-----
Kamu boleh saja pergi dengan egois
Meninggalkanku bersama timbunan kenangan ini
-----
Fiersa dengan sabar menunggu Azalea yang masih belum muncul di tempat mereka janjian. Gadis itu memang senang sekali terlambat, yang tak jarang membuat Fiersa mengggerutu kesal. Hingga beberapa menit kemudian seseorang berlari ke arahnya dengan napas memburu. Rambutnya yang digerai nampak acak-acakan. Fiersa mendengus.
“Lo kemana aja sih? Gue hampir lumutan tau,” protes Fiersa sambil berkacak pinggang. Sementara Azalea tersenyum tipis, merasa bersalah.
Tanpa menunggu lama, Fiersa pun menarik tangan Azalea dan membawanya masuk ke dalam sebuah butik.
“Kita ngapain kesini, Sa?”
“Beli gaunlah.”
Azalea bingung, untuk apa Fiersa mengajaknya beli gaun. Jelas sekali ia kurang suka memakai gaun. Baginya kaos longgar yang dipadukan celana jeans jauh lebih nyaman.
“Ngapain bengong sih, Le? Sana milih,” kata Fiersa dengan semangat.
Azalea sungguh tak mengerti apa maksud dari Fiersa. Bukankah lelaki itu tau bahwa selama ini ia kurang suka memakai gaun? Lalu mengapa sekarang ia mengajak Azalea kemari dan menyuruh gadis itu memilih gaun?
“Lo serius?”
Merasa gemas karena Azalea tidak segera bergerak, Fiersa pun mendorong sahabatnya itu menuju lemari yang penuh dengan gaun-gan yang sangat indah. Azalea pun berpikir bahwa Fiersa ingin agar dia berubah menjadi lebih feminim. Dalam hati Azalea merasa senang. Ia pun memilih satu gaun yang sedari tadi menarik pendangannya untuk menjamahnya.
“Gue pilih ini aja.”
Fiersa mendekat lalu tersenyum. Sangat manis. Hingga membuat Azalea tak ingin detik ini berlalu begitu saja.
“Ternyata pilihan lo bagus juga, gue juga suka sama gaun ini. Pasti Lily juga suka dan makin kagum sama gue.”
Deg.
Binar dimata Azalea perlahan meredup. Jadi Fiersa mengajaknya kemari hanya untuk memilihkannya gaun untuk Lily. Hah... seharusnya ia sadar. Fiersa itu cinta sama Lily. Hari ini serasa dipermainkan oleh keadaan.
“Kalau lo mau beli, milih aja. Entar gue bayar.”
“Enggak usah, gue nggak suka pakai gaun.”
Fiersa mengedikkan bahunya acuh. Sedari tadi pria itu tak pernah berhenti tersenyum memandang gaun yang ada di genggamannya itu.
@@@
Keduanya saat ini sedang berada di taman belakang rumah Fiersa. Rasanya begitu nyaman berbaring di Hammock yang bersebelahan.
“Sa, lo serius cinta sama Lily?”
Fiersa yang kala itu tengah memejamkan matanya pun perlahan membuka matanya. Ia melirik sekilas ke arah Azalea lalu kembali memejamkan matanya.
“Dia itu cinta pertama gue. Lo tau sendiri kan? Selama ini gue nggak pernah dekat sama cewek kecuali, Lo. Disaat gue lihat dia untuk pertama kalinya, saat itu juga merasakan getaran yang gue sendiri nggak tau apa artinya.”
Hening. Fiersa menjeda sejenak ucapannya. Perlahan membuka matanya kembali. Lalu menghadap sepenuhnya ke arah Azalea.
“Setelah gue mencari tau apa arti getaran itu, gue jatuh cinta. Ya, sama dia. Sosok yang selalu menyendiri di balik rak perputakaan sekolah.” Katanya lalu kembali ke posisi semula dan terpejam.
Azalea menoleh, ada yang tak nyaman dengan hatinya perihal pengakuan Azalea. Ia tersenyum, namun tanpa terasa butiran bening itu jatuh membasahi pipinya. Dengan segera ia menghapusnya. Azalea tak boleh seperti ini.
“Lalu bagaimana jika ada orang lain yang menginginkan cinta lo?”
Entah dapat keberanian darimana Azalea mengajukan pertanyaan tersebut. Fiersa tak kunjung menjawab.
“Ya gue biarin aja. Seseorang berhak jatuh cinta. Kepada siapapun, terrmasuk gue”
Tak tahukah Fiersa bahwa mencintai tanpa dicintai adalah hal tersulit yang pernah ada. Apalagi harus melihat orang yang dicintai itu bahagia bersama orang lain.
Azalea kembali ke posisinya. Ia pun turut memejamkan matanya. Ada sesuatu yang terasa menghimpit dadanya. Membuatnya seolah lupa bagaimana cara untuk bernapas. Ia sadar, seharusnya sejak awal ia tak memperbolehkan perasaan itu tetap hadir.
Ya, Azalea mencintai Fiersa. Sosok yang menjadi sahabatnya selama belasan tahun ini. Dalam hatinya ia tidak yakin, apakah perasaannya ini bisa dikendalikan atau tidak olehnya. Sementara ia sendiri tahu, bahwa Fiersa tak memiliki ruang hati kembali untuk menerima Azalea.
Dalam hati lelaki itu, saat ini yang tengah berkeliaran adalah sosok Lily. Gadis yang sama sekali tak menorehkan kesempatan untuknya melabuhkan cinta.
“Le...?”
Lamunan Azalea pun terberai. Ia membuka matanya lalu menoleh ke arah Fiersa.
“Gimana soal Diana?”
Seketika raut muka Azalea mengeruh. Sungguh ia tak menyukai topik ini untuk di bahas. Fiersa menyadari perubahan dalam wajah Azalea. Ia pun bangkit dan duduk menghadap ke arah Azalea.
“Sorry... gue nggak bermaksud. Tapi lo harus percaya, kalau gue selalu ada buat lo,” katanya sambil menggenggam erat tangan Azalea.
Ini yang Azalea suka dari Fiersa. Lelaki itu akan selalu ada untuknya. Dan karena hal ini pula ia tak ingin kehilangan sosok Fiersa hanya karena perasaan itu.
Fiersa meraih bahu Azalea lalu mendekapnya erat. Fiersa sangat menyayangi Azalea. Gadis itu hanya luarnya saja yang terlihat kuat, namun sisi lain dari seorang Azalea adalah gadis dengan hati yang rapuh.
Ia tak suka melihat sahabatnya itu bersedih. Namun, tanpa Fiersa sadari, sepercik luka yang timbul di hati Azalea adalah ia penyebabnya. Memang secara tidak langsung. Karena rasa itu tumbuh begitu saja tanpa diminta.
@@@
“Maaf.”
Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir pemuda yang kini duduk disampingnya selama hampir setengah jam. Keduanya sama-sama menikmati keheningan ini.
Lily tak habis pikir. Setelah sekian lama keduanya berpisah dan berjauhan, meskipun sebenarnya tak berjauhan dalam arti yang sesungguhnya. Lelaki itu masih tampan. Seperti hari-hari sebelumnya saat Lily secara diam-diam mengamatinya dari kejauhan.
“Apakah pertemuan kita ini sebuah kebetulan?” Lily menunduk. Tak berani mendongak barang sedetik pun.
“Mungkin.” Jawab Jordi mengangkat bahunya acuh.
Ya, lelaki itu adalah Jordi. Mantan pacar Lily sekaligus cinta pertama Lily yang sampai saat ini masih belum bisa dilupakannya.
Jordi melirik gadis di sebelahnya itu. Bisa ia lihat binar kesepian dalam sosok Lily. Namun ia bukanlah Jordi yang dulu. Yang mampu memberikan pundaknya untuk gadis itu bersandar. Ia tak ingin membuat Lily semakin merasakan sakit karena dia yang masih ada di dekatnya.
Pada kenyataannya, Jordi tak bisa. Anggap saja ia egois. Namun ini juga demi kebaikan gadis yang dulu pernah bersemayam di hatinya. Ia ingin gadis itu mampu berdiri tanpa dia di sampingnya.
“Jordi...”
“Hmmm.”
“Apakah kamu bahagia sama dia? Apakah dia bisa membuatmu tersenyum seperti saat dulu aku bersamamu.”
Entah dapat keberanian darimana Lily berucap demikian. Ia ingin sekali mengajukan pertanyaan itu. Meskipun ia harus menerima kekecewaan yang nantinya akan keluar dari bibir Jordi.
“Ya aku bahagia. Aku harap kamu juga bahagia bersama dengan orang yang lebih menyayangimu.”
Lily kembali menunduk. Ia selalu saja menjadi gadis cengeng saat berhadapan dengan Jordi. Lelaki itu menyadari bahwa Lily tengah menangis. Namun ia tak bisa berbuat lebih.
“Apa kamu nggak ingin aku untuk menunggu?” suara Lily serak dan bergetar. Ia memberanikan diri menatap Jordi dengan air mata yang mengucur membasahi pipinya. “Jika kamu mau, aku bisa menunggu kamu untuk mengembalikan rasa cinta itu kepadaku.”
“Andai aku bisa, mungkin aku akan menyuruhmu melakukan itu. Tapi aku sendiri tak kuasa mengendalikan perasaan ini. Maafkan aku.”
Jordi hendak bangkit. Isakan tangis Lily semakin terdengar. Bahunya naik-turun dengan pandangan mata yang tersakiti.
“Jika dengan kehadiranku di sisimu membuat kamu sulit melupakan aku, maka aku akan menjauh. Maafkan aku hadir di hidupmu dan menciptakan luka itu. Aku harap kamu menemukan cinta kamu yang sesungguhnya.”
Setelahnya, Jordi melangkah pergi. Ia berusaha menulikan telinganya saat isakan tangis gadis itu semakin menjadi. Ia merasa menjadi orang yang paling jahat di muka bumi ini. Namun ia bisa apa? Andai saja ia bisa memilih kemana perasaannya akan berlabuh, maka akan dengan senang hati ia mempertahankan cinta itu untuk Lily.
Sementara Lily. Rasanya ia tak memiliki tenaga untuk bangkit. Penolakan itu jelas nyata di matanya. Jordi yang dulu mencintainya telah hilang. Sekarang lelaki itu bukanlah Jordinya. Karena pada kenyataannya cintanya sudah tergantikan oleh cinta yang lain.
Andai saja pertemuan tadi tidak terjadi, mungkin ia tidak harus membuka luka itu lagi. Sepulang dari rumah Chika, teman satu komunitasnya. Lily mampir sejenak di Taman. Namun apa yang di dapatnya. Ia tanpa sengaja bertemu dengan Jordi. Memaksa keduanya untuk duduk bersama dengan perasaan canggung.
Kini, Lily benar-benar merasakan kekosongan dalam hatinya. Cintanya menolak untuk bersama.
“Apa aku harus berhenti? Berhenti untuk mengharapkan kamu kembali.”
Berucap memang mudah. Berhenti mencintai seseorang sama halnya menghapus kenangan-kenangan yang pernah tercipta bersama cinta it. Namun hati itu tak akan mampu. Rasa itu tumbuh begitu saja. Tanpa ada rencana untuk datang dan pergi.
Lily pun bangkit meninggalkan taman dengan wajah yang sangat kacau. Hanya perlu berjalan selama sepuluh menit Lily pun sampai di rumah yang begitu besar. Lily memang lahir dalam lingkup keluarga yang berada. Ayahnya merupakan pengusaha konveksi di kota itu.
Rupanya kemewahan yang mengelilingi hidup Lily tak serta merta membuat gadis itu menjadi bahagia. Ia merasakan kesepian. Di dalam rumah itu, hanya ada beberapa pembantu serta kakak nya yang mungkin bisa dihitung jari keberadaannya di rumah itu dalam waktu satu minggu.
Orang tuanya memilih tinggal di luar kota dibanding harus tinggal di rumah itu bersama Lily dan Leon, kakaknya itu. Meski begitu, orang tua Lily sama sekali tak pernah mengabaikan keduanya. Setiap waktu mereka akan menghubungi anak-anaknya itu.
Namun bukan itu yang Lily inginkan. Ia ingin hidup berkumpul bersama keluarganya. Utuh. Tanpa harus terpisah seperti ini. Kadangkala ia memiliki niatan untuk ikut pindah bersama kedua orang tuanya, namun ia urungkan. Mereka pergi untuk mencari nafkah. Lily tak boleh kekanakan seperti itu.
@@@
Lily merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia sungguh lelah. Diliriknya figura yang masih bertengger manis di meja belajarnya. Disana, nampak dua anak manusia yang tengah tersenyum bahagia. Cinta membuat keduanya melayang.
Kembali. Bulir air mata itu menetes membasahi wajahnya. Lily mengusap wajahnya kasar. Ia lelah. Hanya itu yang mampu terlintas di benaknya.
Ia pun bangkit lalu mengambil laptop. Ia ingin bebas. Ia ingin melupakan sejenak rasa sakit itu.
Cinta memang suatu hal yang misteri. Kadangkala aku sulit menerjemahkan setiap pertanda cinta yang muncul, ibarat sebuah rahasia dalam rahasia. Aku tak tau apa yang membuat hatimu melupakan cintaku yang terlebih dahulu bersemayam dalam ruang itu. Mungkinkah cinta yang ia beri lebih besar dari apa yang aku persembahkan?
Ibarat kapal yang kehilangan nahkodanya, mungkin seperti itulah cintaku kini. Melaju tanpa tau arah yang pasti. Semu. Sepi itu kian menggerogoti hati ini. Memaksaku tetap berdiri disaat rasanya tulang-tulangku remuk terbawa angin. Entahlah.
Sungguh aku tak mampu menerjemahkan rasa ini. Sakit. Tak mampu sedikitpun aku beralih dari luka ini. Karena setiap kenangan yang melintas selalu membawa luka yang silih berganti mendesak ingin mendiami lubuk hati ini.
Isi ceritanya bagus kak indah , kak indah semangat terus untuk berkarya ya , jgn pernah takut untuk mencoba hal baru dan jgn pernah berhenti dan menyerah untuk menjadi lebih baik lagi . Good job kak indah ๐๐ป ku tunggu karya selanjut nya๐
Comment on chapter PROLOG