku.
“Ayu gak mau ikut?”, tanya Dewi.
“Em,, gak deh. Aku disini saja. Kalian jangan lama-lama sudah hampir datang dosennya”
“Baiklah, yuk Dew”
Aku sebenarnya ingin ikut mereka ke kamar mandi untuk menata ulang dandananku. Tetapi aku tidak ingin mencuri perhatian orang lain karena jalanku pasti pincang. Aku benci menjadi pusat pandangan, meski belum tentu mereka akan memperhatikan. Tetap saja aku tidak suka terlihat kesakitan. Orang lain pasti kasihan kepadaku.
Kelas berakhir lebih cepat karena dosen pembimbing hari itu ada keperluan mendatangi seminar khusus. Teman-temanku mengajakku untuk pergi makan siang bersama tetapi aku menolak. Alasanku tetap sama, aku masih ada urusan yang belum kuselesaikan.
“Lu kok sok sibuk sih? Kita ini masih mahasiswa baru, tugas juga belum banyak-banyak amat. Lagian tim lu aja udah pulang”, Ranti terlihat kesal. Kurasa perasaannya sedang tidak baik saat itu.
“Maafkan aku Ran tapi aku gak bisa”
“Ayolah Ayu, kita belum pernah makan siang bareng loh”, rayu Dewi
“Iya Ay, Ayo”, tambah Adi
“Em,, teman-teman….”
“Sudahlah, kenapa harus dipaksa”, kata Yasser dan langsung berlalu meninggalkan kelas.
“Ya sudah, kita duluan ya Ayu. Yok”, Kumala menggandeng Dewi dan Adi meninggalkanku sendiri.
Aku hanya dapat tersenyum memandangi punggung mereka yang mulai terlihat samar dipandanganku yang tidak sedang memakai kaca mata. Minus mataku memang tidak banyak namun pandanganku cepat memudar jika mataku lelah. Kurasa saat itu kesehatanku masih perlu beradaptasi dengan wilayah baru. Aku benar-benar ingin pulang meskipun sama saja disana aku mengurus diriku sendiri. Menghabiskan waktuku sendiri dengan ibu yang dirumah tapi seolah tak dirumah. Ayah yang selalu bekerja tapi seolah tak bekerja. Entah aku pun tidak paham dengan apa yang aku tulis sekarang. Perlahan kalian akan paham.
Kelas sudah mulai kosong kembali, hanya ada aku dan barisan kursi kosong. Aku masih belum bosan menatap langit dengan udara dingin yang menerpa wajahku. Pipiku memerah. Menyadari ada seseorang yang mengawasiku, segera kututup jendela kelas dan bergegas keluar meninggalkan kelas dengan kakiku yang membuatku seolah pincang. Aku tidak tahu siapa orang yang mengawasiku tadi, yang jelas aku sedikit gugup saat itu karena gedung terasa sepi.
Kulangkahkan kakiku sedikit lebih cepat berjalan menuju pintu lift dan sialnya tidak berfungsi. Gedung kelasku memang terkenal dengan lift nya yang sering macet bahkan pernah tidak aktif selama dua hari. Dan hal tersebut terjadi disaat-saat mendebarkan itu. Aku berusaha jalan menuju anak tangga untuk turun namun langkahku semakin lemah. Kakiku bergetar. Aku ketakutan. Andai kalian berada diposisiku mungkin kalian juga akan merasakan hal yang sama. Meski hari masih siang aku meras suasana gelap tengah malam yang mencekam. Astaga.
“Aahh”, aku terjatuh
“Kau baik-baik saja?”
Aku tidak ingat siapa yang pemilik suara itu. Aku merasa tidak asing dengan suara dan cara berbicaranya. Namun kutepiskan pikiranku untuk tertuju lagi padanya. Anehnya saatku terbangun aku berada diruangan yang berbeda. Bukan klinik kampus. Ini kamar pribadi seseorang. Itu adalah kamarku. Entah bagaimana aku bisa memasuki kamarku. Siapapun orang yang telah mengantarku pulang, dia pasti orang yang memenuhi mejaku dengan roti tawar, selai coklat dan susu. Orang itu juga yang telah membuang makanan ringanku yang tersusun rapi diatas lemari. Semuanya dibuang olehnya. Aku sempat berpikir bahwa dia seorang maling, tetapi maling tidak akan berbaik hati menggantikan makananku dengan buah-buahan dan jajanan sehat. Tetap saja aku kesal.
Hal yang lebih mengejutkan adalah, balutan lukaku yang telah diganti dan kakiku yang terkilir terasa lebih nyaman. Kurasa yang menolongku bukanlah manusia. Jika dia seorang pria, bagaimana mungkin dia bisa memasuki kamarku meskipun sekedar meletakkanku diatas tempat tidur. Ah tidak mungkin. Tapi jelas-jelas suara itu. Aih sudah kubilang aku benar-benar tidak ingin mengingatnya.
……….
“Ay, menurutmu konsep yang sesuai dengan kita yang mana?”
Alfia memulai pembicaraan setelah berjam-jam kami berdua hanya terdiam dengan kesibukan masing-masing menatap layar kaca didepan kami. Alfia sibuk memilih konsep dan aku mencari referensi dekorasi yang sedang diminati banyak orang di sosial media. Aku tidak menyesal memilih Alfia sebagai tim penulisan dan pemediaan, karena dialah yang selalu berhasil mengusir kemalasanku. Beberapa hari ini kami sering menghabiskan waktu berdua, bukan hanya membahas tugas kami tetapi hal-hal keseharian atau sekedar menonton film berdua. Menghabiskan waktu berdua dengannya tidak membuatku bosan dari pada aku hanya berdiam diri sendiri di kamar sembari menulis tulisan yang tidak pernah berani untuk ku publikasikan.
