Read More >>"> TRIANGLE (ENAM) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - TRIANGLE
MENU
About Us  

“Lo tau nggak sih, Ra?” Lyana berkata dengan antusias.

“Enggak!” Potongku cepat. Lyana merengut. Bibirnya mengerucut, lucu. Membuatku hampir tertawa.

“Iiih. Dengerin dulu kenapa, sih?” Lyana mendorong pelan tubuhku. Aku tertawa pelan.

“Iya, iya. Kenapa sih emangnya?” Aku mendekatkan wajahku ke Lyana. Dan wajah Lyana kembali cerah.

“Semalem Dika ngajakin gue dinner romantis. Dia kasih surprise ke gue gitu. Dia sengaja booking café buat anniversary pertama kami. Padahal aku aja lupa, lho, kalo kemaren itu anniversary kami.”

“Oh, ya? Selamat ya. Nggak nyangka lo bisa bertahan pacaran sampek satu tahun gini.” Aku jadi excited mendengar cerita Lyana.

Asal tahu saja. Sebelum dengan Dika, Lyana itu nggak pernah bertahan lama dengan pacar-pacarnya. Paling pol dua atau tiga bulan gitu. Ajaib saja bisa bertahan sampai setahun dengan Dika.

“Nggak nyangka lho, gue bisa bertaham selama ini pacaran sama cowok.”

KAN? Dia mengakui sendiri.

“Itu artinya lo cinta beneran sama Dika.”

“Lo kira sebelum-sebelumnya gue nggak cinta beneran apa sama cowok-cowok gue?” Lyana memelototkan matanya kemudian memukul jidatku pelan.

“Ya, dari yang gue lihat selama ini sih, kayaknya begitu.” Aku menjawab dengan nada bosan.

“Sialan.” Kali ini Lyana menoyor pipiku kemudian tertawa menyadari kalau perkataanku benar.

“Hai, Tara. Hai, Lyana.” Arda tiba-tiba muncul di hadapan kami, dan sekarang duduk dibangku Firly.

“Hai.” Aku dan Lyana menjawab hampir serempak.

“Kok nggak ke kantin?”

“Iya. Masih kenyang nih.” Aku yang menjawab.

“Masih kenyang gara-gara kemaren habis diisi penuh banget, ya?” Arda terlihat menahan senyum. Aku memukul pelan bahunya.

“Rese banget, sih.” Aku sedikit tersipu. Malu mengingat tampang konyolku kemarin.

“Kalo gitu entar siang makan di rumahku lagi aja. Biar kenyangnya awet sampek besok siang. Lumayan kan, buat ngirit.” Arda semakin menggodaku.

 “Wait? Elo?” Lyana menunjukku dengan jari tengahnya. “?makan siang di rumah elo?” Ganti menunjuk Arda. Aku dan Arda saling tatap kemudian tersenyum.

“OHMAIGOT. Wow. Lo kok tumben-tumbenan nggak cerita ke gue?” Lyana berkata dengan hiperbolis. Kemudian berdiri dan masih berkata, “WOW banget. Dan kayaknya, sekarang gue mau ketemu cowok gue aja deh. Biar kalian makin WOW.” Kata Lyana sambil ngeloyor pergi.

“Apaan sih?” Aku berseru tertahan. Dasar Lyana gila. Lebay banget. Nggak jelas banget.

“Lyana tuh lucu, ya.” Arda menatapku.

“Masa sih? Biasa aja kayaknya. Masih lucuan juga badut.”

Kami diam sesaat. Hanya saling tatap. Yang justru membuatku salah tingkah.

“Entar siang pulang bareng, ya?” Arda memecah kecanggungan yang tiba-tiba muncul.

“Nggak pakek makan siang lagi, kan?”

Arda tertawa pelan. “Kenapa emang?”

“Nggak pa-pa sih. Cuma aku harus pulang cepet. Si Bima lagi di Jakarta. Dan dia minta aku buat temenin dia cari apa gitu tadi. Aku lupa.”

“Ohh. Kirain kapok ketemu Mama.”

