Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kisah yang Kita Tahu
MENU
About Us  

Sekolahku ini unik. Jadi jika menemukan sesuatu yang biasa, sesuatu yang biasa itu pun menjadi unik.

Ini adalah tempat banyak—kalau bukan segala—hal berubah seratus delapan puluh derajat. Yang unik jadi biasa, yang biasa jadi unik. Yang menyeramkan jadi lucu, yang lucu jadi menyeramkan. Yang bohongan jadi nyata, yang nyata jadi bohongan. Yang laki-laki jadi perempuan, yang perempuan jadi laki-laki.

Yang terakhir bohong, deng.

Poinku adalah, kalau menemukan satu bunga merah di tengah lautan bunga putih, misalnya. Atau menemukan orang bugil di tengah jalan. Atau melihat orang membuat dan mengendalikan api dengan jari-jarinya. Pasti mencolok, kan?

Tak peduli siapapun subjeknya, orang biasa maupun orang tidak biasa, otaknya akan langsung tertarik pada hal yang tidak biasa (perhatikan bahwa adjektiva biasa dan tidak biasa ini merupakan sebuah penilaian kualitatif yang relatif—aku ini ngomong apa sih?).

Maka, pada hari Senin yang sedikit mendung dan berangin itu, aku pun terpaku melihatnya. Pemandangan yang seharusnya biasa, tetapi sangat luar biasa itu.

Selama sebulan terakhir, aku selalu pulang sekolah melalui taman belakang. Resminya, tidak ada jalan keluar dari taman ini. Namun, pagarnya yang tidak terlalu tinggi mudah untuk dilewati. Tapi barangkali karena tempat ini bukan jalan umum, jadi jarang sekali ada orang lewat sini, satpam sekali pun. Dan aku pun bisa berjalan pulang dengan tenang, tidak perlu takut ada yang memergoki, apalagi menegurku karena, memanjat pagar belakang.

Oleh karena itu, bayangkan betapa terkejutnya aku ketika mendapati sesosok gadis yang sedang duduk di samping kolam, kedua kakinya terendam sementara punggungnya menghadapi koridor. Rambutnya yang panjang berkibar diterpa angin sore. Kedua tangannya memainkan permukaan air kolam dengan hati-hati, seperti menekan tuts-tuts piano dengan lembut. Dan ketika angin bertiup semakin kencang, rambutnya melambai ke segala arah. Dengan panik, dia segera menahan rambutnya di tengkuknya. Dan saat itulah, aku melihatnya tersenyum.

Bukan senyum merekah yang layak disandingkan dengan mekarnya sekuntum bunga. Bukan senyum yang membuat matanya menyipit membentuk lengkungan manis bak bulan sabit. Hanyalah sebuah tarikan bibir yang aku sendiri tak yakin bisa dikategorikan sebagai sebuah senyuman. Tapi, aku yakin akan satu hal. Ekspresi wajahnya saat itu, yang terpatri jelas di ingatanku, nampak begitu damai dan bebas. Sebuah ekspresi yang memaku perhatianku. Sehingga aku terdiam di sana berdetik-detik lamanya. Hingga angin kencang itu berhenti bertiup. Dan rambutnya kembali menyembunyikan wajahnya dari pandanganku.

Barangkali, aku akan diam di sana, mematung, memandangi punggung gadis itu sampai entah berapa lamanya. Tetapi aku mendengar suara keras di kejauhan, dan aku pun tersadar.

Dengan canggung, bercampur malu, aku bergegas meninggalkan taman.

 

#

 

“Cinta pada pandangan pertama sama cewek rambut panjang di pinggir kolam?” simpul Fakta dengan nada datar yang bisa membuat pengacara hebat meragukan argumennya sendiri.

Fakta memang personifikasi datar. Tidak perlu berkecil hati.

Aku, untungnya (atau ruginya?), bukan pengacara hebat dan tidak ingin menjalani hidup yang datar-datar saja, jadi aku cuma sedikit dongkol mendengar omongannya.

Di kasur—kasurku—Mitos menurunkan komik dari wajahnya. Matanya membelalak.

“Hah? Apa? Legenda naksir cewek? Love at first sight?” tanyanya antusias.