“Em,, Yang mana ya? Atau kita bikin konsep baru saja bagaimana?”
“Konsep yang seperti apa maksudmu, Ay?”
“Jadi selain kita menyuguhkan apa yang sedang pengunjung butuhkan, kita juga mengenalkan siapa kita kepada mereka”
“Coba kamu jelaskan lagi, Aku gak ngerti”
“Em, gini. Kan kita posting artikel dan tulisan-tulisan sesuai temanya masing-masing. Tetapi konsep yang kita berikan itu menggambarkan bagaimana kita sebenarnya. Contohnya aku yang selalu bersama Teddy dan kamu yang suka warna merah jambu, aku juga suka. Kurang lebih seperti itu dengan dekorasi yang bisa kamu atur sesuka kamu”
“Ya ampun Ay, seharusnya kamu bilang dari kemarin. Itu terdengar sangat keren”
“Hehe. Aku baru memikirkannya”
“Baiklah karena kita sudah menemukan konsep yang sesuai. Nanti kita mulai membagi tugas ya. Ayu mau kan jadi penulis utamanya?”
“Aku?”
“Iya, kamu Ayu. Nanti Alfia yang dekorasi dan kita kerjakan yang lainnya bersama. Setuju?”
“Baiklah. Asalkan kita sepakat selalu kerja sama”
“Siap. Em,, main yuk. Aku mendengar hari ini ada banyak diskon di pusat perbelanjaan”
“Oh ya? Ayo”
Selain teman tim yang gigih Alfia juga temanku menghabiskan uang. Dia adalah temanku yang paling pandai menikmati hidup. Meskipun begitu dia tidak pernah melewatkan tugas kuliahnya. Bahkan dia cukup aktif berorganisasi di kampus meski terkadang dia lebih memilih untuk pergi jalan-jalan bersamaku dari pada harus mendatangi rapat organisasinya. Begitulah Alfia yang kuingat. Alfia yang awalnya tidak kuanggap sebagai teman justru lebih dekat denganku daripada temanku yang lainnya. Mungkin karena kami tim kerja. Entahlah yang terpenting saat itu adalah aku senang bersama orang-orang baik yang menyayangiku.
Pusat perbelanjaan hari itu cukup ramai, kerena memang banyak potongan harga dan promo yang sangat menggugah selera terutama bagi kaum hawa. Alfia dengan semangat memilih baju yang dia inginkan. Aku lebih tertarik dengan sepatu yang tertata rapi dengan berbagai warna warninya. Kalian harus tahu, aku sering kesulitan mencari ukuran sepatu untuk kakiku karena seleraku dan ukuran kakiku tidak sejalan. Jika ukuran kakiku muat memakai sepatu feminim aku lebih memilih sepatu yang dapat dipakai disegala keadaan, kets. Dan mencari ukuran yang sesuai tidak semudah menyukainya.
“Ayu, apa baju ini sesuai untukku?”
“Heem, Alfia terlihat manis memakainya”
“Baiklah aku akan membeli ini, kembaran ya?”
“Denganku? Kamu?”
“Iya, kita”
“Ya sudah, sepatunya juga? Kamu mau?”
“Yang mana?”
“Ini”, kuambil sepatu yang sedari tadi kuinginkan.
“Ya ampun, Ayu. Selera kita sama ih. Aku juga ingin membelinya kemarin. Setuju”
Aku senang melihat Alfia seceria itu. Meski hampir setiap hari aku melihat senyumnya yang hampir sama denganku. Bahkan sebagian orang mengira kami sudah saling mengenal dalam waktu lama. Padahal belum ada satu semester aku berteman dengannya. Dia sudah membuatku mempercainya sepenuhnya. Masalahku dikelas kuceritakan kepadanya. Begitupun dia yang sering menceritakan banyak hal kepadaku. Tapi untuk disebut sahabat, aku belum bisa memberinya gelar itu.
Setelah membayar barang yang kami beli, kami menuju kafe yang berada dilantai atas pusat perbelanjaan. Saat itu ada pertunjukan dari beberapa musisi local yang sedang mengisi acara pembukaan kafe baru disana. Kami memutuskan untuk memilih kafe tersebut karena saat pembukaan pasti banyak promo disana. Dan benar, hanya dengan membeli beberapa kue kami mendapatkan minuman gratis yang dapat kami pilih sendiri dari menu yang tersedia. Masih sangat kuingat saat itu aku memesan donat oreo, coklat dan kue lapis sedangkan Alfia memesan brownies kukus dan bolu kacang. Untuk minumannya kami memilih minuman coklat dingin dengan tambahan krim dan fla stroberi diatasnya, aku lupa apa nama minumannya.
“Enak ya?”, kata Alfia sembari menikmati makanannya.
“Kamu juga suka coklat Al?”
“Ya, kita sama lagi kan? Haha”
Aku ikut tertawa bersamanya. Dia menghabiskan makanannya dengan cepat. Sepertinya dia lapar. Yang harus kalian tahu tentang Alfia, dia sangat menyukai makan tetapi bentuk tubuhnya tidak pernah melar sedikitpun. Berbeda denganku, meskipun badanku tidak terbilang gemuk, namun aku harus tetap menjaganya karena aku pernah melewati batas idealku.
Meskipun kami telah selesai menghabiskan kue kami, aku masih menikmati pertunjukan dari pengisi acara yang sedang bernyanyi diatas panggung. Alfia membiarkan aku menikmati musik yang dinyanyikan, karena dia tahu aku sangat menyukai musik. Dia pun menyibukkan diri dengan ponselnya. Penampilan selanjutnya merupakan penampilan dari musisi kampusku. Aku sangat penasaran saat nama kampusku disebut. Apa aku mengenal pengisi acara tersebut?
