Pagi ini sekolah nggak seperti biasanya. Aku merasa risih dengan tatapan aneh anak satu sekolah. Mulai dari aku turun dari mobil. Sampai sekarang tiba di koridor, semua menatapku dengan tatapan, emm, bagaimana mendeskripsikannya ya. Ada yang menatap sinis, kaget, terkejut, nggak nyangka. Bahkan ada yang menatapku dengan tatapan menghina. Aku juga mendengar kasak-kusuk yang menyebut namaku setiap kali mereka melihatku.
Aku mengamati diriku sendiri. Dari atas kepala sampai kaki. Rambut sebahuku, sudah kusisir rapi. Seragam, putih abu-abu seperti yang mereka semua juga pakai. Sepatu, bersih dan nggak ada yang bolong. Kaos kaki, nggak panjang sebelah. Sepertinya nggak ada yang aneh.
Dan aku semakin bingung saat mendapati depan kelasku sepi. Padahal jam-jam seperti ini biasanya teman sekelasku berkumpul di depan kelas sampai guru yang mengajar dijam pertana datang. Ini jam enam dua puluh kenapa sepi banget? Dan mereka malah berkumpul di dalam kelas karena dari luar aku bisa mendengar suara berisik mereka. Aneh.
Begitu aku melangkahkan kaki memasuki kelas, tiba-tiba hening. Semua mata menatap ke arahku. Tidak terkecuali Lyana. Aku jadi gugup ditatap seperti itu. Perlahan aku berjalan ke bangkuku dan Lyana masih dengan muka bingung.
“Ada apa sih, Yan? Kenapa dari gue masuk gerbang sampek ke kelas semua ngeliat gue kayak gini?” Aku langsung menodong Lyana dengan pertanyaan begitu tiba di bangku kami.
Lyana tidak langsung menjawab. Dia menatapku lama, baru berkata, “Duduk, Ra!” Lyana menarik lenganku pelan sampai aku terduduk.
“Kenapa, sih?” Nggak tahu kenapa perasaanku jadi nggak enak. Terlebih melihat wajah muram Lyana dan tatapan memaki anak satu kelas.
Lyana menatapku lekat-lekat. Menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Menatapku lagi. Mulutnya terbuka siap mengucapkan sesuatu. Namun urung dilakukannya dan dia malah mengeluarkan sesuatu dari laci meja.
“Apa ini?” Tanyaku sambil membalik selembar kertas ukuran A4 yang sepertinya foto itu.
“Astagfirulloh.”
Sumpah. Aku benar-benar kaget. Terkejut. Foto yang sekarang ditanganku, tidak lain adalah gambar diriku berdua Rafa dengan pose…. ASTAGA. Demi Tuhan. Demi apa pun, itu bukan fotoku. Refleks aku langsung memandang seluruh isi kelas.
“Sumpah ini bukan gue!” Aku menatap seluruh kelas. Tidak ada wajah percaya sama sekali. Yang ada malah tatapan yang semakin menghina. Aku beralih untuk menatap Lyana.
“Yan, demi Tuhan ini bukan gue.” Aku menatap Lyana dengan hopeless. Lyana bergeming. Aku bisa merasakan mataku mulai panas. “Bukan gue, Yan. Ini rekayasa.” Tambahku dengan lirih.
“Gue percaya, Ra. Tapi, ini bersih banget. Nggak kelihatan rekayasa. “
Percaya? Itu bukan kalimat yang harusnya keluar dari mulut orang yang percaya. Sungguh. Hal yang paling menyakitkan adalah disaat kamu difitnah, sahabatmu sendiri termakan fitnah itu dan nggak mempercayai kamu. Dan itulah yang kurasakan sekarang.
-----
Kalau boleh memilih, hari ini aku nggak ingin berangkat ke sekolah saja. Dengan begitu aku tidak akan mendapati seisi sekolah menatapku dengan tatapan merendahkan seperti ini. Atau lebih baik aku tertelan bumi saat ini juga. Membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya, sudah cukup membuatku seperti tidak ingin hidup lagi.
Habis sudah. Dentara Mahardika di mata mereka tidak lebih baik dari seorang cewek ‘nggak bener’. Ini nggak adil. Benar-benar nggak adil. Di judge atas hal yang nggak pernah kita lakukan. Apalagi hal sememalukan ini.