Aku tertawa menanggapi perkataan Arda itu. Tiba-tiba jadi grogi. Nggak tahu harus berkata apa lagi biar nggak terasa canggung.

 “Ya udah. Aku balik kelas dulu. Sampai ketemu nanti, ya. Bye, Tara.” Arda berdiri.

Bye.”

-----

 

 “Hai.”

“Astaga. Arda, lo bisa bikin gue jantungan tau, nggak?” Lyana berkata kesal karena Arda muncul tiba-tiba dari balik pintu saat kami keluar kelas.

Kebiasaan barunya yang mulai aku sukai. Muncul tiba-tiba di kelasku atau menjemputku di depan kelas seperti saat ini, menjemputku ke rumah untuk berangkat sekolah bersama. Yang semua itu mampu memicu keluarnya hormon adrenalin dalam tubuhku sehingga membuat jantungku berdetak cepat.

“Nah, kalo lo kaget, berarti jantung lo emang nggak sehat.” Jawab Arda sekenanya yang membuatku tertawa.

“Sialan lo.” Maki Lyana. “Ya udah, gue cabut deh. Biar kalian makin WOW.” Lanjut Lyana dengan nada menyebalkan. Aku memukul pelan bahunya. Lyana hanya nyengir kemudian meninggalkanku berdua Arda.

Akhir-akhir ini aku baru menyadari. Setiap kali Arda muncul di antara aku dan Lyana, tanpa di suruh pun Lyana akan pergi meninggalkan kami berdua. Seperti sengaja memberi ruang untuk kami agar lebih dekat.

“Pulang sekarang?” Arda beralih menatapku.

“Aku mau ke toilet dulu, ya.” Aku meringis menahan hasrat panggilan alam. Arda tertawa pelan.

“Ya udah, buruan sana.”

Aku berlari meninggalkan Arda yang masih saja tertawa melihat tingkahku. “Aku mungkin agak lama. Kamu tunggu di parkiran aja deh.” Teriakku pada Arda.

 

Setelah lega melepaskan ‘beban beratku’ selama pelajaran sosiologi tadi, aku langsung bergegas ke luar toilet. Takutnya Arda mengira aku pingsan di toilet karena hampir sepuluh menit tidak juga keluar.

Langkahku langsung terhenti begitu mendapati Rafa berdiri menyandar tembok di samping pintu toilet dengan wajah suram. Dia langsung menoleh begitu mendengar pintu terbuka. Apa dia menguntitku?

Oh, oke. Jangan ke ge-eran. Mungkin saja dia sedang menunggu Ralin yang kebetulan juga ke toilet. Soalnya aku tadi melihat pintu toilet sebelahku tertutup dan sepertinya ada aktifitas di dalamnya. Tapi melihat wajah Rafa yang sepertinya siap banget menerima kemunculanku?tidak kaget sama sekali?aku jadi makin yakin kalau Rafa menguntitku.

Aku berusaha untuk tidak menghiraukannya. Dan langsung ngeloyor pergi. Tapi Rafa langsung menegakkan tubuhnya dan menghadang langkahku.

“Permisi, aku mau lewat.” Kataku dengan ketus.

Rafa begeming. Hanya saja tatapannya masih tertuju padaku. Menatap tepat dimanik mataku. Hal itu mampu memicu desiran halus didadaku. Aku mencoba menerobos celah di sisi kiri Rafa. Tapi dengan cepat Rafa menggeser tubuhnya untuk kembali menghalangiku.

Aku mengepalkan jemari tanganku menahan kesal. Kalau saja aku nggak ingat sopan santun yang selalu diajarkan kedua orangtuaku, sudah pasti ini kepalan tangan menghantam wajahnya.

“Apa nggak ada kesempatan lagi buat aku?” Rafa berkata lirih. Hampir tidak terdengar. Tapi telingaku menangkapnya dengan jelas.

“Semoga kamu nggak lupa, Raf, kalo kamu yang ninggalin aku.” Aku menatap mata Rafa yang terlihat redup. Mata teduhnya yang dulu sangat kusukai, kini tidak lagi terlihat.

