Pagi ini Arda kembali menjemputku. Kali ini tanpa interogasi dan tatapan membunuh dari Mama. Bahkan Mama sempat menawari Arda untuk sarapan. Pakai senyum manis segala, lagi. Entah apa yang dilakukan Arda sampai sikap Mama berubah dua ratus derajat begitu. Aku jadi curiga.
Dan sikap Arda juga kembali manis padaku. Sikap diamnya kemarin sudah tidak ada lagi. Malah dia jadi cerewet banget. Menceritakan tentang kegiatannya di sepakbola. Kelemahannya dalam pelajaran sastra. Bahkan dia juga menceritakan tingkah konyol Ori?Kakak sekaligus saudara satu-satunya?saat menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin hanya karena pagi ini dia mau jemput cewek incarannya untuk berangkat ke kampus.
Aku kok merasa agak tersindir dengan cerita yang terakhir, ya. Karena yang kulihat adalah, Arda berpakai rapi hari ini. Kemejanya dimasukkan. Rambut tersisir rapi. Wangi banget dan selalu tersenyum.
Saat istirahat pertama tadi dia juga menjemputku ke kelas untuk menemaninya makan di kantin. Lalu membawaku ke lapangan basket?tempatnya nongkrong bersama sahabat-sahabatnya saat jam istirahat?untuk dikenalkan ke sahabat-sahabatnya. Dan ini yang hampir membuatku terbang karena saking ge-ernya. Biasanya kalau sudah begini, bisa disebut tanda-tanda keseriusan dalam berhubungan. Berharap banget ya, aku? J
Dan istirahat kedua ini, aku mendapatinya sudah berdiri di depan kelasku. Menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan kedua tangan di masukkan ke saku depan celana. Dan satu kakinya ditarik kebelakang menjejak tembok. Gaya yang menurutku, emm, cool. Tapi segera dia turunkan kakinya saat Bu Leni keluar dari kelasku.
“Siang, Bu.” Arda menyapa Bu Leni dengan sopan. Sedikit membungkukkan badan.
“Ngapain kamu di sini?” Bu Leni memandang Arda dari kaki sampai kepala. Menghembuskan napas kesal saat melihat baju seragam Arda tidak dimasukkan.
Kumat lagi. Padahal tadi pagi sudah rapi begitu. Aku hanya bisa geleng kepala melihat penampilan Arda yang suka berubah-ubah seenaknya itu.
“Mau ketemu Tara, Bu.” Arda menunjukku yang berdiri di belakang Bu Leni. Bu Leni menoleh ke arahku sesaat. Aku tersenyum canggung. Kemudian Bu Leni kembali menatap Arda dan geleng-geleng kepala sambil berlalu.
“Hai, Tara?” Arda menghampiriku. Aku membalasnya dengan senyum kikuk.
“Duhhh… takut banget incerannya ilang. Di tempeeel terus.” Seru Kelvin seorang teman sekelasku yang juga anggota tim sepakbola.
“Yoi, Man.” Jawab Arda dengan santai. “Gue cabut dulu ya.” Arda melambaikan tangan pada Kelvin. Kemudian menggenggam tanganku. Menarikku pelan untuk mengikuti langkahnya. Aku sedikit tersentak menyadari reaksi tubuhku akibat sentuhan Arda. Tubuhku terasa panas. Dadaku berdebar lebih cepat dari biasanya. Dan aku menyukainya.
Refleks mulut-mulut jahil bersorak melihat adegan itu. Tanpa bisa kucegah dadaku berdegup kencang dan aku yakin Arda bisa merasakan jari tanganku yang mulai dingin. Karena yang kulihat selanjutnya, dia tersenyum tipis tanpa menatapku dan mempererat genggamannya.
“Mau kemana?” Tanyaku pelan.
“Ke tempat semediku.” Jawab Arda dengan cengiran jahilnya.
Aku tidak bertanya lagi. Hanya mengikuti ke mana langkah kaki Arda. Saat menuruni tangga, kami berpapasan dengan Rafa. Entah memang disengaja atau tidak, Arda melepaskan tangan kirinya dari jariku dan melingkarkannya di pinggangku. Untuk kesekian kalinya, tindakan spontan Arda ini membuatku belingsatan salah tingkah. Rasanya seperti ada ratusan kupu-kupu yang bertebaran di perutku.
