Sekolah semakin nggak nyaman buatku. Mata orang hampir seluruh sekolahan masih saja menatapku dengan tatapan menghina. Dan saat aku berjalan sendirian seperti ini, rasanya seperti sedang berjalan di antara kerumunan Singa lapar yang siap menerkamku.
Gara-gara perutku yang agak nggak bener?akibat makan sambal terasi bikinan Bik Yati semalam yang membuatku khilaf dan lupa kalau perutku nggak bisa kompromi dengan pedas?aku harus mendekam sepuluh menit di toilet. Dan karena Lyana yang katanya sudah lapar tingkat dewa, tega meninggalkanku untuk ke kantin terlebih dulu. Hasilnya, ya seperti ini. Aku sendirian.
Lyana amnesia kali ya, kalau saat ini ceritanya aku sedang dimusuhi sama orang satu sekolah? Yang mereka itu bawaannya ingin menerkam dan mencabik-cabikku. Dan ini yang paling aku hindari. Ralin dan pagar ayu-nya yang saat ini sedang bergerombol di depan kelas mereka.
Kenapa sih, kantin tuh harus berada di ujung koridor sebelas IPA? Kenapa nggak di unjung koridor kelas sebelas IPS saja? Jadinya kan aku nggak perlu lewat kandang Singa begini. Bukannya takut. Aku hanya malas saja kalau sampai berurusan dengan orang itu. Cukup sudah kesialan selama ini yang kudapat setiap kali berada di dekat orang itu.
“Heii semua. Miss Bitch mau lewat tuh. Beri jalan, beri jalan.” Pita, seorang pagar ayu Ralin berseru dengan lantang. Aku mencoba untuk nggak terpengaruh dengan sorakan semua orang yang ada di situ. Walau rasanya kepalaku sudah mendidih.
“Per malam pasang tarif berapa sih, Mbak? Temen gue ada yang mau nih.” Kali ini Ralin yang berkata. Dengan nada yang menyakitkan. Dan aku, nggak bisa diam begitu saja dihina cewek gila itu. Aku menghentikan langkahku dan berbalik berjalan ke arah Ralin dan pagar ayu-nya.
“Gue kasih tau ya, Ralin. Gue bukan cewek brengsek kayak elo.” Aku berkata dengan tajam.
“Eh? Jaga ya itu mulut.” Ralin balas memaki dan mendorong tubuhku.
Walau sadar kami sudah jadi bahan tontonan gratis di jam istirahat ini, tapi aku nggak bisa diam begitu saja. Maka aku berjalan mendekati Ralin dengan langkah cepat, kemudian mendorog tubuhnya dengan sekuat tenaga. Sampai tubuh Ralin menabrak tiga pagar ayu-nya.
Ralin bangkit dan mencoba untuk mendekatiku lagi. Aku sudah bersiap untuk mendorongnya, bahkan tanganku sudah menyentuh bahunya, sampai kurasakan sebuah tangan menarik lengan kiriku untuk menjauh dari Ralin.
“Aku nggak nyangka kamu bisa seanarkis ini.” Arda yang mengatakan itu. Aku melongo sesaat. Kemudian tertawa sinis.
“Oke. Taruhlah aku emang segitu anarkisnya di mata kamu. Tapi itulah caraku untuk mempertahankan diri dari binatang buas.” Aku menoleh untuk menatap Ralin saat mengucapkan dua kata terakhir. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi aku meninggalkan mereka.
----
Aku meletakkan daguku di atas meja. Memiringkan kepalaku sedikit ke arah Lyana yang duduk di sebelah kananku. Dia lagi sibuk menyalin PR Sosiologi dariku. Padahal PR Sosiologi itu semua jawaban ada di materi, lho. Tinggal baca ulang juga ketemu. Emang dasar pemalas.
Kadang aku heran dengan kebiasaan Lyana ini. Sekali pun nggak pernah mengerjakan PR di rumah. Selalu menyalin punyaku saat di sekolah. Kadang aku jengkel juga dengan kebiasaan buruknya itu. Kalau memang tidak bisa mengerjakan, dia kan bisa minta tolong padaku untuk mengajarinya. Atau Dika, mungkin. Bukan malah copy paste begitu. Lalu, apa gunanya dia pergi ke sekolah?
