Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love You, Om Ganteng
MENU
About Us  

Ojek yang aku tumpangi berhenti di sebuah rumah besar yang pernah kudatangi beberapa hari lalu. Setelah meminta Mama untuk merahasiakan kemana aku pergi dari Oxel, akhirnya aku sampai juga di sini. Di rumah om ganteng. Lagipula, aku juga bosan kalau hanya duduk di rumah. Oxel pun pasti pulang ke rumahnya kalau matahari sudah tenggelam. Aku saja heran, ntah kenapa dia betah sekali di rumahku.

Dengan tekad kuat, aku menekan bel rumah besar itu. Aku berharap om ganteng itu ada di rumah, kan ini akhir pekan. Bukannya libur? Bukannya sosok tampan yang membuka pintu, malah sosok kecil yang kemarin memberikan tatapan sinisnya padaku, bahkan sampai saat ini tatapan sinis dan aura kebencian itu terlihat jelas di wajah mungilnya. Seandainya dia bertingkah manis, pasti lebih menggemaskan.

“Nenek sihir, ngapain ke sini?” aku melotot mendapati panggilannya. Nenek sihir? Wah, jahat sekali anak ini. Aku semanis ini dibilang nenek sihir? Mendengar panggilannya, seorang babysitter yang kuperkirakan usianya tiga puluhan, tertawa kecil.

Aku berusaha memberikan senyuman manis padanya, “Kakak bawain ini buat kamu,” ujarku mengangkat sekotak kue yang berisi banyak sekali brownies potong siap dimakan. Ya, aku sengaja buat banyak, mana tahu orang rumah ini doyan.

Aku beralih ke babysitter yang berdiri di belakang Oza, seingatku namanya Oza, “Mbak, om Ardhanya, mana?” Aku mengurungkan niat memanggil om ganteng. Untung Mama sudah sebut-sebut nama om ganteng, kalau tidak, bisa malu aku.

“Pak Ardha barusan pergi ke mall, ada barang baru atau apa gitu kayaknya, saya nggak ngerti, Mbak.”

Yah, niatku bertemu om ganteng masa terhenti di sini saja?

“Lama nggak ya, Mbak?” tanyaku lagi.

Babysitter itu menggeleng, “Nggak tahu. Kadang cuma satu jam sudah pulang, tergantung yang diurus. Biasanya sih kalau hari Sabtu cepat, nggak tahu juga, deh.”

Aku manggut-manggut. Babysitter itu kemudian mempersilakan aku untuk masuk, walau Oza bersikeras jangan membiarkanku masuk karena takut bapaknya diculik. Ya kali, aku bukan mau nyulik bapaknya, tapi kalau boleh bapaknya saja nyulik aku. Hehehe.

Ini pertama kalinya aku masuk ke rumah om ganteng dan yah seperti rumah pada umunya. Ada ruang tamu, foto-foto yang berbingkai, dan hal lain yang biasanya ada di dalam rumah. Mataku tertuju pada sebuah foto, itu om ganteng yang tampak gagah dengan tuxedo putih bersama seorang wanita cantik dengan gaun putih tanpa lengan. Asli, cantik sekali, aku tidak bohong. Sangat cocok bersanding. Mendadak, nyaliku ciut. Mana bisa aku mengalahkan pesona wanita cantik itu. Dari fotonya saja sudah cantik sekali, bagaimana kalau dilihat aslinya?

“Itu Bu Nadine, sudah meninggal pas melahirkan Oza. Cantik kan, Mbak? Saya pernah ketemu, dulu, jamannya masih jadi SPG di mall, pas Bu Nadine nemenin Pak Ardha. Baik banget orangnya, ramah lagi.” Babysitter yang ternyata bernama Mbak Tiwi setelah kuajak berkenalan itu kemudian menunjuk ke foto berbingkai kecil di atas bufet di dekatku, memperlihatkan sebuah foto wanita dengan gaya kasual. Itu Nadine. Bahkan, tanpa riasan pun, wajahnya cantik alami. Aku iri, ya Tuhan.

“Mbak tahu nggak, banyak banget perempuan yang suka datang ke rumah ini, ya kayak Mbak sekarang. Kalau Mbaknya kan bawa kue, lah kalau mereka kadang suka bawa mainan mahal buat Oza, atau pakaian, dasi, apa pun itu yang bisa digunakan Pak Ardha. Saya jujur nih, nggak suka sama perempuan-perempuan itu. Selain kelihatan sombong, mereka juga pakaiannya kayak kekurangan bahan. Kalau kayak Mbak sih, saya rela bukain pintu tiap hari.”