Aku melirik sekilas ke arah Rafa. Dan mendapati tatapan tajamnya yang seperti mata pisau itu.
Tempat yang disebut Arda sebagai tempat semedinya adalah taman belakang gedung kelas sebelas IPA. Tempat yang tidak pernah kudatangi sebelumnya. Ternyata di belakang kelas itu ada beberapa pohon flamboyan yang bunganya sedang mekar. Yang Bima?Kakakku yang sekarang kuliah di Bandung?bilang bunga Sakura-nya Indonesia. Memang mirip sih. Hanya bunganya saja yang warnanya berbeda.
Aku menghabiskan jam istirahat kedua dengan duduk berdua Arda di atas rumput bawah pohon flamboyan. Udaranya sejuuuk banget. Arda banyak bercerita. Kali ini tentang passionnya. Dia ingin melanjutkan kuliah di Surabaya. Ambil teknik perkapalan. Saat aku tanya ingin kerja apa, dia jawab, apa pun asal ada kaitannya dengan jurusan yang dia ambil. Saat aku tanya kenapa dia tidak melanjutkan di UI saja, jawabnya gampang banget. “Bosen sama suasana Jakarta. Pengen merasakan panasnya Surabaya.” Begitu katanya.
Bahkan dia juga menceritakan Rita, pacar pertamanya saat di SD. Jangankan untuk pacaran, saat aku SD, yang namanya cinta seperti apa saja aku nggak tahu.
Ada lagi yang lucu. Sewaktu tujuh SMP, Arda pernah rebutan cewek sama Ori. Katanya cewek itu sahabat sekaligus teman sebangku Ori. Dia sering datang ke rumah mereka. Baik untuk sekedar main ataupun mengerjakan tugas. Bahkan Arda juga menceritakan kelakuan konyolnya yang kabur dari rumah hanya karena Mama-nya lebih mendukung Ori untuk jadian dengan cewek itu daripada dengannya. Dengan alasan, karena cewek itu dua tahun di atas Arda.
Sejauh ini kenal dengan Arda, aku sudah banyak tahu tentangnya. Sedangkan dia, tanpa aku memberitahu apa yang aku suka, aku mau lanjut kuliah ke mana, ambil jurusan apa, ternyata dia sudah tahu semua dari Dika. Aku merasa tersanjung sekaligus terharu mengetahui kalau Arda mencari tahu semua tentangku melalui Dika. Yang aku nggak habis pikir, Dika nggak pernah cerita soal itu padaku.
----
Kebersamaan kami hari ini nggak cukup sampai istirahat di belakang kelas sebelas IPA saja. Sepulang sekolah, Arda kembali menjemputku ke kelas. Aku mendapati dia sudah berdiri di depan kelas dengan senyum hangatnya begitu aku keluar.
“Hai Tara. Hai, Lyana.” Arda menyapaku dan Lyana.
“Hai Arda.” Lyana menjawab dengan ramah. Sedangkan aku hanya tersenyum.
“Yan? Ayo!”
Aku, Lyana dan Arda menoleh serempak ke arah suara. Dan mendapati Dika yang berdiri dengan ransel di bahunya. Wajahnya terlihat sekali menahan kesal.
“Iya, bentar.” Lyana menjawab dengan setengah berteriak. Kemudian mengalihkan tatapannya padaku dan Arda. Dia berkata pelan, “Cowok gue lagi PMS kayaknya. Dari tadi rese banget. Ya udah, gue duluan, ya. Bye.” Lyana nyerocos kemudian berlari menghampiri Dika. Aku dan Arda tertawa pelan menanggapi perkataan Lyana barusan.
“Nggak kebayang kalo cowok ngalamin PMS.” Celetuk Arda.
“Nggak kebayang apanya? Soal sakit perutnya yang na’udzubillah itu?”
“Kayaknya.”
“Asal tau aja, ya. Cewek tuh kalo lagi nyeri haid, bisa sampek pingsan segala. Sakitnya itu pakek banget. Makanya, cowok tuh jangan suka seenaknya sama cewek.” Aku malah menceramahi Arda. Arda hanya tertawa pelan lalu mengacak rambutku.
“Ya udah, pulang yuk!?”
“Bentar deh, kamu ini tadi bolos pelajaran terakhir?” Aku bertanya curiga.
