Read More >>"> TRIANGLE (SEMBILAN) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - TRIANGLE
MENU
About Us  

Aku semakin nggak nyaman sama hubunganku dengan Arda. Harusnya dia nggak semarah itu. Seperti yang dia bilang. Kami nggak ada hubungan apa-apa. Dan dia menyatakan perasaannya padaku juga sesaat sebelum dia memutuskan untuk meninggalkanku. Tanpa memberiku kesempatan. Sikap Arda ini terlalu berlebihan.

“Woi. Ngelamun aja.” Lyana menyenggol lenganku dengan lengannya. Aku menoleh dengan malas untuk menatapnya.

“Tega lo ya, kemarin tinggalin gue gitu aja di Pamella. Jangan-jangan…. lo lihat Rafa lagi jalan sama Ralin, ya? Dan lo labrak mereka?” Kali ini Lyana menatapku menyelidik.

Sesaat setelah Arda meninggalkanku di starbucks, aku mengirim WhatsApp pada Lyana untuk pulang lebih dulu. Moodku berubah drastis jadi nggak bagus banget. Daripada Lyana ketiban sial mendengar kata-kata pedas yang keluar dari mulutku (kebiasaan burukku saat bete?siapapun bisa kena imbasnya), aku memutuskan untuk pulang.

Aku menarik napas berat. Menatap Lyana yang juga sedang menatapku. Kemudian menceritakan apa yang kubicarakan dengan Arda kemarin di starbuck.

“Buruk sekali.” Lyana menarik napas dengan dramatis. Kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Yeah, semoga kalian nggak lupa kalau dia itu setipe sama Adele. Drama queen.

“Sepertinya saya harus turun tangan ini.” Sekarang Lyana manggut-manggut serius. Dengan gaya bicara sok seriusnya. Aku jadi geli sendiri.

Kemudian dia menatapku serius. “Lo suka nggak sih sama Arda?”

Apa aku suka Arda? Aku sendiri pun bingung dengan perasaanku. Aku nyaman bersama dia. Aku suka ngobrol sama dia, nyambung. Aku hanya nggak tahu suka macam apa perasaan yang aku rasakan atas dia. Aku takut hanya menjadikan dia sebagai pelampiasan. Aku takut kalau ternyata perasaan nyaman itu hanya karena aku butuh teman untuk membantuku melupakan sakit hati. Padahal dia menginginkan hal lebih dariku.

“Gue nggak tau. Hanya saja, disaat dia jauhin gue kayak gini, gue merasa kehilangan.” Jawabku jujur.

“Kalau Rafa?”

Aku menoleh. Menatap Lyana dengan tajam. “Harus, ya, gue jawab?”

Lyana tahu segala yang kurasakan terhadap Rafa. Dari pertama aku dekat dengan Rafa lebih dari sahabat, Lyana yang tahu pertama kali. Saat kencan pertama kali, Lyana juga yang tahu. Bagaiman perasaanku pada Rafa dulu, bagaimana bahagianya aku saat Rafa menyatakan cinta, hanya Lyana yang tahu. Karena hanya padanyalah aku mengutarakan semua perasaanku. Tentang apa pun.

“Terus, sekarang lo maunya kayak gimana?”

“Arda kayak dulu lagi. Aku mau hubunganku sama dia baik-baik aja. Walaupun nggak ada hubungan spesial, pacaran atau apalah itu sebutannya, aku mau kami baik-baik aja.” Aku memandang menerawang.

“Oke. Gue cari ide dulu.” Lyana menjawab dengan kenes. Aku menatapnya, kemudian tersenyum tipis.

Aku selalu excited menunggu ide-ide yang Lyana ajukan. Suka aneh, unik, lucu, tapi kadang juga efektif. Pernah seorang teman sekelas kami sewaktu kelas sepuluh dulu, namanya Rizal. Dia suka sama Rista anak kelas sebelah. Rista itu perfect. Cerdas, cantik, fashionable, kapten cheerleaders. Sedangkan Rizal kebalikannya. He is nothing. Ya nggak nothing, nothing banget, sih.

Rizal itu, nerd abis. Rambut selalu dikasih minyak rambut dan disisir rapi. Catat: minyak rambut. Bukan gel kayak cowok kebanyakan. Rizal juga berkacamata tebal. Sepatu selalu hitam dengan kaos kaki putih. Seragam dimasukkan, lengkap dengan ikat pinggang. Patuh peraturan bangetlah. Dan kalau anak muda kebanyakan bau wangi parfum, kalau dia wangi minyak telon. Dekat Rizal serasa lagi dekat dengan bayi.