“Aku tau. Karena itu aku mau kita balik. Aku minta maaf, Ra. Sungguh-sungguh minta maaf.” Nada suara Rafa terdengar begitu putus asa.

Aku tidak langsung menjawab. Mencoba menekan emosiku yang semakin menggelegak. Ingin rasanya memaki Rafa atau memukul wajahnya sampai berdarah-darah untuk melampiaskan segala rasa sakitku atas apa yang dia lakukan padaku. Tapi aku tahu itu tidak akan menyelesaikan masalah.

Aku menatap mata Rafa. Seperti yang sering aku lakukan akhir-akhir ini, mencoba mencari getaran yang dulu sanggup mengalihkan duniaku setiap aku berada di dekatnya. Tidak ada lagi. Aku tidak menemukannya. Dan itu lebih dari cukup untuk kujadikan alasan aku tidak bisa kembali pada Rafa.

“Aku nggak bisa. Sekarang nggak sama lagi kayak dulu, Raf. Kamu sendiri yang membuatku untuk membuang perasaanku dulu itu.” Aku berkata dengan tegas.

Please, Ra. Bilang ke aku apa yang harus aku lakukan biar kamu mau kembali.”

“Nggak ada yang bisa kamu lakuin, Rafa. Karena aku nggak mau kamu lakuin apa pun agar aku balik ke kamu. Aku nggak bisa.”

“Bukan karena Arda, kan?”

Aku melihat luka di mata Rafa saat dia mengatakan itu.

“Aku mau lewat. Kamu bisa ming?”

Rafa memelukku dengan tiba-tiba. Erat sekali. Aku mencoba berontak tapi sia-sia. Semakin aku berontak, Rafa semakin mengeratkan pelukannya. Akhirnya aku hanya diam. Tidak menolak juga tidak membalas pelukan Rafa.

Aku bisa mendengar helaan napas Rafa yang begitu berat. Napas hangatnya menyentuh kulit leherku. Batinku berperang antara ingin membalas pelukannya atau mendorong tubuhnya untuk menjauh. Jujur, aku merindukan saat-saat seperti ini. Pelukan hangatnya yang selalu mampu meredam rasa kalutku.

Aku mengangkat tanganku pelan. Keinginan untuk membalas pelukan Rafa lebih besar daripada keinginan untuk menolaknya.

“Ke toiletnya udah selesai, Ra?”

Suara berat Arda membuat tanganku refleks terhenti diudara sesaat sebelum menyentuh punggung Rafa.

Aku mendongak. Kudapati Arda berdiri di ujung toilet dengan mata menatapku tajam. Tatapan yang baru pertama ini dia tujukan untukku. Saat itu juga aku merasakan ngilu didadaku. Dengan gerakan cepat aku mendorong tubuh Rafa untuk menjauh.

“Bisa kita pulang sekarang?” Sekali lagi Arda bertanya. Dia bergantian menatap Rafa. Seperti tahu sedang dipandangi, Rafa mendongakkan kepalanya yang sedari tadi tertunduk. Dibalasnya tatapan Arda.

Untuk menghindari hal yang nggak kuinginkan, aku berjalan dengan cepat menuju Arda.

“Aku?”

“Aku anter pulang.” Arda berkata dengan nada final. Kemudian membalikkan badan dan berjalan menjauhi toilet. Aku mengikutinya.

----

 

Selama perjalanan pulang Arda sama sekali tidak bersuara. Kali ini dengan wajah yang benar-benar suram. Aku sampai ngeri melihatnya. Sampai ada kejadian Arda hampir menabrak motor.

 “Brengsek!” Teriak Arda saat dengan tiba-tiba ada pengendara sepeda motor yang memotong jalan dan hampir saja tertabrak mobilnya.

Dadaku berdegup kencang. Entah kenapa, aku merasa makian itu ditujukan padaku. Bukan pada pengendara motor itu.

Arda membuka kaca mobilnya. “Mata lo merem ya?”