“Ha? Apa mungkin senior kita memiliki grup musik?”, kata Alfia
“Entahlah, mereka menyebut jurusan kita”, kataku menunggu pengisi acara tersebut menaiki panggung.
“Hahhh? Astaga Ayu, itu kan…”
“Yas?” mataku membulat, mulutku terbuka namun tidak sampai menganga.
“Ya ampun, Tino terlihat tampan sekali”
“Mereka teman sekelas kita kan?”, kataku hamour tidak percaya.
“Ayu, diamlah. Aku ingin membuat video penampilan mereka. Bagaimana bisa Tino terlihat sangat mempesona”
Satu lagi yang harus kalian tahu, Alfia menyukai Tino. Tetapi bukan menyukai untuk menjalin sebuah hubungan asmara, dia mengaguminya. Tino cukup tampan, wajahnya tidak menggambarkan bahwa dia adalah mahasiswa lokal. Wajahnya terlihat seolah perpaduan India dan Amerika. Sekilas dulu kukira dia hasil persilangan. Haha, ternyata dia mahasiswa lokal yang lahir di Kota Bogor. Dan jujur aku pernah sempat tertarik oleh Tino karena pandangan mata. Namun hanya sekejap saja, kalian bahkan lebih tahu siapa yang mencuri perasaanku.
Yasser terlihat begitu berbeda diatas panggung, dia memainkan gitar dan mengisi suara disela suara Tino sebagai vokalis utama band tersebut. Yasser benar-benar kembali mencuri perhatianku. Setelah beberapa hari aku tidak berbincang dengannya kurasa aku bisa perlahan menghilangkan perasaanku padanya. Ternyata debaran dijantungku semakin kuat. Apa benar aku benar-benar menyukainya?
Setelah penampilan mereka selesai, Alfia dengan sengaja melambai ke arah mereka. Adi menyadari lambaian tangan Alfia. Adi mengajak Tino dan Yasser untuk untuk bergabung bersamaku dan Alfia. Pandanganku masih tetap sama, tertuju kearah Yasser. Entah mereka menyadari atau tidak, bahkan aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan sehingga mereka terlihat menertawakan sesuatu.
“Ya kan Ay?”, kata Alfia memecahkan lamunanku.
“Ah? Oh iya”
Meski aku tidak tahu apa yang dikatakan Alfia aku mengiyakan begitu saja. Tidak lucu jika mereka tahu bahwa sebelumnya aku hanya memandang ke arah Yasser yang bahkan tidak tersenyum sedikitpun kepadaku. Dia sedang mengobrol dengan Tino, entah membahas apa. Aku tidak mempedulikannya.
“Setelah ini kalian akan kemana?”, tanya Adi.
“Kurasa aku mau pulang, aku lapar”, kata Alfia.
“Bukankah ini bekas makan kalian?”, tanya Tino.
“Ah, kurasa Ayu yang menghabiskannya. Haha”
“Haha Adi, kamu ini. Suka benar. Haha” kataku.
“Apa kita makan siang bersama?”, ajak Tino.
“Boleh.. Boleh.. Mau banget”, kata Alfia.
“Hah? Makan lagi? Ayu gak mau”, kataku.
“Biar aku yang bayar”, kata Yasser.
“Wah bro. Berangkat”, kata Adi sembari berdiri dari tempat duduknya.
Semuanya telah berdiri kecuali aku. Aku benar-benar kenyang saat itu. Alfia terus saja merengek kepadaku dan membuatku tidak tega, akhirnya kami berlima pergi bersama menuju tempat makan yang berada di lantai bawah pusat perbelanjaan tersebut. Saat mereka semua memesan makanan berat untuk makan siangnya, aku hanya memesan jus buah dan jeli. Aku menyukainya.
“Ayu, gak mau pesan makan? Nanti sakit lagi”, goda Adi.
“Kau lihat piring kosong diatas meja tadi? Bukankah dia yang telah menghabiskannya. Aku akan terkejut jika tahu dia memesan makanan berat”, kata Yasser.
“Haha. Kalian percaya? Ayu tidak mungkin menghabiskan semua itu sendirian”, kata Tino.
“Haha, kurasa memang aku yang menghabiskan semuanya”, kataku sambil melirik kearah Alfia.
“Ah, Ayu”, kata Alfia melanjutkan memakan makanannya.
Selesai memakan makanannya masing-masing mereka mengobrolkan sesuatu yang menurutku membosankan. Mereka mengenalkan diri mereka, apa yang mereka suka, apa yang mereka tidak suka serta menyelipkan sedikit kata-kata lucu untuk memecahkan suasana.
“Yasser sama Ayu diam saja dari tadi. Kalian saling suka ya?”, rayu Adi.
“Mana mungkin? Aku menyukai orang lain, sayang saja dia sedang tidak disini”, kata Yasser.
“Wah aku tahu itu pasti Ranti kan? Haha”, kata Tino.
“Kau seorang peramal? Haha”, kata Yasser.
Mereka tertawa kecuali aku. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang kudengar. Dia yang telah mengalihkan duniaku seketika membalikan semesta yang kubangun sendiri. Taman yang kupupuk setiap hari hanya dengan mendengar namanya dikelas telah tersiram cairan yang meracuninya hingga layu. Aku bingung harus menutupinya dengan cara apa. Tidak biasanya aku terdiam saat sekitarku penuh tawa.
“Ah, teman-teman. Sepertinya aku harus ke kamar mandi”, kataku seketika meninggalkan mereka menuju kamar mandi.
“Selalu saja kamar mandi yang dia datangi”, kata Alfia.