Tapi kalau soal prestasi akademik, Rizal nggak buruk, kok. Kalau Rista itu juara umum, Rizal itu ada diurutan kedua. Tepat dibawah Rista.

Rizal itu hanya mengagumi Rista secara diam-diam. Tanpa berani mengungkapkan. Ya semacam secret admirer gitu lah. Dan Lyana?dengan kelebihannya dalam menilai isi hati seseorang cukup dari tatapan mata (yang sampai sekarang aku masih curiga kalau Lyana itu bisa baca pikiran orang)?punya inisiatif untuk membantu Rizal dalam mengungkapkan perasaannya.

Dengan bantuanku juga dan beberapa teman sekelas kami, Lyana menyiapkan ‘sesuatu’ untuk membantu Rizal menyatakan perasaan. Yang pertama dia lakukan, meyakinkan Rizal untuk berani menyatakan perasaannya. Kedua, dia menyulap halaman belakang rumahnya menjadi tempat dinner super romantis (ini yang sempat membuatku merasa jealous. Aku saja tidak pernah dia buatkan dinner romantis begitu).

Lilin mengapung di kolam renang, lampu warna-warni di pohon, taburan kelopak mawar merah di lantai. Sampai merombak penampilan Rizal dari nerd abis menjadi WOW. Asli. Aku pun sampai terbengong-bengong melihat penampilan baru Rizal waktu itu. Nggak ada lagi Rizal yang nerd, cupu, norak. Kacamatanya juga diganti dengan contact lens. Yang ada,  Rizal yang keren.

Dengan alibi birthday partynya yang ke enam belas, Lyana berhasil mengundang Rista untuk datang ke rumahnya. Disitulah akhirnya Rizal mengungkapkan perasaannya dan Rista pun menerimanya. Ajaibnya, mereka bertahan sampai sekarang. Kabar-kabarnya best couple kedua setelah Rafa-Tara. Berhubung hubungan Rafa-Tara sudah wafat, peringkat pertama diduduki oleh mereka.

Aku menatap Lyana yang masih terlihat berpikir serius. “Oke. Gue tunggu. Mudah-mudahan lo nggak kasih ide yang aneh-aneh.” Kataku akhirnya.

 Lyana hanya nyengir menanggapi kalimatku itu.

----

 

Siang ini aku lagi kesal sama Papa. Pak Danang yang harusnya bertugas menjemputku pulang sekolah, hari ini Papa minta untuk menjemputnya ke Bandara gara-gara supir Papa masih cuti. Dan aku, harus naik kendaraan umum lagi. Maunya sih naik taksi, tapi apa daya uang tak sampai. Alhasil sekarang aku duduk di halte depan sekolah untuk menunggu bus jurusan rumahku.

Aku melihat Lega duduk bersama teman-temannya di warung seberang jalan. Dan saat ini dia sedang menatap ke arahku. Tersenyum misterius. Kemudian berdiri dan berlari menyebrang jalan. Aku merasa dia sedang menuju padaku. Bukannya ge-er atau apa. Tapi Lega pernah menggangguku saat awal kelas sepuluh dulu. Dan berhenti saat aku jadian dengan Rafa.

Kalau saja Lega itu bukan setipe sama Albert yang terkenal bad boy, mungkin aku bisa saja tertarik padanya. Hanya saja, melihat hampir semua cewek dia dekati dan dia perlakukan dengan manis, aku jadi ilfil setengah hidup padanya.

Benar saja, Lega sekarang sudah berdiri di depanku dengan senyum yang harus aku akui memang mematikan. Membuatnya semakin terlihat charming.

“Hai, Tara. Sendirian aja?”

Menurut lo? Tentu saja aku nggak mengatakannya langsung. Terlalu malas untuk menanggapi pertanyaan basi Lega itu. Yang sering banget muncul di dialog sinetron nggak jelas itu.

“Cabut deh lo! Gue lagi nggak mood buat ngeladenin elo.” Aku berkata dengan sinis.

“Lo udah putus sama Rafa, kan? Nggak salah dong, kalo gue deketin lo lagi?” Lega bertanya tidak untuk meminta jawabanku. Buktinya dia langsung melanjutkan ocehannya itu.

“Jangan bilang lo jadian sama Arda? Karena kemarin gue lihat Arda jalan sama Ralin.”