Aku meringis mendengar perkataan Mbak Tiwi. Ternyata, sainganku banyak, dan sepertinya dari kalangan wanita kelas atas. Lah aku? Hanya anak SMA yang masih harus menempuh jalur pendidikan selanjutnya untuk menyamakan kelasku dengan om ganteng. Itu pun aku tidak yakin akan segera sejajar. Dua dari lima bintang yang bersinar untuk membangkitkan semangatku rasanya sudah padam. Kenapa harus banyak saingan seperti ini sih? Tanpa saingan saja sepertinya sulit untuk menarik perhatian om ganteng. Apalagi begini?

“Ngomong-ngomong, Mbak kenal Pak Ardha dari mana, ya?”

Aku pun menjelaskan semuanya, dimulai dari aku menabrak om ganteng dulu, hingga kejadian pecah guci yang dialami mamaku. Mbak Tiwi ber-oh ria, seperti sudah tahu mengenaiku saja.

“Mbak, Oza mau minum susu, buatin!” rengek Oza pada Mbak Tiwi.

“Iya, Oza, tunggu di sini sama Kakak ini, ya, biar Mbak bikinin dulu susunya.”

Oza mengangguk, kemudian melirikku dengan tatapan marah.

Sepeninggalan Mbak Tiwi ke dapur, Oza masih mengurungku dalam tatapan tajamnya. Seram juga kalau lama-lama dilihatin anak kecil dengan tatapan mengintimidasi seperti ini.

“Kakak kan bukan orang jahat, Za, kenapa liatinnya kayak gitu?”

Oza mengerutkan dahinya, “Bukan orang jahat? Bohong. Nenek sihir pasti sama kayak Tante merah yang suka melotot ke Oza.”

Tante merah? Itu manusia, kan? Dari namanya kayak julukan untuk hantu.

“Aaaaaaaduuuhhhhhh!” sebuah teriakan menyadarkanku dari lamunan memikirkan tante merah. Itu Oza, tapi kenapa asal suaranya dari luar?

Aku segera berlari menuju teras rumah, mendapati Oza terjatuh dengan lutut yang sedikit terluka. Anak ini kapan berlari kesini? Licin sekali, macam belut. Aku berniar membantunya berdiri, tapi dia malah mendorong tanganku agar menjauh.

“Oza maunya dipegang Mbak Tiwi, bukan nenek sihir!”

Aku mengangkatnya begitu saja, toh anak kecil juga, kan? Seberapa besar sih tenaganya?

“LEPAS!” Oza menggerak-gerakkan badannya persis orang yang sedang kerasukan setan. Kuat sekali anak ini. Dikasih makan apa sih? Banteng?

“Oza, kamu diam, nanti jatuh gimana?” aku berusaha memegangnya erat agar tidak terjatuh. Bisa gila aku kalau om ganteng tahu anaknya jatuh dua kali.

“LEPASIN OZA, NENEK SIHIR JAHAT!”

“Oza, jangan banyak ger– aaaaa!”

BRUK!

Misi berhasil, Oza. Kita terjatuh. Pantatku sakit sekali, terduduk begitu saja di lantai teras dengan Oza menindih di atasku. Mama, aku jatuh. Hiks.

“Astaga, Mbak Kla, Oza?” Mbak Tiwi mengangkat Oza dengan wajah panik. Aku masih lemas dengan perut yang sakit dan pantat yang perih. Ditambah lagi kepalaku sedikit nyut-nyutan karena agak terbentur lantai.

“Obatin aja dulu luka Oza, Mbak. Nanti saya berdiri sendiri kalau pusingnya reda,” usirku pada Mbak Tiwi yang berniat turut menolongku.

Aku berusaha berdiri dengan bagian bawah yang nyeri. Dari pinggang sampai kaki, semua nyeri. Apa aku harus memasukkan anak itu ke karung dan membuangnya, agar aku hidup bahagia dengan om ganteng?

Aku masuk ke dalam rumah dengan terseok-seok, mendapati Oza yang sibuk meringis karena luka kecilnya tengah dibersihkan oleh Mbak Tiwi.  Aku duduk di depan Oza, merebahkan tubuhku begitu saja.

“Nanti Oza aduin ke Papa kalau nenek sihir bikin Oza jatuh.”

Aku melotot, “Kan kamu sendiri yang jatuh tadi. Kakak mau nolongin, eh pas digendong kamunya nggak mau diam. Lihat nih, punggung, pantat, kepala, semuanya sakit. Masa kamu mau ngaduin yang nggak mungkin terjadi, sih, Za?”