“Tara?”
Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi menunduk di meja. Aku nggak sadar kalau ternyata Bu Dewi sudah ada di kelas.
“Ya, Bu.”
“Kamu ke ruang Kepala Sekolah sekarang.”
Dan sekarang, Bu Dewi pun kurasa juga percaya dengan foto itu. Aku bisa tahu dari nada bicaranya tadi yang terdengar sinis.
Aku menatap Lyana. Dia hanya diam. Tanpa bertanya lagi aku langsung berdiri dan berjalan menuju ruang Kepala sekolah yang ada di lantai satu. Aku menoleh kiri-kanan. Sudah terlihat sepi. Sepertinya pelajaran yang sempat tertunda karena rapat dadakan tadi sudah dimulai.
Aku menarik napas lega. Setidaknya tidak akan ada yang menatapku dengan tatapan yang, jujur saja aku sangat benci. Aku berjalan dengan santai. Mencoba mengatur napas yang tiba-tiba terasa memburu.
Aku langsung menambah kecepatan langkah kakiku begitu melihat si stranger Ralin dan tiga pagar ayunya yang baru saja keluar dari toilet kelas sepuluh. Sial! Lagian kenapa sih mereka pakai toilet kelas sepuluh?
Baiklah. Yang harus kulakuakn sekarang adalah mengangkat daguku tinggi-tinggi. Tatapan lurus kedepan.
“Ow.. ow… Miss bitch buru-buru banget. Mau kemana?” Seru Ralin dengan suara lantang. Aku berusaha untuk nggak menghiraukan walau rasanya ingin sekali menendang bokongnya sampai kempes. Aku terus berjalan.
Selanjutnya aku benar-benar nggak menggubris Ralin dan pagar ayunya sampai aku tiba di depan ruang Kepala Sekolah. Walau tadi aku sempat mendengar mereka memakiku dan membuatku hampir membalik badan untuk memberi mereka pelajaran. Minimal pipi lebam lah. Tapi karena menemui Kepala Sekolah itu adalah hal yang jauh lebih penting, aku membiarkan mereka. Setidaknya untuk saat ini. Tapi kalau lain kali aku mendengar mereka mengatakan itu, aku tidak akan segan-segan membuat wajah mereka lebam.
Aku menatap pintu kayu berwarna coklat tua itu. Menarik napas berkali-kali untuk menenangkan diri. Kemudian mengetuknya perlahan.
Pada ketukan kedua aku mendengar suara Kepala Sekolah yang menyuruhku masuk. Aku sedikit tersentak saat mendapati beberapa guru juga berada di ruangan Kepala Sekolah. Bu Indira wali kelasku, Bu Wahyu guru BP, Pak Danu wakil Kepala Sekolah dan Pak Harlan guru ITI juga ada di situ. Dan saat ini, semua guru itu sedang menatap ke arahku. Lagi-lagi dengan tatapan melecehkan. Apalagi Bu Wahyu. Pakai tambahan senyum sinis lagi. Sumpah, mirip banget sama Ibu tirinya Cinderella.
“Permisi, Bapak panggil saya?” Aku berada di tengah pintu saat mengatakan itu.
“Duduk kamu!” Perintah Kepala Sekolah dengan nada nggak bersahabat. Aku menelan ludah. Kemudian menuruti perintah Kepala Sekolah setelah kembali menutup pintu.
Hening beberapa saat. Semua guru yang ada di ruangan Kepala Sekolah sedang ‘bermusyawarah’ tentangku, didepanku. Karena beberapa kali aku mendengar namaku disebut. Sedangkan Pak Harlan masih saja sibuk dengan laptopnya. Nggak tau lagi ngapain.
Semua guru yang ‘bermusyawarah’ tadi menegakkan tubuh hampir bersamaan. Menghadap ke arahku dan menatapku dengan tatapan tajam. Aku jadi merasa seperti seorang terdakwa pembunuhan yang sedang diinterogasi oleh polisi. Rasanya ingin lari saja dari tempat ini.
“Bisa jelaskan tentang ini?” Kepala Sekolah melempar foto sialan itu ke meja dan jatuh tepat di hadapanku.
“Yang di foto itu bukan saya, Pak.” Jawabku dengan tegas. Tanpa keraguan dan ketakutan sedikit pun.
