Panas. Terik matahari benar - benar menyengat siang ini. Aku melepas jaket, punggungku basah oleh keringat. Seseorang menepuk bahuku, " Hei."
Aku mendongak, menatap gadis dihadapanku lantas bangkit, kini menatapnya jengah." Kenapa lama?" Tanyaku sambil melipat tangan.
Gadis di hadapanku meringis, " Tadi ke kamar mandi dulu."
" Tidur?"
Ia berdecak, " Dasar nggak jelas, mana ada orang tidur di kamar mandi. Jangan - jangan kamu pernah ya?" matanya melebar menatapku.
Aku segera membalik badan, berjalan mendahului, " Ayo pulang."
" Kamu beneran pernah tidur di kamar mandi? Aresh tunggu!"
* * *
Sia. Dia teman sekaligus tetangga. Kami saling mengenal sejak umurku delapan tahun. Entah bagaimana kami bisa akrab, semuanya terjadi begitu saja.
Awal pertemuan kami adalah saat aku sedang latihan bola seperti biasa. Bola yang kutendang tidak sengaja mengenai wajahnya. Sia yang saat itu masih berumur empat tahun spontan menangis kencang. Aku segera berlari menghampiri, lalu mengulurkan tangan. Gadis kecil itu mendongak, menatap tanganku yang terulur di depannya. Tangisannya terhenti.
" Ayo berdiri." Ucapku sambil tersenyum tipis. Gadis kecil itu menerima uluran tanganku, sambil terus menatapku heran.
Aku mengenal gadis kecil ini, ia tinggal tidak jauh dari rumahku. " Maaf ya, tadi aku nggak sengaja. Aku antar pulang ya? Rumahmu yang paling ujung itu kan?"
Gadis kecil itu mengangguk samar, aku menggandeng tangannya, berjalan bersisian.
" Namamu siapa?" Tanyaku. Gadis kecil itu kembali mendongak, " Sia."
Aku mengangguk - angguk, nama yang bagus.
" Kalau kakak?" Gadis kecil itu akhirnya berbicara.
" Apa?" Aku balik bertanya.
" Nama kakak siapa?"
" Oh, Aresh. Namaku Aresh."
Gadis kecil itu mengangguk, tersenyum. Tak lama kemudian, gadis itu kembali menatapku, seakan ingin mengatakan sesuatu, " Kenapa?"
" Eh, itu kak, rumahku udah kelewatan."
* * *
" Aresh berhenti! " Seruan Sia memutuskan lamunanku, membuatku spontan menghentikan mobil.
" Apaan sih Ya' ?" Seruku.
" Udah tunggu di sini, bentar." Ia langsung turun. Aku menghela nafas, anak itu, terkadang merepotkan dan banyak tingkah. Tapi selalu saja ada hal yang kurindukan darinya saat ia tidak ada. Selalu terasa sepi saat ia tidak ada. Sia jarang terlihat sedih, tapi ia mudah menangis untuk hal sepele. Menonton drama korea misalnya, ia pasti menangis saat tiba di adegan yang menyedihkan.
Pintu mobil terbuka, Sia masuk dengan membawa kantong plastik.
" Beli apa?" Tanyaku.
Ia mengeluarkan sesuatu dari kantong plastiknya, " Ta da." Sebuah buku. " Aku udah nunggu ini dari tiga bulan yang lalu." Ia tersenyum lebar.
Aku kembali menghela nafas, " Kenapa nggak bilang dari awal? Kalau kayak tadi kan bahaya."
" Iya maaf, aku lupa. Langsung inget waktu lihat tokonya. "
" Lain kali jangan gitu lagi." Ucapku.
Ia tersenyum, mengacungkan jempol, " Oke."
Mobilku kembali melaju.