Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kisah yang Kita Tahu
MENU
About Us  

Setiap pekan, kelas life survival (LS) diberikan pada hari kerja dan terpisah bagi kelas XI dan XII. Namun, pada minggu kedua setiap bulan, kelas dilangsungkan pada akhir pekan dan berbarengan bagi kedua angkatan. Kegiatannya bermacam-macam, tapi yang jelas semuanya dilakukan di alam.

Kegiatan inilah yang diberitahukan Kak Fira kemarin lusa di kantin, tetapi sebelum detail yang lebih rinci dijelaskan, dia keburu bertengkar dengan Mitos.

Sebut saja aku delusional, tapi nampaknya Kak Fira malu atas sikapnya di kantin kemarin itu. Dia jadi lebih kaku ketika bertemu denganku. Untungnya kami memang tidak berinteraksi kalau tidak perlu, jadi aku tidak usah canggung sering-sering. Meski, di satu sisi, rasanya sedih juga harus terpisah oleh jurang seperti itu dengan keluarga sedarah.

Kecanggungan itu, sialnya tidak hanya terbentuk di antara aku dan Kak Fira, tapi juga antara aku dan Fakta. Jujur, setelah mengeluarkan semua emosi negatifku di perpustakaan kemarin itu, rasanya aku lebih segar. Lebih siap menghadapi hari-hari di depanku. Soal tahap acceptance? Ya, rasanya aku bisa benar-benar mengklaim sudah sampai di tahap itu sekarang. Tapi, bagi orang yang jarang menunjukkan perasaannya seperti Fakta, momen kemarin itu sangat memalukan, meski di depan saudara sendiri, dan karena aku tahu Fakta merasa begitu, aku jadi terbawa rikuh.

Untung Mitos, entah memang sedang tidak mood atau karena perhatian, tidak menanyakan perihal kaburnya kami dari kantin, dan bersikap biasa-biasa saja, meski sedikit muram. Aku yakin Mitos sudah tahu, entah dengan cara apa. Mitos kan orang yang keponya hanya akan berhenti kalau kekepoan itu dikepokan kembali kepada dirinya, jadi kalau dia tidak menanyakan apa-apa, artinya dia tahu.

Aku memutuskan untuk mengikuti kegiatan LS akhir pekan ini.

Mitos tidak menyukainya, tapi dia juga tidak melarangku, atau, lebih parah, memaksa ikut. Padahal menurutku, kalau LS itu kegiatan yang membutuhkan kemampuan berpikir cepat dan fisik yang kuat, Mitos dan Fakta punya kemampuan yang jauh lebih siap daripada aku. Aku masih butuh digembleng di kelas olahraga yang reguler, terima kasih.

Hanya saja, karena Mitos sudah bela-belain bertengkar saking pentingnya masalah ini, aku jadi merasa aku harus berpartisipasi. Pasti ada sesuatu yang bisa kudapatkan dari acara ini. Sebenarnya aku takut kelepasan. Tapi kan sudah berbulan-bulan sejak terakhir kekuatanku muncul, plus akan ada Kak Daya dan Kamitua yang mengawasi. Seharusnya tidak ada ancaman nyawa serius.

Selain itu, dengan mengikuti kelas ini, aku merasa seperti sudah mengambil satu langkah ke depan, tidak lagi berdiam diri menunggu keajaiban datang. Barangkali ini juga yang membuat hatiku sedikit lebih tenang sekarang.

Kami berkumpul di lapangan depan dengan perlengkapan yang membuat bahuku rasanya mau copot pada pagi-pagi buta, sebelum matahari terbit. Kabut membuat jarak pandang menjadi terbatas, tapi tidak cukup terbatas untuk melindungiku dari tatapan penasaran orang-orang yang menoleh dua kali ke arahku, satu-satunya anak kelas X yang ikut. Kalau bukan karena ranselku, mungkin aku cuma akan dikira sebagai pengantar pesan atau apa. Tidak apa-apa sih kalau cuma menoleh… tapi pada tolehan yang kedua, mereka dengan kentara menggeser posisi mereka. Menjauh, bukan mendekat.

“Wah, kayaknya ada yang gue kenal nih,” satu suara tiba-tiba berkata di belakangku.

Dengan takut-takut, aku menoleh.

Kak Adrian sedang bersidekap dan menyeringai, geliginya yang seputih mutiara tidak tampak menawan, malah menyeramkan. Awas saja kalau ternyata dia punya kekerabatan dengan Getigeni. Kalau dilihat dari kehausdarahannya, sepertinya sih mungkin-mungkin saja.

“Jadi elo yang bikin musibah kemarin itu? Lo tau, banyak sepupu gue yang jadi korban gara-gara lo?”

Suaranya yang keras menarik perhatian semua orang. Telingaku mulai berdenging di bawah tatapan menyelidik mereka, tapi aku sempat menangkap beberapa orang berbisik soal betapa beraninya Kak Adrian. Aku sampai menghela napas. Masa sih Kak Adrian mau melabrakku hanya demi reputasi? Kalau benar, dia lebih queen B daripada yang kuduga.

Di belakangnya, sepupu-sepupunya berdiri dengan lengan berlipat. Sekarang aku tahu nama-nama mereka. Yang badannya paling jangkung, mungkin lebih dari dua meter (pokoknya tinggi sekali sampai kepalaku harus diangkat 90 derajat supaya bisa melihat jidatnya yang nonong itu), namanya Kemal. Yang paling pendek di antara mereka—masih dua puluh senti lebih tinggi dari aku—bernama Virgian. Lalu satu lagi, yang bibirnya semancung paruh burung—bibir lho ya, bukan hidung—bernama Chandra. Kata Mitos, mereka berempat sudah ngegeng sejak kecil, macam F4 gitu lah.

Mereka ternyata populer di kalangan wanita. Padahal tidak ganteng-ganteng amat. Ya, memang, aku memandang mereka dengan mata cowok. Tapi, rasanya sih kalau harus membuat timbangan, level kegantengan mereka tidak mengalahkan sifat mereka yang suka menindas, jadi kenyataan ini, menurutku, adalah suatu ketidakbiasaan.

Ah, benar juga.

Bukankah tidak biasa sudah jadi tema hidupku ya?

“Ngapain lo di sini? Mau makan bogem gue lagi?” Sambil diangkat, Kak Adrian menyalakan kepalan tangannya. Aku mundur selangkah. “Kenapa? Takut?”

Salah ya kalau takut? jawabku, tentu saja, dalam hati.

Zhuuttt—Kak Adrian mengibaskan tinju berapinya di depan mukaku. Spontan saja aku melompat mundur lalu, mendarat dengan cara yang salah, jatuh terjengkang. Ranselku yang beratnya seperti gunung adalah satu-satunya benda yang membuatku tidak sampai telentang di atas lantai ber-paving block.

Tapi tetap saja pantatku sakit. Dan sementara aku merutuki nasib, Kak Adrian menyambar kerah jaketku dan menarikku sampai aku setengah bangun. Hanya dengan satu tangan.

“Heh. Bukannya lo si monster yang katanya bikin setan-setan drakula itu kocar-kacir? Mana? Nggak bisa apa-apa lo sekarang?”

Aku mengangkat kedua tanganku, sebagai gestur menyerah, berharap Kak Adrian segera kehilangan minat dan melepaskanku. Tapi aku salah. Matanya malah semakin menyala-nyala.

“Atau jangan-jangan bener?” dia berkata pelan, sehingga kurasa hanya aku yang bisa mendengarnya. “Lo sebenernya nggak bisa apa-apa?”

Aku ingin menjawab, tetapi leherku agak tercekik dan mengerahkan udara untuk keluar melaluinya membutuhkan usaha ekstra.

“HAH!!!” Kak Adrian tertawa keras. Aku mengerjap dari hujan lokal yang ditimbulkannya. Setelah ini aku akan menggosokkan mukaku di tanah supaya bersih. Kalau mukaku tidak keburu bonyok gara-gara dihajarnya. “Jadi sebenernya lo cuma pecundang yang nggak bisa apa-apa?”

Meskipun aku bilang aku sudah menerima bahwa tidak ada jalan keluar dari masalahku selain waktu, tetapi menghadapinya tetap menyakitkan. Aku meyakinkan diriku bahwa alasan aku tidak menjawab kata-katanya sedikit pun adalah karena leherku tercekik, tapi di masa depan, mungkin, suatu saat, aku akan berani mengakui bahwa aku tidak menjawab kata-katanya karena takut air mataku akan membeludak.

“Terus… ngapain lo masih di sini? Lo seneng berpura-pura kuat? Karena ketika keluar dari sini, lo bukan apa-apa, ya kan? Kenapa? Mau nangis? Nangis lo sekarang?”

Leherku terasa panas. Asap berbau kain terbakar mengepul dari bawah hidungku. Jaketku terbakar, seperti kain terbakar setrika.

“Dri, hei, Dri,” panggil Kak Chandra, meletakkan tangannya di pundak Kak Adrian.

“Diam, Ndra. Gue belum selesai,” kata Kak Adrian sengit, tanpa melepaskan matanya dariku. “Gue paling benci orang lemah munafik. Orang lemah penipu. Terutama, orang lemah yang menipu dirinya sendiri bahwa dia berhak berada di antara orang-orang yang kuat!”

Napas Kak Adrian memburu. Aku tidak meragukan kebenciannya. Meski aku merasa aku tidak berhak dibenci tanpa pernah melakukan hal buruk padanya sekali pun (oke, mungkin menumbangkan puluhan sepupunya tahun kemarin itu termasuk melakukan hal buruk padanya juga), tetapi aku tidak bisa membela diri.

Setiap orang punya hak untuk mencintai, maka setiap orang pun punya hak untuk membenci. Di dunia ini, ada orang yang tidak suka jengkol padahal belum pernah memakannya. Atau tidak suka naik gunung padahal belum pernah melakukannya. Dan ada pula yang tidak menyukai seseorang meski tidak pernah berinteraksi dengannya. Aku juga pernah begitu. Tidak suka cewek yang selalu menangis setiap kali presentasi di muka kelas. Tidak suka cowok yang sering meminjam uang meski dia membayarnya.

Tapi… apakah membenci akan menghasilkan sesuatu?

“Terus,” kataku dengan rahang terkatup. “Aku harus ngapain, Kak?”

Kak Adrian menyipitkan mata.

“Lo nanya gue, harus ngapain?! HAH!!!” Dia menghempaskanku ke tanah, seperti membanting boneka kaca agar pecah berkeping-keping. Dan dia berhasil.

Aku teronggok di tanah tanpa bisa bangkit lagi.

Harga diriku telah tercabik jadi serpihan.

“Najis,” maki Kak Adrian, sementara kedua tangannya mengobarkan api merah membara. Kemudian, dia melakukan sesuatu yang tidak pernah kubayangkan akan pernah dilakukannya. Dia menarik tangannya ke belakang, lalu dengan kekuatan penuh dia melecutkan tangan itu ke depan, melepaskan bola api sebesar bola sepak yang berdesing seperti iblis dari neraka.

Bulatan putih panas memenuhi pandanganku, membutakan.

Kemana kekuatanku saat aku membutuhkannya?

Ah, ya… aku…

..

.

tidak punya kekuatan apa-apa.

“Hei!”

BTOOOMMMM!!!

Ledakan itu tepat terjadi di depan mukaku. Membuat poniku mengeriting.

Bukan meledakkan mukaku, syukurlah.

Mukaku yang three of a kind ini masih utuh, menempel di kepalaku dengan sempurna, meski penglihatanku sekarang dipenuhi bercak-bercak merah-kuning-hijau gara-gara baru saja menatap langsung cahaya putih menyilaukan.

Aku mengerjap-ngerjap, mencoba menormalkan retinaku. Sesaat saja kepalaku terasa agak pusing.

Ada keributan di sekitarku, tapi aku tidak bisa menangkap dengan jelas sepatah kata pun. Ledakan barusan membuat telingaku pekak.

Eh, sebentar. Kenapa bisa terjadi ledakan?

Kukira bola api itu akan melumat mukaku seperti api melelehkan lilin.

Kulepaskan ransel dari bahuku, kemudian kugunakan benda itu sebagai tumpuan untuk berdiri. Selama beberapa saat rasanya aku seperti berada di dalam air. Akhirnya, indera-inderaku kembali tajam, tapi apa yang kulihat benar-benar di luar dugaan.

Seseorang bertubuh tinggi kurus bagaikan tiang listrik, dengan rambut awut-awutan yang juga persis kabel listrik yang semrawut, sedang berdiri memunggungiku. Cara berdirinya santai dan cenderung malas-malasan, dengan kedua tangan masuk ke saku.

“Siapa lo?” bentak Kak Adrian gusar.

“Bukan orang yang lo perlu tau,” si tiang listrik menjawab. Nada bicaranya jenaka sekaligus mengejek. Bagi yang tidak mengenalnya, dia kelihatan seperti orang yang kebanyakan meringkuk di kamar bermain videogame dan bersikap sinis pada orang-orang yang hidup di dunia nyata dengan sungguh-sungguh, karena dia punya dunia sendiri dengan aturan main sendiri yang tidak dipahami dan tidak dianut oleh masyarakat umum.

Tapi di mataku, yang sudah melihatnya dari dekat sejak aku lahir, ada ancaman dalam sikap tubuhnya, ada emosi bengis dalam suaranya.

Dia, seperti Mitos, adalah sulung dari tiga bersaudara. Maka dia, seperti Mitos, bisa overprotektif pada mereka yang berada di bawah lindungan sayapnya.

Dia adalah tetanggaku, kakakku tak sedarah, Kak Tessa.

Aku membuka mulutku untuk memanggilnya, tapi pada saat yang bersamaan, beberapa orang muncul di gerbang.

“Saya dengar ada ledakan,” kata Pak Rangga, yang datang diikuti Pak Buncit, beberapa guru yang belum kukenal, dan seorang laki-laki yang kalau dari segi postur tidak akan kelihatan janggal di tengah-tengah barisan Adikala, tetapi mengenakan kaus hitam dengan emblem Reksaraga. Di lehernya tergantung peluit kayu dengan bentuk kepala harimau.

Kak Tessa meregangkan otot lehernya, lalu memutar sendi bahunya.

“Iya, Om. Gue juga kaget.”

“Jangan panggil saya Om!”

“Terus harus manggil apa dong?”

Aku langsung mengkeret melihat urat Pak Rangga tiba-tiba menonjol di pelipisnya, takut tiba-tiba pecah.

“Terserahmulah.”

“Nanti gue panggil Om lagi, marah lagi.”

Pak Rangga memberi Kak Tessa tatapan datar yang bisa menyaingi Fakta. Sadar kalau remaja di depannya itu bukan tipe yang bisa diintimidasi, Pak Rangga mengalihkan perhatiannya dari Kak Tessa. Dia mengecek arlojinya sekilas.

“Masih ada waktu dua puluh menit sebelum kita berangkat,” katanya dengan suara perut yang sampai sekarang tidak kunjung bisa kutiru. Trez pasti bakal macho banget kalau bisa mengerahkan suara perut seperti Pak Rangga. Tapi Trez badannya kerempeng seperti aku, bakal berpengaruh tidak ya? “Cek spek!”

“Baik, Pak!” anak-anak menjawa a la militer. Lalu mereka semua menurunkan ranselnya dan saling mengecek isinya dengan teman-teman mereka dalam kelompok-kelompok kecil.

Geram, tapi tidak berani melakukan apa-apa, Kak Adrian mengajak konco-konconya untuk mundur dan mengecek barang bawaan mereka seperti yang lain. Kak Tessa memerhatikan mereka selama beberapa saat sebelum berbalik ke arahku.

“Hei, Gen,” sapanya santai. Dia selalu memanggilku Gen. Salah satu alasan mengapa aku sangat mengaguminya.

Pasti kalian berpikir ini cuma masalah sepele dan aku terlalu lebay, ya kan? Tapi masalah panggilan ini penting sekali buatku. Tahu kan, Mitos dan Fakta biasa memanggilku Le? Rasanya seolah-olah aku ini anak muda yang tak tahu jalan hidup dan sedang diberi nasihat oleh kakek-kakek bijak. Mengerti maksudku? Tidak? Yasudah deh, aku tidak akan membahasnya lagi.

“Kakak ngapain di sini?” tanyaku.

“Gue diajak ikut kelas life survival kalian. Sebenernya sih males ya. Cuman gue kasian sama Om Gaga. Dia udah buang-buang pulsa neleponin gue mulu dari kemaren-kemaren, menghiba-hiba minta gue dateng. Sesekali gue ladenin lah, sebelum dia kehilangan rasa percaya diri.”

Arogan sekali. “Siapa Om Gaga?”

Ada binar nakal di mata Kak Tessa, yang tidak bisa diredam oleh kacamata bundar segede-muka-setebal-pantat-botolnya. Kak Adrian sih kacamatanya stylish ala-ala hipster. Tapi Kak Tessa benar-benar terlihat sangat otaku, tipe orang yang para ibu tidak akan sudi membiarkan anak gadis mereka dekat-dekat.

“Siapa lagi menurut lo?”

Sepertinya aku tahu mengapa guru matematikaku itu lebih memilih mengabaikan Kak Tessa, meskipun itu artinya menurunkan kharismanya di depan murid-murid sedikit.

“Gue kirain anak kelas sepuluh belum boleh ikutan? Katanya bahaya. Mitos tau lo ikutan?”

Aku mengangguk.

“Dia nggak ngamuk?” kata Kak Tessa heran. Kak Tessa tahu sekali soal kami.

“Protes sih. Tapi Kak Fira menang argumen kayaknya, jadi Mitos lebih banyak diam belakangan ini,” kataku murung.

“Fira?” Kak Tessa mengerutkan kening. Lalu menunjuk melalui bahunya dengan jempol. “Fira Atmaspara? Yang di pojok itu?”

Aku mengikuti arah yang ditunjuknya. Benar, dia menunjuk Kak Fira, yang rupanya sedang mengawasi kami dan langsung terperanjat ketika tiba-tiba bersitatap denganku. Dia buru-buru kembali mengecek ransel bersama teman-temannya (atau mungkin sepupu-sepupunya, berhubung mereka semua mengenakan jaket putih dengan emblem Atmaspara di punggung).

Sekali lagi aku diingatkan akan kemampuan observasi Kak Tessa. Matanya mungkin harus dibantu lensa supertebal yang oleh tukang kacamata pasti disarankan agar diganti softlens, tapi ketelitiannya tinggi sekali. Aku saja baru sadar kalau Kak Fira sudah ada di sini.

“Iya. Kok Kakak tau?”

“Gue kan jago.”

Jawaban yang nyambung sekaligus tidak. Kenapa aku dikelilingi orang-orang yang songong dan super pede begini sih? Apakah diriku di kehidupan yang sebelumnya suka menyombong dan meleluconkan orang ya? Jadi sekarang waktunya menuai karma, gitu.

“Trus, ini kalian disuruh bawa apaan?” Kak Tessa bertanya.

“Yaa perlengkapan,” kataku, sambil membuka ranselku untuk cek spek seperti yang lain. “Kak Tessa nggak bawa apa-apa?”

Kak Tessa menggeleng tanpa dosa. “Bukannya ini kelas life survival? Gue kirain kalian bakal dilepas ke hutan tanpa bekal apa-apa, terus seminggu kemudian dicek siapa yang masih hidup.”

“Kak, ini bukan novel dystopian!” kataku gemas.

“Lo nggak cek spek bareng yang lain?”

Sekali lagi aku menatap sekeliling. Sekali lagi aku merasa bodoh. Memangnya ada yang mau berinteraksi denganku? Sejauh ini, yang mau meladeniku itu hanyalah orang-orang yang sadis. Kak Fira. Kak Adrian. Dan sebenarnya sekarang ini aku diawasi ekstra oleh Komite Disiplin—lebih tepatnya sih oleh Kak Saza.

Oh iya, rasanya aku tidak melihat Kak Saza dan Kak Daya. Belum datang? Tidak datang? Gawat kalau mereka tidak ada.

“Tuh ada yang lagi sendirian juga,” Kak Tessa tiba-tiba menyeletuk, sambil menarik kerah tengkukku, seperti induk kucing menjinjing anaknya. “Ayo sini.”

“Eh, eh, ehhhkkk…”

Aku pun gelagapan menyeret ranselku.

Jujur, aku sangat kaget melihat Kak Tessa ada di sini. Super, duper, amat, sangat, kaget. Tapi kaget jenis yang baik. Seperti kaget tiba-tiba diberi efek gitar baru oleh Mitos dan Fakta sebagai hadiah ulang tahun (meski aku harus merogoh kocek dalam-dalam untuk memberikan Mitos sepatu lari dan Fakta novel roman 4-jilid sebagai gantinya. Maksudku, kenapa Mitos dan Fakta bisa urunan membelikanku hadiah, tapi aku harus sendirian membelikan mereka berdua? Yang adil itu kan kami saling memberi, jadi tiap orang dapat dua dan memberi dua).

Soalnya Kak Tessa itu orang yang selalu jadi panutanku.

Tapi rasa kaget yang baik itu mulai luntur.

Karena dia bukan hanya menuntunku ke seorang kakak kelas penyendiri yang pastinya canggung tiba-tiba didatangi orang asing yang bisa meledakkan bola api Kak Adrian. Dia menuntunku ke tempat Kak Nirmala.

“Hei, sepupu,” Kak Tessa menyapa. Ketika Kak Nirmala hanya melongo menatapnya, Kak Tessa menunjuk emblem Adikala di jaket Kak Nirmala, lalu menjentikkan jarinya dan menyalakan api lilin di telunjuknya. Kak Nirmala spontan beringsut menjauh.

“Kak!” aku menegur.

Kak Tessa mengerutkan kening sambil menatap telunjuknya. Kemudian, dia mengibaskan tangannya dan apinya mati seketika. Dia berjongkok di depan Kak Nirmala, bertopang dagu.

“Mala?” tebaknya.

Mata Kak Nirmala sedikit melebar. Bukan hanya dia, aku juga tercengang. Setahuku, Kak Tessa ini belum pernah bertemu sebagian besar anggota keluarganya, hanya mereka yang ikut bertempur di sarang Getigeni waktu itu, dan mereka bukan anak-anak sekolah tentu saja. Memang, sesudahnya dia dirawat di klinik Perisai di gunung ini (karena dia juga korban mind anesthesia-ku), tapi bukan berarti dia sempat bersosialisasi.

Lalu dia tahu nama-nama ini darimana?

Dan kenapa dia bisa langsung menebak nama Kak Nirmala dari sikapnya?

Otak Kak Tessa berputar dalam kecepatan yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Ini alasan kedua kenapa aku mengaguminya: karena dia bisa mengalahkan mind reading Mitos dan deduksi Fakta semudah mengusir lalat dengan tangannya. Jadi kalau aku sudah muak dikerjai kakak-kakakku, biasanya aku tinggal mengadu pada Kak Tessa dan mereka akan berhenti.

walau sebenarnya itu sama seperti keluar dari ladang ranjau, masuk ke mata air panas

“Gue dengar soal lo dari si Om,” kata Kak Tessa. “Gue turut berduka cita.”

Hah? Apa? Aku tidak paham.

Kak Nirmala tetap diam.

Kak Tessa mengangkat bahu. “Gue nggak bakal maksa lo ngapa-ngapain, tenang aja. Gue juga nggak suka orang menganggap gue harus melakukan sesuatu hanya karena siapa gue. Gue sih percaya, dengan sedikit latihan gue bisa punya Pamong seperti Reksaraga. Dan gue akan melakukan itu kalau gue mau. Persetan dengan bakat warisan. Siapa yang butuh firestarter di muka bumi ini? Udah ada teknologi kompor, gitu. Orang naik gunung juga bawa kompor, nggak lagi ngegosok-gosok ranting sama batu. Ya nggak?”

Sekilas saja, omongan Kak Tessa seperti meracau. Tapi, betapa mengguncangnya!

Segaris senyum menampakkan dirinya di balik poni panjang Kak Nirmala.

Rasanya jantungku mau copot sekarang juga.

Mendadak tangan Kak Tessa terjulur. Tubuh Kak Nirmala langsung menegang. Tapi, Kak Tessa tidak berhenti. Aku hendak menegurnya lagi, tapi seperti ada biji salak di kerongkonganku.

Tangan Kak Tessa menyentuh kepala Kak Nirmala, lalu mengusapnya.

Seperti yang biasa dilakukannya kepada adik-adiknya, yang lebih brocom daripada kakak-kakakku. Seperti yang dilakukannya waktu aku berhasil memainkan sebuah lagu dengan gitar untuk pertama kalinya.

Dan aku bisa melihat efek yang sama juga muncul pada Kak Nirmala.

Dadaku bergemuruh.

Aku tidak tahu siapa yang kucemburui. Kak Tessa, yang bisa membuat Kak Nirmala tersenyum. Atau Kak Nirmala, yang mendapatkan perhatian Kak Tessa.

Aku ini manusia menyedihkan yang selalu bergantung pada orang lain, tidak bisa berdiri sendiri.

Dan pagi ini aku menyadarinya dengan cara yang cukup menyakitkan.

 

#

 

Sesuai dugaanku—yah, memang tidak perlu kemampuan menduga yang hebat sih—seluruh gunung ini milik Perisai. Lebih hebatnya lagi, anak-anak kelas XI dan XII sudah hafal seluk-beluk gunung ini. Mereka bisa tanpa pakai mikir menghindari perangkap, memilih jalan di percabangan, dan mencari sumber air. Aku yang Pramuka saja tidak pernah ikutan, hanya bisa pasrah mengikuti mereka yang jalannya cepat-cepat banget, karena aku tidak bisa membaca peta. Untungnya, karena kami banyak, meskipun aku terseok-seok mengikuti, aku tidak sampai kehilangan jejak.

Satu-satunya penghiburanku adalah aku tidak sendirian menjadi buntut dari rombongan.

Kak Tessa, yang perawakannya lebih mirip Reksaraga daripada Adikala, kelihatan sudah mau mati setelah kami mendaki selama dua jam. Padahal dia tidak membawa carrier seperti yang lain.

“Mau minum, Kak?” aku menyodorkan botol minumanku ke arahnya.

Dia mengangkat tangannya.

“Nggak usahhhh… guehhhh… bisa minumhh… ludahhhh sendirihhh…”

Aku menelan komentarku. Masih mending menelan ludah sendiri, daripada menelan keringat. Iiiyuuhhh

“Kenapa kamu nggak bawa perlengkapan?” tanya Kak Nirmala, yang sebenarnya lebih terbiasa menjelajahi hutan ini daripada aku dan Kak Tessa, tapi dengan baik hatinya menyelaraskan kecepatan dengan kami.

“Gakhh… adahhhh… yang bilangghhh…”

“Pak Rangga nggak bilang?”

“Mungkinhhh… guehhh… gak dengerhhh… udahhh janganhhh… ngajakkkkh ngobrol…”

Itu sih salah sendiri, pikirku.

Tujuan dari kelas hari ini, kata Pak Buncit, adalah melakukan pemetaan. Kami dimobilisasi ke salah satu checkpoint yang jaraknya sekitar sepuluh kilo ke arah timur timur laut dari Matra, kemudian dari sana kami dibagi ke dalam kelompok-kelompok untuk melakukan pemetaan. Pemetaan yang dimaksud adalah menandai lokasi-lokasi yang strategis untuk menempatkan camp, menanam perangkap, dan membangun watch tower.

Seperti Kak Tessa, rupanya aku juga telah salah paham soal kelas life survival ini. Yang dimaksud survival bukan soal membedakan daun-daunan yang bisa dimakan dan yang tidak, melawan hewan buas, dan menentukan arah menggunakan matahari. Melainkan cara bertahan hidup dalam kondisi tempur. Bagian bertahan hidup di alam liar-nya termasuk dalam kurikulum, tapi dikupas pada semester ganjil. Jadi bagiku dan Kak Tessa yang tiba-tiba nongol di semester genap, kami seperti bayi yang melewat proses merangkak dan malah langsung berenang.

Tapi Kak Tessa kan pintar, paling dia hanya perlu lebih banyak berolahraga dan dia pun bisa nyebur seperti yang lain. Otaknya encer, apinya juga kuat. Kalaupun dia tidak bisa berstrategi—yang amat tidak mungkin—dia bisa mengeluarkan bola-bola apinya yang lebih panas daripada pembakaran elpiji itu.

Pada tengah hari, kami tiba di sebuah bangunan yang kira-kira sebesar rumah tipe 45. Kakiku gempor dan seluruh tubuhku berdenyut karena panas dan lelah. Pak Rangga menyuruh anak-anak berbaris, dalam kelompok-kelompok yang anggotanya antara lima sampai sepuluh orang.

Nampaknya kelompok-kelompok ini sudah terbentuk sejak pelajaran-pelajaran sebelumnya. Semua orang langsung memisahkan diri tanpa perlu berunding, apalagi rebutan anggota. Aku bertukar pandangan dengan Kak Tessa (Kak Nirmala tidak melirikku sama sekali). Kuharap Pak Rangga tidak akan memisahkan kami dan menyebar kami ke kelompok lain karena anggota kami kurang.

Tapi kekhawatiranku tidak perlu.

Entah hasrat terpendam dewa sadis dari kepercayaan mana, F4 tukang sate menghampiri kami, meningkatkan jumlah anggota kelompok bontot ini menjadi lebih dari dua kali lipat.

Aku terpaku di tempat, Kak Nirmala bergeser ke belakang Kak Tessa, dan Kak Tessa mengangkat kepalanya dengan malas. Tapi, karena dia amat sangat kelelahan dan seluruh tubuhnya mengeluarkan asap tebal seperti vulkano yang mau meletus, gayanya lebih kelihatan pasrah tak bertenaga daripada santai tapi keren.

Kak Adrian menatap kami dengan hidung teracung sampai aku bisa melihat upilnya bergelantungan bagaikan Tarzan.

Ah, sebenarnya, aku cuma melihat lubang hitam sumber nestapa, tapi kurasa menggambarkannya sebagai pria berupil membuat derajatnya turun beberapa lantai, ya kan? Meskipun tidak ada yang mengetahui pemikiranku ini kecuali Mitos (nanti).

“Jadi lo yang namanya Antitesis?” kata Kak Adrian, setiap suku katanya penuh dengan racun mematikan.

Kak Tessa mengedip pelan, seperti sudah tidak sabar ingin segera berbaring dan tidur sampai minggu depan.

“Wah, lo denger dari siapa?”

“Nggak usah sok rahasia, lo kampret!”

Kak Tessa mengangkat tangan. “Boleh minta makiannya diganti nggak? Gue lebih prefer orang maki-maki pake anjing. Soalnya ada celana kampret, tapi nggak ada celana anjing. Ngerti kan?”

Kak Adrian nampak makin naik pitam. Aku khawatir tekanan darahnya meningkat ke angka yang berbahaya, apalagi dia kan baru saja berolahraga berat.

Kak Adrian menyambar leher jaket Kak Tessa, memaksanya bangun. Dia senang sekali bicara langsung ke muka orang sambil memberi hujan buatan. Memang dalam keadaan lelah dan gerah, kami sangat butuh air. Tapi jangan air yang itu, plis.

Tinggi mereka sama, tapi volume tubuh mereka satu banding dua. Aku tidak akan meragukan kemenangan Kak Tessa kalau mereka main fire dodge ball, tapi aku juga tahu persis siapa yang bakal menang kalau mereka adu jotos.

“Wah, makasih,” ujar Kak Tessa. “Gue memang butuh bantuan berdiri.”

Masih saja sarkastis meski suaranya sudah seperti burung pipit dipancung.

“Lo pikir lo lucu?!” geram Kak Adrian.

“Kalo gue merasa lucu, gue udah jadi komedian dari dulu.”

“Lo pikir lo pinter?!” suara Kak Adrian makin berbahaya.

“Kalo gue merasa bego, gue udah masuk Matra dari dulu.”

“Apa-lo-bilaaaangggg?!!!” Tangan Kak Adrian mulai berasap. Sesuatu yang mengejutkan kemudian terjadi. Terdengar bunyi decit keras, seperti listrik dihubung singkat, dan Kak Adrian melompat mundur. Kak Tessa agak limbung, tapi kemudian bisa menegakkan diri. Wajahnya nampak bete, sebete-betenya wajah yang pernah kulihat.

“Panasssss,” gerutunya sambil memelototi Kak Adrian. Dia menanggalkan jaketnya dan membantingnya ke tanah. Bagian jaket yang dipegangnya tersulut api. Aku buru-buru menginjak-injaknya supaya padam.

Kak Adrian menatap tangannya. Ada luka merah tua memanjang di sana. Luka tersundut.

Dia mengepalkan tangannya dengan geram. “Lo pikir lo siap—“

Terdengar bunyi decit lagi seperti tadi, tapi lebih keras, disusul dengan beterbangannya dedaunan kering dari tanah. Dan gosongnya jaket Kak Tessa.

“Adrian!” tegur Pak Rangga, menyeruak di antara kumpulan murid yang rupanya berkerumun di sekitar kami. “Ngapain kamu?!”

Kak Adrian tidak menjawab, tapi sikap tubuhnya merelaks.

“Nggak bisa ya kalian akur seperti saudara yang seharusnya?” kata Pak Rangga sambil memberi Kak Tessa dan Kak Adrian pelototan yang sama intensnya.

“Gue nggak bakal pernah mengakui dia saudara,” kata Kak Adrian sengit. “Orang yang nggak pernah ada buat kita selama ini!”

“Gua nggak peduli lu berpendapat apa,” kata Pak Rangga, menanggalkan gaya bicaranya yang formal. “Dia kepala keluarga lu. Hormati dia seperti sudah sepantasnya!”

Audiens mulai berdengung. Nampaknya hanya sedikit di antara mereka yang tahu siapa orang berwajah culun ini, dan lebih sedikit lagi yang tau bahwa dia sudah resmi diangkat menjadi kepala keluarga. Aku juga baru tahu hal yang kedua itu, sejujurnya. Maksudku, ya, aku tahu Kak Tessa akan diangkat menjadi kepala keluarga, tapi kupikir semua itu belum jadi berita resmi. Terakhir kudengar masih ada faksi-faksi yang menentang dan perlu dibujuk.

Pak Rangga mendekati Kak Adrian dan bicara dengan suara rendah, cukup rendah sehingga hanya kami yang berada di dekat mereka yang bisa mendengarnya, “Lu jangan bikin malu nama keluarga kita.”

Kata-kata itu seperti air es yang mengguyur Kak Adrian, meninggalkannya basah dan lepek. Dia nampak sangat terpukul.

Aku tidak mengerti.

Kalau dia peduli akan nama baik keluarganya, mengapa dia suka membuli Kak Nirmala?

Seolah-olah bisa mendengarku, pandangannya yang penuh kebencian, lebih efektif daripada mata Medusa, beralih kepadaku.

“Jadi kalian satu tim?” kata Pak Rangga tiba-tiba.

Aku dan Kak Nirmala menoleh dengan cepat sampai rasanya aku mendengar dua derakan sendi leher yang menyakitkan. Kak Tessa tidak bereaksi, sementara Kak Adrian dan gengnya terbelalak, seperti baru disuruh minum keringat. Iiiyuuhhh

“Oke. Bagus. Tapi tim ini agak nggak imbang,” Pak Rangga melanjutkan. Dia tersenyum. Tidak, lebih tepatnya, menyeringai. Lebih mengerikan daripada vampir. Lebih mengerikan daripada Kak Adrian. “Fir!” dia berteriak.

