KRIUKK!!!
Sebuah suara yang tidak disangka-sangka keluar dari perutnya, ia yakin suara tersebut berasal dari cacing-cacing dalam ususnya yang tengah berdemo untuk meminta jatah makan malam yang ia lewatkan sebagai bentuk protes pada Umi karena masalah sepele. Luna terkejut namun ia mencoba mengabaikan suara yang tidak dianggapnya penting saat ini, matanya masih sibuk mengembara kesana kemari dengan wajah yang pucat dan tidak berhenti komat kamit.
KRIUKK!!!
KRIUKK!!!
KRIUKK!!!
“Ha~h,”
Gimana ini?
...
Luna memegangi perutnya sambil tertunduk, kemudian ia mengamati sekali lagi keadaan sekitar dengan wajah yang masih was-was.
Bismilah aja.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!”
Luna berlari menerjang rimbunnya semak yang sedari tadi ia gunakan sebagai tempat untuk bersembunyi, otot kakinya ia kuat-kuatkan agar bisa berlari sekencang mungkin tanpa memperdulikan kenyataan bahwa saat ini ia tidak menggunakan alas kaki.
Perih menjalar di seluruh bagian tubuhnya akibat tertusuk berbagai benda tajam saat mencoba menerjang berbagai semak belukar yang ada di hutan tersebut, namun hal itu tidak membuatnya memperlambat sedikitpun laju kaki yang saat ini sudah berdarah-darah karena menginjak ranting pohon mati serta bebatuan tajam yang ada di tanah.
Cukup lama Luna berlari membabi buta, namun ia tidak dapat menemukan ujung dari hutan yang telah dilewatinya. Nafasnya mulai tersenggal-senggal, detak jantungnya sudah tidak beraturan, piyama berbentuk hati di tengah yang digunakannya sudah terlihat sangat dekil meski baru dibelinya minggu lalu, kakinya sudah tidak merasakan apa-apa lagi, air mata mulai turun membasahi pipi....
“Umi,” Luna bergumam sambil menangis tersedu.
Masih dalam kondisi yang sama namun dengan kecepatan yang sudah sedikit melambat, Luna tetap berlari ... berlari ... dan terus berlari sampai ia melihat sebuat cahaya terang yang tersingkap dari sebuah pohon yang jaraknya sekitar 5 meter.
“ALHAMDULILLAH!!!”
Teriaknya tanpa sadar dengan nada yang cukup tinggi, kemudian ia mulai mempercepat kembali langkah kakinya yang tadi mulai melambat. Ia berharap dengan sangat, agar bisa cepat sampai menuju guratan cahaya yang ada di hadapannya. Semakin mendekat, cahaya tersebut semakin bersinar dengan terang dan hal ini membuat raut wajah Luna semakin cerah -cukup berbeda dari sebelumnya- senyumnya mulai mengembang....
Namun semakin mendekat kearah cahaya tersebut, tubuh Luna merasakan suhu di sekitarnya semakin turun dan membuat tubuhnya semakin merasakan dingin yang amat.
Luna dapat melihat dengan jelas apa yang ada di balik cahaya yang ia temukan, langkah kakinya mulai melambat namun ia tetap melaju dengan pasti menuju arah cahaya tersebut. Senyuman riang yang ada di wajahnya semakin redup dan dengan sempurna menghilang tatkala melihat pemandangan aneh yang ada di hadapannya.
“....”
Luna terdiam sesaat, namun ia tetap melangkahkan kakinya dengan mantap menuju cahaya tersebut meski dengan lambat.
“Hu-hutan sal-ju? Ta-tapi tadi....”
Beberapa kali Luna menengok ke depan dan belakang secara bergantian, ia sangat heran dengan pemandangan yang dilihatnya saat ini.
Bukannya tadi hutan bi-a-sa?
Ketika ia menengok sekali lagi ke arah belakang, ia langsung teringat mengenai hutan Aokigahara yang membuat bulu kuduknya seketika meremang. Tanpa pikir panjang lagi, ia langsung berlari menerjang tumpukan salju yang putih dan sangat dingin sampai menusuk tulang kakinya.
***
Hosh... hosh... hosh...
Luna berjalan dengan begitu lambat, saat ini ia berada cukup jauh dari hutan kelam yang dianggapnya sebagai hutan 'Aokigahara' yang menurut situs yang ia baca terkenal sangat angker dan merupakan hutan kematian.
Jangan tanyakan penampilannya saat ini, karena setelah menerobos hutan kelam yang dipenuhi semak belukar tajam membuat pemanpilan Luna persis seperti pengemis yang tidak mandi selama beberapa minggu. Pakaiannya terlihat compang camping karena terkena beberapa ranting yang tajam, bajunya terlihat kotor terutama pada bagian bawah kakinya, kakinya terlihat sangat kotor dan saat ini mulai membiru karena kedinginan, tidak ada hal baik yang dapat dilihat dari penampilan Luna saat ini.
Udara dingin seakan menusuk ke dalam tulangnya, ia mulai menggigil kedinginan. Meski pemandangan sekitar terlihat menakjubkan dengan rimbunnya pepohonan pinus yang diselimuti salju tebal sepanjang pandangan mata serta perbukitan yang menjulang dimana-mana, namun hal tersebut tidak bisa membuat kondisi yang dirasakan Luna terasa membaik.
Mata Luna mulai memerah kembali, meski saat ini ia tidak yakin akan ada cairan hangat yang turun membasahi pipinya karena saking dinginnya. Ia berjalan melewati satu pohon pinus ke pohon pinus lainnya. Luna mulai tidak bisa merasakan kakinya yang sudah semakin kedinginan, tanpa alas kaki, ia bagai berjalan tanpa perlindungan.
Bruk!
Luna tersungkur, penglihatannya mulai redup. Bagaimana ini, apa aku akan mati di tempat antah berantah?
"Hei lihat, ada mayat!" seru seseorang, itu merupakan kalimat terakhir yang bisa didengar Luna sebelum benar-benar kehilangan kesadarannya.
"Dia masih hidup," ucap seseorang lain, seorang pria muda dengan perawakan tinggi dan badan berotot.
"Tapi dia menggunakan pakaian aneh," ucap seorang gadis mungil, menatap penuh selidik ke arah Luna yang terlihat bagaikan mayat. Tidak bergerak.
"Untuk saat ini, kita selamatkan dia dulu."
cant wait next episode :)
Comment on chapter Chapter 1: Awal Mimpi Buruk