“Haha”
Aku mencoba menenangkan diriku didalam kamar mandi. Kupejamkan mata dan kuatur nafasku serapi mungkin. Namun gagal. Air mataku lebih kuat menerobos kelopak matakku yang sedang terpejam daripada dinding kokoh yang kubangun bersebelahan dengan semesta yang Yasser ciptakan di hatiku. Aku yang membangunnya dan dia menghancurkannya. Kutatap wajahku didepan cermin, terlihat disana maskara dimataku luntur dan mengotori pipiku. Aku pun mengirim pesan kepada Alfia agar mereka tidak menungguku terlalu lama.
“Al, aku bertemu dengan temanku disini. Kurasa kalian bisa pulang lebih dulu. Kutitipkan barang-barangku padamu ya. Akan kuambil nanti saat aku pulang”
“Baiklah, jangan terlalu lelah”, balasnya.
Setelah membaca pesan dari Alfia aku mulai tenang dan kembali mengurung diri didalam kamar mandi. Hanya aku berdua disana bersama Teddy. Kupeluk erat Teddy yang begitu mungil. Aku lega setiap saat mencium aroma Teddy yang sebenarnya adalah aromaku. Kami menggunakan parfume yang sama. Aku menceritakan apa yang kurasakan kepadanya. Dia hanya terdiam namun aku sudah merasa lega. Terima kasih Teddy.
Setelah lega dengan perasaanku dan telah memperbarui riasan diwajahku. Aku keluar dari kamar mandi. Hal yang tidak terduga terjadi disana. Aku bertemu dengan Ranti.
“Ranti”
“Eh, Ayu. Lu sendiri?”
“Iya, tadinya aku bersama Alfia tapi aku ada urusan, sepertinya dia pulang lebih dulu”
“Ah, gak kok. Itu Alfia masih disana sama anak-anak. Ayo gabung”
Bagaimana mungkin aku bisa menolak saat aku telah mengatakan bahwa aku sedang sendirian. Akhirnya aku kembali lagi ke tempat sebelumnya aku meninggalkan mereka. Dan benar mereka bsemuanya belum pulang. Bahkan ada Dewi dan Kumala disana. Aku kira hari itu bukanlah hari perkumpulan jurusan jurnalistik. Namun disana terdapat delapan calon penulis hebat. Namun pembahasan mereka pasti melenceng jauh dari materi perkuliahan. Tentu saja kenapa harus membahas hal semacam itu diluar jam perkuliahan.
“Oh Ayu. Kau kembali”, sapa Yaseer.
“Iya gua nemuin dia tadi, nyelip ditas. Haha”, kata Ranti
“Haha”
“Teman-teman. Apa kita sedang kerja kelompok? Haha. Kita semua bertemu disini”, kataku sembari duduk dikursi kosong yang berdampingan dengan Ranti.
“Ini kan harinya Yaseer. Seneng tu duduk sebelah Ranti”, goda Adi.
“Haha”
“Loh? Yasser kenapa sama Ranti?”,tanya Kumala.
“Naksir”, sahut Alfia.
“Wah jadian nih?”, kata Dewi.
“Haha. Apaan sih kalian. Gua gak ada apa-apa sama Yaseer. Ya kan Yas?”
“Belum”, kata Yasser.
Aku berharap kalian tidak pernah berada diposisiku saat ini. Perasaanku benar-benar diuji. Tetapi setidaknya aku sudah bisa menguasai emosiku. Aku bahkan dapat tertawa bersama mereka. Bahkan lebih. Aku terlihat lebih ceria daripada sebelumnya. Namun tanganku sebisa mungkin meraih Teddy untuk menenangkan perasaanku yang sebenarnya tidak baik-baik saja.
“Yasser terus ya yang dibahas. Adi sama Tino gimana?”, kataku.
“Iya nih. Bosen. Haha”, kata Ranti.
“Kalian juga suka sama anak kelas?”, tanya Alfia. Adi dan Tino seketika tersedak minuman secara bersamaan.
“Yak, yak. Salah tingkah”, kata Dewi.
“Anaknya ada disini nih pasti”, kata Kumala.
“Haha”
“Kamu suka sama aku, Tin? Haha”,kata Alfia.
“Idih. Haha. Iya anaknya disini”, kata Tino.
“Jangan bilang lu juga suka ke gua. Haha”, kata Ranti.
“Haha. Adi dulu dong”
“Iya Adi kok diam?”, kataku.
“Barengan saja bagaimana? Biar gak terlalu jelas. Malu. Hehe”, kata Adi.
“Haha. Ya sudah Ayu yang menghitung ya”, kata Alfia.
“Baiklah”
“Satu”
“Dua”
“Tiga”
“Ayu” kata mereka bersamaan.
Seketika kami diam untuk beberapa detik. Kurasa aku yang paling terkejut disana. Jelas-jelas aku mengetahui Alfia menyukai Tino meskipun hanya sekedar kagum. Aku mencoba tertawa untuk memecahkan kecanggungan diantara kami. Aku benar-benar berharap kalian tidak pernah berada di posisiku. Sekali lagi, jangan. Yang lainnya pun ikut tertawa bersamaku dan menganggap seolah itu semua adalah lelucon. Kecuali aku. Aku tidak pernah menganggap ini lelucon. Karena ini menyangkut perasaan orang lain, aku harus lebih berhati-hati untuk menyikapinya.
Karena Alfia harus pulang terlebih dahulu, aku memutuskan untuk pulang menggunakan ojek online. Namun Adi memaksaku untuk membatalkannya, mereka masih ingin aku bermain bersama mereka bertiga. Tersisa aku, Adi, Tino dan Yasser. Aku berusaha menolak karena menjadi satu-satunya perempuan disana tetapi seingatku aku mengiyakan ajakan mereka. Kami pun pergi berempat meninggalkan pusat perbelanjaan. Hari itu kami memutuskan untuk pergi ke taman hiburan.
