Semenjak jalan-jalan di Myeong-dong hari itu, aku dan pemuda itu lebih sering bertemu selepas aku bekerja, atau tidak, menelepon hampir setiap malam. Ada banyak topik yang kami bicarakan lewat sambungan telepon, misalnya membicarakan tetangganya yang selalu meminta potongan harga bila berbelanja di toko buah dekat kompleknya hingga membuat kakeknya meniru kelakuan tetangganya itu, atau membicarakan tentang adik laki-lakiku yang tak pernah lepas dari fidget spinner di tangannya.
Namun, sudah tiga hari ini aku dan pemuda itu tak saling bertemu. Menelepon pun tidak. Terkadang kami hanya berhubungan lewat pesan singkat, itu pun aku dan ia membalas pesan dengan durasi yang lama. Hal itu dikarenakan pemuda itu yang harus segera menyelesaikan tugas akhir kuliahnya, begitu pula dengan aku yang sibuk bekerja ditambah beban pikiran bila mengingat angka di dalam tabung rekeningku yang semakin menyusut.
Aku pikir, setelah pergi ke Seoul dan mencari uang untuk kebutuhan hidupku sendiri, aku tak akan lagi masuk ke dalam permasalahan rumah tangganya orangtuaku. Ternyata, aku salah. Aku tetap tersangkut pada permasalahan rumah tangga orangtuaku, meskipun aku bisa dikatakan sebagai jalan keluar dari masalah mereka.
Pesan singkat kembali masuk, aku pun mengambil ponsel dengan malas di atas meja pendek. Aku tahu dari siapa pesan itu. Ibu.
Ibu: Sudahkah kau kirimkan uangnya, Yuna-ya?
Aku menghela napas panjang. Tadi pagi, sebelum bekerja, aku singgah ke bank sebentar hanya untuk mengirimkan uang dari rekeningku ke rekening milik Ibu.
Jadi, aku pun membalas pesan Ibu dengan kata, ‘Ya’. Tak lama, pesan dibalas Ibu.
Ibu: Gomawo, Yuna-ya. Ibu akan segera mengganti uangmu bila Ibu dan Ayah telah mendapatkan pekerjaan.
Memang benar, Ibu dan Ayah sedang tidak bekerja sekarang. Ibuku yang memang tidak bekerja sedari awal, katanya akan mencoba mencari pekerjaan. Sementara ayahku yang sebelumnya hanya seorang pekerja serabutan kini tak ada pekerjaan apa pun yang mampir padanya, sehingga ia harus mencari pekerjaan lain.
Selama Ibu berjanji akan mengganti uangku, aku tak pernah mendapati uangku kembali. Bukannya bermaksud apa, jika uang tabunganku masih utuh tanpa kutarik hanya untuk kepentingan orangtuaku, sekarang ini aku sudah bisa menyewa goshiwon yang agak lebih luas daripada goshiwon-ku ini, ditambah dapat mengganti ponselku yang sudah sejak zaman SMA ini dengan ponsel yang jauh lebih bagus. Tapi, aku tak butuh itu semua sekarang karena setidaknya aku masih bisa membeli makanan dan membayar sewa goshiwon setiap bulan. Yang kuinginkan sekarang hanyalah orangtuaku tak tergantung padaku lagi. Aku bahkan tak berharap uang itu dikembalikan.
Tak lama, pesan kembali masuk.
Ibu: Yuna-ya, Ibu tak memiliki maksud apa pun bila berbicara seperti ini, tapi bisakah kau mencari pekerjaan yang lebih bagus lagi dengan gaji yang jauh lebih baik?
Aku tahu. Sudah dua puluh kali Ibu mengirim pesan semacam itu sebelumnya.
Aku sendiri bingung, gajiku dari toko StarSing menurutku sudah sangat baik—yah, meskipun tak sebaik gaji pekerja kantoran dan PNS. Kerja seperti apa lagi yang harus kutekuni agar mendapatkan penghasilan yang lebih baik sementara aku sudah nyaman bekerja di StarSing?
Dengan perasaan berat, aku pun membalas pesan Ibu.
Aku: Ya, akan kucari nanti.
*
Kendati telah beberapa hari berlalu, perasaanku tetap terasa berat. Saat bekerja di StarSing dan berbincang-bincang bersama Minju pun begitu. Juga, saat aku sedang bersama Ahn Tae Young sekarang ini.
