Aku memandangi formulir itu. Berpikir. Mengulang lagi pertanyaan ibu di benakku. Kamu mau ikut nak? Kamu bahagia? Pertanyaan itu terus terulang.
Apa aku senang saat mendapat kesempatan ini? Apa aku ingin mengikutinya? Atau meninggalkan ibu yang membuatku ragu?
Aku tidak tahu. Aku jelas menginginkannya. Mendapat pengalaman baru. Firasatku mengatakan jika ayah juga menginginkanku untuk ikut. Tapi, bagaimana dengan ibu? Sia? Apa mereka juga menginginkan aku untuk ikut. Walau bagaimanapun, ibu dan Sia adalah orang yang memiliki peran penting untukku. Pendapat mereka akan sangat berpengaruh.
Aku menghela nafas. Menatap sekeliling. Taman ini ramai dengan anak - anak. Lampu - lampu taman yang berada mengelilingi tempat ini menambah kesan yang indah. Aku tersenyum tipis. Ini tempatku bermain dengan Sia waktu kecil. Sia paling suka bermain ayunan. Selalu berteriak memintaku mendorong ayunannya dengan kencang. Lantas berteriak lagi jika terlalu kencang
Sia, secara tidak langsung menyatakan persaannya kemarin. Ia memintaku untuk menunggu. Maka akan kulakukan apa yang ia minta. Aku akan menunggunya tumbuh dewasa, dan menjadikannya pendamping hidupku.
Telponku berdering, aku langsung mengangkatnya, " Halo?"
* * *
Aku mengumpat, jalanan macet. Menghela napas, tidak ada yang bisa kulakukan. Lebih baik diam menunggu.
Beberapa saat yang lalu, ibu menelponku. Ia mengatakan bahwa ayah sakit, asmanya kambuh. Aku tanpa bertanya langsung memutuskan sambungan. Berlari menuju mobil. Sialnya malah terjebak macet. Sudah tiga puluh menit. Tapi kemacetan belum reda.
Aku akhirnya sampai di rumah satu jam kemudian. Ibu menunggu di depan. Tampak khawatir.
" Gimana kondisi ayah?" Tanyaku cepat.
" Tadi sudah ibu kasih obat. Dan sekarang sudah tidur, tapi ibu tetap khawatir. " Jawabnya. Aku menghela nafas lega. Syukurlah tidak terjadi hal buruk.
" Ayah mau dibawa ke rumah sakit?" Aku bertanya sambil berjalan menuju kamar ayah.
Ibu menggeleng, " ayahmu nggak pernah mau dibawa kesana. "
Aku membuka pintu, " Kenapa bisa kambuh bu?"
" Kayaknya kecapean. Banyak yang harus diurus buat restoran. Apalagi ayah mau buka cabang baru." Jelas ibu.
Aku mengangguk, " Biar ayah istirahat disini dulu. Nanti kalau kambuh lagi, kita bawa ke rumah sakit." Ibu mengangguk lemah.
" Aresh ke kamar dulu ya bu."
Ibu mengangguk, tersenyum. Aku menuju kamar tidur. Merebahkan badan. Kejadian ini juga menjadi salah satu alasanku ragu untuk pergi. Jika aku pergi, maka siapa yang akan ibu mintai bantuan. Siapa yang akan ibu ajak bicara disaat seperti ini. Tawaran itu ternyata tidak sepenuhnya membuatku bahagia.