“Jangan diam saja Ayu”, kata Tino.
“Kalian yang memaksaku untuk ikut. Seharusnya aku sudah tertidur pulas di kamar”, kataku.
“Kau ingin aku mengantarmu pulang? Sekarang juga sudah terlalu sore untuk bermain”, kata Yasser.
“Tidak, meskipun kamu yang menyetir. Kamu gak boleh membuat keputusan sendiri. Kita sedang bermain bersama jadi harus ada persetujuan dengan yang lain”, kata Adi.
“Setuju”, kata Tino.
“Jika dia sakit lagi, kalian yang harus mengurusnya”, kata Yasser.
Adi dan Tino tertawa dengan sikap Yasser. Wajah Yasser memerah menahan amarah tetapi akhirnya dia ikut tertawa bersama teman-temannya. Aku larut dalam tawa mereka, kupandangi satu persatu para pria dihadapan dan sampingku. Mereka terlihat bahagia bersama. Inilah yang membuatku senang dengan pertemanan para pria. Mereka tidak akan semunafik perempuan saat bersama ataupun tidak. Atau mungkin aku salah.
Ditaman hiburan, kami menaiki banyak wahana. Salah satunya adalah biang lala. Setelah itu aku baru tahu bahwa Adi takut ketinggian. Dia yang paling histeris saat menaiki wahana ketinggian seperti biang lala dan perahu terbang. Kami menertawainya namun dia tak berhentinya menggerutu yang bahkan aku tidak paham dia sedang berbicara apa saja. Yang aku paham dia sedang ketakutan. Selain Adi aku juga mulai mengenal Tino, dia menyukai semua wahana permainan yang kami coba. Dia paling bersemangat saat melakukan panjat tebing. Diantara mereka bertiga yang mencoba memanjat, Tino adalah yang paling cepat. Mungkin karena tubuhnya paling tinggi diantara mereka. Kalau soal Yasser sebenarnya aku tidak ingin terlalu membanggakannya. Aku takut kalian menjadi menyukainya juga sama sepertikku. Dia yang terbaik. Dia tertawa lepas saat melakukan semuanya. Meskipun dia kalah cepat saat panjat tebing tapi dia penembak yang jitu. Bahkan dia berhasil mendapatkan boneka untukku. Sebenarnya dia tidak berniat memberikannya padaku. Adi dan Tino lah yang memintanya dan memberikannya kepadaku. Disitulah Teddy mendapatkan teman barunya. Donat.
“Ayo kita masuk terowongan hantu”, ajakku.
“Kau tidak takut?”, tanya Yasser.
“Kamu takut?”, tanyaku.
“Apa yang membuatmu takut, bro?”, kata Tino.
“Aku tidak takut”, kata Yasser.
“Baiklah. Lets go.”kata Adi mendorong kami dari belakang.
Terowongan hantu memang sedikit lucu jika dilihat dari luar. Aku tertarik memasukkinya karena tidak perlu berjalan, kami hanya akan menaiki perahu dan menyusuri terowongan panjang. Aku rasa bisa melepas lelahku disana. Ternyata tidak. Aku ketakutan. Aku duduk berdampingan dengan Yasser. Adi dan Tino berada perahu depan. Aku biarkan Yasser yang mengemudi perahu dan aku sedikit membantu mengayuh agar perahunya bergerak. Jantungku dapat diatur kali ini. Mungkin karena sudah terlalu lelah dan cukup sering ku gunakan untuk bersenang-senang, dia tidak berdetak sepecat biasanya aku bersama Yasser. Atau mungkin perasaanku mulai memudar mengetahui Yasser menyukai Ranti.
“Kenapa kita tidak balapan saja? Haha” kata Adi.
“Terowongan ini sempit. Mana mungkin bisa”, kata Tino.
Mereka mengayuh lebih cepat dari perahuku dengan Yasser, aku sudah mulai lelah dan akhirnya kakiku berhenti mengayuh ditengah perjalanan. Terowongnnya benar-benar gelap dengan gambaran-gambaran seram didindingnya. Seingatku ada suara-suara hantu juga disana, namun boneka bergerak tidak banyak kujumpai. Apa karena aku sempat tertidur beberapa saat. Haha iya aku benar-benar tertidur beberapa saat. Tetapi saat terbangun aku masih berada didalam terowongan bersama Yasser sementara perahu Adi dan Tino sudah tidak terlihat.
“Kau tahu jalan mana yang harus kita pilih?”
“Ha?”
“Aku rasa kita tersesat”, kata Yasser.
“Kamu bohong kan? Aku tidak sedang tertidur kan barusan?”
“Kau tertidur kebih dari lima belas menit dan kita kembali kesini”, kata Yasser yang mulai panik.
Aku mencoba mencari ponselku ditas kecil yang kupakai namun ponselku telah mati kehabisan daya. Tentu saja seharian aku tidak mengisi dayanya dari pagi hingga malam. Yasser bahkan meninggalkan ponselnya di mobil. Aku mulai panik dan takut mendengar suara-suara hantu meski aku tahu itu tidak nyata.
“Wahana akan segera ditutup dalam tiga puluh menit. Bagi para pengunjung diharapkan untuk meninggalkan taman hiburan.”
“Ah, tidak. Ini tidak boleh terjadi. Permisi apa ada orang disana? Tolong kami tersesat”, teriakku.
“Tenanglah. Adi dan Tino akan mencari kita”, kata Yasser yang hanya terdiam di tempat duduknya
“Tenang katamu? Aku sudah mulai kedinginan dan ketakutan. Kamu menyuruhku tenang? Hah”, kataku yang mulai kesal dengan sikap dingin Yasser kepadaku. Dia tersenyum dan tertawa kepada teman-temannya tapi tidak padaku.