“Enggak. Lagi jam kosong. Pak Fikri lagi sakit. Cuma dikasih tugas doang. Selesai tugas, ya pulang.” Jawab Arda santai. “Yuk ah, aku laper.”
Arda merangkul bahuku dan mendorongku pelan untuk berjalan. Seketika itu aku merasakan panas telapak tangannya menjalar ke seluruh tubuhku dan meninggalkan getaran-getaran kecil di setiap permukaan kulit.
Dan lagi-lagi, mulut-mulut jahil yang digawangi Kelvin kembali bersorak. Arda sih santai saja. Malah dia senyum-senyum nggak jelas begitu. Sedangkan aku, hanya diam dan menunduk menyembunyikan pipi tomatku.
Asal tahu saja, kadang kelakuan anak SMA itu jauh lebih norak dari anak SD. Ingat kan, apa kebiasaan kita sewaktu SD dulu? Ya, itu. Jodoh-jodohin temen-temen kita. Kalo ada temen cewek sama cowok lagi ngobrol berdua pasti disorakin rame-rame. Ya kayak yang barusan Kelvin dan teman-temannya lakukan itu.
“Kita makan dulu, ya?” Arda bertanya sambil membukakan pintu mobil untukku.
“Boleh.”
Arda tersenyum mencurigakan sesaat sebelum menutup pintu mobil. Dan masih senyum-senyum sendiri selama berada di mobil. Aku jadi takut, jangan-jangan ini anak kesambet setan penghuni pohon flamboyan belakang kelasnya, lagi.
Aku pikir yang dimaksud Arda dengan makan dulu adalah mendatangi sebuah café atau restoran untuk memesan makanan. Tapi ternyata dugaanku salah. Arda membawaku ke sebuah rumah mewah di daerah Pondok Indah. Dan aku baru sadar, kalau rumah itu hanya beda beberapa blok dari rumahku. Arda hanya tersenyum saat aku bertanya itu rumah siapa.
Arda menekan klakson dua kali sebelum pintu gerbang tinggi berwarna hitam itu terbuka.
“Ini rumah siapa sih, Ar?” Ini pertanyaan keduaku. Kalau sampai kali ini masih nggak dijawab, aku pukul juga ini cowok.
“Rumahku.” Jawab Arda santai kemudian turun dari mobil.
Aku melongo. Duduk terpaku di dalam mobil. Mau apa Arda membawaku ke rumahnya? Hanya untuk makan? Kalau tahu begitu lebih baik aku pulang naik bus tadi.
Arda membuka pintu disampingku kemudian menarik pelan tanganku untuk turun dari mobil. “Ayo! Kok malah bengong.”
“Mau ngapain ke sini?” Aku bertanya dengan panik. Dengan setengah hati mengikuti langkah Arda.
“Mau makan.”
“Ya ampun, Ar. Kita kan bisa makan di mana gitu. Di café kek, resto kek atau apalah. Masa di rumah kamu gini.” Aku masih saja protes dengan keputusan sepihak Arda ini.
“Udah. Santai aja.” Arda berkata sambil membuka pintu depan yang menjulang?yang terbuat dari kayu berwarna coklat gelap.
“Assalamu’alaikum.” Teriak Arda dengan volume gila-gilaan. Dari dalam, sebuah suara wanita menjawab salam Arda. Nggak lama kemudian seorang wanita paruh baya berwajah cantik keluar. Aku tafsir, seumuran Mama kayaknya.
“Tumben udah pulang?” Tanya wanita itu.
“Iya, Ma.” Jawab Arda. Mendengar Arda memanggil Mama, tiba-tiba aku merasakan sekujur tubuhku membeku. Suhu jadi terasa minus. Terlebih saat mata Mama Arda mengamatiku dari atas sampai bawah.
“Siang, Tante.” Aku menyapa dengan ramah. Aku harap, sih. Karena yang kurasakan sekarang dadaku bergemuruh hebat. Nggak pernah ada dalam anganku kalau suatu saat akan bertemu dengan keluarga Arda.
“Siang. Ini, siapa?” Mama Arda bertanya ragu. Kemudian menatap Arda.
“Kenalin, Ma. Ini Tara. Temen sekolah Arda.” Jawab Arda dengan senyum tipisnya.
“Ohh. Tara yang?”