“Masih mau menyangkal? Sudah jelas-jelas itu wajah kamu.” Bu Wahyu menyela dengan nada sinis.
“Tapi itu bukan saya, Bu. Foto itu rekayasa.” Aku mengatakan itu sambil menatap Bu Indira. Mencoba meminta kepercayaannya. Aku tahu wali kelasku itu tidak akan percaya begitu saja dengan foto itu. Beliau mengenal baik aku lebih dari siapa pun yang ada di sekolah ini. Bu Indira itu dulunya tetangga sebelah rumahku. Dan pindah sekitar tiga tahun lalu.
“Alasan. Kamu sering ya, ngelakuin kayak begitu?” Lagi-lagi Bu Wahyu berkata pedas. Aku menarik napas perlahan. Mencoba menenangkan diri. Jangan sampai aku menerkam ini guru. Yang aku juga nggak tahu kenapa, sepertinya dari dulu beliau itu nggak suka padaku.
“Bu, sumpah itu bukan foto saya. Lagi pula?” Aku menggantung kalimatku. Sedikit merasa tidak enak dengan kata-kata yang akan kuucapkan. “?punya saya nggak segede itu.” Jawabku pelan.
Dan aku yakin semua yang ada di ruangan ini juga bisa mendengar. Karena saat ini, semua mata mengarah ke bagian yang kusebut ‘punya saya nggak segede itu.’ Tidak terkecuali Pak Harlan yang sedari tadi sibuk dengan laptop-nya. Aku jadi risih sendiri.
“Itu nggak cukup buat dijadikan alasan, Tara. Sudah sangat jelas kalau di foto itu adalah kamu dan Rafa.” Kepala Sekolah berkata dengan nada tinggi. Membuat ketenanganku jadi goyah.
“Pak, demi Tuhan itu bukan saya.” Sekali lagi aku berkata dengan tegas. “Kalau Bapak dan Ibu tidak percaya, bisa tanya ke Rafa langsung.” Tantangku.
“Baik, saya akan panggil Rafa.” Bu Wahyu berdiri dari duduknya.
“Rafa sudah saya panggil, Bu. Mungkin sebentar lagi juga datang.” Sahut Pak Danu.
“Baik. Kita tunggu Rafa.” Kata Kepala Sekolah akhirnya.
Suasana benar-benar hening saat menunggu kedatangan Rafa. Semua mata nggak beralih dariku. Kecuali Pak Harlan yang masiiih saja sibuk dengan laptop-nya. Itu guru kok nggak punya rasa sungkan sama sekali, ya? Didepan Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah masih bisa mainan laptop. Lalu, apa gunanya beliau di sini?
Aku mengangkat daguku tinggi-tinggi. Menatap lurus ke depan. Tepat ke kalender dinding yang terletak di belakang kursi Kepala Sekolah. Kalau kita tidak bersalah, jangan menunduk. Karena dengan kita menunduk, itu sama saja mengiyakan fitnah yang dituduhkan pada kita. Mempertegas kalau kita salah.
Lima menit kemudian terdengar suara pintu diketuk. Tanpa bisa dicegah dadaku berdebar menyadari kalau itu Rafa. Bukan, bukan karena kedatangan Rafa yang membuat dadaku berdebar. Melainkan soal apa yang akan dikatakannya mengenai foto itu.
“Duduk kamu Rafa!” Perintah Kepala Sekolah. Rafa duduk di kursi sebelahku. Sedikit pun tidak menoleh ke arahku. Aku mengamati setiap gerakannya.
“Apa benar ini foto kamu sama Tara?” Kepala Sekolah langsung ke inti. Tangannya menunjuk foto yang tergeletak di atas meja.
Rafa diam sesaat. Kemudian berkata, “Iya. Itu foto saya sama Tara.” Tegas dia mengatakan itu.
Sumpah demi Tuhan. Rasanya langit runtuh di atas kepalaku saat ini juga. Rafa mengakui foto itu. Dan sungguh sulit dipercaya, dia mengatakan itu dengan yakin. Sama sekali nggak ada keraguan baik dari tatapan matanya maupun dari nada bicaranya. Aku syok yang benar-benar syok.