Pernah aku menanyakan kenapa Lyana nggak pernah mengerjakan PR. Jawabannya adalah, “Gue nggak suka sama semua mata pelajaran. Kecuali Bahasa Indonesia.” Yeah, seperti itulah jawaban Lyana. Katanya lagi, kalau mata pelajaran Bahasa Indonesia itu nggak perlu mikir berat. Cuma perlu membaca dengan teliti saja. Makanya dia suka.
“Hai cewek-cewek.”
Aku menoleh untuk menatap sumber suara. Dika kini sudah duduk di bangku Firly.
“Hai, sayang.” Sahut Lyana dengan centilnya. Aku mencibir.
“Lagi ngapain kamu?” Tanya Dika sambil melongokkan kepala ke buku PR-ku.
“Cewek lo tuh. Kasih tau kalo yang namanya PR itu dikerjain di rumah. Bukannya di kerjain di sekolah pas jam istirahat begini.” Sungutku sambil memukul pelan kepala Lyana dengan pensil.
“Yee… gue kan sibuk di rumah.” Lyana membela diri.
“Alaaa. Sibuknya elo ngapain, sih? Palingan juga nonton koleksi DVD Korea lo yang ORISINIL itu.” Sengaja aku memakai penekanan dalam mengucapkan kata orisinil. Karena Lyana juga selalu melakukan itu setiap kali menyebut koleksi DVD drama Korea-nya. Katanya biar semua orang tahu kalau dia anti yang bajak-bajakan. Lebay, kan?
Lyana hanya nyengir sambil tetap menyalin PR. Kemudian berkata, “Kamu mau ngapain kesini, Dik? Kangen aku yaaa?” Yieek. Muak bener dengar gombalan si Lyana itu.
“Mau lihat keadaan Tara tuh. Takutnya kalau sampai dia bunuh diri nekat terjun dari bangku karena saking depresinya.” Jawab Dika asal yang membuatku dan Lyana mau nggak mau jadi tertawa.
“Sialan lo! Gue nggak sedesperate itu, kali. Lagian, yang ada bukannya mati tapi malah lecet-lecet doang. Jadi nggak mulus lagi deh kulit gue.” Sahutku.
Hening sejenak. Nggak tahu kenapa, aku malah jadi nelangsa. Apalagi saat melihat tatapan iba dari Dika.
“Please deh, Dik. Gue baik-baik aja. Jangan kasihani gue kayak gitu.” Datar aku mengatakan itu. Tapi hatiku rasanya sakit.
“Ada yang bisa gue bantu?” Kata Dika kemudian.
“Ada. Bantu gue temuin pelaku penyebaran foto itu.” Jawabku.
“Ada yang lo curigai?” Dika bertanya lagi.
“Ada.” Aku menegakkan punggung kemudian sedikit mencondongkan tubuh ke arah Dika.
Berharap tidak ada yang mendengar apa yang akan aku katakan. Karena walau pun jam istirahat, nggak tahu kenapa masih banyak juga yang mendekam di kelas. Mungkin karena sudah malas juga keluar di jam istirahat kedua ini. Panasnya luar biasa di luar mah.
“Pertama, Lega. Karena kemaren gue sempat adu mulut sama dia. Bahkan dia sampek kena bogem mentah Arda?”
“Wait! Arda?” Lyana menghentikan aktifitas menyalin PR dan menatapku dengan wajah curiga.
“Iya, kemaren gue duduk di halte nungguin Pak Danang yang nggak dateng-dateng. Lega gangguin gue bahkan sampek memperlakukan gue dengan kasar. Dan Arda tiba-tiba muncul jadi pahlawan kesiangan gitu.” Jawabku.
“WOW.” Hanya itu komentar Lyana. Kemudian kembali fokus ke PRnya.
“Terus, siapa lagi yang lo curigai?” Dika bertanya. Aku kembali menatapnya.
“Kedua, Rafa. Lo taulah apa alasan gue mencurigai dia. Ketiga, Ralin. Nggak tahu kenapa bawaannya curiga terus sama itu orang. Nggak lupa kan, sama kelakuan dia yang rebut Rafa dari gue?” Aku melanjutkan. Dika hanya manggut-manggut mengerti. “Dan ke empat…. Arda.”
