Hari ini ada pelajaran tambahan, jadi aku dan semua anak kelas dua belas harus ditahan di sekolah. Kadang, kami pernah berusaha kabur, namun Pak Kumis, satpam sekolah, selalu siap menanti kami di gerbang. Padahal, saat itu, aku dan Cleva, teman sebangkuku sekaligus sahabatku, sudah berbohong bahwa guru yang hendak memberi materi tambahan sedang sakit, makanya kami diminta pulang. Namun, bukan Pak Kumis namanya kalau kehabisan akal. Ternyata satpam berwajah seram itu menyimpan semua nomor telfon guru, lengkap dengan whatsapp-nya. Pak Kumis juga memiliki jadwal mengajar tiap guru, dan selalu memeriksanya, kemudian menanyakan pada guru yang memiliki jadwal mengajar apakah bisa hadir atau tidak. Karena dari awal aku dan Cleva sudah berbohong, dan Pak Kumis mengetahuinya, kami pun diseret masuk ke kelas.
Selama di kelas, aku diam-diam mengecek handphone, membuka segala aplikasi yang ada. Terakhir, kubuka path, dan sialnya si mak lampir, Risabelle, baru saja update kalau dia sedang makan di sebuah caffe yang baru buka beberapa hari lalu. Aku baru sadar, kelas Risabelle dan Oxel tidak ada kelas tambahan. Ya, dua manusia itu sekelas.
“Klatina Parvati!”
Mampus! Aku langsung buru-buru memasukkan handphone-ku ke dalam laci meja. Bu Berta melotot ke arahku. Apa beliau tahu kalau aku main handphone? Mampus aku. Asal tahu saja, guru Sosiologi satu ini, terkenal galaknya. Bahkan, guru satu ini memiliki feeling yang kuat.
“Maaf, Bu, saya janji bakal jadi anak yang berbakti bagi Mama, Papa, Bu Berta, teman-teman, sekolah, nusa dan bangsa. Jangan sita handphone saya, Bu. Please?”
Sia-sia saja memang, karena tanpa ba-bi-bu, Bu Berta mengambil handphone-ku yang berkedip-kedip dalam laci, tanda ada pemberitahuan. Maafkan aku sayang, sudah membiarkanmu menjadi korban Bu Berta.
Dua jam kulalui dengan wajah ditekuk.
“Ambil handphone kamu bersama orang tua atau wali kamu. Kalau tidak, ya handphone kamu akan ditahan sampai lulus.”
Sial. Kata-kata Bu Berta membuat mood-ku hancur. Kalau aku minta papa yang mengambil, bisa-bisa uang jajanku akan dihentikan dan hanya diberikan uang pas-pasan untuk naik angkot. Kalau bilang sama mama, tidak jauh beda, malah tambah rumit. Bisa-bisa handphone-ku ditahan setelahnya. Kenapa aku tidak punya om atau tante yang bisa dimintai bantuan? Rasanya mau teriak.
“Aaarrgghh!”
Cleva menyentuh dahiku, “Kenapa sih, Kla?”
Aku menatap lelah ke arah Cleva, “Kamu malah tanya kenapa, Va? Handphone-ku disita Bu Berta. Dilema ini, siapa yang bisa ambilin, yah?”
Cleva menggelengkan kepala, “Baru 2 hari aku nggak masuk, kamu sudah berubah jadi anak nakal, Kla!”
Kla menggertakan giginya, “Apaan sih, Va, mending bantu mikir deh, gimana caranya handphone aku bisa kuambil lagi.”
“Pesan go-jek aja.”
Apa salah dan dosaku ya Tuhan, sampai punya teman model Cleva? Apa hubungannya handphone disita sama go-jek? Lagian gimana pesannya, kan handphone-ku sedang disita. Cleva ini namanya saja yang plesetan dari clever tapi otaknya kenapa begini?
“Maksudnya, kamu itu minta om go-jek untuk pura-pura jadi wali kamu.”
Aku menghela nafas, berusaha sabar. Temanku ini pasti kebanyakan main instagram, melihat postingan mengenai drama ojek online yang lagi hits. Ah, sudahlah, aku harus bilang ke mama mengenai ini. Sisanya aku pasrahkan dengan takdir, ntah harus berakhir baik atau buruk. Ah sialan, kenapa aku jadi mellow?