Tanpa mempedulikan pengendara motor yang sepertinya juga syok mendengar klakson beruntun darinya, Arda langsung menutup kembali kaca mobil. Kemudian menginjak pedal gas. Suasana kembali hening sampai tiba dirumahku.

Aku tidak langsung turun. Ingin menjelaskan pada Arda tentang apa yang dia lihat di toilet antara aku dan Rafa tadi. Tapi urung kulakukan saat melihat wajahnya yang memerah. Terlihat sekali menahan marah.

Arda memejamkan matanya. Dadanya terlihat naik turun. Kemudian menghembuskan napas berat. Aku benar-benar ngeri melihat pemandangan itu.

“Makasih, ya. Aku masuk dulu.” Kataku akhirnya.

Aku menunggu sesaat. Arda tidak juga bereaksi. Kuputuskan untuk langsung turun saja.

“Jadi bener apa yang dibilang Rafa?”

Aku menarik kembali tanganku yang siap membuka handle pintu. Menoleh untuk menatap Arda. Aku tersentak saat mendapati Arda menatapku dengan tatapan, bisa dibilang terluka.

“Maksud kamu?”

Arda kembali memejamkan matanya sesaat. Kemudian menatapku. Aku terpaku. Benar-benar terpaku. Hanya dengan melihat matanya, aku tahu apa yang tersimpan dihatinya.

“Aku suka sama kamu, Ra. Dan aku yakin kamu juga tau tentang itu. Yang kamu belum tau, aku suka kamu dari pertama ngelihat kamu pas MOS dua tahun lalu. Aku mundur karena ternyata ada Rafa di samping kamu. Dan selama kebersamaan kalian dua tahun ini, kamu nggak sadar kan, kalau ada yang terluka?”

Hening sejenak.

“Jujur aku orang yang paling seneng waktu beredar gosip kalian putus. Hanya saja aku belum yakin mau deketin kamu. Baru berani akhir-akhir ini. Tadinya semua berjalan seperti yang aku inginkan.” Arda berhenti untuk menarik napas.

“Ya. Yang dilihat Lyana tiga hari lalu di gudang itu bener. Rafa datengin kelasku dan menarikku ke sana. Bener juga yang Lyana bilang kalo Rafa pukul aku. Dia memintaku buat jauhin kamu. Dia bilang kalian hanya break sementara. Dan aku hanya pelarian kamu seperti halnya Ralin sebagai pelarian Rafa. Tadinya aku nggak percaya dan tetep mau memperjuangkan perasaan aku ke kamu. Tapi?” Arda tersenyum sinis. Aku merasakan mataku memanas.

“?aku jadi ragu buat lanjutin perasaan aku ke kamu setelah lihat apa yang kalian lakuin tadi. Sungguh, Ra. Bilang ke aku kalo emang kalian cuma break. Dengan begitu aku nggak perlu lagi menyakiti hatiku dengan maksa deketin kamu. Aku mundur kalo emang kamu masih sayang sama Rafa.”

Aku tidak tahan lagi. Air mataku mengalir begitu saja. Hatiku sakit mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Arda. Rasanya seperti garam yang ditaburkan di lukaku. Terlebih saat melihat matanya berkaca-kaca. Aku merasa sangat jahat.

“Aku nggak akan ganggu kamu lagi. Semoga kamu bahagia sama pilihan kamu. Sekarang kamu boleh turun.” Arda mengulurkan tangannya untuk membuka pintu di belakangku. Napasku serasa berhenti saat tubuhnya berada tepat dihadapanku. Aku bisa mencium bau parfumnya yang sangat kusukai.

Wajah Arda beralih dari samping kepalaku menjadi di hadapanku. Tatapan Arda kembali padaku.

“Maaf, udah menganggu waktu kamu.” Arda mengusap lembut kepalaku. Hanya sekilas. Tapi perlakuannya itu malah membuatku semakin nelangsa.

Kuberanikan untuk menatap matanya. Arda menaikkan sebelah alisnya. Seperti menyuruhku untuk segera turun. Dengan berat hati kubalikkan tubuhku dan melangkah turun dari mobil Arda. Arda langsung melajukan mobilnya tanpa menungguku masuk ke rumah. Aku terpaku. Diam di tempatku. Memandangi mobil Arda sampai benar-benar hilang di tikungan.

