Keesokan harinya, aku menjemput Sia di sekolahnya seperti biasa. Aku tidak akan memberitahukan tentang pelatihan itu. Belum, entah kapan.
Ia keluar sepuluh menit kemudian, tersenyum lebar saat berhasil menemukanku.
" Hai, dari tadi?" Tanyanya.
Aku menggeleng, " Ayo."
" Kita langsung pulang?" Sia bertanya saat di perjalanan.
" Kamu mau?" Aku justru balik bertanya.
" Nggak." Ia spontan mejawab. Aku terkekeh, sudah kuduga.
" Kita ke waduk yuk?" Ajaknya.
Aku mengangguk, " Beli makanan dulu ya? Sekalian makan siang disana."
Sia mengangguk - angguk semangat, " Oke."
Kami sampai tiga puluh menit kemudian. Setelah tadi membeli beberapa makanan, dan terjebak macet. Perjalanan kami menjadi sedikit lambat.
Aku dan Sia berputar mencari tempat teduh, lalu menggelar tikar. Waduk selalu sepi saat hari kerja.
" Aku suka disini, tenang, sepi. Berbalik banget sama sifatku kan?" Ucap Sia membuka percakapan.
Aku mengangguk, " Jelas."
Sia mendengus. Aku memandanginya. Wajahnya, tatapan matanya, senyumnya, aku selalu menyukai semua hal itu. Seakan - akan aku membutuhkannya setiap hari. Hampir sama seperti aku membutuhkan ibu untuk selalu ada.
Aku mengalihkan pandangan, menatap kedepan. Pikiranku kembali tertuju pada pelatihan itu, apa yang akan Sia katakan nanti jika seandainya aku benar - benar diijinkan pergi. Ia selalu membenci ketika aku harus pergi jauh darinya.
" Kak," Ucapan Sia membuyarkan lamunanku. Ia jarang sekali menggunakan panggilan itu.
Ia kembali menatapku, " Kak Aresh suka sama seseorang?" Tanyanya.
Aku menatapnya bingung, " Maksud kamu?"
" Apa kak Aresh lagi suka sama orang lain?" Ia mengulangi pertanyaannya lebih jelas.
Aku terdiam sejenak, " Untuk sekarang masih sama." Jawabku.
Sia tersenyum lembut. Aku terpaku, senyum yang indah.
" Tunggu aku kak, tunggu aku lulus, sampai jadi wanita dewasa kayak yang kak Aresh mau." Ucapnya sungguh - sungguh.
Aku balas tersenyum, " Pasti."
Hari itu aku tahu, bahwa Sia telah memberiku hatinya. Sama seperti yang kuinginkan sejak dulu.
* * *
" Resh!" Panggil salah satu rekan timku. Ia duduk di sampingku.
" Kenapa?"
" Kamu ditawari pelatih soal pelatihan itu?" Ia bertanya.
Aku mengangguk, " ditawari juga?" Aku menunjuknya.
Ia balas mengangguk, " Bagus, kita bisa berangkat bareng nanti."
Aku terdiam, tidak segera mengatakan apapun.
" kamu pasti berangkat kan?" Ia bertanya memastikan.
" Belum pasti. Belum dapet izin." Jawabku.
" Serius? Kenapa? Bukannya malah bagus kalau kamu pergi."
Aku mengangkat bahu, " Terlalu jauh. Nggak tega ninggal orang tua terlalu lama."
" Yaudahlah, bicarain dulu sama mereka. Waktunya masih banyak. Kabari kalau kamu jadi ikut."
Aku mengangguk. Dan segera menuju lapangan.