“Kamu anaknya Bu Direly, bukan?”
Aku menoleh ke asal suara yang menyebutkan nama mama. Seakan-akan musik indah sedang bermain di kepalaku. Angin perlahan bertiup, menerpa wajah menawan dari manusia yang berdiri di hadapanku. Itu, om ganteng. Astaga, apa ini mimpi? Kalau iya, tolong biarkan ini berlangsung hingga aku bosan. Kalau bukan mimpi, tolong cubit aku, siapa pun.
“Auw!” aku mengusap-usap lenganku yang dicubit Cleva, “Apaan sih, Va?”
Cleva melotot lalu mengarahkan pandangan pada om ganteng, “Kamu ditanyain dari tadi malah bengong.”
“Nanya apa, Om?” tanyaku manis pada Om ganteng.
“Kamu anaknya Bu Direly, kan, yang kemarin kejadian guci pecah di toko saya.”
Ah benar, guci itu, yang mama ceritakan kemarin, “Iya.”
“Gucinya masih belum selesai dibuat. Yang Mama kamu pilih itu limited edition dan hanya dibuat tiga saja. Yang pecah kemarin yang terakhir. Jadi bilang sama Mama kamu untuk sabar menunggu, ya? Saya tidak punya nomor telfon Mama kamu, dan terlalu sibuk untuk mampir. Untung ketemu kamu di sini.”
Aku mengangguk-angguk seperti boneka anjing penghias mobil. Ntahlah, suaranya yang terkesan datar malah terdengar merdu dan lembut di telingaku. Belum lagi wajahnya tampan sekali. Astaga, kenapa makhluk seperti ini selalu memiliki aura arogan? Tapi, itu yang menjadikan kaum hawa penasaran, kan? Haha, mikir apa sih aku?
“Iya, nanti Kla kasih tau Mama, Om. Trus, Om sendiri ngapain kesini?”
Wajah om ganteng tampak kesal, sepertinya karena aku memanggilnya Om. Habis, dia tinggi besar, dan dulu dia pernah bilang umurnya, aku lupa. Umur segitu kan memang pas dipanggil om.
“Sekolah ini ada kerja sama dengan mall saya, katanya kalian mau bikin acara pensi, dan itu bekerja sama dengan mall saya. Susah dijelaskan, kamu mana ngerti hal kayak gitu, keliatan dari wajah kamu, burung dungu.”
Aku mendelik. Apa katanya? Burung dungu?
Yah, anggaplah itu panggilan sayang. Bukannya marah, aku malah mengulum senyum. Cleva yang dari tadi berdiri di sebelahku, sudah sibuk merengek mengajakku pulang. Tapi, aku ingat sesuatu. Apa aku bisa meminta bantuan om ganteng ini untuk mengambil handphone-ku dari Bu Berta?
“Kalau begitu saya pamit dulu. Urusan saya sudah selesai di sekolah ini.” Om ganteng berbalik badan. Wah, punggungnya lebar.
“Ah, tunggu Om!”
“Kamu mau ngapain sih, Kla, sama Om itu? Ganteng sih, tapi aku takut, soalnya tatapannya seram banget. Datar gitu, kayak nggak punya ekspresi,” oceh Cleva panjang lebar sambil menahan lenganku. Aku melepaskan genggaman Cleva lalu menepuk pelan bahunya, seakan mengatakan tidak apa-apa.
“Ada apa?” tanya om ganteng, berbalik badan menghadapku.
“Aku mau minta tolong, boleh?” tanyaku, lalu menceritakan semuanya mengenai Bu Berta pada om ganteng. Harapanku besar sekali untuk jawaban iya darinya, namun sepertinya dewi fortuna belum berpihak padaku.
“Apa pentingnya untuk saya? Kita kan bukan kenalan, dan saya cuma tahu kamu anak Bu Direly, itu saja. Saya tidak bisa membantu hal yang seperti itu. Salah kamu, di kelas kok mainan handphone. Permisi.”
Aku menganga melihat kepergiannya. Sombong sekali pria itu astaga. Tapi, kenapa aku malah tambah suka dan ingin sekali jadi pacarnya? Ah iya, handphone-ku bagaimana nasibnya?