“Pakailah”, katanya sembari memakaikan jaketnya kepadaku.
Dan lagi-lagi jantungku bereaksi seperti biasanya. Berdetak lebih kencang. Wajahku memanas, pipiku pasti merah. Aku menyentuh pipiku dengan kedua tanganku untuk menutupi merona di pipiku. Yasser tertunduk lesu. Dia bersandar pada sandaran perahu dan membuat badannya senyaman mungkin. Perlahan matanya terpejam. Aku tahu dia tidak benar-benar tidur. Ia hanya menghindari obrolan panjang denganku. Aku mulai benar-benar takut. Kutatap jam tangan di dipergelangan tangan kananku, waktu sudah menunjukan pukul 8:48. Dua belas menit lagi taman hiburan akan ditutup. Kuraih tas kecilku dan kuambil korek api didalamnya. Aku benar-benar ketakutan. Kunyalakan korek api dengan tangan kananku. Yasser membuka matanya dan terkejut dengan apa yang aku lakukan.
“Kau merokok?”, katanya.
“Aku… Aku… Hiks”
Aku menangis. Malam itu pertama kalinya aku menangis dihadapan seorang pria. Hanya berdua. Yasser sedikit kebingungan kenapa aku menyalakan korek lalu menangis.tapi tanpa sedikitpun kata dia tidak mencoba menenagkanku. Aku terus saja menangis berharap teman-temanku yang lain menyusulku dan membawaku pulang.
Suara hantu didalam terowongan sudah tidak berbunyi. Lampu-lampunya pun telah padam. Aku semakin ketakutan dan mengencangkan tangisanku. Kurasa Yasser juga mulai kebingungan. Dia beberapa kali memukulkan tangannya pada kemudi perahu dan mengumpat.
“Maaf, seharusnya aku mengantarmu pulang tadi. Aih, kemana dua berandalan itu? Apa mereka tidak menyadari kita disini? Bagaimana mereka bisa pulang jika aku disini?”, katanya sedikit serak seolah dia menahan amarah atau lebih tepatnya tangisan.
Aku menatap kearahnya yang terlihat kesal. Terowongan benar-benar gelap, kurasa mereka tidak akan mencari seseorang dengan keadaan gelap. Perahu kami sedikit goyah seperti terhantam sesuatu. Aku yang sudah mulai tenang kembali terguncang dan menangis.
“Heks heks. Aku ingin pulang. Ibu. Ayah”
“Tenanglah”
Yasser mulai mengayuh perahu kami lagi. Mencoba melewati jalan yang tadinya kami lewati. Namun gagal, kami tetap kembali ke tempatku menangis tadi.
“Kau mau menangi lagi? Menangislah”, katanya.
Aku hanya terdiam mendengar Yasser membentakku. Kupeluk erat Teddy dan Donat yang semula duduk diantara kami. Kunyalakan kembali korek api yang sempat padam. Ibu jariku melai lecet karena beberapa kali menyalakn korek api. Beberapa saat kemudian korek apiku mati kembali. Besi pemutar apinya juga mulai memanas, aku tetap mencoba menyalakannya. Sepertinya Yasser menyadari tanganku yang mulai berdarah. Direbutnya korek api dari tangankku. Dia menyalakannya untukku.
Dari kejauhan aku melihat seseorang menyalakan lampu. Aku pun mencoba berteriak dan meminta tolong. Cahaya itupun terlihat semakin dekat.
“Ayu?”
Kudengar suara Adi disana. Aku pun menjawab panggilannya sambil melambaikan tangan. Yasser berteriak memanggil nama Adi dan Tino. Aku berusaha berdiri agar terlihat oleh Adi. Namun sialnya aku terpeleset dan terjatuh kedalam air.
“Aaa”
“Ayu”
Aku berusaha berenang, tetapi airnya begitu dingin membuat kakiku lemas dan tidak dapat bergerak. Aku mendengar orang-orang mencemaskanku. Aku tidak bisa tenang dan akhirnya aku pasrah. Badanku kedinginan. Tapi aku masih bisa mendengar sepertinya ada yang sedang masuk ke air untuk menyelamatkanku. Namun setelah itu aku sudah tidak ingat lagi. Sepertinya aku pingsan.
“Ayu”
“Ay”
“Permisi mas”
“Mbak.. Mbak.. Mbak dengar saya?”
Aku mendengar orang-orang sedang memanggil namaku. Aku tersadar dan mendapati mereka sudah mengelilingiku. Kulihat Yasser sedang mengeringkan rambutnya. Adi dan Tino tepat berada dibelakang perempuan yang membangunkanku. Mereka terlihat sangat cemas. Hanya Yasser yang kurasa tidak mencemaskanku. Aku bahkan ragu dia menolongku karena mengkhawatirkanku. Aku mencoba berdiri namun kakiku masih belum bisa banyak bergerak. Selain karena kedinginan, luka dikakiku juga sepenuhnya kering membuatnya semakin nyeri.
“Biar aku bantu”, kata Adi.
“Pakai ini, kau pasti kedinginan”, kata Tino sembari memasangkan jaket kebahuku.
Yasser berjalan melewatiku dan masuk kedalam mobil tanpa mengucapkan apapun. Adi dan Tino membantuku berjalan ke mobil. Aku mulai merasa canggung setelah mendengar pengakuan mereka, namun aku berusaha biasa saja. Aku menganggap apa yang mereka ungkapkan bukanlah perasaan mereka yang sebenarnya.
“Biar aku saja yang mengemudi, kamu pindah ke belakang”, kata Tino kepada Yasser. Yasser mengiyakan.
“Ayu masih bisa pulang ke kost?”, tanya Adi.