Sontak aku langsung mengalihkan tatapanku dari jalan raya ke Lega. Jujur aku terkejut. Ralin? Bukannya dia bersama Rafa sekarang? Lega tersenyum puas melihat reaksiku. Menyadari itu, aku langsung memasang wajah dingin lagi.

“Gue anter pulang, yuk?”

“Gue masih cukup waras untuk nggak menerima tawaran lo itu.” Jawabku masih dengan nada sinis. Sepertinya kalau lawan bicaraku makhluk yang super duper nyebelin seperti Lega, nada suaraku nggak akan bisa berubah manis.

Come on, Tara. Nggak usak sok jual mahal gitu deh. Cewek lain tuh pada berebut buat deket sama gue.” Lega menatapku dengan tatapan seolah-olah aku menolak sekarung berlian.

Yang benar saja? Siapa Lega gitu? Sampai-sampai semua cewek harus berebut untuk dekat dengannya. Aku setuju kalau dia itu sekelas Taylor Lautner atau cowok-cowok One Direction itu.

“Sayangnya gue bukan salah satu dari cewek-cewek bodoh itu. Yang rela mempermalukan diri cuma buat rebutin elo. Nggak berkelas!” Nada bicaraku malah semakin sinis. Terlalu malas meladeni orang gila macam Lega itu.

Maka yang kulakukan selanjutnya adalah bangkit dari dudukku. Dan berjalan kembali masuk ke sekolah menuju pos satpam. Sepertinya memesan taksi lebih baik daripada menunggu bus dengan resiko diganggu Lega.

-----

 

“Tara?”

Aku menghentikan langkahku tepat di tengah-tengah pintu gerbang yang baru kubuka. Menoleh ke arah suara yang memanggilku. Rafa berlari pelan menghampiriku dengan wajah suram. Darimana munculnya? Perasaan aku tidak melihat mobilnya.

“Ngapain kamu di sini?”

Rafa menatapku lembut. “Aku udah nggak sama Ralin.”

Jujur aku senang mendengarnya. Tapi bukan berarti aku mau dekat dengan Rafa lagi. Egoku nggak mengizinkan. Aku nggak eprnah lupa kalau Rafa menghianatiku.

Aku nggak berkomentar. Yang kulakukan hanya menatapnya dan diam.

“Aku rasa, melepasmu adalah kesalahan terbesarku. Aku baru sadar kalo Ralin hanya ingin kita putus. Dan sekarang dia lagi deketin Arda.”

Untuk yang kedua kalinya aku terkejut. Aku pikir yang dikatakan Lega tadi hanya karangannya, tapi mendengar itu dari mulut Rafa membuatku jadi percaya juga.

“Kenapa emang? Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Arda.” Jawabku mencoba menutupi perasaan aneh di hatiku.

“Kalo gitu?” Rafa berhenti sejenak untuk meraih tanganku. “?apa kita bisa mencoba lagi?”

Nggak bisa kupungkiri kalau hatiku tersentuh dan ingin menjawab iya. Bukannya aku lupa dengan statementku sewaktu Rafa memutuskan hubungan kami. Yang secara nggak langsung mengatakan kalau suatu saat Rafa mencariku aku nggak akan mempedulikannya lagi. Tapi nyatanya, aku masih menginginkannya.

“Kamu yang lepasin aku, Raf.” Aku mengingatkan Rafa. Menarik tanganku dari genggamannya.

“Aku tau. Aku nyesel. Makanya aku minta maaf. Waktu itu aku hanya jenuh sama hubungan kita.” Rafa mencoba memberiku pengertian.

“Kamu bisa omongin ke aku, kan? Kita bisa cari jalan keluarnya untuk mengatasi kejenuhan kamu itu. Bukan malah selingkuh sama Ralin di belakang aku.”

“Tapi aku selingkuh juga karena kamu yang waktu itu cuek sama aku, sama hubungan kita.”

Aku tersenyum sinis mendengar kalimat Rafa barusan. Jadi dia menyalahkanku atas perselingkuhannya itu? Yang benar saja.

“Apa pun alasannya, yang namanya perselingkuhan itu nggak bisa di benarkan, Raf. Kalau memang udah nggak cinta, langsung putusin aku. Jangan jadi pengecut dengan selingkuh di belakangku kayak begitu. Dan akhirnya putusin aku disaat kamu sudah jalan sama cewek lain.” Aku diam sejenak untuk meredakan emosiku yang mulai tersulut. “Aku bukan tipe orang yang bisa berbesar hati menerima perselingkuhan. Kalau sekarang saja kamu lakuin itu, lain kali nggak akan segan buat lakuin itu lagi.”

