Azalea terpaku melihat beberapa barang yang terlempar mengenaskan. Ia hanya bisa menghela napas kesal. Perlahan Azalea mendekat lalu mendekap seseorang yang kini tengah menangis histeris.
“Sttt... plis gue mohon berhenti. Jangan nyakitin diri lo sendiri.”
Perlahan, tangisnya mulai mereda. Namun tak lama. Semenit kemudian dia menarik rambut Azalea dengan keras hingga Azalea menjerit kesakitan.
“Gue benci sama dia... gue benci sama kehidupan ini.” Teriaknya sambil terus menjambak rambut Azalea. Melampiaskan amarahnya.
Azalea berusaha menggapai tangan yang kini rasanya merontokkan rambutnya itu. Ia menjerit meminta lepas.
PLAKKKK...
“CUKUP DIANA...” Teriak laki-laki paruh baya itu setelah melayangkan tamparannya hingga membuat dia tersungkur.
Azalea menangis. Ia melihat gadis yang beberapa saat yang lalu memporak porandakan kepalanya kini beringsut mundur dengan wajah ketakutan.
“Ayah...” lirih Azalea menatap sendu ke arah lelaki paruh baya itu yang kini tengah berdiri dengan wajah murka.
Tanpa berkata apapun, lelaki yang dipanggilnya ayah itu melangkah pergi meninggalkan dua perempuan yang kini sama-sama menangis.
Perlahan, Azalea mendekat lalu memapah Diana kembali ke kamarnya. Ia membaringkan perempuan itu di ranjangnya lalu menyelimutinya.
“Aku keluar dulu,” Azalea berkata yang tak mendapati jawaban dari Diana.
Setelah pintu itu tertutup, Azalea luruh dan bersandar di balik pintu. Disanalah ia menangis. Menangis yang tak akan memberikan arti bagi orang lain maupun dirinya. Semakin hari, ia merasa hampa. Ia merasakan kekosongan yang benar-benar nyata.
“Gue nggak boleh lemah,” gumamnya.
Dengan mata yang sembab, Azalea mulai memunguti barang-barang yang hancur berserakan lalu merapikannya seperti semula sementara barang yang sudah rusak ia buang ke tempat sampah.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sudah saatnya keluarga kecilnya untuk makan malam. Ia pun segera menuju ke dapur setelah merapikan kekacauan yang telah terjadi.
Semenjak kepergian bundanya, Azalea tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Meskipun penampilannya yang jauh dari kata feminim, namun ia masih mengerti dan jago untuk urusan masak ataupun segala hal yang berkaitan dengan rumah tangga.
Tak lama Azalea memasak, karena ia hanya menyajikan menu ayam goreng serta telur mata sapi. Hari ini ia sungguh lelah.
“Ayah...” teriaknya dari luar kamar Rudi, ayahnya.
Tak lama kemudian Rudi keluar tanpa menampilkan ekspresi apapun.
“Ayo makan malam,” lirih Azalea.
Rudi melenggang menuju meja makan tanpa sepatah kata pun. Dalam hati Azalea hanya tersenyum miris. Ia sungguh merindukan keluarganya yang hangat. Bukan seperti ini.
Keduanya makan dalam keheningan. Sesekali Azalea melirik ke arah Rudi yang tengah melahap makanannya.
“Ayah.”
Rudi menghentikan aktivitas makannya. Lalu ia menoleh ke arah Azalea tanpa menurunkan sedikitpun ekspresi datar di wajahnya.
“Sampai kapan kita seperti ini?” mata Azalea mula berkaca-kaca.
Rudi diam. Ia meletakkan sendoknya kembali ke piring, sementara nasi nya masih tinggal setengah. Nafsu makannya seketika hilang.
“Setelah semua yang terjadi, sejak saat itu pula semuanya tidak akan lagi sama.”
Setelah mengucapkan itu, Rudi bangkit hendak meninggalkan Azalea.
“Sampai kapan?” suara lantang bercampur getar itu membuat langkah Rudi berhenti.
Tanpa menjawab, ia melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Saat itu juga Azalea menangis. Lalu ia bangkit dan masuk ke dalam kamarnya. Ia membiarkan jendela kamarnya terbuka. Membiarkan angin masuk serta menjelajahi setiap sudut kamarnya dengan leluasa.
Sudut matanya menatap sebuah foto yang masih terpasang rapi dalam figura yang berdiri tegak di meja belajarnya.
Disana. Ia bisa melihat kebahagiaan yang terpancar. Senyum serta tawa menghiasi foto tersebut.
@@@
Jordi menepikan motornya di sebuah cafe kecil tempatnya biasa nongkrong. Ia pun duduk di bangku paling pojok. Dekat kaca. Setelah memesan minum, ia kembali termenung. Fokusnya kini ada pada ponsel yang ada di genggamannya.
Merasa penat, ia mengambil sebatang rokok yang terselip di saku jaketnya. Beginilah Jordi saat pikiran kalut menyapanya. Rokok adalah cara terbaik untuk membuatnya rilex. Meskipun ia sendiri tahu bahwa hal yang dilakukannya itu sangatlah buruk untuk kesehatan.
Ia menikmati pemandangan cafe di sore hari yang mulai di penuhi oleh sebagian besar pelajar SMA, seperti dirinya.
Sesaat kemudian, matanya terpaku pada sosok yang membuat hatinya selalu bergetar setiap kali menyebut namanya. Dia ada disini.