“Sepertinya tidak, poselku mati. Aku tidak bisa menghubungi teman-teman kost”
“Ayu mau tidur di kostku?”, kata Tino.
“Wah.. Wah.. memangnya bisa perempuan masuk ke kostmu?”, kata Adi.
“Haha. Sepertinya semua kost perempuan sudah tutup. Tidak ada salahnya mencoba, kostku bisa terbilang sedikit bebas”, kata Tino.
“Biar dia mejadi urusanku. Jalan saja ke kost kalian terlebih dulu”, kata Yasser.
“Ah, tidak. Dia akan membuangku”,kataku.
“Haha. Jadi Ayu mau ke kost Tino saja?”, kata Adi.
“Tidak”, kataku bersamaan dengan Yasser.
“Haha”
Adi dan Tino menertawakanku. Wajahku mungkin memerah saat itu, aku benar-benar kesal. Entah mengapa aku sangat kesal denga sikap Yasser yang sangat dingin namun dia berpura-pura peduli padaku. Atau mungkin sebaliknya.
Kost Tino dan Adi bersebelahan tidak terlalu jauh. Setelah mengantarkan mereka pulang, Yasser mengambil alih untuk mengemudikan mobilnya menuju tempat dimana dia aka memberikanku tempat tidur. Aku sama sekali tidak berpikiran buruk kepadanya. Aku hanya menahan kesal saja yang terus saja memaksaku untuk diam. Begitupun dia, membawaku pergi tanpa isyarat tempat tujuan.
Tidak lama kemudian, Yasser menghentikan mobilnya didepan rumah yang berdampingan dengan rumah makan. Rumah berwarna putih berpagar hitam dengan halaman yang tidak terlalu luas. Aku mulai merasa canggung. Dimana dia membawaku pergi? Namun gengsiku memaksaku untuk tetap diam dikursi penumpang meski Yasser telah membukakan pintu untukku. Meski aku tahu diluar sangat dingin, aku membiarkan Yasser yang masih dalam keadaan basah berdiri sedikit lebih lama dipintu mobil. Aku hanya menunggunya berbicara padaku.
“Kau mau aku membeku? Cepat keluarlah dan masuk kedalam rumah”, katanya
“Ini apa?”
“Masuklah”
“Tolong jawab pertanyaanku”
“Kak Andre…”
Belum sempat mendapatkan jawaban darinya. Tiba-tiba seorang gadis kecil berlari menghampiri Yasser. Yasser menolak untuk dipeluk oleh gadis itu, karena baju yang dikenakannya masih basah. Gadis itu sedikit kecewa. Pipinya menggembung, hidungnya sama seperti Yasser. Hanya saja dia canti, dengan rambut panjang yang di kepang dua.
“Yefa masuk rumah dulu ya. Nanti kakak menyusul”, kata Yasser
“Baiklah. Kakak main ke kamar Yefa ya. Ceritain Yefa”
“Tentu saja”
“Yeeeyy. Yefa masuk dulu ya kak”
“Aku tidak mau masuk ke rumahmu”, kataku
“Baiklah, kau tidur saja di mobil”
Yasser menutup pintu mobil dan meninggalkanku. Aku sedikit ketakutan melihat sekitar rumah yang sepi. Rumah makan dekat rumah itu gelap, sepertinya sudah tutup. Kulihat dibelakangku, perkebunan gelap yang menyeramkan. Aku mulai merasakan bulu tanganku berdiri. Kucari korek api dalam tasku tetapi tidak ada. Kuraih Teddy dan kupeluk erat bersama Donat. Aku hampir menangis namun masih bisa kutahan. Malam itu aku mendengar suara anjing, dan benar anjing depan rumah Yasser menggonggong kearah yang berlawanan denganku. Seketika aku memejamkan mata dan berdoa.
‘Tok tok’
“Aaaaaaa”
“Kau kenapa?”
Yasser membuka pintu mobil, tanpa permisi aku memeluk tubuh Yasser yang telah mengganti pakaiannya. Aku benar-benar ketakutan dan aku rasa saat itu aku tidak bermaksud memeluknya. Entah sengaja ataupun tidak, itu adalah kesalah kesekian kali yang kulakukan padanya. Bajunya kembali basah karena pelukanku. Dia melepaskan pelukanku dengan sedikit paksaan. Aku menangis. Lagi.
“Ada apa denganmu?”
“Aku takut”
“Cengeng sekali”
“Huuuaaaa.. Hiks hiks”
“Ikut aku”
Akhirnya aku mengikuti Yasser. Dia menggandeng tanganku melewati halaman rumah menuju ruang tamu. Rumahnya terasa sangat sepi, mungkin karena hari sudah malam. Kurasa semuanya telah tertidur termasuk adiknya. Dia membawaku ke sebuah kamar. Tidak terlalu berantakan jika itu adalah kamarnya, dindingnya berwarna biru dengan hiasan bintang dilangit-langitnya. Ternyata dia memiliki sisi seperti ini. Jantungku terjebak lagi dengannya.
“Mala mini, tidurlah disini. Ganti bajumu terlebih dahulu. Aku sudah menyiapkannya dikamar mandi”
“Terima kasih”
“Baiklah aku tinggal”
“Kemana?”
“Kau mau aku tidur disini bersamamu?”
“Ha?”
“Isi daya ponselmu. Jangan letakkan bonekamu di atas tempat tidur. Mereka basah”
“Tapi aku tidak bisa tidur tanpa Teddy”
“Keringkan terlebih dahulu. Aku pergi”
“Tunggu”
“Baiklah aku juga tidur disini”
“Bukan begitu maksudku”
“Kau terus saja menahanku untuk pergi”
“Kamu mau berbicara denganku? Ada yang ingin kutanyakan”
“Katakan saja”
“Saat tadi di taman hiburan apa kau menemukan korek apiku?”