“Arda laper, Ma. Mama masak apa?” Arda memotong perkataan Mamanya. Aku jadi penasaran dengan kelanjutan kalimat Mama Arda yang mengindikasikan kalau Arda minimal pernah sesekali menceritakan tentang aku ke beliau.
“Sup tuna kesukaan kamu.” Jawab Mama Arda.
“Ya udah, makan yuk.” Arda berjalan begitu saja meninggalkanku dan Mamanya, kemudian menuju sebuah ruangan yang sepertinya adalah ruang makan. Karena yang terlihat dari pintu yang terbuka lebar adalah sebuah meja besar warna putih dikelilingi banyak kursi dengan warna senada.
“Kamu itu, kebiasaan. Cuci tangan dulu.” Teriak Mama Arda karena kini Arda sudah berada di ruang makan.
“Iya, Ma.” Arda menyahut dengan teriakan juga. Mama Arda berbalik untuk menatapku.
“Ayo, Tara. Kita makan siang.” Mama Arda mempersilahkanku dengan ramah.
“Iya, tante.” Aku menjawab sopan kemudian mengikuti langkah Mama Arda menuju ruang makan.
Disana aku melihat Arda yang mulai sibuk menuang nasi dan lauk ke piringnya. Dan tanpa berdoa atau ritual apapun dia langsung makan. Aku mengambil duduk tepat di sampingnya. Menaruh ranselku di kursi kosong sebelahku.
“Berdoa dulu.” Tegur Mama Arda sambil menuang nasi ke piring.
“Udah tadi. Dalam hati.” Jawab Arda. Suaranya tidak terlalu jelas karena sambil mengunyah.
“Kamu suka tuna, Tara?” Mama Arda bertanya padaku.
“Suka, Tante.” Boong deng. Nggak suka-suka banget sebenarnya. Tapi, ya doyan.
“Sayur?”
“Saya suka semua makanan kok, Tan. Kecuali daging Kambing.” Jawabku jujur. Lebih tepatnya mencegah Mama Arda untuk bertanya lagi makanan itu aku suka atau tidak, makanan ini aku suka atau tidak. Bisa kelamaan nanyanya. Cukup dengan kata semua makanan, itu sudah mewakili semua jenis makanan, kan?
“Bagus, dong.” Saat ini Mama Arda menuang dua sendok sup tuna. Lalu dua buah tempe goreng, dan sambal. “Ini. Dihabisin, ya.” Mama Arda menyerahkan piring yang telah diisi penuh dengan nasi dan lauk.
Aku menerima dengan sedikit melongo. Bukannya apa-apa, nasinya itu penuh satu piring, sayur dan lauknya juga. Ini mah porsi makannya si Bima. Kalau aku, habis setengahnya saja sudah syukur Alhamdulillah.
“Kenapa, Ra?” Mama Arda bertanya begitu melihat ekspresiku.
Aku langsung tersenyum dan menjawab, “Nggak pa-pa, Tan.” Kemudian langsung menyuap sesendok nasi.
Arda melongokkan kepala untuk melihat piringku. Kemudian berkata, “Astaga, Ma. Itu mah porsi kuli. Mana habis dia nanti.”
“Ya harus habis. Membuang makanan itu dosa, lho. Diluar sana masih banyak yang kelaparan.”
Aku hampir saja tersedak mendengar jawaban Mama Arda. Harus habis. Yang benar saja? Ini sih bisa bikin perutku meledak karena kekenyangan. Kalau enggak, malah muntah gara-gara lambungku nggak cukup menampung makanan.
Arda tersenyum melihat tampang kagetku.
“Siang semuaaa.”
Aku, Arda, dan Mamanya serempak menoleh ke arah sumber suara. Muncul seorang cowok dari pintu dan sedang berjalan menghampiri meja makan. Tinggi, charming, keren. Oke, ganteng dan sangat sangat sangat menarik. LEBIH dari Arda. Dan senyumnya, Ya Tuhan, cewek mana pun pasti akan menyukai senyum renyahnya itu.
Aku rasa cewek satu bumi pun akan setuju dengan apa yang kubilang barusan. Kalau dilihat dari garis wajahnya, mungkin cowok ini adalah Ori. Kakak Arda. Cowok itu mencium kedua pipi Mamanya dan menyapa Arda. Kemudian mengernyitkan dahi begitu menyadari keberadaanku. Aku tersenyum.