“Raf, itu bukan kita? Aku nggak pernah lakuin itu sama kamu.” Aku mencoba menyangkal pernyataan Rafa. Rafa menoleh untuk menatapku. Tepat dimanik mata.
“Apa aku perlu menceritakan kronologi bagaiman terciptanya foto itu?” Pelan Rafa mengatakan itu. Tapi rasanya seperti memekakkan telingaku.
Aku merasakan mataku memanas. Aku nggak tahu lagi harus bagaimana. Padahal harapan terbesarku untuk lepas dari masalah ini adalah Rafa.
“Masih mau menyangkal kamu, kalau Rafa saja sudah mengakuinya?” Bu Wahyu kembali bersuara.
Aku mengusap air mata yang mulai membasahi pipiku. Hatiku benar-benar sakit. Tidak menyangka Rafa bisa memfitnahku seperti itu.
“Kalian saya kasih waktu seminggu untuk mengurus surat kepindahan kalian dari sekolah ini.” Kata Kepala Sekolah dengan nada final. “Sekarang kalian boleh kembali ke kelas.” Lanjutnya kemudian.
Aku menatap Bu Indira sekali lagi untuk meminta bantuan. Tapi yang kudapati malah wajah muram dan tatapan kecewanya. Dengan lemah aku berdiri dari dudukku. Berjalan keluar ruang Kepala Sekolah menyusul Rafa yang sudah keluar terlebih dulu. Aku menatap tubuh jangkung yang berjalan tegap seperti biasanya itu. Rasanya ingin sekali menusuk punggungnya dan membelahnya jadi dua.
Aku mengusap air mataku dengan kasar. Kemudian dengan setengah berlari menghampiri Rafa yang hampir menjangkau tangga untuk menuju ke lantai dua. Aku menarik tangan Rafa sampai tubuhnya berbalik menghadapku.
“Balik ke ruang Kepala Sekolah dan cabut pernyataan kamu barusan.” Aku berkata dengan suara bergetar. Rafa melepas cekalan tanganku dilengannya dengan pelan. Kemudian menatap lekat mataku.
“Aku mau lakuin itu asal kamu balik ke aku.” Kata Rafa tanpa keraguan sedikit pun. Aku melongo sesaat. Kemudian tersenyum sinis setelah menyadari permintaan konyol Rafa itu.
“Sampai kapan pun aku nggak akan pernah lakuin itu. Terlebih setelah kamu mengakui foto itu tadi.” Tegas aku mengatakan itu.
Rafa hanya menatapku dalam diam. Kemudian berlalu tanpa sepatah kata pun. Yang membuatku semakin jengkel sama makhluk itu.
----
“Kok bisa bersih banget gini, ya?” Untuk kesekian kalinya Dika mengatakan itu sambil menatap foto sialan yang disebar pagi tadi. Dan itu membuatku muak.
“Iya, lho. Kalo gue nggak perhatian itunya yang gede banget seperti yang lo bilang tadi, gue hampir percaya kalo itu elo, Ra.” Lyana menambahi.
Aku langsung mengalihkan mataku untuk menatap tajam ke arahnya. “Bukannya pagi tadi emang lo percaya?”
Lyana nyengir kemudian berkata, “Bukannya gue nggak percaya, Ra. Gue cuma syok. SYOK.”
Aku hanya berdecak kesal menanggapi perkataannya itu. Sekembalinya dari ruang Kepala Sekolah, aku kembali meyakinkan Lyana. Sampai jam istirahat pun aku masih tetap meyakinkan dia. Yang akhirnya dia percaya juga padaku walau belum seratus persen. Itu pun berkat bantuan Dika yang membantuku meyakinkan Lyana.
“Siapa pun pelakunya, gue yakin dia seorang profesional. Kalian liat deh, bersih banget. Nggak kelihatan kalo ini rekayasa.” Dika mengacung-acungkan foto itu di depan wajahku. Aku menepisnya dengan kesal.
“Lo bisa nggak sih, jauhin itu foto dari gue?” Aku berkata dengan kesal. Tapi Dika sama sekali nggak menggubris. Dia masih saja memelototi foto itu. Sampai aku risih sendiri dibuatnya.
Bukannya apa-apa. Biar bagaimana pun kan, wajah yang ada di foto itu adalah wajahku. Walau pun badannya bukan milikku, tetap saja aku merasa nggak nyaman Dika memandangi foto itu sampai segitunya.
