Aku sangat menyukai sepak bola. Bisa dikatan sepak bola sudah menjadi bagian hidupku sejak lama. Ayah. Ia adalah motivasi terbesarku untuk bermain sepak bola. Ia mantan atlet. Namun karirnya harus terhenti saat usianya masih dua puluh satu tahun. Ia mengalami cedera saat melakukan pertandingan. Cedera yang parah. Dokter mengatakan agar ayah berhenti. Resikonya besar jika ayah tetap memaksakan diri. Ditambah ayah memiliki penyakit asma.
Tapi, ia mencintai sepak bola. Sama sepertiku, Ia juga menganggap sepak bola adalah bagian dari hidupnya. Ayah tetap memaksakan diri untuk terus bermain. Tak peduli kepada nasehat ibu - yang saat itu sudah dekat dengan ayah - yang memintanya untuk berhenti. Tak peduli walau ia sering kesakitan setelah turnamen atapun setelah latihan. Ia tetap bermain sepak bola.
Hingga suatu ketika, ayah sedang mengikuti pertandingan besar. Memperebutkan juara satu, ayah bermain dengan baik. Hingga di menit terakhir, ayah mendapat peluang membuat gol, ia melihat peluang itu. Tanpa berpikir panjang ia melakukan tendangan jarak jauh. Ayah berhasil, ia membuat timnya menang dengan tendangan jarak jauhnya. Tapi, mahal sekali harga yang harus dibayar. Ayah seketika jatuh tersungkur, berteriak kesakitan sambil memegangi kakinya. Hari itu, takdir menghentikan karir ayah di dunia sepak bola.
* * *
" Nggak mampir dulu?" Tawar Sia saat kami sudah sampai.
Aku menggeleng, " Aku ada latihan habis ini."
" Oh, yaudah, hati - hati." Ia melambaikan tangan, tersenyum.
Aku segera melajukan mobilku kembali.
* * *
Ibu sedang menyapu halaman saat aku tiba. Ia tersenyum menyapa, " Kok baru pulang nak?"
Aku balas tersenyum, " Ia bu, tadi jemput Sia dulu."
Ibu mengangguk, " Yaudah, makan dulu, terus mandi. Habis ini ada latihan kan?"
" Iya, Aresh masuk dulu." Aku segera melangkah masuk ke dalam rumah. Sepi. ??Dimana ayah? Mungkin sedang mandi. Aku memutuskan untuk menuju kamar. Setelah membersihkan diri dan bersiap. Aku menyalakan handphone, ada pesan masuk, dari pelatihku.
" Nanti setelah latihan, temui saya di kantor."
????Alisku bertaut, ada apa? Biasanya ia langsung menelpon atau bicara langsung jika ingin mengatakan sesuatu. Entahlah, nanti saja akan kutemui.
Tak lama berselang, Sia menelpon. Aku segera mengangkatnya, " Halo, kenapa Ya' ?"
" Aku titip obat ya?" Jawabnya langsung.
" Obat? Buat siapa?" Tanyaku.
" Buat Risty, alerginya kambuh. Dia ceroboh, makan udang di sekolah."
" Aku beli sekarang?" Aku melirik jam tangan, masih ada waktu sebelum latihan.
" Jangan, nanti aja kalau kamu selesai latihan. Tadi udah dikasih obat sisa yang dulu."
Aku mengangguk, " Yaudah kalau gitu nanti aku mampir ke apotek."
" Iya."
Aku memutuskan sambungan, dan segera turun untuk makan siang, di meja makan sudah ada ibu dan ayah.
" Lama banget mandinya nak?" Kata ibu.
Aku mengambil tempat di sampingnya, " Maaf bu."
Makan siang berjalan hening, sampai ayah membuka percakapan, " Tujuanmu setelah ini apa resh?"
Suapanku terhentj, menatap ayah, " belum tahu yah." Jawabku sekenanya. Aku memang tidak pernah memikirkan apa tujuanku setelah ini.
" Karirmu di sepak bola sudah cukup bagus, tapi akan lebih baik kalau kamu bisa tingkatkan." Ucap ayah.
Aku hanya mengangguk. Ayah sering membahas hal ini, seperti berusaha untuk membuatku tidak pernah merasa puas.
Makan siang selesai beberapa saat kemudian. Percakapan itu terhenti begitu saja, aku bersyukur ayah tidak membahasnya terlalu panjang. Setelah berpamitan aku segera berangkat menuju stadion. Setidaknya latihan akan membuatku melupakan percakapan dengan ayah.