“Tidak. Cepat ganti pakaianmu dan tidur”
Yasser meninggalkanku sendirian dikamar itu. Aku pergi mandi dan memakai pakaian yang disediakan Yasser untukku. Aku yakin itu adalah bajunya, aromanya sama dengannya. Sangat besar kupakai namun nyaman. Ku keringkan bonekaku dengan hairdryer dan menruhnya di atas tempat tidur tepat disampingku. Aku memtikan lampu dan membaringkan tubuh diatas tempat tidur. Kupandangi langit-langit kamar dengan bintang-bintang yang mulai menyala. Dinding langit berwarna biru dengan bintang berwarna toska membuatku kembali jatuh kepada Yasser. Ini bulan kedua aku mengenalnya, namun kurasa sudah ratusan kali aku terjatuh kepadanya.
“Cantik ya bun”
“Seperti Yefa”
Mataku kupaksakan untuk terbuka. Aku mendengar suara anak kecil dan ibunya berada tidak jauh dari telingaku. Saat pandanganku mulai terang, aku benra-benar terkejut.
“Hah?”
“Astaga. Kamu sudah bangun?”
“Hehe. Tante?”
“Jangan panggil tante”
“Dia bundaku, panggil dia bunda”
“Ah, iya tante”
“Kenapa masih panggil tante?”
“Hehe”
“Bunda membangunkanmu terlalu pagi ya? Yefa yang membawa bunda kemari”
“Ah, tidak bun. Seharusnya Ayu sudah bangun lebih awal”
“Yefa lapar, bun”
“Wah anak bunda sudah lapar? Ajak Kak Ayu sarapan. Bunda kedapur dulu ya. Ayu menyusul ya, kita sarapan bersama”
“Iya, ayo kak”
“Yefa duluan ya”
“Yefa mau nungguin kakak”
Bunda Yasser meninggalkanku bersama Yefa. Aku bergegas mencuci muka dan merapikan rambutku. Kupoles wajahku dengan sedikit bedak dan pelembab wajah. Yefa menggandengku menuju ruang makan. Semua telah duduk di kursi meja makan. Yasser menatap kearahku, aku tertunduk malu. Aku tersenyum menyapa ayahnya dan kujabat tangannya untuk menghormatinya. Kuberikan senyumku kepada abang Yasser. Yonald namanya.
“Eh, Ayu sudah disini”
“Biar Ayu bantu tante”
“Jangan”
“Iya tante?”
“Jangan memsnggil tante”
“Ah iya. Ayu bantu ya bun”
“Wah bunda dapat menantu nih”,kata Beni.
“Ayah juga dong”, kata Ayah.
“Yefa lapar”
“Haha”
“Sebentar ya sayang. Menantu bunda masih membuat sayur”
“Ah bunda..”,kataku
“Bunda jangan menggodanya”,kata Yasser.
“Bunda lihat? Suaminya marah”, kata Ayah.
“Ayah”
“Haha”
Semuanya tertawa kecuali aku dan Yasser. Aku hanya tersenyum malu. Aku benar-benar tersipu. Kurasakan pagi itu sangat hangat bersama mereka. Selesai memasak dan menghidangkannya di meja makan aku turut makan bersama mereka. Larut dalam tradisi mereka menunggu Ayah selesai mencoba makanan, jika Ayah sudah memepersilahkan makan maka semuanya mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. Aku masih canggung tetapi aku menyukainya.
Ditengah makan bersama ponsel Yasser berbunyi, aku melihat ada nama Ranti di layar ponselnya yang berdering. Kulanjutkan makanku tanpa memperdulikan Yasser yang meninggalkan meja makan untuk mengangkat telpon dari Ranti. Tak lama kemudian dia kembali duduk di kursinya. Disebelahku.
“Aku sudah selesai, aku harus pergi”, kata Yasser.
“Kalian mau kemana? Ini kan hari minggu”, kata Beni.
“Kalian berkencan?”,kata Bunda.
“Apa aku akan segera menjadi kakek?”
“Haha”
“Ayah, Bunda, Abang, ada apa dengan kalian? Saat teman abang kemari tidak diperlakukan seperti ini. Ayo Ay, kuantar pulang”
Yasser meninggalkan meja makan dengan amarahnya yang cukup besar. Kurasa dia tidak setuju dengan semua kalimat yang ditujukan padanya. Tentu saja itu akan berbeda jika aku adalah Ranti. Benarkan?
“Permisi, Bunda, Abang, Om”,kataku.
“Ayah”, bisik Ayah Yasser.
“Hehe”
Aku kembali ke kamar dan mengambil barang-barangku. Yasser telah menungguku didepan pintu. Kali ini kami menaiki sepeda motor yang biasa digunakannya ke kampus. Dia melaju cukup cepat menuju kostku. Tanpa percakapan panjang Yasser meninggalkanku tepat didepan pintu gerbang kost. Aku bersikap ceria kepadanya seperti diriku biasanya. Aku tahu dia akan menemui Ranti.
Belum sampai memasuki gerbang kost, ponselku berbunyi. Adi menelponku mengajakku keluar bersamanya. Dia memintaku mengantarkannya membeli sesuatu, aku lupa apa yang ingin dia beli. Seingatku aku menolaknya dan memutuskan untuk tidur seharian hari itu.
Bukankah sebelum kita bertemu semua baik-baik saja?
Bahkan tanpa saling mengenal
Tetatpi
Mengapa sekarang harus takut?
Jika harus tidak bertemu dan bertegu sapa
Namun
Aku jauh lebih takut untuk menyadari
Jantungku memilihmu
Berdetak lebih cepat didekatmu
Dan benar-benar
Aku mulai merasa takut
nice story!! :)
Comment on chapter Kamu Siapa?