Aku menepuk-nepuk punggungku yang sakitnya baru terasa sekarang.

“Ayo, Za, nonton tv di dalam kamar, ya? Mbak mau beresin rumah, ini dari pagi belum diberesin. Ayo?” Mbak Tiwi menggendong Oza ke arah kamar. “Ah iya Mbak Kla, ayo ikut juga ke kamar Oza, sekalian bantu saya liatin Ozanya. Mbaknya juga bisa istirahatin punggungnya, kok.”

Aku menurut saja, karena memang tempat yang tepat untukku saat ini adalah kasur, walau hanya kasur anak-anak.

“Kamu tunggu di sini sama Kakak itu, ya? Mbak mau beberes dan masak.” Mbak Tiwi berusaha meyakinkan Oza kalau aku tidak jahat, tapi tetap saja wajah anak itu datar dan penuh amarah menatapku.

“Saya titip ya, Mbak, kerja saya banyak banget, soalnya Bibik lagi pulang kampung. Untung hari ini Mbaknya datang.”

Aku mengangguk, mempersilakan Mbak Tiwi mengerjakan pekerjaannya dan aku mengawasi tuan putri yang menyebalkan ini. Kamar Oza bukanlah seperti kamar anak kecil pada umumnya. Kamar ini termasuk sangat besar untuk dijadikan kamarnya. Bahkan wallpapernya juga bukan tokoh kartun atau barbie. Warna dalam kamar ini dominan cokelat dan putih, dengan tempat tidur king size yang empuk. Di sudut kamar terdapat meja belajar yang lebih mirip meja kerja berwarna hitam pekat elegan. Kamar ini lebih memiliki kesan kamar laki-laki dan gelap jika diperuntukkan bagi Oza.

Aku melangkahkan kaki menuju salah satu dari dua pintu cokelat tua yang ada di kamar ini. Membukanya, kemudian mendapati kamar mandi yang sangat mewah namun tidak berlebihan. Kamar mandi ini kurasa mampu menampung 5 orang untuk mandi bersama saking besarnya. Isi pintu satunya apa, ya? Ketika aku mau membuka pintu satunya, suara si kecil menyebalkan menginterupsiku.

“Nenek sihir banyak gerak, katanya sakit. Ngapain mau buka lemari baju Papa?”

“Iya sakit, tapi kepo sama kamar kamu yang besar ini. Lagian mana Kakak tahu kalau itu lemari Pap– apa? Lemari Papa kamu kok ada di ... tunggu dulu.” Aku meneliti ulang kamar ini. Ini memang tidak seperti kamar anak perempuan, jangan-jangan ini ....

“Ini kamar Papa,” ujarnya datar dengan wajah yang sama datarnya. Aku terdiam beberapa detik kemudian menggerakkan kakiku menuju tempat tidur dan duduk di sana, di sebelah Oza. Jadi ini rasanya berada di dalam kamar om ganteng?  Pantas saja suasananya gagah sekali.

“Kamar kamu di mana, Za?” tanyaku ramah.

“Di sebelah, tapi kalau malam ya di sini.”

Aku manggut-manggut. Wah, tumben dia mau menjawabku dengan baik dan benar.

“Jangan berisik lagi.”

Oke, dia kembali jadi anak menyebalkan.

Selama 2 jam, aku menemani anak om ganteng menonton kartun. Karena fokus hanya pada televisi, aku bisa mendengar tawa renyahnya, dibarengi tawaku juga pastinya. Sebenarnya dia anak yang asik. Kurasa, dia hanya tidak mau perhatian om ganteng terbagi. Maunya ya om ganteng sama dia saja. Belum lagi, wanita yang berdatangan ke rumah ini, pasti tidak menyenangkan dan sangat membenci Oza. Dari perkiraanku, itulah yang kudapat. Karena, kebanyakan kutonton di film dan kubaca di novel, seperti itu adanya. Bahkan, di kehidupan nyata juga seperti itu. Cleva contohnya. Tak perlu kuceritakan, yang jelas Cleva memiliki nasib yang sama dengan Oza. Bedanya, ayah Cleva tidak menikah lagi. Lah, om ganteng bukannya tidak menikah lagi, tapi belum. Kan, calonnya harus menuntaskan pendidikan dulu.