Please, Ra!” Rafa menatapku dengan pandangan memohon.

Sorry, Raf. Aku capek banget.” Kataku kemudian masuk dan meninggalkan Rafa yang maish berdiri di depan pagar rumahku.

----

 

Sepulang sekolah kepalaku terasa berat memikirkan kata-kata Rafa. Satu sisi egoku menyuruh untuk menerima Rafa kembali, sisi yang lainnya menentang keras. Dadaku terasa sesak sampai aku nggak bisa menahan air mataku. Mungkin karena kelelahan menangis, aku tertidur dan baru bangun menjelang magrib. Itu pun kalau Mama nggak menggedor pintu kamarku, mungkin aku juga nggak bangun.

Dan sekarang, aku butuh teman curhat. Aku butuh Lyana. Tapi dari tadi aku hubungi nomornya nggak aktif. Dengan kesal aku kembali meletakkan smartphone-ku di nakas.

Aku tersentak. Dadaku berdebar cepat saat mendengar Wrecking Ballnya Miley Cyrus melantun dari smartphone-ku. Lagu yang aku setting khusus untuk panggilan dari Rafa. Sekedar mengingatkan diriku sendiri untuk nggak menjawabnya.

Tapi nggak tahu kenapa, kali ini aku tergoda untuk menjawabnya. Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan sebelum menjawab telepon Rafa.

“Halo?”

“Aku ke rumah kamu, ya?” Suara Rafa terdengar parau.

“Jangan!” Pekikku setengah berteriak. Aku bisa membayangkan Rafa mengerutkan dahinya, bingung dengan reaksi berlebihanku.

Yang benar saja? Aku yakin kalau Rafa nekat datang ke rumahku, dia akan dicincang habis sama Mama. Apalagi saat ini Bima juga lagi ada di rumah.

“Kalo gitu kamu ganti baju. Dan keluar sekarang. Soalnya aku udah di depan rumah kamu.”

Eh? Bukan itu maksudku. Jangan datang ke rumahku bukan berarti boleh ada di depan rumahku. Apalagi memaksaku untuk pergi dengannya.

Karena Rafa terus memaksa dan mengancam kalau akan tetap nekat ke rumahku, akhirnya aku mengiyakan permintaannya.

Dan disinilah aku sekarang. Duduk di dalam mobil Rafa. Di samping Rafa yang sedang fokus memperhatikan jalanan yang, biasalah, macet. Menyadari suasana canggung di antara kami, Rafa menyalakan radio. Suara cempreng penyiar radio kini memenuhi mobil. Sumpah, lebih baik nggak ada suara daripada harus mendengar polusi suara itu.

Smartphone-ku berbunyi. Aku merogoh tas selempangku untuk mencari keberadaan benda tersebut. Menatap layarnya sekilas untuk melihat panggilan dari siapa. Ternyata Lyana. Detik itu juga aku menyesal kenapa mengiyakan ajakan Rafa. Biar saja dia nekat ke rumah dan kena bogem mentah Bima. Daripada Lyana tahu aku pergi dengan Rafa dan bakal memusuhiku.

“Lo kemana aja sih, Yan? Gue hubungi dari tadi, juga.” Serbuku sebelum Lyana sempat mengeluarkan suara.

“Aduuuh. Nggak usah pake teriak, kaliii. BB gue mati kehabisan baterai. Ini juga baru bisa nyala. Lo ke sini sekarang, ya. Ada hal penting yang mau gue bicarain.”

Nah? Apalagi ini. Aku suka curiga kalau Lyana sudah berkata serius begitu.

“Aduh, nggak bisa sekarang. Gue lagi pergi ini.” Aku sedikit menoleh ke pintu dan memelankan suaraku. “Gue mau anter nyokab.”

“Nggak bisa! Pokonya lo harus dateng. Gue udah korbanin banyak buat kasih ini ke elo. Kalo lo nggak dateng, itu artinya lo menyia-nyiakan pengorbanan gue. Lo dateng ke starbucks PIM sekarang.” Tandas Lyana kemudian memutus sambungan telepon.

Aku menoleh untuk menatap Rafa.

“Lyana?” Tanya Rafa.