“WHAT? Siapa lo bilang? Arda?” Kalimat terakhirku berhasil mengalihkan perhatian Lyana dari PR Sosiologi. Dan pensil yang tadi kugunakan untuk memukul kepalanya dengan pelan, sekarang benar-benar aku lempar ke arahnya.
“Lo gila, ya? Mau anak-anak denger?” Aku berbisik sambil menatap seisi kelas. Farhan dan Marcel yang berada paling dekat dengan kami bertiga terlihat menoleh sesaat ke arah kami. Tapi kemudian kembali sibuk ngobrol.
“Nggak mungkin deh, Arda ngelakuin itu. Buktinya di cerita lo tadi dia selametin lo dari Lega, kan? Kalo Rafa gue percaya aja. Mungkin dia patah hati sama lo. Ralin, bisa jadi juga. Tapi kalo Arda, APA ALASANNYA, RA?”
See? Lyana masih saja membela Arda. Padahal Arda itu masuk ke deretan tersangka, lho.
“Ya mungkin aja dia masih sakit hati gara-gara tragedi toilet itu. Atau, sebenarnya Arda sama Ralin itu udah saling kenal. Dan mereka kerja sama buat ngerjain gue. Dan yang bikin gue makin yakin kalau dia terlibat adalah, kemaren gue dikeroyok sama Ralin and the pagar ayunya. Dan pas gue mau bales dorong tubuh Ralin, tiba-tiba Arda muncul. Gue dibilang anarkis, Yan, sama dia. DIBILANG ANARKIS.” Aku membela diri.
“Ah, masa sih? Nggak percaya gue.” Lyana masih aja keukeuh membela Arda. Aku memelototkan mata dengan kesal.
“Terserah lo deh.” Jawabku akhirnya.
Dika menatapku dan Lyana bergantian kemudian berkata, “Ya udah, karena gue sekelas sama Arda dan Lega, jadi gue selidikin mereka.”
“Gue selidikin Rafa.” Aku menyahut.
“Berarti, gue selidikin si ‘balon gas’, gitu?” Lyana menunjuk dirinya dengan bolpoin. Aku dan Dika melongo.
“Balon gas?” Aku mengulang perkataan Lyana.
“Menurut lo, siapa sih yang itunya gede kayak balon gas kalo bukan orang yang lo sebut si stranger Ralin itu?” Lyana berkata sambil menggerakkan kedua tangannya membentuk bulatan besar.
Aku dan Dika saling pandang kemudian tertawa setelah mengerti apa yang dimaksud Lyana dengan balon gas. Lyana yang tadinya kesal pun jadi ikut tertawa bersama kami.
----
Mulai pagi ini misi di mulai. Aku mulai menyelidiki Rafa. Lyana mulai menyelidiki Ralin. Dan Dika mulai menyelidiki Arda dan Lega. Bahkan sesiangan ini, diam-diam aku membuntuti Rafa. Mulai dari dia berangkat dari rumah, pas istirahat pertama di perpus, ke kantin, lapangan futsal.
Bahkan aku rela lewat depan kelas Rafa hanya demi memastikan apakah ada gerak-gerik yang mencurigakan atau tidak. Walau ujung-ujungnya malah dapat tatapan menghina dari penghuni sebelas IPA. Tapi hasilnya tetap nihil. Yang ada sekarang aku jadi kelaparan karena melewatkan istirahat pertama demi menguntit Rafa.
Aku memandang mangkok Soto dihadapanku yang sudah kosong. Kemudian beralih ke Lyana yang lagi menyalin PR Ekonomi dariku (LAGI). Aku mencoba berpikir. Apa yang sekiranya harus aku lakukan untuk menemukan pelaku penyebaran foto itu.
Aku menggebrak meja dengan keras saat tiba-tiba muncul ide di kepalaku. Yang membuat Lyana berteriak karena kaget.
“Astagfirulloh. TARAA?” Lyana berteriak padaku. Aku sampai menutup telinga demi melindungi pendengaranku.
“Maaf. Refleks gue.” Kataku sambil nyengir. “Gue cabut dulu.” Lanjutku kemudian berdiri.