“Bantu gue mikir dong, guys. Gue harus gimana ini?” Aku berkata dengan desperate sambil menggaruk-garuk permukaan bantal. Lyana dan Dika memandang ngeri. Seolah aku adalah seorang anjing pengidap rabies yang lagi mencabik-cabik manusia.
Aku bisa gila hanya karena masalah ini. Apalagi kalau sampai Mama dan Papa tahu masalah ini. Apalagi Bima.
“Kenapa lo nggak minta bantuan Bima aja?” Lyana berkata dengan excited-nya.
Aku menatap Lyana seolah-olah dia menyuruhku minta bantuan Roy Suryo. “Itu namanya bunuh diri. Kalo Bima tahu soal ini, bisa habis gue.”
Bima itu kalau marah sadis banget. Marahnya Bima itu lebih menakutkan daripada marahnya Mama dan Papa. Membayangkan suara berat Bima membentakku saja, nyaliku langsung menciut.
“Enggak, ah.” Aku menolak sambil menggeleng kuat-kuat.
“Lo coba aja, Ra. Temen Bima kan banyak tuh, siapa tau aja salah satu di antara mereka ada yang bisa bantu.” Dika menambahi.
“Dan banyaknya temen Bima itu juga bakal ngeliat foto begituan yang pake muka gue, gitu? OGAH!” Aku memelototi Dika.
Dika nyengir. “Itu juga cuma saran. Diterima syukur, nggak diterima ya sudah.” Dika kembali mengamati foto itu untuk beberapa menit. Wajahnya terlihat serius banget.
“Bentar, deh. Ini?” Dika menunjuk sebuah titik hitam yang lumayan besar di pinggang bagian kiri cewek di foto itu. “?bukannya tato, ya?” Lanjut Dika. Aku dan Lyana langsung mendekati Dika yang duduk di tepi ranjangku. Lalu Dika mengeluarkan smartphonenya dan memotret foto itu.
Dika mengzoom foto di smartphonenya, kemudian berkata, “Bener, kan, gue bilang.” Lalu menunjukkan smartphonenya padaku.
Aku mengamati foto itu. Kalau dilihat sekilas, ekor kalajengking itu memang seperti titik hitam yang besar. Tapi kalau gambar diperbesar seperti ini, jadi kelihatan kalau itu ekor kalajengking.
“Lo nggak ada tato, kan, Ra?” Lyana menatapku curiga. Dan yang kulakukan adalah langsung menyibak kaos yang menutupi pinggang sebelah kiriku. Mulus. Nggak ada coretan hitam sedikit pun. Apalagi gambar kalajengking.
“Hmm…” Deheman Dika langsung membuatku sadar dengan kehadiran cowok itu dan segera merapikan kembali kaosku.
“Sorry, refleks.” Kataku sambil nyengir melihat ekspresi salah tingkah Dika dan tatapan tajam dari Lyana. Suasana jadi terasa sedikit canggung.
“Kayaknya ini bisa lo jadiin bukti deh, Ra.” Kata Dika memecah kecanggungan di antara kami bertiga.
“Apa cuma dengan nunjukin itu para guru bakal percaya?” Aku meragukan perkataan Dika. Dika hanya diam. Terlihat berpikir “Mereka bisa aja membantah dengan mengatakan aku sudah menghapus tato itu. Apalagi Bu Wahyu tuh. Nggak akan semudah itu percaya. Gue heran, kenapa tuh guru kayaknya benci banget sama gue, ya?”Aku menambahi.
“Elo nggak tau, Ra?” Lyana menatapku dengan tatapan serius.
“Apaan?” Aku jadi was-was.
“Dia kan, cemburu karena hampir semua cowok satu sekolah demen sama elo.” Jawab Lyana, kemudian terbahak melihat wajah melongoku.
“Sialan!” Aku melempar bantal ke wajah Lyana. Aku pikir dia akan ngomong serius. Ternyata, asal ngejeplak.
Smartphone Lyana berbunyi. Dia mengubek-ubek Louis Vuitton-nya untuk mencari benda tersebut. Dan langsung mengutak-atik smartphone-nya begitu ketemu.
“Entar coba gue pikirin deh. Sekarang gue mau pulang.” Lyana berkata sambil berdiri dan merapikan rok A line motif bunganya. Yang membuat dia selalu terlihat manis.