Jordi segera membuang putung rokok miliknya serta meminum jus jeruk yang dipesannya tadi. Dengan langkah mantap ia pun menghampiri seseorang itu.
"Azalea."
Si empunya nama pun menoleh. Azalea yang tahu bahwa Jordi yang memanggilnya, ia pun tersenyum canggung. Azalea mengenal jordi sebagai teman sekelasnya. Namun ia jarang sekali bertegur sapa dengan pemuda yang gemarnya merenung di pojok kelas.
"Sama siapa?"
Jantung Jordi seakan ingin lepas dari tempatnya bersarang. Ini adalah pertama kalinya ia bisa bertegur sapa secara langsung dengan Azalea.
"Sendiri,"
Dengan percaya diri pun Jordi mengajak Azalea bergabung bersamanya. Keduanya duduk dalam keadaan canggung. Namun tak lama. Karena setelahnya Jordi maupun Azalea mulai mengakrabkan dirinya dan sesekali bercanda bersama.
Tanpa terasa, hari mulai malam. Melihat cuaca yang mendung, Jordi pun berinisiatif untuk mengantar Azalea pulang ke rumahnya. Tentu saja Azalea mau.
"Nggak mau mampir dulu?" Tawar Azalea saat ia sudah turun dari motor Jordi.
"Nggak usah. Besok kita masih harus sekolah. Aku pulang dulu ya."
Dengan meninggalkan senyum paling manisnya, Jordi pun meninggalkan Azalea. Sungguh Jordi tak pernah berhenti tersenyum.
Senyum di wajah Azalea pun perlahan memudar. Selalu begini, pikirnya. Ia hanya bisa menghela napas lalu beranjak menuju kamarnya.
Entahlah, perasaan sedih itu masih mendominasi hatinya. Terkadang ia ingin sekali lepas dari jeratan kilatan kenangan-kenangan peristiwa itu. Ia ingin menjadi Azalea kecil. Yang polos dengan limpahan bahagia. Bukan seperti ini.
Tanpa tersadar, ia pun terlelap di atas ranjang. Meringkuk bagaikan janin yang membutuhkan kehangatan.
@@@
Fiersa menatap sosok gadis yang ada di hadapannya kini. Senyum merekah di sudut bibirnya. Membuatnya jauh lebih tampan.
“Ini beneran buat aku?”
“Tentu, memangnya kamu nggak suka?”
Lily tersenyum tipis, lalu mengangguk pertanda ia suka baju tersebut. Fiersa kembali memamerkan senyumnya yang merekah. Sungguh ia senang. Lily bukannya tidak tau jika pemuda di sebelahnya itu mungkin saja menyimpan perasaan untuknya. Namun ia tak ingin ambil pusing. Ia ingin semua berjalan seperti biasa. Karena jujur, hatinya masih belum bisa menerima semua ini.
Di sudut sana, di balik tembok perpustakaan Azalea hanya bisa menatap sendu. Menatap kedua manusia itu tanpa bisa melakukan apa-apa. Beginikah sakitnya mencintai sahabat sendiri? Haruskah ia berhenti? Semakin ia melangkah, rasanya semakin jauh pula cinta itu direngkuhnya.
Azalea merapikan pakaiannya lalu pergi dari tempatnya bersembunyi. Dari tempat yang tersembunyi pula Jordi menatap gadis itu dalam diam. Sungguh cinta begitu ajaib. Melibatkan banyak hati yang membuat semua menjadi rumit.
Jordi mengejar Azalea yang kini menuju ke kantin. Gadis itu sendiri. Duduk di pojok tempat anak-anak badung biasannya nongkrong. Tentu saja Azalea menjadi sasaran godaan dari beberapa anak itu. Namun Azalea tak ambil pusing. Selagi ia bisa makan tanpa gangguan, ia akan diam. Begitu pikirnya.
“Sendiri aja?”
“Seperti yang lo liat,” Azalea tersenyum tipis.
Sejak pertemuan yang tidak sengaja kemarin, entah mengapa Jordi memiliki keberanian untuk masuk di sela-sela kehidupan Azalea. Pemuda itu sengaja tak menanyai perihal Fiersa. Sahabat gadis itu yang biasanya selalu bersamanya dimanapun mereka berada. Karena faktanya Jordi tahu, bahwa saat ini Fiersa tengah bersama masa lalunya, yang membuat gadis di sebelahnya ini menjadi murung.
Sedikit banyak Jordi merasa hatinya teriris. Mengapa cinta begitu sulit dipahami? Mengapa harus mengejar seseorang yang tak pernah sekalipun melihat ke arah kita, dibandingkan harus menerima dia yang sudah ada di depan kita?
“Lo baik-baik aja?”
“Seperti yang lo lihat. Gue baik-baik aja.”
Ternyata gadis itu pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Ahhh... Jordi lupa. Azalea adalah artis paling berbakat di dunia nyata. Kalau tidak, pasti Fiersa akan sangat mudah mengetahui bahwa gadis itu mencintainya. Atau disini Fiersa kah yang pandai berakting? Dengan berpura-pura tak mengerti dan menjalankan perannya sebagai seorang sahabat.
Isi ceritanya bagus kak indah , kak indah semangat terus untuk berkarya ya , jgn pernah takut untuk mencoba hal baru dan jgn pernah berhenti dan menyerah untuk menjadi lebih baik lagi . Good job kak indah ๐๐ป ku tunggu karya selanjut nya๐
Comment on chapter PROLOG