“Sudahlah, Kla, bilang sama Mama kamu aja. Trus minta maaf, kalau perlu berlutut. Lagian, kamu kenal akrab emangnya sama om tadi? Nggak kan? Mana mau dia bantu kalau begitu, nggak ada untungnya sama dia. Pebisnis kayak gitu, mikirnya keuntungan yang didapat, Kla.”
Aku mengangguk mengerti, kemudian beranjak pulang, bersiap mendapat amukan dari orang tuaku. Aku masih bersama Cleva, berjalan ke gerbang sekolah yang lumayan jauh dari tempat kami bertemu om ganteng tadi. Moodku benar-benar hancur. Aku takut sekali dimarahi mama, belum lagi ocehan tambahan dari papa. Aku berjalan sambil menatap ujung sepatuku, tidak menghiraukan obrolan yang dimulai Cleva.
Sebuah tangan yang rasanya sangat besar dan tidak mungkin itu tangan Cleva, menahan lenganku, membuatku terhenti dan mengangkat kepalaku, mengalihkan ketertarikanku pada ujung sepatu. Belum sempat aku melihat siapa yang menahanku, tangan itu menarikku kembali masuk ke sekolah. Aku melihat punggung lebar itu. Om ganteng. Apa?
Aku diam dan mengekorinya dengan tangan yang masih ia genggam. Kenapa dia menarikku begini? Jantungku tidak bisa berkompromi dengan degupannya. Kencang sekali, astaga! Apa ini rasanya ketika tanganmu dipegang oleh orang yang kau sukai? Tangannya hangat sekali.
Kami sampai di depan ruang guru. Tunggu dulu, dia menarikku kesini jangan-jangan....
“Om mau–“
“Kamu cuma perlu diam, biar saya yang menangani guru itu. Siapa namanya?”
“Bu Berta.”
Hatiku dipenuhi perasaan hangat. Astaga senang sekali.
Hanya dalam waktu kurang dari lima menit, handphone-ku kembali. Bu Berta yang sepertinya terpikat dengan wajah om ganteng, dengan ringan hati mengembalikan handphone tersayangku. Jika aku tokoh komik, wajahku pasti sekarang sudah memerah hingga ada asap yang keluar dari telingaku. Aku gregetan.
“Kamu akan saya antar pulang.”
Lagi, aku terkejut, “Cleva?”
“Teman kamu sudah pulang, tadi saya sudah kasih tau dia.”
Kapan? Perasaan tadi dia langsung menarik tanganku, dan tidak bilang apapun pada Cleva.
“Kamu mana dengar saya ngobrol dengan dia, kan kamu sibuk menunduk, ngeliatin sepatu kamu yang dekil itu.”
Aku tercekat. Sepatu dekil? Aku mengedarkan pandanganku ke sepatu putih yang baru kubeli sebulan lalu itu. Iya sih, agak kotor, karena warnanya putih. Mama sebenarnya sudah melarangku membeli barang dengan warna putih, tapi tetap saja aku ngeyel dan membelinya. Korban lain adalah jam tanganku dulu yang warna putihnya sudah benar-benar berubah jadi cokelat.
“Kla bisa naik angkot kok, Om,” tolakku, berharap dia menahan seperti adegan di film yang biasa kulihat. Sedikit jual mahal, gitu.
“Ya sudah kalau begitu. Saya duluan.”
Mataku membola. Apa?
Aku menatap punggungnya yang menjauh, menuju mobilnya, meninggalkanku. Kenapa manusia itu? Bahkan aku belum mengucapkan terima kasih, kan? Dingin sekali. Sifatnya aneh. Tapi, aku suka. Bukannya sifat seperti itu yang bikin gregetan para kaum hawa? Di serial mana pun, film apa pun, bahkan drama Korea, pasti ada tokoh yang seperti itu dan menjadi idaman si pemeran wanita. Apa kisahku juga sama, ya? Memikirkannya, aku jadi senyum-senyum sendiri dan melupakan kekesalanku karena ditinggalkannya.
Aku berjalan menuju gerbang sekali lagi, melewati mobil si om ganteng yang belum juga pergi dari tempat parkirnya tadi. Mobil itu tampaknya mengikutiku, dan berhenti saat langkahku berhenti. Kaca mobil itu terbuka, menampilkan wajah datar pria tampan yang jadi idaman.
“Naik.”
Aku mengulum senyum.