“Apa sih,” gerutuku, sebal sekaligus tersipu. Aku tidak ingin kelihatan konyol di depan kakak-kakakku, tapi aku tidak bisa mengendalikannya—aliran darah cepat ke pipiku, maksudku. Aku tidak pernah bisa menangani topik semacam ini dengan kepala dingin. Jadi, jangan artikan reaksi fisiologisku ini sebagai indikator apapun ya!

“Sama cewek rambut panjang? Bajunya putih nggak?”

“Putih lah, kan pake seragam,” jawabku.

“Kakinya napak nggak?”

Aku melempar bantal di tanganku. Yang, tentu saja, tidak mengenai Mitos, sebagaimana biasanya.

Tapi ngomong-ngomong… AKU KAN TIDAK MELIHAT KAKINYA!!!

Melihat ekspresi wajahku, Mitos langsung tersenyum jahil.

“Ya ampuun… kasihan amat adikku tersayang ini. Begitu naksir cewek, bukan orang!”

“Aku nggak naksir siapa-siapa!” sanggahku cepat-cepat.

“Naini, ini nih. Lima tahapan jatuh cinta. Tahap pertama: menyangkal[1].”

Aku menyambar benda terdekat denganku—yang ternyata buku teks pelajaran Kimia—dan melemparkannya. Buku itu lumayan tebal, dan kalau menghantam kening dengan kecepatan lima meter per detik, pasti lumayan bikin pening. Tetapi, tentu saja Mitos tidak dalam bahaya sedikit pun, karena seumur hidup, aku tidak pernah bisa mengenainya, bahkan ketika dia membelakangiku sekali pun. Seolah-olah dia bisa membaca pikiranku. Dan meskipun aku sebal, hal ini adalah salah satu prinsip dalam hidup yang dengan pasrah harus kuyakini kebenarannya.

Sialnya, kali ini buku itu tidak hanya meleset mengenai Mitos, tapi juga terlempar balik ke arahku.

BUK!!! Dan menumbukku telak di muka.

Mitos tertawa puas. “Huahahahaha rasain!”

Seandainya aku bukan Legenda Atyadhika, mungkin kejadian barusan akan membuatku lari pontang-panting keluar kamar sambil berteriak, “Poltergeist!!!

Tapi aku Legenda Atyadhika, dan kakak-kakakku adalah Mitos Divya dan Fakta Audens. Aku tidak punya hak untuk ketakutan setengah mati setelah ditimpuk buku yang baru saja beralih fungsi menjadi bumerang.

Hidupku benar-benar menyedihkan.

“Fak!” makiku, membanting buku laknat itu ke lantai.

Bletak! Sebuah sendal jepit melesat dari dekat pintu ke belakang kepalaku. Aku langsung berguling-guling sambil memegangi kepalaku, sementara Mitos tertawa makin keras. Ini adalah salah satu gambaran nyata dari eratnya tali persaudaraan. Jika terdapat tiga kakak beradik yang hubungannya baik-baik saja, bahkan cenderung sopan, maka ada yang tidak beres dengan mereka. Jika kedua kakak bekerja sama untuk membuli adik bungsu mereka, maka keluarga tersebut dapat dipastikan harmonis. Lihat saja keluargaku. Peran kakak, kata mereka, adalah memberi, sedangkan peran adik adalah menerima. Baju (bekas). Makanan (sisa). Termasuk buli-bulian.

Ya, keluargaku sangat harmonis.

Harap diperhatikan bahwa aku menggunakan sejenis majas pertentangan dalam kalimat barusan.

Setelah sakitku reda, aku berdiri berkacak pinggang menghadap mereka.

“Kalian sebenernya mau ngapain sih? Balik sana!” hardikku.

Mitos menatapku dengan wajah setengah tertutup komik—komik punyaku, yang aku sendiri belum baca. Sementara Fakta sedang duduk bersila menghadapi tumpukan buku di meja belajar. Keduanya memasang ekspresi polos yang membuatku merasa sudah berbuat sangat jahat dengan mengusir mereka.

Tidak, tidak boleh. Aku harus mengeraskan hati dan menegakkan batas antara toleran dan memanjakan.

“Nggak mau,” kata Mitos tegas. “Kamarmu lebih adem dan lebih luas, padahal kamu cuma sendiri.”

Rasa bersalahku langsung menyublim mendengarnya.

“Ini asrama cowok!”

“Terus?”

“Sebentar lagi jam malam! Kamu mau ditempeleng kepala asrama?!!”