“Ayo, makan siang dulu, nanti lanjut lagi nontonnya.” Mbak Tiwi tiba-tiba muncul dibalik pintu kamar. “Mbak Kla gimana punggungnya? Saya sudah panggilkan tukang pijat, Mbak, langganan keluarga ini, nanti biar tagihannya masuk ke tagihan Pak Ardha saja nggak papa. Satu jam lagi tukang pijatnya sampai, Mbak bisa makan siang dulu.”

Aku mengangguk mengiyakan. Aku memang butuh tukang pijat. Selain karena sakit akibat jatuh tertimpa Oza, aku juga lelah karena sekolah. Hahaha, tidak apa kan memanfaatkan keadaan? Biar tubuh fresh kembali. Lagipula, jam masih menunjukkan pukul setengah satu siang. Tidak apa kan, main di sini sampai sore?

 

**********

 

Aku merasakan ada yang melemparkan bantal dengan kekuatan cukup penuh ke arahku. Ini kan hari Sabtu, kenapa Mama doyan sekali sih menggangguku? Kalau hari Sabtu, biasanya juga aku dibiarkan tidur di kamar seharian.

Kakiku seperti digoyangkan, seakan memberi perintah untuk bangun.

“Ma, udah deh, Kla kan libur. Bentar lagi deh Kla bangun, mandi,” ujarku kesal tanpa membuka mata.

“Mama kamu nggak ada di sini. Ini rumah saya, dan ini kamar saya.”

MAMPUS.

Aku tersentak, berdiri begitu saja di atas kasur. Karena baru bangun tidur, aku merasa keseimbanganku tidak bisa dikontrol, jadi aku jatuh begitu saja dan untungnya masih di atas kasur.

“Om ganteng?”

Om ganteng melemparkan tatapan mematikannya padaku. Jujur, itu membuatnya seksi, sekaligus menyeramkan.

“Sekarang sudah jam lima sore. Kamu ini bodoh atau gila? Tertidur di kamar orang lain sampai selama itu. Tiwi sampai nggak berani mau bangunin kamu gara-gara tidurnya sudah kayak orang mati begitu.”

Aku menutup mulutku dengan kedua tangan, terkejut dengan apa yang sudah terjadi. Tunggu dulu, aku ingat-ingat. Tadi aku makan siang bersama Oza, kemudian tukang pijat datang, lalu aku dipijat di kamar ini, di sebelahku ada Oza yang sibuk meledekku karena aku merengek ketika dipijat. Jujur, kupikir dipijat itu enak, ternyata menyakitkan, walau akhirnya memang enak. Sisanya aku tidak tahu lagi. Ngomong-ngomong, di mana Oza?

“Oza barusan pergi ke rumah neneknya. Tiwi juga sudah pulang. Kamu, kapan pulangnya?”

Aku menggigit pipi bagian dalamku.

“Om baru pulang?”

“Menurut kamu? Ya nggaklah. Saya sudah pulang sejak sejam yang lalu. Saya tunggu kamu bangun, tapi nggak bangun-bangun. Kamu itu tidur kok kayak orang mati sih?”

Aku turun dari kasur, membenarkan rambutku yang acak-acakan. Tunggu dulu, pas dipijat kan aku tidak pakai baju, kenapa sekarang bajuku terpasang? Aku menyilangkan tangan di dadaku, menatap om ganteng dengan penuh tanda tanya.

“Kenapa sih kamu?” tanya om ganteng dengan nada tersinggung. “Kamu pikir saya ngapa-ngapain kamu, gitu? Mana sudi! Sudah nggak usah mikir yang macam-macam, tunggu di luar, saya mau mandi. Nanti saya antar kamu pulang.”

Om ganteng masuk begitu saja ke kamar mandi, tanpa menungguku keluar dari kamarnya. Aku tahu sekarang, dari mana sifat menyebalkan Oza berasal. Dari bapaknya. Kenapa aku suka dengan pria model dia ya?

“Kamu masih di sana?”

Pertanyaan om ganteng membuatku buru-buru keluar kamar.

 

**************

 

Dalam perjalanan pulang, aku hanya bisa diam menatap ke luar kaca mobil karena om ganteng tidak berniat untuk bercakap denganku. Dan sedari tadi aku membuka percakapan, dia hanya berdehem sebagai jawaban, jadi aku memilih diam sekarang. Canggung sekali, tapi aku tetap suka.

“Sana turun!” usirnya padaku setelah sampai di depan rumah. Songongnya.

“Ikut yuk, Om?”

Om ganteng menggeleng, “Sudahlah, hari sudah mau malam. Sana turun!”

“Ya sekalian makan malam di rumah Kla. Ayolah, Om! Kalau nggak mau, aku juga nggak mau turun.”