*******
Dalam perjalanan, aku memandangi wajah om ganteng tanpa kedip. Baik, aku bohong, aku berkedip. Imajinasi tinggi perihalku dan dia muncul begitu saja selama aku memandangi wajahnya. Bagaimana kalau aku menikah dengannya, memiliki anak yang lucu, kemudian ...
CIIIT!
DHUK!
Dahiku mengenai dahsboard mobil, sedikit, tapi sakit sekali. Kenapa rem mendadak sih?
“Kenap–“ aku mematung melihat apa yang ada di depanku. Itu rumah siapa? Ini bukan daerah rumahku. Di mana aku? Kenapa aku dibawa kesini?
“Ayo turun dulu, kamu tunggu di teras sana. Saya mau mengambil beberapa dokumen, dan memeriksa keadaan rumah sebentar. Mampir sebentar karena rumah kamu searah dengan mall Kertajaya. Saya tidak lama.”
Aku keluar dari mobil, duduk di bangku teras, mengikuti perintah om ganteng tadi. Wah, ini rumahnya ya? Tidak terlalu besar untuk jadi rumah seorang pemilik mall, tapi sangat asri. Rumah ini memiliki taman yang luas dengan bunga beraneka ragam, kolam kecil, dan pondok yang kecil juga, membuat semuanya tampak asri. Ah, senang sekali kalau nanti ini jadi rumahku, dan om ganteng. Lagi, bayangan indah itu masuk ke pikiranku.
“Kakak siapa?” sebuah suara mungil menarik perhatianku. Seorang anak kecil yang manis dengan rambut cokelat panjang sedikit ikal, memandangiku sinis sambil memegang boneka sapi. Siapa anak ini? Jangan-jangan ....
“Dia itu anak sekolahan yang harus Papa kembalikan ke orang tuanya. Dia tadi sendirian di sekolah, nggak ada yang jemput, jadi Papa berbaik hati mengantarnya pulang.” Om ganteng menggendong anak kecil itu sambil tersenyum. Astaga, aku tidak pernah melihat senyumannya. Manis sekali. Seandainya dia juga tersenyum seperti itu padaku.
“Hai, aku Kla, temannya om gant– maksudnya Papa kamu. Kamu namanya siapa?” tanyaku ramah pada si manusia kecil yang terlihat memeluk leher om ganteng erat, seakan takut aku mengambil ayahnya. Ya, dia benar, aku memang menginginkan ayahnya. Hahaha.
“Papa, pulangin Kakak ini ke rumahnya. Oza takut dia ambil Papa dari Oza, kayak tante yang kemarin.”
Tante yang kemarin? Siapa? Jangan-jangan, tante-tante genit yang suka godain om ganteng? Kan tidak mungkin manusia seganteng dan setajir om ini tidak ada yang mau. Aku saja mau sekali, apalagi orang lain.
“Kakak nggak jahat kok, mukanya jangan sinis gitu dong,” pintaku pada anak kecil itu. Siapa tadi namanya? Oza? Ya, Oza.
Oza menggeleng, kemudian menjulurkan lidahnya ke arahku. Jujur, aku benci anak kecil nakal seperti ini. Menyebalkan sekali melihatnya memeletkan lidah begitu. Refleks, mataku membelo. Om ganteng langsung menatapku dengan wajah datar seakan ingin mencabikku.
“Kamu bisa membuat anakku meleleh hanya dengan tatapan marah itu. Ayo aku antar pulanng.” Om ganteng menurunkan Oza dari gendongannya, lalu berjalan menuju mobil, memberikan kode padaku untuk mengikutinya. Baru beberapa langkah, aku berbalik menuju Oza dan membisikkan sesuatu.
“Jangan terkejut kalau nanti Papa kamu nikah sama aku.”
Aku kemudian setengah berlari menuju mobil om ganteng.
“Papaaaaaaaa, Kakak itu mau nikah sama Papa! Oza nggak mau.”
Om ganteng yang tadi baru membuka pintu mobil menghentikan aksinya, kemudian menatapku marah, dan beralih menatap anaknya, “Tenang, Papa nggak mungkin nikah sama anak kecil yang banyak kurangnya ini.”
Telingaku panas mendengarnya dan sepertinya aku mendengar bunyi patah. Oke, itu hatiku.
Akibat kenakalanku tadi pada anaknya, aku diturunkan di pinggir jalan dan disuruh naik angkot sendiri. Kenapa dia tega sekali, sih?