“Tapi kan kita keluarga, jadi boleh ngunjungin.”

“Sampe sebelum jam malam!”

“Yang masih lima belas menit lagi.”

Aku hanya bisa menghembuskan napas berat. Terserah deh.

Tiba-tiba, Mitos menegakkan punggung. Dengan kedua tangan bertumpu di lutut, matanya menatapku lurus-lurus. Aku langsung tahu dia akan mengatakan sesuatu yang absurd. Tidak perlu kemampuan membaca pikiran untuk mengetahuinya.

“Tau nggak. Muka kita bertiga kan sama. Siapa yang bisa jamin kalau kamu Legenda dan aku Mitos?”

Aku mendesah. Lelah. “Mit, stop. Jangan diterusin.”

“Lho, iya kan? Aku cuma perlu cukur rambut sedikit, beres deh.”

“Mit, kamu yakin mau masuk toilet yang ada urinal-nya?”

“Eghhh…” Mitos langsung meleletkan lidah dengan jijik.

“Masuk toilet cowok nggak sebanding dengan kamarku kan?”

“Tapi aku pingin liat kamu masuk toilet cewek, sih.”

“Kamu kakakku apa bukan sih?!” aku tidak bisa lagi menahan suaraku supaya tidak melengking.

“Kenapa sih adikku nggak normal? Harusnya kamu excited aku suruh masuk toilet cewek.”

“Standar norma-abnormalmu itu apa sih? Nggak, nggak usah dijawab,” kataku cepat-cepat, melirik komik di tangannya. Kakakku itu terlalu banyak membaca komik (padahal, ironisnya, komik yang dibacanya punyaku, tapi aku tidak terpengaruh sampai jadi seaneh dia… atau jangan-jangan dia memang aneh dari sononya, tidak ada hubungannya dengan komik).

Ngomong-ngomong, pada dasarnya cowok dilarang masuk asrama cewek, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi karena kami keluarga, penjaga asrama membolehkan kedua kakakku masuk, dengan syarat alasannya jelas. Dan alasan yang digunakan Mitos dan Fakta untuk mengunjungiku adalah belajar bareng. Yang mereka lakukan tiap hari. Aku curiga kepala asrama cowok, Pak Romi Reksaraga, tahu apa yang sebenarnya dilakukan kakak-kakakku (Mitos: baca komik dan tidur-tiduran; Fakta: kadang mengerjakan PR, kadang membaca novel). Maksudku, bahkan untuk ukuran Fakta, belajar setiap hari itu sudah di luar batas.

Tapi toh Pak Romi tetap mengizinkan. Lagipula, memang asrama cowok ini selalu ramai setiap hari—cewek yang berkunjung kemari bukan cuma Mitos dan Fakta. Karena, dan ini salah satu keunikan sekolahku juga, kebanyakan murid di sini masih bersaudara.

Misalnya saja, guru matematikaku namanya Pak Rangga Adikala. Di kelasku ada tiga orang dengan nama belakang yang sama: Satria Adikala, Ratna Adikala, dan Safitri Adikala.

Kemudian, yang aku tahu, di kelas XII ada seorang anggota keluarga tengah Adikala bernama Adrian, yang sangat populer, memimpin sebuah geng cowok ganteng seperti dalam drama Asia yang belakangan ngetop, dan soknya amit-amit.

Selain keluarga Adikala, keluarga lain yang memenuhi sekolah ini adalah Reksaraga. Salah seorang admin sekolah ini bernama Kak Shirleyn Reksaraga. Di kelasku ada Levia Reksaraga dan Henry Reksaraga. Di kelas XII ada Kak Digdaya Reksaraga, yang menjabat ketua OSIS, dan kakak tirinya, Kak Saza Reksaraga, yang menjadi ketua komite disiplin. Kak Daya dan Kak Saza adalah adik seayah beda ibu dengan Kak Shirleyn.

Pusing ya?

Aku juga.

Awalnya aku bingung kepala buntung membayangkan segala persilsilahan itu. Mana bisa tidak, di angkatanku, dari total 51 orang, 30-nya dari Reksaraga, Adikala, dan Atmaspara. Lebih butek lagi ketika mendapati anak kembar. Bukannya aku tidak tahu diri—berhubung aku anak kembar tiga—tapi dengan begitu banyaknya orang bermarga sama, kita tidak butuh tampang yang juga sama! Paling tidak, meski berwajah sama, aku dan kakak-kakakku tidak punya marga.