“Iya. Dia minta ketemuan sekarang di PIM.”

“Ya udah. Aku anter.”

“Eh? Ng-nggak usah. Aku turun sini aja terus nyambung taksi.” Aku hanya nggak ingin dapat ceramah dari Lyana gara-gara dia melihat aku berdua Rafa.

“Masa iya sih aku tega turunin kamu ditengah jalan? Udah deket ini juga.” Jawab Rafa kemudian menoleh untuk menatapku. “Kenapa? Kamu takut diomeli Lyana gara-gara jalan sama aku?”

Aku nggak menjawab. Aku rasa Rafa juga tahu alasanku apa. Jadi, daripada debat berkepanjangan dengannya, aku memutuskan untuk mengiyakan saja tawarannya untuk mengantarku bertemu Lyana. Toh nanti aku bisa minta turun di lobi dan menyuruh Rafa untuk langsung pergi.

Tapi yang namanya rencana hanya tinggal rencana. Bukannya menurunkanku di lobi, Rafa malah membawa mobilnya langsung ke basement. Dan dia memaksa untuk ikut aku menemui Lyana di starbucks. Nggak tahu kenapa, dari dulu aku nggak bisa menolak permintaan Rafa.

Dadaku berdebar membayangkan reaksi Lyana atas kebersamaanku dengan Rafa ini. Seperti menyadari itu, Rafa tersenyum menenangkanku. Senyum yang diam-diam kurindukan dan kuharapkan. Aku menoleh kanan-kiri untuk mencari keberadaan Lyana begitu memasuki starbucks.

Di sebuah meja dekat jendela, aku melihat dia sedang asyik bercanda dengan tiga orang cowok. WOW kan, si Lyana itu? Dika duduk disampingnya. Dua orang lagi aku nggak tau siapa, mereka duduk membelakangi posisiku sekarang.

Aku mendekati mereka dengan perasaan was-was. Karena semakin dekat dengan meja mereka, aku semakin mengenali salah satu dari dua cowok yang membelakangiku itu. Seperti menyadari kehadiranku, Dika menoleh.

“Tara? Lho, kok?” Dika menatap Rafa dengan pandangan terkejut.

Lyana ikut menoleh untuk menatapku. Dan seperti yang sudah kuduga. Dia terkejut. Dua orang cowok yang membelakangiku tadi juga menoleh. Dan jantungku serasa berhenti berdetak saat mendapati salah satu dari dua cowok itu adalah Arda. Yang sekarang menatapku dengan pandangan yang sulit untuk kuartikan.

----

 

Suasana hening. Dingin. Mencekam. Suara berisik di sekitar kami seperti membeku tiba-tiba. Aku bisa merasakan tatapan membunuh Rafa yang kini sepenuhnya tertuju pada Arda. Sedangkan Arda, tetap dengan sikap tenangnya. Tatapannya dingin tanpa ekspresi terarah padaku. Membuatku semakin membeku disamping Rafa. Sungguh, rasanya lebih menakutkan dari Ujian Nasional.

“Langsung aja, Yan. Apa yang mau lo bicarain.” Arda bertanya pada Lyana dengan tatapan masih tertuju padaku. Aku jadi salah tingkah. Ngapa-ngapain jadi nggak nyaman.

“Eee…” Lyana menatapku sekilas dengan tatapan tajam. “Bisa nggak, dipending sampek besok?”

Arda mengalihkan tatapannya ke Lyana. Tajam menusuk. “Lain kali kalo yang mau lo bicarain nggak penting-penting banget, nggak usah ngajak ketemuan. Bicara di sekolah aja.” Arda berkata tajam. Kemudian kembali menatapku. “Gue pergi.” Katanya kemudian berdiri dan meninggalkan kami. Rangga yang sedari tadi diam disamping Arda, ikut berdiri kemudian menyusulnya.

Aku ingin menahannya. Tapi lidahku terasa kelu. Nggak bisa digerakkan. Yang ada aku hanya menatap kepergian Arda dalam nelangsa.

“Pulang, Dik.” Lyana menatapku sekilas. Mulutnya sudah terbuka, siap mengucapkan sesuatu tapi diurungkannya. Dia berdiri diikuti Dika.

“Yan? Gue ikut.” Kataku yang ikut berdiri juga.

“Lo kesini bukan sama gue, kan? Jadi nggak harus pulang sama gue.” Tandas Lyana dingin. Dengan angkuhnya dia membalik badan kemudian berjalan meninggalkanku berdua Rafa.