Aku berlari ke dalam rumah. Membuka pintu dan membantingnya dengan keras.

“TARA. Pelan-pelan kalau tutup pintu?” Mama menghardikku dengan keras. Aku menghentikan langkah. Sedikit kaget dengan keberadaan Mama yang nggak biasanya siang begini bersantai nonton TV sambil baca majalah.

Wajah kesal Mama berubah kaget saat mendapatiku menangis. “Kamu kenapa?”

Tanpa menjawab pertanyaan Mama aku langsung berlari ke atas menuju kamarku. Membanting tubuhku ke tempat tidur. Aku terisak. Dadaku terasa ngilu.

Nggak nyangka kalau Arda sebegitu terlukanya karena aku. Menyukaiku sejak baru masuk SMA. Mundur saat tahu aku bersama Rafa. Dan harus kembali terluka melihat Rafa memelukku tadi. Aku? Aku sendiri pun masih bingung tentang perasaanku terhadap Arda.

Aku semakin terisak saat teringat bagaimana cerianya wajah Arda saat mendatangi kelasku sewaktu istirahat tadi, untuk mengajakku pulang bersama. Teringat bagaimana hangatnya sambutan keluarganya terhadapku kemarin. Teringat senyum yang selalu menghiasi wajahnya seharian kemarin.

Aku mendengar pintu kamarku terbuka. Terdengar suara langkah kaki. Yang itu kuhafal sebagai langkah kaki Mama. Kini aku merasakan Mama duduk di tepi tempat tidurku. Wangi Hermes Faubourg yang sangat dipuja Mama itu langsung menyentuh lembut penciumanku.

“Mau cerita?” Suara lembut Mama bertanya padaku.

Aku bangun dari tidurku. Menghambur kepelukan Mama. Kembali terisak. Dengan lembut Mama membelai rambutku.

“Tara jahat sama Arda, Ma. Tara?” Aku nggak sanggup melanjutkan kalimatku. Yang ada aku kembali terisak.

Kelihatannya Mama mengerti. Beliau tidak memaksaku untuk cerita. Mama hanya memelukku makin erat dan mengusap kepalaku lembut. Membiarkan aku menangis dipelukannya sampai tertidur. Hal yang selalu kulakukan setiap kali Bima membuatku menangis.

----

Tags: twm18 twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • annis0222

    Thank you, kakak.... Cerita kakak lebih keren. Jadi minder... ????

    Comment on chapter SATU
  • dede_pratiwi

    nice story :)

    Comment on chapter SATU
Similar Tags
MANTRA KACA SENIN PAGI
3333      1242     1     
Romance
Waktu adalah waktu Lebih berharga dari permata Tak terlihat oleh mata Akan pergi dan tak pernah kembali Waktu adalah waktu Penyembuh luka bagi yang sakit Pengingat usia untuk berbuat baik Juga untuk mengisi kekosongan hati Waktu adalah waktu
Summer Rain
189      153     0     
Fan Fiction
Terima kasih atas segala nya yang kamu berikan kepada aku selama ini. Maafkan aku, karena aku tak bisa bersama dengan mu lagi.
Mawar pun Akan Layu
902      476     2     
Romance
Semua yang tumbuh, pasti akan gugur. Semua yang hidup pasti akan mati. Apa cintamu untukku pun begitu?
Bukan kepribadian ganda
8846      1700     5     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
Love Never Ends
10731      2128     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan
Cinta Aja Nggak Cukup!
4810      1544     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Petrichor
4632      1504     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Langit Jingga
3280      935     2     
Romance
Mana yang lebih baik kau lakukan terhadap mantanmu? Melupakannya tapi tak bisa. Atau mengharapkannya kembali tapi seperti tak mungkin? Bagaimana kalau ada orang lain yang bahkan tak sengaja mengacaukan hubungan permantanan kalian?
kekasihku bukan milikku
1279      644     3     
Romance
Sanguine
5005      1560     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...