Shinta menatap jalanan malam dengan wajah bosan. telinganya di sumpat oleh headset berwarna putih. lagu-lagu orchestra mengiringinya. Aleka masih fokus menyetir, ia menjahili Shinta dengan menarik salah satu headsetnya.
"kenapa pa ?" Shinta refleks bertanya. ia bahkan berpikir ada hal genting yang harus ayahnya bicarakan.
"jangan keseringan pakek headset. nanti tuli" jawab Aleka.
"o-oh..." Shinta meletakan headsetnya. ia menggaruk-garung lengan kanannya. sisik berwarna biru samar-samar menembus kulitnya. itu dapat terlihat dari kemeja tipis yang ia kenakan.
"enak ya, kalau jadi manusia normal.." Shinta berbisik.
"enggak sepenuhnya enak. asal kau tau, dulu papa seorang manusia normal karena jenuh papa nyari jalan lain agar hidup papa lebih menyenangkan" ucap Aleka. ia mempercepat laju mobil ketika melewati areal hutan yang sepi.
"papa sudah sering bilang gitu." Shinta mulai mengenakan jaket yang ada di sampingnya.
"kamu juga"
"aku kan gak bisa terima"
"papa sih terima-terima aja."
"papa kok tumben ngobrol beginian sama Shinta. biasanya sama Nami" Shinta melepas sabuk pengamannya, lalu mulai bergerak ke kursi belakang untuk mengambil selimut.
"karena pengen"
"pengen apaan ?" Shinta mencoba menjangkau kursi belakang.
"pengen aja cerita"
"yah.."
"emang gara-gara apa, papa bisa berubah jadi manusia setengah salmon kayak sekarang ?"
"karena... papa suka sama ibumu lah"
setelah berhasil mengambil selimut, Shinta menariknya kedepan. ia menggulung selimut itu di pahanya. "emang ibu salah apa ?"
"ibumu gak salah, ibumu cuma ngelakuin hal yang pantes ke orang-orang"
"ibu bunuh orang"
"enggak"
"ibu jadiin orang tumbal ?"
"enggak juga"
"ibu--" saat Sintha hendak menebak lagi, Aleka sudah mendaratkan jitakan manis di kening Shinta. alhasil Shinta hanya meringis meratapi keningnya yang kini memerah.
"ibu mu terobsesi jadi seorang pahlawan. akhirnya dia dapet kekuatan dari roh halus." jelas Aleka.
"terus ibu berubah jadi manusia ikan ? terus kota berubah jadi danau gitu ? tebak Shinta.
"ada gunanya" Ucap Aleka sembari mengusap kepala anaknya. "papa mu yang ganteng ini, harus nolongin ibumu yang sekarat pakai serpihan kekuatan roh halus. Efeknya papa harus bertukar setengah roh papa dengan penghuni laut"
"oh gitu.. tapi kok sekarang papa gak keliatan punya sisik ?"kata Shinta. gadis itu meletakan tangan Aleka di setir lagi.
"udah nurun ke kamu. jadi papa sama ibu bebas"
"not ibu, it's Mama. tapi kok papa tega ?" Shinta menurunkan bahunya, menandakan ia kecewa.
"hal yang kayak gitu emang nurun sendiri"
"tapi gatel pah, kena air dikit aja udah langsung tumbuh lagi. kalau aku jadi ikan beneran gimana ?" Rengek Shinta pada ayahnya.
"potong, bakar terus makan" Ucap Aleka dingin.
"HUAPEH ?!" Shinta meniru ucapan sinetron yang di tayangankan oleh Aleka 3 hari yang lalu.
"jugaan kamu belum jadi ikan."
"mentang-mentang bebas ya. aku bales ntar"
"papa tumben baik loh....kalau sifat dingin papa keluar lagi, kamu pasti enggak ngomong-ngomong sama papa"
"eehh.. curang !. dasar orang tua !" Shinta bersidekap. ia menggembungan pipinya sehingga Aleka tak tahan mencubitnya. walau matanya fokus ke arah jalan, ia masih sempat melirik anaknya.
5 jam mereka lalu di dalam mobil. Aleka memberitau jika ia sangat menyayangi Shinta karena wajahnya sangat mirip dengan Aleka. begitu pula dengan rasa sayangnya pada gadis bernama wanita yang pernah ia nikahi dulu. Aleka kadang harus bolak-balik pergi dari pedalaman ke kota demi bertemu Istrinya dengan konsekuesi ia harus meninggalkan Shinta selama 1 minggu jika benar-benar rindu.
"tapi kenapa harus di pedalaman ?"
"karena papa belum siap kamu ketemu sama orang-orang di kota"
"terus mama bilang apa ? mama kangen Shinta gak ?"
"papa gak tau"
"loh kok engga ?, tadi papa bilang kalau papa kangen, papa ke kota buat ketemu mama" Shinta menatap Aleka bingung.
"cuma kangen, enggak pengen ngobrol"
"emang boleh ya ?"
"ya.. entar pas dikota kamu bakalan tau" Aleka berbicara dengan nada datar seperti biasanya. Shinta pun bungkam. ia tak ingin melanjutkan pembicarannya.
namun itu tak sepenuhnya terjadi, Aleka malah bercerita tentang Shinta semasa kecil, kelakuan Aleka semasa muda yang cukup liar, Toko roti di pinggir kota milik nenek Shinta dan masih banyak lagi. Shinta hanya menanggapi, jarang pula bila Aleka memiliki mood bagus seperti sekarang. Shinta berharap jika ayahnya ramah dan terbuka setiap hari seperti saat ini.
pemandangan pohon-pohon yang dilewati mobil mereka, mulai di gantikan dengan jalan turunan yang terjal. namun bila di pandang lurus ke depan, orang-orang di mobil bisa melihat pantai dan ujung pulau seberang. bulan purnama yang kala itu bersinar dengan angkuh menerangi jalanan, menampilkan deretan gedung-gedung di ujung sana. sebuah kota yang menjadi tujuan utama Aleka. yang bernama Kota Mina.
"keren..." Shinta terpesona saat matanya menangkap perpaduan siluet gedung berbentuk lingkaran dihiasi lautan di belakangnya.
"kurang lebih setengah jam lagi kita baru sampai di kota" Jelas Aleka.
"kenapa papa gak dari dulu ngajak aku kesini ?!" tanya Shinta dengan senang setengah kesal.
"kalau pun papa ajak, kamu gak bakalan betah diem lama-lama di mobil."
Aleka kembali mempercepat laju mobilnya. jalanan di tengah malam mungkin sepi. tapi tidak seperti perasaan Aleka yang biasanya yang lebih sepi dari jalanan tengah malam. Shinta sendiri menganggap kebiasaan diam Aleka itu selalu tak beralasan. namun di buku yang pernah Shinta baca, seorang pria punya alasan untuk bertindak.
Shinta terdiam sambil memandangi jalan lagi. ia memang tak menyukai kehidupannya yang selalu sendirian. hanya Nami, manusia yang dulu selalu ia ajak bicara. sisanya hanyalah pepohonan dan tanah. sesekali jika ada hewan, Shinta mengeluarkan keluh kesah pada hewan itu. walau ia sendiri tau jika hewan tak mengerti bahasanya.
Shinta mencoba perlahan untuk mencintai dirinya sendiri. awalnya sangat sulit untuk menerima kenyataan, tapi buku-buku dari Aleka, memberinya secercah harapan. bahwa hidup tak begitu buruk jika terus dijalani.
yang jelas, Shinta berharap ia bisa mengenali dirinya lebih jauh lagi. disaat ia bertemu dengan anak manusia normal nanti.