Matanya mengembara ke segala arah dengan was-was, meski tubuhnya terlihat begitu mengingil karena kedinginan namun anehnya keringat tidak berhenti mengalir dengan deras dari pelipis gadis yang saat ini tengah bersembunyi di balik salah satu pohon besar yang ada di hutan kelam itu.
Tubuhnya tidak terlihat dengan jelas karena tertutupi oleh rimbunnya semak yang tumbuh di sekitar pohon tersebut, tubuhnya yang terbilang mungil dan tidak sesuai dengan standar usianya yang menginjak dewasa secara otomatis dapat tertutupi dengan sempurna. Sambil mengepalkan tangan dengan kuat-kuat sampai kuku jarinya terlihat memutih, gadis yang sedari tadi berjongkok itu tidak berhenti komat kamit mengucapkan sebuah kalimat dengan begitu cepatnya
“Semoga ini bukan di hutan Aokigahara, semoga ini bukan di hutan Aokigahara, semoga ini bukan di hutan Aokigahara.”
Note: Aokigahara merupakan sebuah hutan kematian yang sangat terkenal sebagai salah satu tempat angker, karena merupakan lokasi yang digunakan sebagai tempat bunuh diri.
Kalimat yang dari sejam lalu digumamkannya dengan nada begitu rendah –sehingga hanya bisa didengarkan oleh telinganya sendiri—tersebut terus diulang-ulangnya, meski sebenarnya ia sendiri tidak yakin hal tersebut akan merubah kenyataan yang sedang dialaminya.
Atau jikapun benar hutan yang kini tengah dipijaknya merupakan bagian dari hutan Aokigahara, ia juga tidak yakin kalimat yang telah diucapkannya berulang kali itu dapat mengubah kenyataan yang mungkin saja benar adanya.
Sebenarnya dimanapun ia berada saat ini, harapan yang ada dibenaknya adalah bagaimana ia bisa kembali dengan aman dan tanpa hambatan menuju rumah berukuran mungil yang sangat dicintainya pada kondisi ini.
Meski seringkali mendengar teriakan cempreng 7 oktaf sang Umi tercinta saat menyuruhnya bangun pagi untuk sholat subuh serta bersih-bersih rumah ‘sebagai seorang gadis’ katanya. Namun teriakan tersebut akan terdengar lebih merdu saat ini dibandingkan mendengarkan suara-suara asing yang membuat bulu kuduknya terus berdiri, tapi mampu membuat keringat bercucuran dari berbagai bagian tubuhnya.
Gadis tersebut tidak berani beranjak dari balik pohon besar tersebut, wajahnya sudah berubah menjadi pucat pasi layaknya orang mati dan badannya tidak berhenti menggigil karena udara hutan yang begitu menusuk sampai ke tulangnya.
“Apa salah hamba, ya Tuhan!” gumaamnya lagi sambil tidak berhenti mengamati seluruh pelosok hutan dengan tangan mengepal, kali ini ada guratan kekesalan bercampur kekecewaan dalam kalimatnya.
Gadis tersebut bernama Luna, ia akan berusia 20 tahun pada bulan Mei mendatang. Saat ini ia berprofesi sebagai salah satu mahasiswi di bidang study Sejarah, padahal dirinya sendiri sangat membenci jika harus menghafal tahun kejadian yang ada dalam sejarah yang dipelajarinya.
Ia tengah menikmati musim liburan semester miliknya yang berlangsung selama 2 bulan lebih, bisa ditambah jika ia ingin memasukan libur tambahan khusus untuk dirinya. Meski usianya bisa dibilang bukan remaja lagi, namun gadis yang akan memasuki semester 6 tersebut masih sangat menyukai segala hal tentang dongeng terutama dongeng tentang princess yang dipenuhi dengan kisah romantis sepanjang masa.
Bukan tidak pernah teman-temannya mengejeknya –dalam artian sebagai teman— mengenai kesukaannya tersebut, namun ia tidak pernah memperdulikannya. Bahkan suatu hari, ia pernah mengungkapkan bahwa ia ingin sekali pergi ke negeri dongeng, tentu saja hal tersebut sontak membuat teman-temannya tertawa terbahak.
“Sadar woi sadar! Negeri dongeng cuma khayalan doang Lulul,” ungkap salah satu teman dekatnya bernama Rani, salah satu mahasiswi di jurusan yang sama yang memiliki penampilan cukup modis namun tidak terbuka.
“Ya namanya juga khayalan, siapa tau kan bisa jadi kenyataan. Nggak apa-apa deh walau cuma di mimpi doang,” sanggahnya dengan nada sok bijak.
“Ah, si Lulul mah suka gitu. Daripada mikir yang aneh-aneh, mendingan belajar yang rajin biar cepet lulus kuliahnya,” ungkap Irma yang juga salah satu teman Luna, meski berbeda jurusan namun karena nasib mempertemukan mereka di kosan 3x4 membuat keduanya cukup akrab dikatakan sebagai teman.
Saat ini, berkat ucapan sembarangannya mengenai masuk ke negeri dongeng membuat Luna sangat menyesal jika mengingatnya.
“Aahh, harusnya aku gak ngomong sembarangan. Duh nih mulut,” ucapnya sambil memukulkan tangannya dengan pelan kearah mulutnya. Ia memang sangat senang jika mimpinya bisa terwujud, namun mengingat dimana saat ini ia terdampar membuatnya cukup menyesali keinginannya tersebut.
“Bodo amat, pokoknya aku nggak bakalan ngelangkahin kaki sedikitpun sebelum ada orang yang lewat. Mu-mudah-mudahan aja sih ada,” gumamnya dengan penuh keyakinan, meski masih terdengar nada ragu di akhir kalimatnya.
“Duh! Kok bisa sih kayak gini,” keluhnya lagi dengan nada kecewa.
“Gimana ceritanya sih, ini. Duhh!” keluhannnya semakin bertambah, meski merasa sudah sangat lama berdiri di tempat yang sama namun anehnya Luna merasa bahwa waktu seakan tidak berputar dengan benar sampai ia mendengar sebuah suara...
-----to be continued----
Masih newbie, semoga suka. Ditunggu komentarnya
cant wait next episode :)
Comment on chapter Chapter 1: Awal Mimpi Buruk