“TARAAA?”
Ya Tuhan. Kalau saja Lyana itu bukan sahabatku, sudah pasti kulepas sepatuku dan kusumpalkan ke mulutnya. Hobi banget teriak-teriak begitu.
“Lo bisa nggak sih, nggak usah teriak gitu? Kebiasaan buruk lo satu ini harus di hilangkan.” Aku berkata dengan kesal.
Niatku bolos pelajaran dan berada di UKS saat ini dengan alasan nggak enak badan adalah untuk tidur. Karena kepalaku memang benar-benar pusing. Gara-gara tidak sarapan dan gagal makan siang akibat kedatangan Rafa di kantin tadi.
“Gawat, Ra. Gawaaat.” Lyana berseru histeris. Dadanya naik turun dengan napas ngos-ngosan.
“Kenapa sih? Pak Bambang nyari gue? Gue kan udah taruh surat izin di meja.”
“Bukan.” Lyana mengibaskan kedua tangannya dengan gerakan heboh. “Tadi pas gue mau ke toilet?” Lyana berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. “?gue lihat Rafa sama Arda jalan ke belakang gudang deket lab Fisika. Gue ikutin mereka, dan Rafa pukul Arda.”
“Apa?” Aku langsung bangkit dari tidurku. Memakai sepatuku dengan gerakan cepat dan berlari meninggalkan UKS. Lyana pontang-panting mengejarku.
Saat tiba di belakang gudang aku mengerem langkahku mendadak, yang membuat Lyana menubrukku dengan keras.
“Aduhh!” Aku memekik sambil memegangi lenganku yang terasa ngilu akibat berbenturan dengan tubuh Lyana.
“Maaf. Elo sih, ngerem nggak bilang-bilang.”
Aku tidak mempedulikan ocehan Lyana. Yang kulakukan adalah, mengamati Arda yang duduk dengan bersandar ke dinding?yang menatapku dan Lyana dengan pandang terkejut. Aku menghampirinya dan duduk disampingnya.
“Mana Rafa?” Tanyaku langsung.
“Nggak ada Rafa. Ngapain kamu kesini?” Arda bertanya balik. Aku memandang memar disudut bibir kiri Arda.
“Ini kenapa?” Aku menyentuh sudut bibir Arda yang memar. Dia meringis kesakitan.
“Abis tawuran sama anak Dirgantara.” Jawab Arda tanpa menatapku.
“Kapan?”
“Barusan aja. Ini baru balik. Anak-anak yang lain nggak tau pada kabur kemana.”
Aku tahu Arda berbohong. Aku bisa melihat itu dari matanya yang nggak berani menatapku saat menjawab pertanyaan yang kuajukan. Aku menghembuskan napas berat.
“Kamu nggak ada pelajaran? Ngapain ke sini?” Kali ini Arda menatapku. Tapi aku maupun Lyana nggak ada yang bersuara. Hanya diam menatap Arda. “Hei? Kenapa sih kalian?” Arda menatapku dan Lyana bergantian.
“Gue lihat kali, lo dipukul sama Rafa tadi.” Lyana menyeletuk. Arda mengalihkan tatapannya ke Lyana yang masih berdiri ditempatnya tadi. Bersamaan dengan itu bel pergantian jam pelajaran berbunyi.
“Salah lihat kali lo.” Jawab Arda kemudian berdiri. “Balik kelas sana. Aku mau balik. Ada ulangan Fisika.” Arda memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Akhirnya aku berdiri dan menuruti permintaannya.
----
Sampai bel istirahat kedua berbunyi, otakku tidak juga mau berhenti memikirkan Arda. Kenapa dia harus menutupi soal apa yang dilakukan Rafa padanya? Dan kalau memang benar, apa coba alasan Rafa melakukan itu pada Arda? Karena cemburu? Apa kabar dengan sikap sok polosnya sewaktu putusin aku?
“Ra. Sumpah, tadi gue lihat Arda dipukul sama Rafa. Masa iya sih, gue salah lihat?” Lyana kembali meyakinkanku untuk yang entah keberapa kali.
“Gue percaya, Yan. Yang gue nggak habis pikir, kenapa Rafa lakuin itu?”
“Ya karena dia cemburulah, Ra. Apalagi?” Lyana berkata dengan nada bosan.
“Dia yang putusin gue, Yan. Demi Ralin. Lo lupa kejadian gue nangis-nangis beberapa Minggu lalu itu?” Aku menatap jengkel ke arah Lyana.
“Ya itu artinya Rafa masih cinta sama lo. Dia kegoda aja kali sama si stranger itu.”
Aku terdiam. Memikirkan apa yang dikatakan Lyana barusan. Ahh, Lyana. Kenapa nggak berusaha untuk membuatku benci Rafa, sih. Kenapa malah seakan-akan dia menggodaku untuk memikirkan Rafa lagi. Nggak menolong banget.
Tiga jam mata pelajaran sebelum bel pulang sekolah aku sama sekali tidak bisa konsentrasi. Pikiranku hanya tertuju pada Rafa. Dan saat ini tekadku sudah bulat untuk menemui Rafa. Aku harus minta penjelasan padanya. Apa maksudnya melakukan itu pada Arda.
Buru-buru aku membereskan segala perlengkapan belajarku. Memasukkan dengan asal ke dalam ransel, kemudian bergegas meninggalkan kelas.
“Mau kemana, Ra?” Lyana menarik lenganku begitu aku berdiri.
“Mau cari Rafa.” Jawabku sambil menepis tangan Lyana pelan.
“Jangan macem-macem deh, Ra.”
Aku tidak menggubris perkataan Lyana. Terus berjalan meninggalkannya yang masih sibuk membereskan perlengkapannya belajarnya.
“Ra, tungguu!” Teriak Lyana. Aku hanya menoleh sekilas. Lalu melanjutkan langkahku.
Aku berjalan menuju parkiran dengan setengah berlari. Dan kebetulan orang yang kucari saat ini sedang berdiri berhadapan dengan Ralin, disamping mobilnya. Mereka terlihat berdebat. Masa bodoh apa yang terjadi antara mereka. Karena tujuanku mencari Rafa bukan untuk mengetahui masalah mereka.
“Yang kamu lakuin ke Arda tadi ada sangkut pautnya sama aku?” Aku menginterupsi perdebatan antara Rafa dan Ralin. Mereka serempak menghentikan ocehan masing-masing dan menoleh ke arahku. Aku melihat mata Rafa lebam. Itu artinya, Arda membalas pukulan Rafa tadi.
“Eh, cewek gatel. Bisa nggak, berhenti buat ganggu cowok gue?” Ralin berkata padaku dengan nada ketus.
“Kepala lo habis kebentur tembok, ya? Lupa kalo lo yang rebut Rafa dari gue?” Balasku dengan nada nggak kalah ketus. “Dan kamu?” Aku menoleh ke Rafa saat Ralin siap membuka mulut untuk membalasku. “?kamu bisa jawab pertanyaanku barusan?”
Rafa menatapku tajam kemudian berkata, “Enggak!”
“Tara? Kamu ngapain di situ?”
Aku menelan kembali kalimat yang siap kulontarkan ke Rafa. Menoleh ke kanan dan mendapati Arda berdiri dengan wajah suram. Tatapannya tajam menghujam Rafa.
“Bisa kita pulang?” Arda beralih menatapku. Anehnya, tatapannya berubah lembut.
Aku menoleh ke arah Rafa yang juga menatap Arda dengan tatapan yang sama tajam. Tanpa banyak bicara lagi aku meninggalkan Rafa dan Ralin yang kurasa masih menatapku dan Arda sampai mobil Arda keluar parkiran.
Arda jadi pendiam. Dari mobil keluar area sekolah sampai sekarang berhenti di depan rumahku, nggak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Suasana mobil lebih mirip dengan suasana pemakaman.
“Mau mampir?” Aku bertanya lembut.
“Lain kali aja, ya. Aku capek banget, mau istirahat. Salam aja buat Tante.”
“Oke. Makasih ya udah dianter pulang. Kamu hati-hati.”
Arda hanya mengangguk menanggapi perkataanku. Aku turun dari mobil. Dan Arda langsung melajukan mobilnya tanpa menungguku masuk ke rumah terlebih dulu. Aku makin curiga. Kemungkinan aku terlibat dalam kejadian antara Arda dan Rafa tadi siang sangat besar. Bukannya ge-er. Melihat bagaimana mereka saling tikam dalam tatapan tajamnya tadi di parkiran.
----
Belajar pun percuma. Aku tidak bisa fokus. Sebentar-sebentar ke Rafa. Pindah ke Arda. Ke Rafa lagi. Arda lagi. Begitu seterusnya. Dengan kesal aku menutup buku PR Akuntansi. Dari sepuluh soal aku baru mengerjakan satu. Dan itu pun entah benar atau salah. Terpaksa besok harus berangkat pagi untuk menyalin PR Farhan. Si juara kelas yang lumayan nggak pelit itu.
Aku bangkit dari kursi meja belajar. Berjalan menghampiri telepon yang berada di nakas samping tempat tidur. Kemudian menekan nomor rumah Lyana yang sudah kuhafal diluar kepala. Aku duduk begitu saja dilantai. Menyandarkan punggungku ke nakas sambil menunggu jawaban dari Lyana.
“Halo, selamat malam. Dengan kediaman keluarga Soenaryo, ada yang bisa dibantu?” Kudengar suara cempreng Lyana menjawab teleponku.
“Ini gue.”
“Oh, Tara. Kenapa? Nggak mungkin mau tanya PR Akuntansi, kan? Kan, biasanya gue yang nanya.” Lyana menjawab dengan cengengesan. Nggak tahu kalau lawan bicaranya ini lagi frustasi.
Aku menghembuskan napas berat. Lyana langsung diam.
“Rafa? Atau Arda?” Tanya Lyana seperti tahu isi kepalaku.
“Intinya, gue nggak bisa konsen ngerjain PR gara-gara dua cowok itu.”
Lalu, dengan lancar aku menceritakan tentang pertemuanku dengan Rafa dan Ralin di parkiran tadi, plus kejadian Rafa dan Arda saling tikam melalui tatapan.
“Kalo lo tanya pendapat gue, gue akan jawab, lupain Rafa dan fokus ke Arda.” Lyana menjawab tanpa aku bertanya. Aku hanya diam. Karena aku tidak tahu harus bereaksi apa atas pernyataan Lyana barusan.
----
Thank you, kakak.... Cerita kakak lebih keren. Jadi minder... ????
Comment on chapter SATU