Sekolah ini adalah yayasan pendidikan milik sebuah organisasi elite bernama Persatuan Pemuda Perisai, atau yang lebih familiar disebut sebagai Perisai. Organisasi tersebut memang awalnya didirikan oleh seorang Reksaraga, seorang Adikala, dan seorang Atmaspara. Umurnya sudah ratusan tahun. Selain digawangi tiga keluarga yang tergolong aristokrat, Perisai punya lini bisnis yang strategis. Misalnya, keluarga Adikala punya usaha kuliner yang merajalela dari level kaki lima sampai bintang lima. Keluarga Reksaraga bergerak di bidang teknologi, dan rumornya sih mereka juga mengurus database negara. Aku kurang tahu apa ciri khas bisnis Atmaspara, tapi yang aku tahu banyak atlet memiliki nama belakang tersebut.

Oh iya, sekolahku namanya Maha Pawitra, disingkat Matra. Letaknya di lereng gunung sehingga terlindung dari hingar-bingar kota. Ujian masuknya nyaris tidak mungkin dilolosi, kecuali oleh anggota ketiga klan pendiri. Sebelum salah paham, sebaiknya kuceritakan alasannya. Bukan soal eksklusivitas kok. Yah, memang eksklusif sih, tapi tidak dalam arti begitu.

Matra adalah sekolah bagi mereka yang berbakat khusus.

Bukan yang IQ-nya di atas 160. Bukan yang jago olahraga atau bermain musik. Bukan juga yang punya segudang trofi dan sertifikat.

Bukan bakat yang seperti itu.

Melainkan kekuatan supranatural.

Nah, sekarang, mengerti kan, kenapa aku tidak pernah bisa mengenai Mitos, dan kenapa buku Kimiaku bisa berbalik menghajar jidatku yang malang?

Karena Mitos bisa membaca pikiran dan Fakta bisa menggerakkan benda-benda tanpa menyentuhnya.

Kekuatan mereka makin lama makin terkendali dengan baik. Mitos sudah seperti bisa memprediksi masa depan, sementara Fakta seperti medan magnet yang membuat benda-benda di sekitarnya melayang.

Berbeda denganku.

Tapi mau bagaimana lagi—aku tidak bisa berlatih.

“Tapi sebaiknya kita pulang sekarang, Mit,” kata Fakta, akhirnya, menutup bukunya.

“Eh, aku pinjam dong buku PR-nya,” kataku.

Fakta melotot. “Kerjain sendiri! Gimana bisa belajar kalau kerjamu nyontek mulu?”

“Nyontek itu kan bagian dari belajar!”

“Bagian dari belajar kalau kamu udah nyoba ngerjain!”

“Aku udah nyoba!”

“Kapan?”

Mati kutu, aku tidak bisa menjawab. Walhasil Mitos tertawa makin keras.

“Hahahahaha… rasain tuh, makanya jangan nyontek mulu!”

“Emangnya kamu enggak?!” tukasku.

“Aku kan bisa ngerjain bareng Fakta,” Mitos mengedipkan satu matanya.

Kemudian tersadarlah kami… apa yang dilakukan Mitos selama ini.

Fakta yang lebih dulu mengamuk. “IIIIH! Jangan nyontek isi kepalaku!!! Nggak etis tau!”

“Hahahaha… ini namanya cerdik. Sekali lempar, dua burung kena.”

Sambil berdecak kesal, Fakta kembali mengeluarkan buku PR-nya dari tas tentengnya dan menaruhnya, dengan agak membanting, di meja. Aku memberinya senyum lebar. Jadi anak bungsu memang tidak enak, tapi kadang ada untungnya. Misalnya, dengan kakak tipe over-achiever seperti Fakta, dia semacam gengsi kalau aku terlalu payah. Fakta tidak terima kalau nilaiku bontot. Mitos lebih santai dan tidak menuntut apa-apa dariku, tapi aku tahu dia sebenarnya lebih pintar dari kelihatannya. Dia cuma senang berlagak bloon dan diremehkan. Padahal seisi sekolah sudah tahu dia bisa apa.

Tiba-tiba terdengar pintu diketuk.

“Kalian jadi tukeran nggak?” tanya Fakta.

“Ogah!” aku dan Mitos menjawab serempak.