********
“Kemarin jadi diantar pulang om ganteng, Kla?” Cleva menaikturunkan alisnya menatapku, yang sibuk menghabiskan teh kotak dari kotaknya. Lah? Oxel yang dari tadi sibuk fokus pada handphone-nya turut melirik ke arahku. Pasti di pikirannya sudah ada hal negatif.
“Jadi, dong, Va, aku juga sempat mampir ke rumahnya.”
“Om ganteng? Kamu main sama om-om, Kla? Ah, coba kemarin kelasku juga ada pelajaran tambahan, jadi aku bisa liat om-om itu.” Oxel mengerutkan dahinya, tampak ingin marah.
Cleva sontak memukul pelan kepala Oxel, “Ya nggak mungkinlah, Kla itu bukan main, tapi diantar pulang. Bukan sama om-om nggak benar, tapi sama om ganteng yang masih wangi, nggak buncit, kayak kamu.”
“Enak aja aku buncit! Kamu tahu kan, aku ini kapten basket. Anak basket itu hobinya keringatan, dan perut aku itu kayak roti sobek,” ujar Oxel tidak terima.
“Ih roti sobek apaan kalau duduk jadi tiga tingkat gitu lemaknya?”
“Itu kan dulu, Va, setahun lalu, pas masih chubby! Apa perlu aku buka baju sekarang?”
“Dih, ngapain buka-buka baju? Kayak oke, aja.”
Aku menutup mulut Oxel dan Cleva dengan kedua tanganku. Ini berawal dari bertanya mengenai om ganteng, kan? Kenapa sampai bawa-bawa perutnya Oxel sih? Lagian dua anak ini kenapa tidak pernah akur?
“Udah deh, berisik, tau. Bahasan kalian nggak berfaedah.”
Cleva mengangguk-angguk, mengiyakan pernyataanku, “Jadi, gimana kamu bisa kenal sama om ganteng itu? Awalnya aku liat om itu nyeremin, tapi pas dia ngomong mau bantu kamu dengan suara beratnya ... aduh, aku aja meleleh, Kla, apalagi Bu Berta ya?” Cleva mencubit pipiku gemas.
“Iya, Va, emang suara beratnya aduhai banget. Dia itu dulu pernah aku tabrak pake sepeda, waktu kita masih SMP. Ingat, nggak, waktu pulang dari main di taman, sama Oxel dan Satya dulu? Yang kita lari gara-gara takut diculik sama kakek kumis?”
Cleva tampak mengingat-ingat, kemudian tertawa keras, “Hahaha. Iya, ingat. Itu kan gara-gara Oxel lari ketakutan, jadinya kita semua buru-buru pulang.”
“Nah itu, pulangnya aku nabrak om itu. Aku suka sama dia dimulai dari situ. Tapi, akhirnya ketemu lagi beberapa kali di Kertajaya mall. Pas jalan-jalan sama Papa di hari kelulusan SMP, pas jalan sama Mama juga pernah liat, dan pas lomba nyanyi dulu, aku juga liat om itu. Ternyata dia–“
“Udah deh. Ngapain sih bahas om-om? Kalian itu masih tujuh belas tahun, mending yang diomongin tuh idola remaja, kayak aku. Ngapain bahas om-om?”
“Idih, ngapain ngomongin kamu?” Cleva memandang jijik ke arah Oxel, membuat tawaku pecah melihat ekspresinya.
“Kla!”
Aku menoleh ke belakang. Risabelle. Kenapa sih anak ini kalau sudah jamnya istirahat, selalu menggangguku? Jangan-jangan dia membuat jadwal untuk merusak mood-ku di tiap hari?
“Apa?” tanyaku cuek.
“Anabelle nggak bosan ya cari perkara?” ledek Cleva.
“Maaf, Cleva, urusanku dengan Kla, bukan kamu.” Risabelle menyuruh Oxel berpindah tempat duduk agar dia bisa duduk di sebelahku.
“Jadi, apa urusannya mbak pemandu sorak?” tanyaku dengan nada penasaran yang dibuat-buat.
“Kemarin, aku lihat kamu pulang sama cowok berjas, pake dasi lagi, rapi pokoknya. Siapa? Jangan-jangan, dia yang bikin kamu putus sama Joseph? Itu bukan suami orang, kan? Kamu pelakor ya?”