“Saya paksa kamu turun.” Om ganteng keluar dari mobilnya, kemudian membukakan pintuku. Aku keluar, kemudian merangkul tangannya erat. Kena kau!

“Ayo ikut!” paksaku, yang mau tidak mau diturutinya.

Aku mengetuk pintu semangat, “Mamaaaa! Buka dong pintunya! Kla udah pulang nih, bawa tamu.”

Aku mendengar jawaban dari Oxel. Anak itu kenapa belum pulang juga, sih?

Yang membuka pintu bukanlah Mama tapi Oxel. Mata Oxel membesar ketika melihatku menggandeng om ganteng.

“Xel, ini om yang––“

“Om Ardha?”

“Oxel?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • Vnimu

    Emirah: waaahh makasih apresiasinya hehehe sedikit2 bcany jgn marathon hehehe

    Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha
  • emirah

    Tanggung jawab diriku langsung berangkat kerja tanpa tidur sedikit pun gara2marathon cerita ini huhu

    Comment on chapter Mama Klatina, Papa Ardha
  • dede_pratiwi

    nice story

    Comment on chapter Prolog
  • emirah

    Wah nih story ko bikin senyum-senyum sendiri ya padahal baru baca prolognya doang~

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Liar dan Jinak
491      336     2     
Romance
Andika Tahta adalah seorang mantan berandalan, di masa akhir SMP nya ia berniat untuk merubah dirinya untuk menjadi individu yang lebih baik. Namun, Andika selalu mendapat masalah dalam langkahnya untuk mengubah dirinya disamping itu, Andika terlibat dalam persoalan percintaan yang melibatkan temannya, Andika bimbang dengan keputusan yang ia pilih, siapa yang akan dia pilih?
Pasha
1281      575     3     
Romance
Akankah ada asa yang tersisa? Apakah semuanya akan membaik?
Dream of Being a Villainess
1374      786     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Belum Tuntas
4952      1709     5     
Romance
Tidak selamanya seorang Penyair nyaman dengan profesinya. Ada saatnya Ia beranikan diri untuk keluar dari sesuatu yang telah melekat dalam dirinya sendiri demi seorang wanita yang dicintai. Tidak selamanya seorang Penyair pintar bersembunyi di balik kata-kata bijaknya, manisnya bahkan kata-kata yang membuat oranglain terpesona. Ada saatnya kata-kata tersebut menjadi kata kosong yang hilang arti. ...
Hujan Bulan Juni
390      268     1     
Romance
Hujan. Satu untaian kata, satu peristiwa. Yang lagi dan lagi entah kenapa slalu menjadi saksi bisu atas segala kejadian yang menimpa kita. Entah itu suka atau duka, tangis atau tawa yang pasti dia selalu jadi saksi bisunya. Asal dia tau juga sih. Dia itu kaya hujan. Hadir dengan serbuan rintiknya untuk menghilangkan dahaga sang alang-alang tapi saat perginya menyisakan luka karena serbuan rintikn...
Ojek
845      583     1     
Short Story
Hanya cerita klise antara dua orang yang telah lama kenal. Terikat benang merah tak kasat mata, Gilang dihadapkan lagi pada dua pilihan sulit, tetap seperti dulu (terus mengikuti si gadis) atau memulai langkah baru (berdiri pada pilihannya).
Lost Daddy
5197      1174     8     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
Cadence's Arcana
6231      1620     3     
Inspirational
Cadence, seorang empath, tidak suka berhubungan dengan orang lain. Ketika dia kalah taruhan dari kakaknya, dia harus membantu Aria, cewek nomor satu paling dihindari di sekolah, menjalankan biro jasa konseling. Segalanya datar-datar saja seperti harapan Cadence, sampai suatu saat sebuah permintaan klien membawanya mengunjungi kenangan masa kecil yang telah dikuburnya dalam-dalam, memaksanya un...
FORGIVE
2073      736     2     
Fantasy
Farrel hidup dalam kekecewaan pada dirinya. Ia telah kehilangan satu per satu orang yang berharga dalam hidupnya karena keegoisannya di masa lalu. Melalui sebuah harapan yang Farrel tuliskan, ia kembali menyusuri masa lalunya, lima tahun yang lalu, dan kisah pencarian jati diri seorang Farrel pun di mulai.
Sang Musisi (2)
398      266     2     
Short Story
Apakah kau mengingat kata-kata terakhir ku pada cerita "Sang Musisi" ? MENYERAH ! Pada akhirnya aku memilihnya sebagai jalan hidupku.