Baru setelah mereka meninggalkan kamarku, aku bisa beristirahat dengan tenang.

Mereka itu memang suka seenaknya. Padahal tadinya aku ingin sendirian dan merenung, tapi mereka malah datang dengan alasan kamarku lebih sejuk dan luas.

Di satu sisi, aku memang beruntung dapat kamar ini. Yang lain harus berbagi kamar berdua atau bertiga, tapi aku menghuni kamar ini sendirian. Lokasinya juga lebih jauh dari yang lain. Memang sih, di bawah tangga, jadi langit-langitnya agak miring. Lebih okenya lagi, aku boleh menggunakan kamar mandi staf yang letaknya berseberangan dengan kamarku, padahal yang lain harus rela mengantri menggunakan kamar mandi umum yang cuma ada satu di setiap lantai.

Yah, memang sih, kalau harus banget dibahas, penempatanku di kamar ini ada alasannya. Alasan yang sama yang membuatku masih belum punya teman walau sudah sekolah di sini selama satu semester.

Kadang, aku curiga Mitos dan Fakta begitu rajin mengunjungiku karena khawatir aku kesepian.

Ah, sudahlah. Malas juga memikirkan soal itu. Sebaiknya aku tidur.

 

#

 

Dia ada di sana lagi.

Sore cukup berangin, seperti kemarin.

Mataku langsung tertuju ke arahnya, dan langkahku terhenti.

Apakah dia tidak mendengar langkahku? Atau mendengarnya, tapi tidak menoleh?

Seperti kemarin, tangannya menyentuh-nyentuh permukaan air, menimbulkan gelombang-gelombang bulat yang kemudian memantul di dinding kolam. Sepatunya diparkir rapi di luar kolam, sementara kedua kakinya berada di dalam air.

Aku memerhatikan punggungnya.

Dari belakang, dia nampak tinggi dan ramping. Rambutnya benar-benar halus, bergerak-gerak gemulai meski dengan angin yang pelan. Tidak seperti rambutnya Fakta yang helaiannya tebal dan kaku, terkena kipas angin saja kadang tidak terusik.

Diam-diam, aku mengharapkan ada angin kencang lagi seperti kemarin. Membuat rambutnya beterbangan, sehingga aku bisa melihat wajahnya lagi.

Dadaku rasanya berdebar-debar. Apa benar kata Mitos dan Fakta?

Tapi masa sih. Jangankan kenal, melihat wajahnya dengan benar saja belum pernah. Hanya sempat melihat senyumnya dari samping, itu juga hanya sekilas.

Ah… coba saja ada angin lagi hari ini…

Wussssh… terdengar bunyi keras dari langit.

Aku spontan menengadah.

Whuuuuussssshhhh… lebih kencang.

Whuushh… whuuushhh… whuuuuusssssshhh…

Seolah-olah mengabulkan permohonan diam-diamku, angin ribut mendadak bertiup. Sangat kencang. Jauh lebih kencang daripada kemarin.

Dan bukannya mencari tempat berlindung, aku tetap diam, melihat si gadis di pinggir kolam dengan kalut menahan rambutnya seraya melangkah keluar dari air.

Kemudian, dia berbalik ke arahku.

Matanya bertatapan dengan mataku.

Sejenak saja, rasanya jantungku berhenti berdetak. Menyakitkan sekali.

Kedua matanya terbelalak. Tangannya turun, kembali membiarkan rambutnya tergerai. Dia cepat-cepat mengambil sepatunya kemudian berlari meninggalkan taman, melalui koridor seberang.

Aku mengulurkan tanganku, seolah-olah hendak menahannya. Tetapi sejurus kemudian dia telah menghilang.

Tiupan angin itu berhenti sama mendadaknya dengan datangnya.

Aku menatap langit. Sesuatu yang hitam besar sedang mengepakkan sayapnya, menjauh.

Lama kelamaan, benda hitam di langit itu menjadi tinggal sebuah titik saja. Aku menatapnya sampai tidak bisa melihatnya lagi, terbang terlalu tinggi di atas awan-awan, sementara kejadian barusan masih membuat pikiranku berantakan tidak karuan.