“Ehh.. ehh.. mau kemana lo?” Lyana bertanya kalang-kabut karena kutinggal sendirian.
“Ada urusan penting.” Kataku sambil ngeloyor pergi.
“Ra. Gue kok ditinggal sendiri, sih. HEIII?”
Aku tidak mempedulikan teriakan histeris Lyana. Dasar drama. Cuma ditinggal di kantin yang ramai saja hebohnya sudah seperti ditinggal ditengah rimba.
Aku melirik arloji di pergelangan tangan kiriku. Lima menit sebelum bel masuk kelas. Aku mempercepat langkah. Tujuanku adalah pos satpam. Dan syukur Alhamdulillah, orang yang kucari ada disana. Pak Badrun.
“Siang, Pak Badrun?” Aku menyapa satpam paruh baya yang berwajah ramah itu, yang sedang menonton TV di posnya.
“Eh, iya Mbak. Siang. Ada yang bisa dibantu?” Jawab Pak Badrun sambil menegakkan tubuhnya yang tadi bersandar di kursi.
“Gini, Pak. Saya mau tanya. Eem?” Aku melirik kanan-kiri untuk memastikan kalau tidak ada orang lain selain aku dan Pak Badrun.
“?Rabu pagi kemarin, Pak. Bapak inget nggak, siapa yang datang pertama kali ke sekolah?”
Bukannya menjawab, Pak Badrun malah tertawa. Aku jadi bingung sendiri.
“Mbak ini pertanyaannya ada-ada saja. Ya mana saya ingat coba. Hari Rabu itu sudah tiga hari yang lalu, Mbak. Orang yang datang pertama kali pagi tadi saja saya juga sudah ndak ingat, lho. Apalagi kemarin lusa. Makin ndak ingat.” Jawab Pak Badrun dengan logat Jawanya yang medok keterlaluan itu. Aku nyengir sambil garuk-garuk kepala. Merasa bodoh dengan pertanyaanku sendiri.
“Tapi, mungkin ada gerak-gerik yang mencurigakan gitu?” Aku masih belum menyerah.
“Mencurigakan gimana to, Mbak?” Pak Badrun malah bertanya balik. Aku jadi keki sendiri.
“Gini lho, Pak. Ini soal…. foto yang heboh tiga hari lalu itu, lho.” Kataku kemudian. Pak Badrun mengernyitkan dahi kemudian menatapku lekat-lekat. Raut wajahnya berubah kaget. Dan kerutan diwajahnya seketika hilang.
“Iya. Foto saya.” Jawabku karena tahu maksud perubahan ekspresi Pak Badrun. “Saya itu difitnah, Pak. Itu foto rekayasa. Saya cuma mau tau pelakunya siapa. Kalau nggak ketemu sampai Selasa depan, saya akan dikeluarkan dari sekolah, Pak. Bapak nggak kasihan sama saya? Tolong diingat-ingat lagi ya, Pak.” Aku memasang wajah sememelas mungkin.
“Aduh, Mbak. Kalau soal foto itu, saya datang saja juga sudah ada.”
Aku menghembuskan napas kecewa. Diam sejenak untuk berpikir. “Nah, yang jaga malam siapa?”
“Si Maman, Mbak. Tapi katanya dia juga ndak tau. Rabu itu saya sama Maman sudah dipanggil Pak Kepsek buat dimintai keterangan. Kata si Maman, pas dia ronda malam keliling sekolah dan lewat mading sekolah, belum ada foto itu. Eh, ketauannya ya pas pagi anak-anak pada datang itu. Saya saja tahu pertama kali juga dari anak-anak, Mbak.”
Aku lemas mendengar penjelasan Pak Badrun. Padahal yang kuharapkan tadi, sedikit saja aku mendapat pencerahan dari keterangan Pak Badrun. Ini bukannya cerah malah tambah buthek.
“Gitu ya, Pak?”
“Iya, Mbak.”
“Ya sudah kalo gitu. Saya permisi, Pak.” Kataku, kemudian berjalan meninggalkan pos satpam.
----
Thank you, kakak.... Cerita kakak lebih keren. Jadi minder... ????
Comment on chapter SATU