Kica berdiri di hadapan Shinta sambil bersedekap. mencoba menampilkan sikap angkuh yang dianggapnya menawan, tapi aneh dilihat oleh Shinta. Shinta duduk di sebuah meja yang dipersiapkan untuk dua orang. Mera menyuruh Shinta untuk menunggu, karena ia harus mengambil kain pengganti.
"payah.." sindir Kica. Shinta yang mendengar hanya diam.
tak berselang lama Mera datang dengan beberapa lipatan Kain. ia sempat menampar wajah Kica, sebelum menarik Shinta pergi.
Shinta tak melepaskan pakaiannya, ia langsung saja berendam di tempat yang airnya bersih dan dangkal. Mera membantunya untuk mengusap tubuh dan rambut Shinta denga tumbukan daun dalam batok kelapa.
"sekali lagi maaf" Mera menatap sayu. ia kecewa.
"orang-orang disini, agak kasar ya ?"
"iya.. begitu.. dan juga bodoh. sama seperti Kica,"
"tidak perlu kecewa, Kica melakukan itu pasti ada alasannya" kata Shinta.
"alasannya paling untuk menyenangkan dirinya. Kica sangat suka Judi di desa sebelah Utara. butuh waktu hingga 5 jam untuk mencapainya dengan kuda. belum lagi jika ia isi menginap kemudian mencuri dan pindah-pindah desa lagi" Mera menunduk, ia menghentikan kegiatannya. entah kenapa, Mera merasa ada dorongan yang membuatnya ingin bercerita banyak pada Shinta.
"lihat dengan sisi yang berbeda, Kica bisa saja punya banyak teman kan ?" tanya Shinta.
"banyak musuh mungkin iya"
"selama Kica pergi, kau dimana ?" Shinta berbalik dan duduk menghadap Mera.
"aku tinggal disini, membantu orang-orang. aku tidak berani keluar desa. ku pikir mengerikan hidup bersama buronan."
"Kica seorang buronan ?, Kica seorang pencuri ?" Shinta menampakan wajah kebingungan.
"iya, kata orang di desa ini"
"memangnya orang di desa ini pernah keluar ? memang orang disini tau Kica lebih dekat dari mu ?" tanya Shinta, karena tak ada respon dari Mera, Shinta mencelupkan tubuhnya kedalam air untuk membilas rambutnya.
Shinta kembali muncul ke permukaan sambil berkata "huah....!! jadi, dari mana orang desa tau kalau Kica itu buronan ?"
"mungkin cuma pikiran mereka" Mera tampak ragu.
"kalau tidak tau, untuk apa mereka berkata begitu ?." Shinta berkata sambil mengambil ulekan daun di batok kelapa.
"sesekali ikutlah dengan Kica, daripada kau terus menderita disini. tak ada salahnya untuk keluar dari tempat mu yang nyaman ini" Shinta memberi saran.
"apa itu boleh ?" Mera bertanya.
"orang-orang disini terlalu pandai menuduh atau mencela. jika merasa tak nyaman, pergi saja. untuk apa mempertahankan sesuatu yang membuatmu tak bahagia ?." Shinta mulai berjalan ke tempat yang kering, ia mengambil kain pengganti.
sebelum ia bersembunyi di balik pepohonan untuk mengganti pakaian, Shinta berkata. "tadi kau bilang jika Kica itu kekasih mu. menurutku, Kekasih adalah orang terdekat kedua setelah orang tua. terus.. Kekasih itu adalah hubungan dimana kalian berdua saling percaya."
"aku....tak mengerti" bisik Mera. gadis itu kini menunduk, berusaha mencerna kata-kata yang jarang ia dengarkan dari penduduk sekitar.
Mera ingat bila ia selalu tak percaya pada Kica setiap kali pulang ke Desa. Mera tak pernah berpikir untuk membantu hidupnya dan juga Kica, ia selalu bergantung pada Kica. Mera sendiri tak mengerti mengapa Kica melakukan pencurian. Kica yang kesulitan untuk mendengar perintah Mera . Kica yang mungkin tak mempercayi Mera lagi. Mera yang otaknya di cuci dengan hasutan orang desa yang tak mengenal Kica. Mera harusnya bisa mengerti Kica. Mera harusnya dapat membantu Kica lebih dari sekedar menyembunyikan kebohongan.