 

[1] Plesetan five stages of grief.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • drei

    @yurriansan halo.. makasih sudah mampir XD

    Comment on chapter I.
  • yurriansan

    Nama tokohnya juga anti mainstream :D.
    Klau berkenan kunjungi story ku juga ya. Trims

    Comment on chapter I.
  • yurriansan

    Hai, aku suka dengan ceritamu. Unik dan bahasanya walau "marah" ttp enak dibaca. Aku bkalan lnjut baca

    Comment on chapter I.
Similar Tags
Black Lady the Violinist
15800      2810     3     
Fantasy
Violinist, profesi yang semua orang tahu tidak mungkin bisa digulati seorang bocah kampung umur 13 tahun asal Sleman yang bernama Kenan Grace. Jangankan berpikir bisa bermain di atas panggung sebagai profesional, menyenggol violin saja mustarab bisa terjadi. Impian kecil Kenan baru kesampaian ketika suatu sore seorang violinist blasteran Inggris yang memainkan alunan biola dari dalam toko musi...
KETIDAKBAHAGIAAN
496      357     0     
Short Story
seorang siswa penyendiri yang terlihat paling cuek namun dia-lah yang paling perhatian. Esa
Kamu&Dia
262      205     0     
Short Story
Ku kira judul kisahnya adalah aku dan kamu, tapi nyatanya adalah kamu dan dia.
Teori dan Filosofi
955      574     4     
Short Story
Kak Ian adalah pria misterius yang kutemui di meja wawancara calon penerima beasiswa. Suaranya dingin, dan matanya sehitam obsidian, tanpa ekspresi atau emosi. Tapi hal tak terduga terjadi di antara dia, aku, dan Kak Wijaya, sang ahli biologi...
Mutiara -BOOK 1 OF MUTIARA TRILOGY [PUBLISHING]
13910      2824     7     
Science Fiction
Have you ever imagined living in the future where your countries have been sunk under water? In the year 2518, humanity has almost been wiped off the face of the Earth. Indonesia sent 10 ships when the first "apocalypse" hit in the year 2150. As for today, only 3 ships representing the New Kingdom of Indonesia remain sailing the ocean.
Deep Sequence
564      467     1     
Fantasy
Nurani, biasa dipanggil Nura, seorang editor buku yang iseng memulai debut tulisannya di salah satu laman kepenulisan daring. Berkat bantuan para penulis yang pernah bekerja sama dengannya, karya perdana Nura cepat mengisi deretan novel terpopuler di sana. Bisa jadi karena terlalu penat menghadapi kehidupan nyata, bisa juga lelah atas tetek bengek tuntutan target di usia hampir kepala tiga. N...
Mengapa Harus Mencinta ??
3608      1164     2     
Romance
Jika kamu memintaku untuk mencintaimu seperti mereka. Maaf, aku tidak bisa. Aku hanyalah seorang yang mampu mencintai dan membahagiakan orang yang aku sayangi dengan caraku sendiri. Gladys menaruh hati kepada sahabat dari kekasihnya yang sudah meninggal tanpa dia sadari kapan rasa itu hadir didalam hatinya. Dia yang masih mencintai kekasihnya, selalu menolak Rafto dengan alasan apapun, namu...
Reach Our Time
10710      2494     5     
Romance
Pertemuan dengan seseorang, membuka jalan baru dalam sebuah pilihan. Terus bertemu dengannya yang menjadi pengubah lajunya kehidupan. Atau hanya sebuah bayangan sekelebat yang tiada makna. Itu adalah pilihan, mau meneruskan hubungan atau tidak. Tergantung, dengan siapa kita bertemu dan berinteraksi. Begitupun hubungan Adiyasa dan Raisha yang bertemu secara tak sengaja di kereta. Raisha, gadis...
Invisible
727      456     0     
Romance
Dia abu-abu. Hidup dengan penuh bayangan tanpa kenyataan membuat dia merasa terasingkan.Kematian saudara kembarnya membuat sang orang tua menekan keras kehendak mereka.Demi menutupi hal yang tidak diinginkan mereka memintanya untuk menjadi sosok saudara kembar yang telah tiada. Ia tertekan? They already know the answer. She said."I'm visible or invisible in my life!"
A Story
306      245     2     
Romance
Ini hanyalah sebuah kisah klise. Kisah sahabat yang salah satunya cinta. Kisah Fania dan sahabatnya Delka. Fania suka Delka. Delka hanya menganggap Fania sahabat. Entah apa ending dari kisah mereka. Akankah berakhir bahagia? Atau bahkan lebih menyakitkan?