Aku menghela nafas kesal. Astaga, gosip apalagi sih ini? Bisa tidak si Risabelle ini dikurung saja, dipasung atau apapun itu asal jangan merusak ketentraman orang lain dengan gosip menyebalkan miliknya?
“Mulutnya dijaga dong, mbak Anabelle!” amuk Cleva. Aku menahan temanku satu itu yang nyaris menjambak rambut Risabelle.
“Ris, itu bukan suami orang, dan aku nggak akrab sama dia. Kebetulan aja, dia ada urusan sama Mamaku, soal ganti rugi barang pecah belah, ah lagian nggak penting juga buat dibahas ke kamu. Yang jelas, aku bukan pelakor, dan cowok itu nggak ada hubungannya dengan putusnya aku dan Joseph. Aku tahu kamu masih suka sama Joseph. Sana gih ambil, aku juga udah nggak suka lagi. Aku tahu juga, tiap malam kamu chat Joseph, kan? Kamu nuduh aku perebut, kamu sendiri berniat jadi perusak. Berhenti mencari tahu hal yang sia-sia dan kosong, Ris.”
Aku berdiri, meninggalkan Risabelle yang tidak sempat berkata-kata karena kalimat panjangku. Cleva dan Oxel mengekoriku, bergerak menjauh dari Risabelle. Ntah dapat kutukan darimana aku harus bertemu dengan orang seperti itu. Ratu gosip yang selalu memasang wajah polos di depan semua orang. Dasar ular!
*************
Hari ini sekolah libur, karena ini minggu genap. Di sekolahku, setiap hari Sabtu di minggu kedua dan keempat dalam sebulan, para siswa akan diliburkan. Dan ini minggu kedua, jadi aku libur. Aku bangun pagi kali ini, pukul 6 tepat. Aku berniat membuat brownies untuk om ganteng dan anaknya, hitung-hitung untuk memberi permintaan maaf karena kemarin aku nakal pada anaknya dan terima kasih sudah membantuku mendapatkan handphone-ku kembali. Ya, anggaplah ini hanya modus belaka. Apa tidak masalah aku kesana sekarang? Atau aku akan dicap sebagai cewek agresif? Ah siapa peduli? Ini hanya untuk melebarkan sayapku dalam bersosialisasi antar manusia.
Kemarin, aku sudah menghafal jalan rumahnya, tidak terlalu jauh dari rumahku. Mungkin hanya memakan waktu sekitar lima belas menit. Setelah selesai membuat kue, aku bersiap-siap, mandi dan berias. Dan tepat pukul 9, aku sudah siap untuk pergi.
Keluar dari kamar, aku dihadiahi tatapan heran kedua orang tuaku. Aku tersenyum manis pada Papa yang memaksa untuk melotot, karena matanya sipit. Sedangkan Mama yang bermata belo membuatku takut karena matanya nyaris kelua kurasa. Aku terkikik geli melihat tatapan heran mereka.
“Kamu kenapa, Kla? Tumben hari libur sudah mandi? Biasanya kalau ditanya kenapa nggak mandi, kamu bakal bilang, kalau hari libur mandi juga libur,” ujar Mama sambil meletakkan kopi di depan Papa.
“Iya nih, biasanya diseret dulu baru mau mandi pas hari libur. Lagian udah rapi gitu, mau kemana?”
“Ya kan mau pergi, jadi Kla mandi.” Aku bergerak menuju lemari pendingin, mengambil kue yang tadi saat bangun tidur kubuat. Bertambah heranlah kedua orang tuaku.
“Kemana?” tanya Mama penuh selidik.
“Ke rumah calon menantu Mama,” bisikku pelan, agar tidak terdengar oleh Mama dan Papa.
“Ngomong apa sih kamu itu?” Mama memberikan segelas susu vanilla padaku. Karena masih panas, aku meletakkannya dulu di meja.
“Aku mau pergi ke rumah om– ituloh siapa sih namanya lupa, yang kemarin antar guci Mama. Si pemilik Kertajaya mall. Kan kemarin dia antar aku pulang, dan juga ngebantu aku sedikit di sekolah, jadi aku mau kasih kue ini sebagai ucapan terima kasih.”
