Grup WhatsApp mereka ramai sore ini. Topik utama tentu saja pembahasan mengenai rencana kilat mereka tentang pendakian di Gunung Semeru. Hal yang sebenarnya tidak sepele, namun mereka paksa tuk tetap mereka lakukan sesegera mungkin.
Boy: Jadi, fix, kan? Gue, Juang, sama Angga udah urus semuanya. Mulai dari perlengkapan, dan segala macam, udah kita urus. Kalian tinggal bawa barang pribadi, obat-obatan jangan lupa, dan jaket tebal. Please, di sana dingin.
Juang: Yoi. Tinggal pesen tiket kereta doang nih!
Angga: Lo belum pesen, Ju? Katanya lo mau pesen ahelah -_-
Juang: Gue baru sampe rumah oncom! Mau semedi dulu di WC sabar kenapa broooo
Angga: Kan tiketnya tadi tinggal dikit oncom, ntar keabisan. Pake M-Banking, kek.
Juang: Bawel ah lu emak-emak rempong dasar. Gue kan belum daftar M-Banking.
Angga: Gue pria sejati! Bukan mak rempong.
Juang: Lo jomblo. Berarti bukan pria seutuhnya.
Boy: Sialan lo. Gue juga jomblo!
Juang: Ups. Emang gue doang sih yang penuh pesonaJ
Caca: Eh guys.
Caca: Kalian yakin, mau mendaki minggu depan? Maksud gue… ini bukan perkara gampang. Fisik juga harus disiapin.
Maya: Lo takut, ya, Ca? Udah lah, kalo takut, mundur aja. Daripada ngerepotin.
Caca: Nggak, May.
Maya: HAHA. Dasar anak manja. Sok kuat. Hipotermia baru tau rasa lo!
Boy: May, jaga mulut kenapa sih. Hipotermia bukan candaan, please.
Maya: Ups, sorry.
Sherin: Guys, surat-suratnya apa aja ya yang perlu disiapin?
Angga: Surat keterangan sehat dari dokter, Sher.
Sherin: Lo udah cari?
Angga: Belum. Ntar sore paling ke dokter langganan gue. Mau ikut?
Sherin: Ikuuut! Jemput yaaa.
Angga: Oke, Sher.
Boy: Btw, yang lagi free detik ini siapa ya? Juang kayaknya nggak bisa diharapkan beli tiket. Dia diare -_- gue mau bayar lewat M-Banking ga bisa. Error.
Juang: Gara-gara ayam penyet semalem. Lo sih pake ngajak gue makan ayam penyet.
Boy: Perut lo aja yang lemah-_-
Caca: Gue free.
Maya: Gue free.
Deg.
Boy menyipitkan matanya. Bisa kebetulan sekali, Maya dan Caca. Siapa yang akan Boy pilih untuk menemaninya membeli tiket kereta? Tidak mungkin, kan, Boy mengajak keduanya? Duniapun tau, jika ada Maya dan Caca, disitulah ada perang Baratayudha.
Boy berdeham. Akhirnya, setelah cukup lama berpikir, Boy mengirim pesan untuk Caca.
Boy: Ca, free?
Caca: Iya, Boy.
Boy: Temenin, ya. Gue jemput sekarang di kos lo. Gimana?
Caca: Oke.
Jika boleh jujur, Boy gugup. Tiap kali pergi berdua dengan Caca, jantungnya berdegup kencang sekali. Tapi bukan cinta. Tenang, Boy tau, jika ia terlalu berharap pada seorang Caca, maka di akhir, dia sendiri yang akan luka.
Seperti yang ia alami dulu. Dua tahun lalu, di masa SMA, ketika begitu menggantung harap pada seorang Natasha Kirana, alias Caca.
*
“Makasih, ya, Boy,” kata Caca, sambil melepas helm merah dari kepalanya.
“Gue yang harusnya bilang makasih. Makasih mau nemenin gue beli tiket. Juang, sih, pakai acara diare segala,” balas Boy, sembari tertawa.
Keduanya sudah selesai melaksanakan tugas negara, yaitu membelikan tiket untuk para sahabatnya, demi petualangan mereka menuju Semeru. Dan saat ini, mereka berbincang singkat di depan pagar kos-kosan tempat Caca tinggal selama menjalani masa perkuliahan.
“Lo takut naik gunung, Ca?”
“Lumayan, soalnya belum pernah. Gue takut kram tiba-tiba. Atau parahnya, hipotermia.”
Boy begidik ngeri. “Amit-amit. Jangan sampai. Makanya harus fit.”
“Masih ada empat hari lagi, Boy. Kayaknya gue harus latih fisik, deh. Misalnya… olah raga sore di stadion kampus… Bisa kali, ya?”
“Gue temenin, mau?” tawar Boy tiba-tiba.
Caca melotot. “Serius? Lo mau nemenin?”
“Iya. Itung-itung, biar gue fit juga. Sekalian aja ajak anak-anak. Siapa tau mau ikutan.”
“Oke. Mulai kapan?”
Boy berpikir sejenak. “Besok?”
“Oke.”
“Gue jemput.”
“Siap. Makasih, Boy.”
Menurut Boy, seorang Caca bukan gadis manja. Justru, Caca gadis mandiri, cantik, dan pintar. Caca bisa tetap jadi gadis tegar, meski beribu masalah dalam keluarga sudah layak menghancurkannya.
Bukan memihak Caca, tapi itulah faktanya.
*
Sementara di sudut lain, dua manusia tengah duduk di sebuah kedai kopi. Berbincang tentang sesuatu yang baru saja mereka lakukan, namun menuai kecewa. Bukan, tenang ini bukan seserius itu. Ini tentang kisah Sherin yang tidak berhasil mendapat Surat Keterangan Sehat. Ya, karena memang ia tidak bisa dipaksa untuk sehat.
Angga menghela nafas, “Nggak apa-apa. Lo bisa naik gunung lain kali, Sher..”
“Emang… nggak bisa nekat, ya?” Tanya Sherin pelan. Jujur, ia sangat ingin naik Gunung, apalagi bersama para sahabatnya.
“Nggak, lah. Resiko, Sher. Lo nggak mau asma lo tiba-tiba kambuh, kan, waktu lagi pendakian?”
Sherin menunduk lemah. “Kenapa sih, dari milyaran umat manusia, asma bisa betah banget nemplok ke gue?”
“Mungkin karena lo cantik,” goda Angga, sambil tertawa.
“Nggak lucu, ah! Kalau pakai ukuran cantik, harusnya Caca yang kena!”
“Menurut gue, lo lebih menarik dari Caca, tau.”
“Gombal.”
Sherin senyum sendiri. Dosa, ia tau itu. Sherin sudah memiliki kekasih, namanya Marcell, tapi, kenapa Angga masih saja membuat jantungnya berdebar?
“Berarti, lebih baik gue nggak ikut ke Malang, Ngga.”
“Kenapa?”
Sherin memutar bola matanya. “Kan gue nggak bisa naik gunung!”
“Kan banyak objek lain selain gunung. Malang bagus, loh. Ada Jatim Park, Museum Angkut, terus… apalagi, ya? Banyak!”
“Gue ke Museum Angkut sendiri? Ogah. Mending gue di kos, lihat drama Koreaaa!”
Angga menggelengkan kepala. “Nggak sendiri.”
“Terus?”
“Sama gue.”
Deg.
“Maksudnya?”
Angga menyeduh kopinya. “Kita, keliling Malang.”
“Sama anak-anak?”
“Ya enggak, lah. Mereka biar aja naik Semeru.”
Sherin tergagap. “Lo… nggak mau ikut?”
“Udah pernah, Sher.. Jadi, gue biasa aja. Gue lebih penasaran ke Museum Angkut, yang katanya unik banget.”
Angga menambahkan lagi. “Gue juga nggak akan rela, ninggalin lo sendirian.”
Deg.
Sherin speechless beberapa saat. “Tapi… gue punya pacar, Ngga.”
“Terus, kenapa? Kan kita nggak selingkuh.” Angga tersenyum, “Lagian, gue tau apa yang terjadi antara lo sama Marcell. Gu—“
“Ssst,” potong Sherin. “Please, jangan bahas sekarang, ya?”
“Oke, oke. Sorry.”
“Jadi?” Tanya Sherin.
“Jadi, apanya?” Angga tak kalah bingung.
“Kita mau kemana aja di Malang? Ayo cepet googling, cari rekomendasi tempat wisata di Malang,” kata Sherin, dengan ceria.
Ia tau, petualangannya dengan Angga, akan jadi sebuah cerita. Atau bahkan, akan membuka kisah baru yang selalu takut tuk Sherin lalui.
Meski sejujurnya, Sherin sedikit was-was. Ia memang belum mencintai Angga, atau lebih tepatnya, berusaha untuk tak merasakan hal itu. Angga terlalu baik, dan kalimat itu adalah fakta, bukan klise belaka. Sherin nyaman. Namun rasa nyaman itu lah, yang membuat Sherin makin takut saja.
Ia takut, jika ia terlena pada kenyamanan yang Angga berikan. Dan ia takut, jika rasa nyaman itu bisa menyingkirkan rasa cintanya pada seorang Marcell.
"Lo sayang sama Marcell?"
Deg.
Pertanyaan Angga begitu sama dengan apa yang tengah Sherin pikirkan. Dan itu membuat lidah Sherin kaku tuk sekedar menjawab.
Jawabannya... Sherin pun tak tau. Setelah apa yang Marcell lakukan berulang kali, rasanya bohong jika Sherin berkata bahwa ia masih cinta. Justru segalanya berbalik dengan cepat. Rasa itu hilang musnah, namun Sherin tetap bersikukuh mempertahankan.
Sherin menarik nafas. "Sayang. Kan dia pacar gue," jawabnya, dengan susunan kalimat penuh kebohongan dan dusta.
Ini menarik sih.
Comment on chapter Pos Ketan Legenda, Saksi Hening MerekaSedikit saran, mungkin bisa ditambah deskripsinya. Jadi, biar pembaca lebih bisa membayangkan situasi yang terjadi di dalam cerita :D