Aku terduduk lemas. Belum juga Arda mau memaafkanku, untuk kedua kalinya aku menghadirkan Rafa di hadapannya. Yang akhir-akhir ini aku baru menyadari kalau itu melukainya.

Harusnya aku tadi menolak tawaran Rafa untuk mengantarkan aku. Bukan! Harusnya aku tidak keluar dan menemui Rafa. Apalagi pergi dengannya. Aku terima kalau ada yang mengataiku bodoh. Plin plan. Nggak punya perasaan. Karena memang kenyataannya seperti itu.

“Kamu baik-baik aja?” Rafa memandangku khawatir. Dan itu malah membuatku semakin kesal.

“Aku mau pulang.” Jawabku kemudian berdiri.

“Aku anter.” Rafa meraih pergelangan tanganku. Aku menepisnya dengan lembut.

“Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri.” Kataku kemudian berlalu meninggalkan Rafa.

Aku butuh waktu untuk sendiri. Untuk berpikir. Agar aku bisa menyadari apa kesalahanku. Agar aku bisa menentukan apa yang harus kukatakan pada Lyana besok. Dan memikirkan tentang bagaimana caraku untuk meminta maaf pada Arda.

-----

Tags: twm18 twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • annis0222

    Thank you, kakak.... Cerita kakak lebih keren. Jadi minder... ????

    Comment on chapter SATU
  • dede_pratiwi

    nice story :)

    Comment on chapter SATU
Similar Tags
Thantophobia
1147      654     2     
Romance
Semua orang tidak suka kata perpisahan. Semua orang tidak suka kata kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang disayangi. Begitu banyak orang-orang berharga yang ditakdirkan untuk berperan dalam kehidupan Seraphine. Semakin berpengaruh orang-orang itu, semakin ia merasa takut kehilangan mereka. Keluarga, kerabat, bahkan musuh telah memberi pelajaran hidup yang berarti bagi Seraphine.
AROMA MERDU KELABU
1898      709     3     
Romance
Cinta (tak) Harus Memiliki
4670      1198     1     
Romance
Dua kepingan hati yang berbeda dalam satu raga yang sama. Sepi. Sedih. Sendiri. Termenung dalam gelapnya malam. Berpangku tangan menatap bintang, berharap pelangi itu kembali. Kembali menghiasi hari yang kelam. Hari yang telah sirna nan hampa dengan bayangan semu. Hari yang mengingatkannya pada pusaran waktu. Kini perlahan kepingan hati yang telah lama hancur, kembali bersatu. Berubah menja...
SHEINA
313      217     1     
Fantasy
Nothing is Impossimble
PENTAS
926      566     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
Pillars of Heaven
2592      825     2     
Fantasy
There were five Pillars, built upon five sealed demons. The demons enticed the guardians of the Pillars by granting them Otherworldly gifts. One was bestowed ethereal beauty. One incomparable wit. One matchless strength. One infinite wealth. And one the sight to the future. Those gifts were the door that unleashed Evil into the World. And now, Fate is upon the guardians' descendants, whose gifts ...
Simplicity
8692      2128     0     
Fan Fiction
Hwang Sinb adalah siswi pindahan dan harus bertahanan di sekolah barunya yang dipenuhi dengan herarki dan tingkatan sesuai kedudukan keluarga mereka. Menghadapi begitu banyak orang asing yang membuatnya nampak tak sederhana seperti hidupnya dulu.
Dimensi Kupu-kupu
11241      2320     4     
Romance
Katakanlah Raras adalah remaja yang tidak punya cita-cita, memangnya hal apa yang akan dia lakukan ke depan selain mengikuti alur kehidupan? Usaha? Sudah. Tapi hanya gagal yang dia dapat. Hingga Raras bertemu Arja, laki-laki perfeksionis yang selalu mengaitkan tujuan hidup Raras dengan kematian.
Survival Instinct
243      202     0     
Romance
Berbekal mobil sewaan dan sebuah peta, Wendy nekat melakukan road trip menyusuri dataran Amerika. Sekonyong-konyong ia mendapatkan ide untuk menawarkan tumpangan gratis bagi siapapun yang ingin ikut bersamanya. Dan tanpa Wendy sangka ide dadakannya bersambut. Adalah Lisa, Jeremy dan Orion yang tertarik ketika menemui penawaran Wendy dibuat pada salah satu forum di Tripadvisor. Dimulailah perja...