Raut wajah mama berubah sedikit tenang, “Oh, Ardha? Memang kamu tahu rumahnya? Bantu apa dia sampai kamu segitunya buatin kue pagi-pagi?”
“Bantu deh pokoknya, Ma. Iya, kemarin sebelum pulang ke rumah, dia ajak mampir ke rumahnya dulu, ambil dokumen. Nah di situ ada anaknya loh, Ma, lucu banget. Jadi kayak adik sendiri, gitu. Anaknya lucu, kemarin Kla sempat main bareng anaknya, seru, kok, makanya ini mau sekalian kasih kue ke anaknya.”
Lucu? Hah! Untuk masuk dalam kategori lucu itu, aku harus benar-benar merayu anaknya om itu. Dan maaf saja, bukan kayak adik sendiri, aku lebih ingin dia jadi anakku. Gila, ya?
“Iya deh, kalau gitu. Bilang aja kamu nyari teman kan, jadinya kesana biar ketemu anaknya, gara-gara nggak punya adik di rumah. Asal jangan naksir bapaknya, Kla,” nasihat Mama, membuatku menaikkan sebelah alis.
“Kenapa gitu?”
“Ya kan kamu tahu, dia itu duda, anak satu lagi. Kan nggak lucu, anak SMA kayak kamu dekat-dekat sama duda kayak gitu. Bukanya Mama pilih-pilih, tapi kalau ada yang bujangan, kenapa harus naksir sama duda, kan? Tapi, Mama ngerti, kamu itu modusnya aja mau terima kasih ke Ardha, paling juga mau main sama anaknya. Dasar! Umur aja udah 17, main nyarinya anak balita.”
Aku agak terkejut mendengar kata modus. Apa yang diucapkan mama, semuanya kebalikan, Ma! Seandainya mama tahu, kalau aku modusnya untuk bertemu anaknya, padahal berniat mendekati bapaknya. Om, kenapa sih kamu harus duda? Tapi nggak papa, kalau udah jodoh, bisa apa?
“Yuhuuuu? Om Nathan, Tante Dee?” sebuah suara menginterupsi percakapan antara aku dan Mama. Itu pasti Oxel.
Mama tampak ceria mendengar panggilan dari Oxel, yang sudah dianggap anak sendiri olehnya. Dan satu-satunya orang yang membuatku cemburu. Sukses mengalihkan keseriusan Papa dari koran menjadi ke handphone karena ditantang bermain get rich, atau menyenangkan Mama karena tiap Sabtu selalu mengajak mamaku untuk membuat kue. Mamaku memiliki bisnis bakery dan pernah bersekolah pattisier jadi sudah hobinya membuat kue dan makanan manis. Oxel memang sering datang di hari Sabtu saat libur untuk mengajak main Papa dan mencoba kue Mama. Sedangkan aku? Aku hanya tidur di kamar setiap Sabtu dan akan keluar jika kue yang Mama buat sudah jadi.
“Oxel? Akhirnya kamu datang juga. Tante baru mau bikin cappuccino cincau, biar segar pagi-pagi.” Mama mengisyaratkan Oxel agar duduk di meja makan. Aku pun turut duduk, karena harus meneguk susu yang sudah dibuatkan Mama tadi, sambil memperhatikan Oxel yang kini sibuk memperlihatkan sesuatu yang tampaknya menarik dari handphone-nya pada Papa. Ntah apa yang dibicarakan mereka, aku tidak mengerti.
“Cappuccino cincau sudah hadir.” Mama menyerahkan segelas capcin yang ditaburi banyak ceres di atasnya. Aku memberengut menatap susu vanilla milikku. Mana ceresnya?
“Om, kalau disuruh pilih, cappucino atau cincaunya?” tanya Oxel sok serius. Papa juga sok serius sambil menatap gelas yang dipegang Oxel.
“Cappucino-nya dong, kan itu inti dari minuman ini. Kalau kamu?”
“Cincaunya.”
“Kok gitu? Kan cappuccino yang jadi bahan utama dari minuman ini,” ujarku sewot.
Oxel tersenyum, “Karena berkat cincau ini, minumannya jadi terkenal dan bikin penasaran. Semua nggak akan penasaran kalau minuman ini cuma cappuccino tanpa cincau.”
Apa sih? Nggak jelas.
Emirah: waaahh makasih apresiasinya hehehe sedikit2 bcany jgn marathon hehehe
Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha