“Namanya Kak Nirmala Adikala, kelas XII-1,” kata Mitos sambil membalik halaman komik yang baru saja tiba di kamarku siang ini. Sekolah ini memang di gunung dan kesulitan akses kehidupan menyenangkan yang didambakan oleh remaja, tapi karena reputasinya sebagai sekolah populer, jasa pengiriman pun rela memanjangkan tangannya untuk menjangkau komplek SMA Maha Pawitra.
“Hah?” tanyaku bego.
Mitos melirikku dari bawah komik. Dia enggan mengubah posisinya—telentang sambil bertumpang kaki—bahkan untuk memberitahuku informasi krusial.
“Aku tanya sama Kak Daya. Katanya namanya NirmalaAdikala. Satu kelas sama Kak Saza.”
“Hah?” aku mengulang, masih belum mudeng. Mitos ngomong apa sih?
Mitos cemberut. “Tauk ah, sebel liat mukamu kayak orang oon gitu.”
“Bukan kayak, Mit. Tapi emang oon,” ujar Fakta, yang, seperti biasa, sedang belajar. Binder berisi corat-coretnya sudah hampir penuh, padahal semester baru baru berjalan selama sebulan.
“Fak!” protesku.
Bletak! Sedetik kemudian aku berguling-guling di lantai sambil memegangi kepalaku, dihantam powerbank berkapasitas 10.000 mAh.
Setelah rasa sakitku reda, aku pun bisa berpikir jernih dan mengerti apa yang dibicarakan Mitos.
Sial, jangan-jangan aku memang oon? Masa harus ditimpuk dulu baru otakku bisa jalan? Ini pasti gara-gara KDRT yang dilancarkan kedua kakakku setiap hari. Aku jadi terbiasa dengan perlakuan mereka. Aku harus lapor Komnas Perlindungan Anak!
(Yah, sejujurnya, aku tidak kesal-kesal amat sih. Mungkin aku masokis.)
(Ngomong-ngomong, powerbank itu lumayan berat lho. Jangan gunakan untuk menyambit siapapun, punya kekuatan supranatural maupun tidak, apalagi kalau untuk iseng. Kalau untuk memberi pelajaran sih tergantung kebijaksanaan masing-masing.)
“Mit, kok kamu bisa nanya Kak Daya? Emang kalian kenal?”
Mitos mengangguk.
“Kok bisa?”
“Emangnya kenapa?”
“Yaaa… Kak Daya kan orang penting. Sementara kita…”
“Kita? Kamu aja kali.”
Ugh.
“Lagian, lebih serem Kak Shirleyn kok daripada Kak Daya. Kebanyakan orang salah persepsi soal Kamitua. Kamitua itu bukan monster. Cuma overprotektif aja. Dan Kak Daya bisa mengendalikannya dengan baik. Juga nggak seperti persepsi orang.”
Aku mengingat-ingat Kak Daya, ketua OSIS kami itu.
Beliau itu… bagaimana bilangnya ya… kalau Mitos itu sengaja berlagak oon supaya diremehkan, maka Kak Daya itu memang… bagaimana ya… aku tidak berani bilang dia lemah, tapi memang kelihatannya begitu.
Badannya sekitar 170 cm dengan berat 50an kilo, mungkin kurang. Kurus. Ringkih. Aku saja lebih berbobot dari dia—meski mengakuinya membuatku dapat mixed feelings (maksudku, dia kan lebih tinggi dariku tapi lebih ringan? Dimana wajarnya itu?). Wajahnya mungil dengan dagu lancip yang feminin. Rambutnya berpotongan bob yang menggantung sedikit di atas bahunya. Konon, dia membiarkan rambutnya panjang supaya bisa menutupi tanda lahir yang seperti tato berbentuk bunga lima kelopak di pelipisnya. Semua orang tahu dia punya tanda lahir itu, jadi aku tidak mengerti mengapa dia ingin menyembunyikannya. Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin wajar saja Kak Daya dan Mitos bisa berteman. Mereka sama-sama suka menyembunyikan sesuatu yang sudah jelas.
Balik lagi soal penampilannya, siapa yang bisa percaya kalau dia bisa mengendalikan kuda terbang hitam yang tingginya tiga meter dan bisa meluluhlantakkan sebatalion pasukan vampir?
Tentu saja, aku tahu Kak Daya kapabel. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang bisa dilakukannya.
Aku merasakannya dengan tubuhku sendiri.
“Tapi aku masih nggak ngerti gimana kamu bisa ngobrol sama beliau,” tuntutku. “Kenalnya darimana, bahkan?!”
Mitos mengangkat bahu. Akhirnya dia meletakkan komik di dadanya, dalam keadaan terbuka—komiknya maksudku, bukan dadanya—dan meluruskan kakinya. Matanya terpancang ke langit-langit yang miring, yang saat ini sedikit bergetar karena seseorang sedang melewatinya. Jujur, aku sempat berpikir kalau pihak sekolah menempatkanku di kamar ini supaya aku mati tertimpa tangga dan mereka bisa beralasan kalau itu kecelakaan. Tapi setelah satu semester tinggal di kamar ini dan satu-satunya luka yang kudapatkan berasal dari kejeduk tiang listrik gara-gara jalan sambil baca komik, aku sudah tidak khawatir lagi.
“Aku pertama kali ketemu Kak Daya dulu itu, waktu kamu dengan begonya nyusup ke markas Getigeni sendirian. Dan Kamitua bisa telepati, jadi Kak Daya setuju buat jadi temen latihanku.”
“Wow,” kataku. “Gimana rasanya ngobrol sama kuda?”
“Aku nggak ngobrol sama Kamitua,” kata Mitos dengan nada merendahkanku. Aku berusaha keras tidak merasa kesal. “Kamitua bikin aku bisa ngobrol dengan Kak Daya. Tapi memang rasanya beda sih dibanding ngobrol dengan orang langsung.”
“Beda gimana?”
“Gimana yaaa… susah dijelaskan deh.”
Aku mengangkat sebelah alis. Skeptis.
“Ngomong-ngomong, soal Kak Nirmala, Kak Daya bilang, kalau kamu nggak serius, sebaiknya kamu mundur aja.”
“Hah? Kenapa tiba-tiba aku dikasih peringatan begitu? Serius soal apa pula?”
Mitos mendorong tubuhnya bangun.
“Ya soal Kak Nirmala.”
“Ap-apanyaaa?”
“Kamu kan suka sama Kak Nirmala.” Pernyataan, bukan pertanyaan.
“Haaaaah?”
Mitos memutar bola mata. “Kamu masih di tahap satu ya.”
“Berisik. Kayak yang kamu pernah naksir orang aja.”
Lalu, aku menyadari betapa salahnya diriku melihat wajah Mitos sedikit merona.
Eh…?
Eeehhhh?!!!
“No way!” aku berteriak sambil melompat berdiri. Aku langsung menoleh pada Fakta, yang sudah berhenti menulis. “Fak! Mitos naksir cowok! Fak—“
“Berisik!” Fakta melempar bolpoinnya.
Pletak!
Tapi aku tidak mengaduh. Aku bahkan tidak mengedip.
Fakta tidak marah saat aku menyebut singkatan namanya pertama kali. Dia juga tidak menggunakan psikokinesisnya untuk menyambitku. Dan pipinya merona.
“Bohoooonggg!!!” aku berteriak lagi. “Kalian…? Sejak kapan? Siapa?!”
Mitos meletakkan komikku di meja, kemudian beranjak ke pintu. Mengenakan sepatunya. Fakta menyusulnya, setelah memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
“H-hei! Jangan gitu dong! Siapa sih? Kenapa kalian nggak pernah cerita? Hei! Kalian mau cabut? Ini kan masih sore. Jam malam masih lama. Hei!”
Tapi kedua kakakku itu segera keluar, meninggalkanku dalam derita penasaran.
Argh!!!
#
Aku tidak bisa berkonsentrasi sepanjang hari, memikirkan siapa cowok yang sudah menarik perhatian kedua kakakku. Bukannya aku mau ikut campur.
…
Oke, aku memang mau ikut campur. Maksudku, sebagai satu-satunya laki-laki dalam keluarga, aku punya kewajiban menjaga mereka. Apalagi di tengah-tengah lingkungan yang penuh marabahaya begini. Memang sih, Mitos yang bisa mengintip isi kepala orang punya kemungkinan sangat kecil untuk tertipu—lucu sekali rasanya kalau dia sampai tertipu penampilan. Kecuali dia sengaja membuat dirinya tertipu. Tapi memangnya ada cowok yang sebodoh itu, mengira bisa membodohi Mitos? Kalau ya, hidupnya pasti bahagia sekali. Dan Fakta bisa menghajar siapapun yang berani mengurangajarinya. Aku tidak meragukannya sedikit pun. Malah, sebenarnya justru aku yang paling payah di antara kami: aku tidak punya fisik yang kuat, apalagi kemampuan beladiri. Aku juga cenderung memercayai kebaikan orang lain dan sangat mungkin termakan jebakan.
Ah sudahlah. Kenapa aku harus menambah-nambah bahan depresiku? Tidakkah cukup aku memikirkan Kak Nirmala yang suka menyendiri di kolam di taman belakang itu?
Sebentar, mengapa memikirkan Kak Nirmala bisa cukup untuk apapun? Kenapa pula aku harus memikirkannya?
Tapi, begitu tak ingin kupikirkan, aku semakin memikirkannya.
Argh! Kenapa sih otak manusia itu tidak bisa mematuhi dirinya sendiri?
Kalau aku tidak ingin berpikir, harusnya dia berhenti berpikir. Tetapi dia malah memikirkan caranya supaya tidak berpikir, dan akhrnya malah berpikir semakin banyak.
Argh, aku pusing!
Bel bubaran sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Pulang saja deh. Ngapain aku merenung di tempat seperti ini.
Sebagai anak kelas X yang agak terkucil (perlu usaha sadar untuk tidak menggunakan kata “dikucilkan”), aku tidak berpartisipasi dalam ekskul apapun dan tidak ada yang menegurku soal itu. Jadi, aku selalu segera pulang. Sebelum menemukan jalan pintas lewat taman belakang, aku pulang lewat lapangan depan yang selalu dipenuhi murid-murid pada jam antara usainya kegiatan di kelas dan jam malam asrama. Masa-masa itu menyesakkan sekali.
Sejujurnya, aku tidak begini sejak lahir.
Bahkan, dulu aku anak yang ekstrovert.
Aku tergabung dalam sebuah band yang populer di SMP-ku dulu. Main gitar. Menciptakan beberapa lagu. Kadang menjadi backing vocal dan backup MC saat di panggung. Aku populer. Cewek-cewek mengidolakanku (walau tidak semengidolakan Gawain dan Trez yang main lead guitar dan vocal). Hanya ada dua cewek yang tidak mengagumiku, dan mereka adalah Mitos Divya dan Fakta Audens. Yang sepertinya sih wajar saja, berhubung mereka berdua adalah saksi hidup aku ngompol di tempat tidur, nangis karena nonton film horor, dan kecepirit dalam perjalanan pulang dari sekolah. Susah untuk ngefans pada orang yang sudah ketahuan bobroknya. Tapi, bukan itu intinya.
Aku tidak sejak awal seperti ini.
Murung. Menyendiri. Menghabiskan waktu dengan dibuli-buli oleh kedua kakakku.
Oke, bagian dibuli itu memang sudah berlangsung sejak lama, tapi sekarang lebih parah karena aku tidak bisa kabur dan menggenjreng gitarku sampai jari-jariku kapalan di studio. Bagaimana menemukan studio musik di tengah gunung seperti ini?
Sebenarnya sekolah punya ruang musik sih…
…tapi di luar jam pelajaran, ruangan itu dikuasai ekskul musik, dan aku yang tidak tergabung di dalamnya tentu saja tidak bisa menumpang main. Bukannya aku akan diusir, tapi lebih mungkin anak-anak itu yang segera enyah begitu aku muncul, dan itu lebih menyedihkan, jujur saja.
Sambil memikirkan semua hal itu, aku berjalan mengikuti instingku dan tahu-tahu saja aku sudah dekat ke koridor taman belakang. Hebat sekali aku tidak menabrak seorang dan sebenda pun selama perjalanan kemari. Yah, aku lebih curiga orang-orang yang menyingkir begitu aku lewat sih.
Sudahlah, kenapa sih aku seperti bertekad untuk terus berpikir kalau hidupku menyedihkan? Maksudku, aku tahu hidupku menyedihkan. Tidak ada gunanya terus-terusan mengeluhkannya. Aku memang belum punya teman saat ini, aku tidak bisa main band (meski gitarku ada di kamar, bertengger manis menunggu muse-ku muncul), dan sepertinya aku lagi kena virus merah jambu meskipun aku sangat amat meragukannya—karena ayolah, aku bahkan tidak tahu seperti apa persisnya wajah Kak Nirmala, tapi aku kan sedang sekolah di SMA paling favorit setanah air bersama kedua kakakku. Ibuku aman sentosa. Aku bisa makan tiga kali sehari dan tidur delapan jam semalam. Ada banyak hal yang bisa kusyukuri, tidak perlu berkubang dalam penyesalan dan kesedihan.
Namun… itukah yang sebenarnya kurasakan?
Penyesalan?
Yang benar?
Argh! Otak! Berhenti memikirkan hal-hal yang tidak perlu!
Aku memukuli belakang kepalaku dengan tanganku sendiri. Dari kejauhan, mungkin aku kelihatan seperti orang yang sedang berusaha menggeser otaknya agar kembali ke posisi yang benar.
Bodo ah. Memangnya kenapa kalau aku kelihatan sinting? Mitos dan Fakta tahu memang ada yang tidak beres dengan kepalaku. Dan aku tidak begitu peduli apa yang dipikirkan oleh orang-orang yang tidak peduli padaku.
Terdengar ribut-ribut dari arah taman. Suara tawa. Jeritan tertahan.
Langkahku terhenti. Mendengarkan.
Kedengarannya tidak bagus.
Aku mengendap-endap ke pintu yang menghubungkan koridor dalam dengan koridor taman, dan mengintip dari sana.
Yang pertama kulihat adalah empat orang cowok berbadan tinggi berotot. Mereka semua mengenakan seragam, sehingga paling tua hanya dua tahun di atasku. Tetapi pakaian mereka menempel rapat di badan seperti kulit kedua, menunjukkan bentuk tubuh mereka yang ‘jadi’. Dada yang bidang, bahu lebar, lengan yang sebesar pahaku. Sebagai sesama cowok, aku dibuat heran akan betapa berbedanya bentuk tubuh kami. Maksudnya, aku juga cowok, tapi dengan bahu yang ramping dan otot yang tebalnya hanya 1 mm, aku bisa menyamar sebagai cewek dengan mudah. Selama ini aku cukup pede dengan badanku karena masih ada orang semacam Kak Daya yang begitu cungkringnya sampai-sampai aku takut dia akan terhempas begitu saja ketika menunggangi kuda terbangnya, tapi kalau melihat mas-mas fitness seperti empat orang yang ada di taman itu…
Salah satu dari mereka berjongkok, tangannya meraih ke arah tanah. Awalnya aku bingung apa yang sedang terjadi. Namun, setelah menggeser posisiku sedikit, aku bisa melihat bahwa sesosok murid tergeletak setengah telungkup di tanah, rambut panjangnya merumbai-rumbai di sekitarnya. Kepalanya terangkat, dipegangi oleh si cowok yang sedang berjongkok.
Jantungku spontan berdegup keras.
Itu…
…bukankah itu Kak Nirmala? Apa yang terjadi padanya?
“Jijik gue ngeliat lo,” murid laki-laki itu berkata. Suaranya mendesis dengan keras. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Rambutnya berpotongan cepak ala tentara. Matanya berbingkai kacamata dengan bingkai hitam berkilat, membuat pandangannya menajam. “Harus nunggu berapa lama sampai lo ngerti nggak ada yang suka lo disini, hah? Lo harusnya udah minggat dari dulu. Tau?!”
Kak Nirmala tidak menjawab. Mungkin dia juga tidak menatap mata laki-laki itu. Entahlah, aku tidak bisa melihatnya dari sini. Yang jelas, kalau aku ada di posisi Kak Nirmala, tidak mungkin aku berani memandang langsung ke mata orang yang baru saja menghajarku.
Tapi… kenapa mereka memukul Kak Nirmala? Apa Kak Nirmala mencipratkan air kolam ke arah mereka secara tidak sengaja?
Ctik! Si kacamata menjentikkan jarinya, kemudian di atas telapak tangannya muncul api.
Kali ini Kak Nirmala tidak diam saja. Dia segera menggeliat dan meronta, ingin melepaskan diri. Tetapi si kacamata menjambak rambutnya dan menahannya telungkup di tanah. Bola api di tangannya membesar. Dia mendekatkannya ke wajah Kak Nirmala. Kak Nirmala semakin mengerut, sampai akhirnya, tidak tahan lagi, dia pun menjerit.
Ketiga murid lelaki lainnya tertawa menghina. Salah satu dari mereka menjentik-jentikkan jarinya, dan dari sana keluar bunga-bunga api. Kak Nirmala menjerit semakin keras, mencoba mencakar dan memukul, tapi sia-sia.
Lalu, setelah beberapa saat yang terasa begitu lama, keempat lelaki itu berhenti tertawa. Bosan.
Si kacamata mengibaskan tangannya, dan bola apinya pun menghilang. Dia melepaskan Kak Nirmala kemudian bangkit berdiri, meregangkan otot-ototnya.
“Ck. Buang-buang waktu aja. Benalu nggak tahu diri. Yuk, males gue.”
Memasukkan tangannya ke dalam saku, si kacamata berjalan meninggalkan taman, bersiul-siul pelan seolah tidak baru saja menakut-nakuti seorang gadis lemah sampai berteriak-teriak serak.
Berjalan ke arahku.
Aku buru-buru minggir, tidak ingin menghalangi langkah mereka.
Begitu melewati pintu, si kacamata menyadari keberadaanku.
Aku langsung menelan ludah.
Sepertinya dia tahu kalau aku takut, karena dia menyeringai menyeramkan sambil membuat bunga api dengan jentikan jarinya sebelum berlalu.
Rasanya aku hampir ngompol.
Aku tidak bisa membayangkan seperti apa sakitnya ditonjok dengan tangan yang kepalannya hampir sebesar kepalaku itu. Bisa-bisa aku langsung benyek dibuatnya.
Ah! Ada yang lebih penting dari itu! Aku harus segera menolong Kak Nirmala. Aku juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Kupikir semua orang di sekolah ini satu keluarga… lalu kenapa bisa ada penindasan seperti tadi? Aku juga sering ditindas Mitos dan Fakta, yang adalah keluargaku sendiri, tapi bukan penindasan seperti si kacamata barusan. Memangnya masih musim ya bullying hari gini?
Di taman, Kak Nirmala sedang berdiri termenung, seragamnya kotor, sepatunya mengapung dan mengepulkan asap di dalam kolam. Rambutnya awut-awutan.
Dan di atas telapak tangannya, berpijar sebuah bola api.
Aku spontan tercengang.
Sebelum bisa dicegah, mulutku sudah bersuara.
“Kakak bisa bikin bola api juga?”
Kak Nirmala terperanjat. Bola apinya langsung padam.
Wajahnya menghadap ke arahku. Matanya menatap ke mataku. Sisi kiri wajahnya kotor oleh lumut dan tanah. Sudut bibirnya luka. Tetapi matanya berkilat ganas, seolah-olah laser bisa saja tiba-tiba tertembakkan keluar dari pupilnya.
Benar juga. Bukankah namanya Nirmala Adikala? Semua Adikala bisa membuat dan mengendalikan api. Si kacamata tadi pun seorang Adikala. Jika pun ada non-Adikala yang bisa mengendalikan api, konon, keluarga besar itu akan mengadopsinya. Lagipula, kecil kemungkinannya non-Adikala itu bukan keturunan Adikala juga. Yang pernah kudengar, gen pengendali api itu dominan. Jika bergabung dengan gen kekuatan lain, malah kemampuan mengendalikan api yang akan muncul.
Tapi hal itu tidak menjelaskan apapun.
Kenapa menindas sesama anggota keluarga?
Jijik, katanya? Tidak suka?
Seumur-umur aku hidup, keluarga yang kukenal hanya orang tua dan kedua kakakku, dengan tambahan tetangga kami yang sangat kami kenal baik. Aku tidak tahu bagaimana rasanya berada dalam sebuah klan besar, tapi aku tidak bisa membayangkan membenci keluarga yang aku tahu, bahkan sampai menginginkan mereka pergi.
“Jadi Kakak bisa mengendalikan api juga? Kalau gitu, kenapa nggak melawan?”
Kak Mala terbelalak.
Ini pasti kedengarannya aneh, tapi di Matra, murid-murid disokong untuk berduel, selama duelnya tidak dimaksudkan untuk menimbulkan cacat permanen, apalagi kematian. Tentu saja, harusnya di bawah pengawasan orang dewasa, atau yang lebih tepatnya kita sebut wasit. Begitulah caranya murid-murid Matra menyelesaikan perselisihan mereka, jika cara berunding tidak berhasil.
Alasan di balik kebijakan itu adalah masa lalu kami.
Pada satu masa, orang-orang seperti Mitos, Fakta, dan aku didiskriminasi, diburu, atau dimanfaatkan untuk hal-hal di luar keinginan kami. Itulah sebabnya kami harus bisa melindungi diri dan menggunakan kekuatan sebagai senjata, dan itulah salah satu alasan didirikannya Perisai, dan kemudian Matra. Sekarang, kami berkumpul, berorganisasi, dan saling melindungi, dan hanya diketahui oleh segelintir orang. Tetapi bukan berarti ancaman keselamatan itu sudah sirna sepenuhnya, dan daripada membiarkan pertengkaran berlarut-larut padahal kami harus bisa bekerja sama, para orang dewasa lebih suka kami adu jotos saja.
Aku punya pengalaman pahit juga soal itu, tapi rasanya akan kepanjangan kalau aku ceritakan sekarang. Lagipula, Kak Nirmala di depanku sepertinya sudah siap meledak.
“Kamu sendiri?” dia berkata tajam. “Tahu aku nggak bisa melawan, tapi diam aja. Kamu yang diam aja nggak usah ngerasa lebih baik daripada aku.”
“A-aku—“ aku mencoba menjawab, tetapi suaraku tertahan di kerongkongan.
“Kalau cuma bisa mengkritik diem aja deh. Malu-maluin, tau nggak!”
Kata-katanya menghantamku telak. Aku tak bisa berkutik.
Kak Nirmala memutuskan aku tidak perlu lagi diacuhkan. Maka dia berbalik. Dia mengambil sepatunya, yang setengah gosong, lalu pergi dengan agak tertatih-tatih.
Aku ingin memanggilnya. Memberikan penjelasan.
Tapi penjelasan apa yang bisa kuberikan? Bahwa aku ketakutan dan tidak bisa melakukan apa-apa, itu adalah fakta.
#
“Eghhh bauuu,” kata Mitos tak sopan begitu memasuki kamarku tanpa mengetuk terlebih dahulu, seperti biasanya.
Sejak lama aku ingin mengunci kamarku, tapi dengan dua kakak seperti mereka, entah kerusuhan apa yang bisa timbul kalau keinginan itu kulakukan.
Fakta, yang menyusul masuk di belakangnya, tidak menunjukkan tanda-tanda mencium aroma apapun, jadi bisa kusimpulkan kalau komentar barusan itu murni datangnya dari keinginan Mitos menghinaku.
Anak itu langsung menyeberangi kamar menuju jendela dan membukanya lebar-lebar. Bau tanah yang lembap langsung melayang masuk.
“Ah… lumayan,” kata Mitos. Dia langsung menyambar satu komik dari rak dan menyuruhku enyah dari kasur dengan kakinya. Aku menurut tanpa ribut. Sementara itu, Fakta dengan gerakan yang sudah menjadi refleks, mengeluarkan buku-buku dari dalam tas tentengnya. Hari ini dia membawa buku matematika.
Kemudian, sebelum mulai mengerjakan soal, dia menatapku lurus-lurus.
“Apa?” tanyaku, langsung salting.
“Kamu udah nyalin PR-mu?”
Aduh. Kan baru dikumpul lusa. Tadinya mau kukerjakan besok malam. “B-belom.”
“Salin. Sekarang.”
“I-iya, bentar.” Dengan gugup aku mengeluarkan buku latihan kimia Fakta dan membukanya. Fakta itu rajinnya keterlaluan. Dia mengerjakan semua—ya, semua—soal yang ada di buku, bukan hanya soal pilihan yang di-PR-kan. Jadi, sebagai adik yang tidak tahu malu, aku bisa mendapatkan jawaban untuk PR-ku dengan cuma-cuma. Aku baru bakal kena batunya kalau disuruh menjelaskan di depan kelas.
Ngomong-ngomong…
“Mit, kamu kapan sih nyalin PR-nya?”
Mitos mendelik. “Aku? Nyalin PR? Hah!”
…
“Kamu ‘nyontek’ juga kan?” kataku.
“Iya,” kata Mitos lugas. Keluargaku ini benar-benar tidak tedeng aling-aling kalau urusan menyontek. Kadang aku heran kenapa Fakta tidak ingin memutuskan hubungan persaudaraan dengan aku dan Mitos. Mungkin karena dia menyayangi kami. Aku juga sayang padanya kok. J
“Trus?”
“Aku kan nggak mesti nyalin.”
“Terus gimana ngumpulin PR-nya?”
“Emang mesti dikumpulin?”
“Lah,” kataku, habis kata-kata. “Jangan bilang selama ini kamu nggak ngumpulin PR? Terus, nilaimu gimana?”
Mitos melotot. “Lebih bagus dari nilaimu, yang jelas.”
“Kok bisa?”
“Kenapa enggak? Sejak kapan Matra peduli muridnya pinter atau enggak?”
Ugh. Benar juga sih.
“Lagian guru-guru juga tau aku nggak ngerjain PR karena pilihan, bukan karena nggak bisa.”
Nyebelin banget deh punya kakak seperti dia.
Tapi kata-katanya benar. Matra, sebagai sekolah yang khusus didirikan untuk melatih anak-anak berkemampuan supranatural, tidak terlalu mementingkan prestasi akademis. Kalau ingin bergerak ke arah sana, seperti Fakta, mereka dengan senang hati memberi fasilitas. Ruang belajar yang nyaman. Koleksi perpustakaan yang oke. Tutor yang siap diteror 24/7. Tapi kalau tidak mau jago akademis, mereka juga mendukung dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Yang penting, pilihan apapun yang diambil dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Barangkali, di seantero Matra, cuma aku yang hidupnya luntang-lantung tanpa tujuan.
“Terus kenapa kamu ngeluarin bau nggak enak gitu?” tanya Mitos.
“Bau nggak enak apaan?”
“Itu, bau kesedihan dan keputusasaan.”
“Apaan tuh.”
“Le, kalau aku udah nggak sabar banget, aku nggak bakal nanya kamu. Mumpung aku masih sabar, mending kamu jawab aja ada apa. Sebelum aku tengok kepalamu.”
Aku mendecakkan lidah.
Lagi-lagi, Mitos benar. Aku tidak mau cerita pun tidak ada bedanya buat dia. Dia bisa saja sedang membaca pikiranku saat ini, yang berarti usahaku menutup-nutupi isi hatiku ini berakhir sia-sia.
“Soal…” aku memulai. Lalu berhenti sejenak. Menarik napas dalam-dalam. “Soal Kak Nirmala.”
Plok! Mitos menutup komik dan meletakkannya di atas meja. Dia duduk bersila menghadapku, lengannya berlipat. Serius.
“Oh? Terus?”
“Kayaknya dia benci deh sama aku.”
Bahkan Fakta berhenti mengerjakan soal untuk memerhatikanku. “Kenapa dia bisa benci sama kamu?” tanyanya. “Oh! Apa karena masalah Pak Rangga dulu itu?”
Aku menggeleng. Aku bahkan lupa soal itu. “Bukan. Tapi…”
“Tapi…?”
Aku memandang kedua kakakku bergantian.
Sudahlah.
“Kalian tau nggak kalau Kak Nirmala kayaknya ditindas sesama anak Adikala?”
Kali ini Mitos dan Fakta bertukar pandangan. Penuh arti.
“Kalian tau ya?”
Mitos mengangkat bahu. “Yah… sebenernya itulah alasannya Kak Daya nggak pengen kamu ngedeketin Kak Nirmala.”
“Dengan mengasumsikan kalau aku—ehem—memang berniat—ng—mendekati Kak Nirmala, apa hubungannya? Kak Daya juga ngemusuhin Kak Nirmala?”
Mitos menggeleng. “Bukan begitu. Justru, katanya, Kak Nirmala udah punya terlalu banyak pengalaman buruk. Aku nggak tanya apa, tapi kayaknya lumayan serius. Bukan sekadar pengalaman diputusin atau ditelikung. Dan Kak Daya nggak mau ada orang yang ngedeketin dia dengan mental happy-go-lucky. Ngerti maksudku?”
Happy-go-lucky? aku bertanya pada diriku sendiri.
“Jadi memang Kak Nirmala dibuli sama keluarganya sendiri?”
“Mereka itu kan… sangat bangga sama kemampuan mereka. Yang aku denger dari Kak Daya, Kak Nirmala udah bertahun-tahun nggak pernah mengendalikan api lagi. Nggak tau apa alasannya. Mungkin berkaitan sama pengalaman buruknya itu. Entah takut, entah udah nggak bisa lagi, entah.”
Pengalaman buruk yang membuatnya menghindari api, padahal dia pengendali api. Aku mulai mendapat bayangan.
“Dia masih bisa kok. Mengendalikan api, maksudnya.”
“Oh ya?”
“Ya. Aku… tadi aku lihat Kak Nirmala sama beberapa orang. Uh…” Aku bingung bagaimana menceritakannya. Setengah dari diriku ingin melupakan pemandangan mengerikan tadi. Tapi tidak bisa. Hal itu malah terlihat semakin jelas dalam pikiranku. Seperti biasa, otakku ini tidak pernah mau mengikuti kemauanku. Dasar otak payah!
“Beberapa orang… Adikala?” tebak Mitos hati-hati.
Aku mengangguk.
“Tinggi, rambut cepak, kacamata?”
Aku mengangguk lagi, sambil dalam hati bertanya-tanya mengapa Mitos masih bertanya-tanya kalau dia sudah tahu jawabannya.
“Itu Kak Adrian,” kata Mitos. “Dia termasuk orang yang menhayati api itu Adikala, dan Adikala itu api. Kamu tau? Itu semboyan nggak tertulis di keluarga mereka. Dan dia termasuk aktif dalam menyingkirkan orang-orang yang terlahir di keluarga Adikala tapi nggak punya api. Memang ada sebagian orang yang nggak setuju dengan makna semboyan mereka yang seperti itu, tapi yang setuju lebih banyak. Atau, begitulah kelihatannya.
“Kayaknya di generasi kita, Kak Adrian bisa dibilang tokoh sentral di keluarga mereka. Kalau Kak Adrian ingin menyingkirkan seseorang, hampir pasti semua orang—atau, paling enggak yang satu paham dengan dia—bakal bergerak di belakangnya.”
“Itu nggak beres,” protesku, tapi aku tahu aku melayangkannya ke orang yang salah. Mitos menggeleng kecil.
“Itu masalah keluarga lain. Nggak bisa jadi urusan kita.” Kalimat terakhir Mitos berarti: jangan ikut campur.
“Tapi dia ngapain sih?” kataku keras kepala. “Nggak gengsi gitu, ngebuli cewek lemah yang nggak bisa melawan?”
“Bukannya tadi kamu bilang Kak Nirmala bisa ngelawan?”
Aku mengingat-ingat sebentar apa persisnya yang kukatakan tadi tentang Kak Nirmala. “Aku ngggak bilang gitu deh… soal masih bisa mengendalikan api? Bukan karena dia melawan, tapi karena setelah Kak Adrian dan temen-temen rambonya pergi, Kak Nirmala ngeluarin api di atas tangannya, kayak… entah deh, kayak lagi meyakinkan dirinya sendiri.”
Mitos manggut-manggut. Melihat wajahku, yang mungkin masih terlihat bingung dan terguncang—aku tidak tahu, aku kan tidak bisa melihat wajahku sendiri—dia berkata,
“Udah Le, jangan butek-butek mikirin itu.”
“Maksudnya aku harus menutup mata sama bullying yang terjadi di depanku?!”
“Memangnya kamu mau ngapain?” tembak Mitos. “Kamu mau nolong Kak Nirmala? Gimana caranya? Kamu berani ngelawan Kak Adrian? Berat badannya mungkin dua kali lipat kamu loh. Sekali pukul bisa rontok semua gigi sama upilmu.”
“Kenapa sama upil juga?” tanya Fakta penasaran, menanyakan hal yang paling tidak perlu. Mungkin karena dia berpikir berdasarkan segala hukum alam, orang ditonjok itu tidak mungkin merontokkan upil.
Aku benar soal pertanyaan tidak penting, karena Mitos juga mengabaikannya.
“Memang dari mata kita itu bullying. Dan itu salah. Terus kenapa? Kita mau apa? Kalau nggak punya rencana yang konkret mending nggak usah melakukan apa-apa sekalian.”
Kata-katanya persis yang diucapkan Kak Nirmala. “Kalau cuma bisa mengkritik, diem aja deh.”
Aku menghela napas.
“Lagian, coba liat pake sudut pandang lain. Gimana kalau Kak Adrian menganggap bahwa dia membantu anggota keluarganya jadi lebih kuat?”
Keningku langsung berkerut dalam mendengarnya.
“Kamu nggak mesti setuju dengan apa yang aku bilang.”
“Kamu kedengerannya kayak ngebelain Kak Adrian.”
“Enggak. Cuma pengen kamu memikirkan masalah ini dengan lebih rasional dan kurang emosian aja. Aku tahu pasti berat banget buat kamu ngeliat orang yang kamu suka kesusahan.” Lalu Mitos sempat-sempatnya menepuk pundakku.
“Balik lagi ke situ,” gerutuku.
“Terus? Kamu diam aja Le, ngeliat Kak Nirmala digituin?” tanya Fakta.
Aw. Pertanyaan yang menyakitkan.
“Uh…”
“Yah, wajar sih kalau kamu takut mau melawan Kak Adrian. Asal kamu nggak menabur garam aja di atas luka Kak Nirmala,” kata Mitos.
“Ugh…”
“Jangan bilang kamu malah melakukannya?! Aduuuh Leeee, Le… kamu ini hopeless amat sih. Fiks berarti, Kak Nirmala sebel banget sama kamu.”
“Berisik ah!”
Rasanya rugi aku sudah curhat pada mereka. Ujung-ujungnya malah diledekin.
@yurriansan halo.. makasih sudah mampir XD
Comment on chapter I.