Kak Fira menyahut dengan sigap.

“Ya, Pak.”

“Masuk tim ini.”

Aku tidak punya waktu untuk memerhatikan ekspresi Kak Fira saat mendengar perintah Pak Rangga. Aku terlalu sibuk mengingat-ingat semua dosa yang pernah kulakukan baik di dunia nyata maupun di dunia mimpi untuk mendapatkan hukuman seberat ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • drei

    @yurriansan halo.. makasih sudah mampir XD

    Comment on chapter I.
  • yurriansan

    Nama tokohnya juga anti mainstream :D.
    Klau berkenan kunjungi story ku juga ya. Trims

    Comment on chapter I.
  • yurriansan

    Hai, aku suka dengan ceritamu. Unik dan bahasanya walau "marah" ttp enak dibaca. Aku bkalan lnjut baca

    Comment on chapter I.
Similar Tags
Special
1585      844     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
HIWAY Ketika Persahabatan Mengalahkan Segala
1079      529     1     
Inspirational
Persahabatan bukan tentang siapa yang salah. Persahabatan adalah tentang meminta maaf. Hany, seorang gadis SMA bermata indah telah mengecewakan teman-temannya saat memutuskan untuk keluar dari ekskul cheerleader dan beralih ke ekskul futsal. Apa alasan Hany? Dan mampukah dia mengobati kekecewaan teman-temannya?
Zo'r : The Teenagers
14113      2811     58     
Science Fiction
Book One of Zo'r The Series Book Two = Zo'r : The Scientist 7 orang remaja di belahan dunia yang berbeda-beda. Bagaimana jadinya jika mereka ternyata adalah satu? Satu sebagai kelinci percobaan dan ... mesin penghancur dunia. Zo'r : The Teenagers FelitaS3 | 5 Juni - 2 September 2018
R.A
2316      1156     2     
Romance
Retta menyadari dirinya bisa melihat hantu setelah terbangun dari koma, namun hanya satu hantu: hantu tampan, bernama Angga. Angga selalu mengikuti dan mengganggu Retta. Sampai akhirnya Retta tahu, Angga adalah jiwa yang bimbang dan membutuhkan bantuan. Retta bersedia membantu Angga dengan segala kemungkinan resiko yang akan Retta hadapi, termasuk mencintai Angga. - - "Kalo nanti ka...
ALEXIA
2106      703     10     
Fantasy
Alexia seorang wanita pemberani yang tinggal sendiri di sebuah gubuk reotnya menemukan sepasang benda unik yang akan mengubah hidupnya. Sebuah buku kuno dan kalung permata yang indah. Tanpa diketahui Alex. Buku dan kalung itu akan membawa sebuah petaka sekaligus keberuntungan untuknya jika ia berhasil melewati segala rintangan. Kedua benda itulah yang akan membawa Alex pada sosok pria muda yang...
Alfazair Dan Alkana
275      223     0     
Romance
Ini hanyalah kisah dari remaja SMA yang suka bilang "Cieee Cieee," kalau lagi ada teman sekelasnya deket. Hanya ada konflik ringan, konflik yang memang pernah terjadi ketika SMA. Alkana tak menyangka, bahwa dirinya akan terjebak didalam sebuah perasaan karena awalnya dia hanya bermain Riddle bersama teman laki-laki dikelasnya. Berawal dari Alkana yang sering kali memberi pertanyaan t...
Memoria
343      286     0     
Romance
Memoria Memoria. Memori yang cepat berlalu. Memeluk dan menjadi kuat. Aku cinta kamu aku cinta padamu
Strange and Beautiful
4734      1297     4     
Romance
Orang bilang bahwa masa-masa berat penikahan ada di usia 0-5 tahun, tapi Anin menolak mentah-mentah pernyataan itu. “Bukannya pengantin baru identik dengan hal-hal yang berbau manis?” pikirnya. Tapi Anin harus puas menelan perkataannya sendiri. Di usia pernikahannya dengan Hamas yang baru berumur sebulan, Anin sudah dibuat menyesal bukan main karena telah menerima pinangan Hamas. Di...
What a Great Seducer Fist Series : Mengenalmu
16693      3008     6     
Romance
Bella, seorang wanita yang sangat menyukai kegiatan yang menantang adrenalin terjebak di dalam sebuah sekolahan yang bernama Rainwood University dengan profesinya sebagai Guru BK. Bukan pekerjaan yang diharapkan Bella. Namun, berkat pekerjaan itu takdir dapat mempertemukannya dengan Rion. Salah seorang muridnya yang keras kepala dan misterius. Memiliki nama samaran RK, Rion awalnya bekerja sebag...
Kota Alkroma: Tempat Ternyaman
135      86     0     
Fantasy
Kina tidak pernah menyukai kota kecil tempat tinggalnya. Impiannya dari kecil adalah untuk meninggalkan kota itu dan bahagia di kota besar dengan pekerjaan yang bagus. Dia pun setuju untuk menjual rumah tempat tinggalnya. Rumah kecil dan jelek itu memang seharusnya sudah lama ditinggalkan tetapi seluruh keluarganya tidak setuju. Mereka menyembunyikan sesuatu. Kemudian semuanya berubah ketika Kina...