“Siapa nih?” Tanya cowok itu sambil duduk disamping Mamanya.
“Namanya Tara. Temen Arda itu, lho.” Jawab Mama Arda dengan menekan kata’itu’. Dan saat itu juga terjadi kontak mata antara Arda, Mamanya, dan cowok itu.
“Oh, Tara yang itu.” Cowok itu manggut-manggut. Membuatku semakin curiga. “Gue Ori. Kakaknya Arda.” Ori mengulurkan tangannya padaku.
“Tara.” Jawabku sambil menjabat tangan Ori. Emm.. untuk seukuran cowok, tangannya halus banget lho. Eh.. eh?
Aku sih curiganya, keluarga Arda sudah tahu tentangku. Bukannya ge-er, ya. Melihat dari cara Arda memperingatkan kedua orang dekatnya itu melalui tatapan mata. Ditambah lagi kalimat Mama Arda yang hampir keceplosan sesuatu dan langsung dipotong Arda tadi. Aku semakin yakin kalau Arda itu sudah berkali-kali menceritakan soal aku pada keluarganya.
“Kuliah gimana, Ri?” Mama Arda bertanya sebelum menyuap nasi ke mulutnya.
“Baik, Ma.” Ori menjawab singkat.
“Rhea?” Arda menyahut dengan santai. Seketika itu juga Ori menghentikan aktifitas makannya dan menatap Arda tajam. Arda menaikkan sebelah alisnya lalu melanjutkan makan. Tanpa mempedulikan tatapan Ori.
“Anak orang, tuh. Jangan dibikin nangis terus. Kualat lo.” Bukannya berhenti karena tatapan Ori yang mengindikasikan ketidaksukaannya membahas orang yang bernama Rhea itu, Arda malah melanjutkan.
“Tolong deh, Ar.” Ori berkata dengan nada tajam. Kesan ramahnya tadi langsung menguap seketika. Aku menjadi tidak enak berada dalam situasi ini. Kok jadi kayak perang dingin begini. Arda hanya tersenyum tipis.
“Kemarin Mama ketemu dia di salon. Dia nanyain kamu. Benar yang dibilang adikmu, jangan bikin nangis anak orang. Selesaiin dulu masalah kamu sama dia, jangan main kabur begitu dan malah memulai cerita baru. Mana pernah Mama ngajarin anak Mama buat bersikap pengecut begitu?” Ini Mama Arda bukannya menegahi malah sama saja dengan Arda. Memojokkan Ori.
Aku jadi semakin sulit menelan makanan. Aku melirik ke arah Ori dan mendapati wajahnya memerah.
“Denger nggak, Ri?” Mama menegur Ori.
“Iya, Ma. Tapi please, jangan dibahas di sini.” Ori berkata dengan wajah memelas.
Aku tahu. Bagi mereka aku orang asing. Tidak menyalahkan Ori kalau dia merasa tidak nyaman membahas masalah pribadinya di depanku. Kalau aku jadi dia, aku juga akan melakukan hala yang sama. Dan selanjutnya, kami melanjutkan makan siang tanpa ada yang bicara sepatah kata pun.
----
“Keluarga kamu asyik, ya. Seru banget.” Aku berkata saat Arda membelokkan mobilnya masuk ke kompleks rumahku.
“Iya, seru. Sebelum ada kejadian awkward bahas masalah Rhea tadi, kan?” Jawab Arda dengan senyum tipis. Aku hanya tersenyum.
“Rhea itu cewek yang pernah aku rebutin sama Ori di SMP dulu itu. Mereka udah deket banget. Kayaknya saling cinta, sih. Tapi nggak tau kenapa kok nggak pernah ada kejelasan hubungan di antara mereka. Rhea sih, udah pernah minta kejelasan dari Ori. Tepatnya sekitar sebulan lalu. Tapi Ori-nya nggak mau persahabatan mereka jadi rusak gara-gara cinta. Konyol sih kalo aku bilang. Padahal kalo aku lihat, mereka tuh sebenernya saling cinta.”
Eh? Ini aku nggak tanya, lho. Arda sendiri yang dengan suka rela menceritakan tentang Ori dan Rhea padaku.