Shinta keluar dengan balutan Kain yang agak berantakan, Shinta pun teringat sesuatu yang harusnya segera ia cari "oh iya, bisa antarkan aku ke jalan utama ? mungkin dari sana aku bisa ingat letak mobil papa"
"i-iya" Mera berjalan mendahului. ia mengingat-ngigat kembali saran milik Shinta tadi. haruskah ia turuti ?
Shinta yang mengekor, menggaruk-garuk lenganya. ia merasakan sesuatu yang kasar muncul disana.
"Mera, setelah sampai di mobil nanti. kau ambil uangku dan cepat pergi ya ?. soalnya aku tak akan lama-lama disini" pinta Shinta yang coba menutupi lengannya dengan baju basah.
"apa itu mobil ?" tanya Mera.
"kau akan lihat sesuatu yang aneh berwarna hitam di jalan nanti" jelas Shinta.
butuh waktu beberapa menit untuk menjangkau jalan utama. untungnya matahari belum sepenuhnya tenggelam sore itu, walau langit sudah berwarna kemerahan Shinta masih bisa melihat beberapa bangunan yang menjadi petunjuk ke arah Mobil Aleka.sekarang Mera mengekori Shinta, gadis yang masih basah itu berjalan begitu cepat. benda hitam yang di maksud Shinta pun muncul dari kejauhan. Aleka terlihat bersandar di kap mobil sambil memeriksa Hpnya.
"papa.. apa kau punya uang ? aku butuh uang !" Shinta meminta dan menarik-narik lengan Aleka.
"berapa ?" Aleka menatap Shinta dan Mera bergantian.
"mungkin 200 atau 300 keping perunggu" Mera mengingat-ngingat.
"bawa ini"
"ta-tapi, ini terlalu banyak." Mera mengembalikan 5 keping dari 10 keping emas yang Aleka beri. tetapi Aleka menolak.
"gunakan semau mu." Aleka menepuk kepala Shinta. mengkode untuk masuk kedalam Mobil.
Mera yang kebingungan kini menepi.secara bergantian Mera menatap Mobil, Shinta dan keping emas di tanggannya. rasanya seperti dapat durian runtuh. Mera akan jadi kaya !.
"terima kasih" Mera berbicara dengan tergagap. Shinta hanya mengangguk sembari melempar senyuman pada gadis desa berambut pendek di depannya.
"anu.. aku tidak tau namamu" Ucap Mera lagi.
"Shinta.. Sanjaya" sahut gadis berambut panjang itu. ia segera masuk ke dalam mobil bersama ayahnya.
di sisi lain, seorang anak laki-laki memperhatikan gerak-gerik kedua gadis itu dari dalam toko. matanya dengan intens menatap Mera. setelah mobil hitam mulai berjalan dan beranjak dari tempat semula Mera berdiri. anak laki-laki itu keluar dengan barang belanjaan.
"kau mau mengikutinya ?" Kica tampak keluar dari toko kelontong di belakang Mera. ia membawa seikat kangkung di tangan kanannya.
"tidak. tapi..." Mera tertegun. ia berhenti sebentar untuk mengumpulkan keberanian. setelah dirasa cukup ia pun berkata" tapi bolehkah aku mengikuti mu ?! kemana pun kau pergi Kica. aku tidak peduli. aku ingin bersama mu" ucap Mera. pandangan wanita itu kini mengarah ke 10 keping emas di tangannya. "tapi sebelum itu, kita harus bayar telurnya"
"tentu Mera." Kica menarik tangan kekasihnya dan berjalan menuju tempat dimana Kica mencuri telur tadi siang.
"kau tau Mera ?, aku sangat ingin mendengar kata-kata itu tadi" bathin Kica melihat wanita yang ia sukai dari belakang. sudah lama Kica mengharapkan bisa melihat wajah tenang Mera seperti saat ini.