“Yaah, Yan. Ini gimana masalah gue?” Aku berseru dengan frustasi.
“Entar gue pikirin. Ini gue di WhatsApp sama Kak Tiara. Katanya si Nadira and her family yang sombongnya na’udzubillah itu lagi ada di rumah. Nggak enak kalo gue nggak balik. Bisa-bisa, besok berita tentang Lyana yang sombong karena nggak mau menemui keluarga Hanggono saat berkunjung kerumahnya, tersebar luas ke seluruh keluarga besar Emak-Bapak gue.” Lyana mencerocos sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan serius.
“Yuk ah, Dik. Keburu diomelin sama Mama.” Lyana menarik Dika yang sedari tadi masih memelototi foto sialan itu. Aku jadi kesal sendiri melihatnya.
“Kalian tega banget sihhh.” Aku merengek berharap Lyana akan kasihan.
“Sebenernya gue nggak tega sih, cuma, gue lebih sayang sama nyawa gue sendiri. Bye, Tara!” Kata Lyana sambil nyengir kemudian berjalan keluar kamarku dengan diikuti Dika.
“Lyana, sialan.” Aku mengumpat pelan. Dan itu malah membuat Lyana terbahak.
“Sialan kenapa?”
Aku buru-buru menyahut foto tadi dan menyembunyikannya di bawah bantal saat Bima tiba-tiba muncul. Untung saja dia tidak menyadari itu.
“Mau tau aja sih, lo.” Kataku dengan ketus.
“Galak banget sih, adikku sayang?” Bima mengacak rambutku dengan brutal.
“BIMA?” Teriakanku tidak digubrisnya. Aku mencubit perut Bima yang keras itu dengan kesal. Dia mengaduh kemudian duduk di sampingku.
“Heran, deh. Kenapa cewek hobi banget nyubit, sih?”
“Kenapa? Lo sering jadi korban cubitan cewek lo, ya?” Aku berkata dengan nada menyebalkan.
“Sok tau! Eh… ikut gue yuk?”
“Males gue.” Jawabku.
“Lo dulu itu kan, udah janji mau temenin gue ke Eyang, terus lo batalin gitu aja gara-gara patah hati. Sekarang lo harus ganti dong.” Bima menaikan sebelah alisnya dengan centil.
“Males gue.”
“Ya udah.” Kata Bima sambil berdiri dari duduknya.
“Eh.. Bim?”
“Kenapa?”
Aku menatap Bima. Menimbang-nimbang apakah aku harus mengatakan mengenai foto itu seperti yang Dika sarankan, atau tidak. Dan setelah aku pikir-pikir, sepertinya tidak perlu. Akan menjadi semakin masalah kalau sampai Bima tahu.
“Woe. Malah bengong. Mikirin siapa, sih? Cowok yang namanya Arda itu?”
“Darimana lo tau soal Arda?” Aku menatap Bima dengan pandangan menyelidik.
Bima tersenyum kemudian berkata, “Mama.”
Yeah, dasar Mama-ku. Nggak bisa banget untuk jaga rahasia.
“Kenapa lo panggil gue tadi?” Bima bertanya.
“Oh, itu. Mau ngajak kemana emangnya?” Kataku akhirnya. Bima tersenyum lagi. Senyum yang menyebalkan.
“Nyari buku kuliah.”
“Kayak di Bandung nggak ada toko buku aja.”
“Kalo beli di Bandung pake duit gue sendiri, kalo di sini kan, bisa minta Mama.” Bima berkata dengan diakhiri cengiran khasnya yang menyebalkan itu.
“Dasar! Oke, gue mau. Tapi, entar lo bayarin gue buku, ya?” Aku langsung berdiri dari dudukku dan menarik Bima untuk keluar.
“Dasar lo. Katanya tadi nggak mau.” Bima mengacak rambutku lagi.
Kadang, saat-saat seperti ini yang sering aku rindukan dari Kakakku ini. Walau pun dia itu sangat menyebalkkan dan jahil banget, tapi aku tahu sebenarnya dia sayang padaku. Dan itulah cara dia menunjukkan rasa sayangnya.
----
Thank you, kakak.... Cerita kakak lebih keren. Jadi minder... ????
Comment on chapter SATU