Ya nggak menyalahkan Rhea, sih. Dia kan cewek. Nggak selamanya bisa menerima perhatian dari cowok tapi nggak pernah ada kejelasan. Ori melakukannya karena persahabatan? Mungkin Ori sudah melakukan hal-hal yang nggak bisasa dilakukan seseorang terhadap sahabatnya. Dan itu membuat Rhea akhirnya jatuh cinta pada Ori. Begitu pun sebaliknya dengan Ori. Hanya saja, kenapa nggak jujur soal perasaan masing-masing dan si Ori malah mementingkan persahabatan mereka. Toh mereka juga saling cinta. Kayaknya bener yang dibilang Arda. Ori itu konyol.
Aku agak nggak enak membahas soal Rhea dan Ori. Jadinya aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kalo dari yang aku lihat tadi, kayaknya Mama kamu nggak galak kayak yang kamu bilang, deh. Baik malah.” Kataku.
“Ya karena kamu nggak bikin salah di depannya.” Jawab Arda. Kemudian menginjak rem pelan karena sudah sampai di depan rumahku.
“Tapi Mama kamu sadis.” Aku menoleh untuk menatap Arda. Arda menatapku sekilas dengan dahi berkerut. “Iya. Masa aku diambilin nasinya banyak banget.” Arda tertawa pelan mendengar kelanjutan kalimatku.
“Kalo aku nggak suruh berhenti makan, apa kamu tadi bakalan habisin itu nasi?”
Yup. Karena melihat tampang memelasku yang sudah kekenyangan tapi tetap berusaha untuk menghabiskan nasi, akhirnya Arda turun tangan dengan menyuruhku berhenti makan. Dan itu mengundang tawa Ori dan senyum tertahan dari Mama Arda. Aku merasa sepertinya Mama Arda sengaja mengerjaiku. Tapi cukup lega. Karena hal itu akhirnya bisa memecah kecanggungan di antara kami berempat setelah membahas soal Rhea.
Aku nyengir. “Ya habisnya, Mama kamu bilang harus habis. Ya aku kan, nggak enak.”
“Tara, Tara. Kamu tuh lucu, ya.” Arda berkata sambil membuaka seat belt. Aku anter masuk, ya.”
“Kamu mau mampir dulu?”
“Buat jelasin ke Mama kamu alasan kamu pulang telat hari ini. Daripada kamu kena marah lagi kayak kemaren? Dan besoknya aku diinterogasi lagi. Nggak mau, ah.”
Aku tersenyum mendengar jawaban Arda. “Kayaknya Mamaku emang lebih galak dari Mamamu, ya?” Arda tersenyum mendengar pernyataanku barusan.
“Tenang aja. Ini belum jam lima. Mama nggak mungkin udah pulang. Mobilnya aja nggak ada tuh.” Aku menunjuk rumahku dengan dagu.
“Yakin, nih?” Arda bertanya ragu.
“Iya. Lagian yang aku lihat kayaknya kamu udah punya jurus untuk nggak membuat Mama aku marah lagi ke kamu.” Aku berkata sambil membuka seat belt. Arda tersenyum penuh arti. Sepertinya hari ini dia sering banget tersenyum. Dan aku menyadari, aku menyukai itu.
“Iya dong.” Jawabnya penuh keyakinan.
“Ya udah. Aku turun, ya. Thanks udah dianter pulang. Thanks juga buat makan siangnya.” Aku membuka pintu mobil.
“Makan siang yang menyiksa.” Sahut Arda. Aku menanggapi dengan tawa pelan. “Ya udah. Bye.”
Aku turun dari mobil dan langsung masuk ke rumah tanpa menunggu Arda pergi terlebih dulu.
Yeah. Makan siang yang lumayan menyiksa karena sedikit tertekan mendengar kalimat Mama Arda yang secara tidak langsung menyuruhku untuk menghabiskan makanan?ingat, dalam porsi Bima?dan saat mendengar Arda, ori, dan Mamanya beradu argument soal Rhea.
Belum lagi sempat-sempatnya Mama Arda membahas soal mantu idamannya. Harus bisa masak, pandai mengurus rumah, lembut, baik dalam tingkah laku atau pun tutur kata. Dan sepertinya salah satu saja dari beberapa hal itu, nggak ada padaku.
-----
Thank you, kakak.... Cerita kakak lebih keren. Jadi minder... ????
Comment on chapter SATU