Tadi siang, ia sempat memberitahuku bahwa ia bisa menemuiku setelah aku bekerja. Katanya, tugas kuliahnya yang menggunung perlahan telah menyusut. Jadi, dibawanya aku ke sebuah kedai yang menjual ramyeon dan soju—sebenarnya ia ingin mengajakku jalan-jalan di sekitar Myeong-dong, namun keinginannya itu harus berganti karena hujan mendadak turun.
Padahal, bila bersama pemuda itu, perasaan berat semacam itu langsung membuyar dari dalam benakku sebelumnya. Tapi, sepertinya hari ini aku tak bisa menutupinya sehingga pemuda itu pun menyadarinya.
“Kau punya masalah, Han Yuna?” tanyanya.
Aku menarik sedikit sudut bibir, lalu menggeleng. “Tidak.” Sahutku. Aku pun menjatuhkan pandangan ke mangkuk berisi ramyeon.
“Tak seperti biasanya, kau tampak tak bersemangat…” Katanya, ia menyipitkan matanya, sedang menyelidiki raut wajahku. “Apa sebenarnya manajermu tak memberimu upah atas kerja kerasmu hari ini?”
“Tentu saja, tidak. Manajerku tak sejahat itu kok.” Ujarku, sembari terkekeh.
“Lalu, apa?” ia masih menatapku. Matanya bergerak-gerak, seakan sedang menelusuri setiap sudut mataku.
“Tidak ada apa-apa.”
Aku kembali lagi pada ramyeon-ku, namun dari sudut mataku tampak Ahn Tae Young masih menatapku, aku beralih dari ramyeon. Oh, dia benar-benar masih menatapku. Aku pun secepatnya menutup wajahku dengan tangan kiri agar Ahn Tae Young tak terus menatapku. Lagi pula rasanya aneh ditatap seperti itu, terlebih ditatap oleh pemuda tampan.
Alih-alih berhasil, aku malah menyerah. Ahn Tae Young masih saja menatapku, menungguku berbicara. Hal itu membuatku menghela napas panjang. Jadi kuturunkan tanganku dari wajah. Aku diam sejenak sebelum akhirnya bercerita.
“Akhir-akhir ini, Ibu lebih sering menyuruhku mencari pekerjaan yang lebih bagus lagi ketimbang menanyai kabarku.” Aku memulai. “Ayah dan Ibu tak ada pekerjaan untuk saat ini, sehingga mereka tak mendapatkan uang. Karena mereka membutuhkan uang untuk kelangsungan hidup mereka serta adik-adikku, jadilah penghasilanku beberapa bulan ini yang membantu kebutuhan hidup mereka.”
“Jadi, sekarang kau tulang punggung keluargamu?” tanya Ahn Tae Young.
Aku mengangkat bahu. “Tidak tahu. Ibu bilang, ia bersama Ayah sedang mencari pekerjaan. Bila telah dapat pekerjaan dan mempunyai uang lebih, ia akan mengganti uangku.”
Ahn Tae Young mengangguk pelan, tanda memahami ceritaku. “Kau akan berhenti bekerja di toko CD itu, lalu mencari pekerjaan baru?”
“Rencananya sih begitu. Tapi, sayang sekali rasanya meninggalkan StarSing. Aku senang bekerja di sana, meskipun upahnya tak seberapa. Atasanku amat baik, begitu juga dengan rekan-rekan kerjaku.”
“Dan ibumu tahu soal itu?”
Aku menggeleng. “Aku bahkan tak berani mengatakan hal semacam itu. Nantinya aku malah terkesan seperti anak yang tak tahu diri karena lebih mementingkan diri sendiri ketimbang orangtuanya.”
“Kau merasa terbebani, Yuna-ya?”
Aku tersenyum tipis. “Ya.” Sahutku.
Kenyataannya aku memang terbebani. Sangat, malah. Dan tak ada satu orang pun yang tahu, kecuali pemuda itu.
Saat aku menyadari kenyataanku dan mataku mendadak terasa panas, cepat-cepat aku mengambil kembali sumpit untuk mengaduk ramyeon. Aku melakukan itu sebagai pengalihan dari rasa sedih ini.
Tatkala aku sudah mengangkat mi di depan mulut, Ahn Tae Youn kembali membuka suara.
“Yuna-ya, bukankah kau hanya kurang terbuka saja pada orangtuamu?”
Aku pun mengangkat pandangan ke arahnya. Tanganku masih mengangkat mi dengan sumpit di depan wajahku. “Menurutmu begitu?”
Ia mengangguk. “Pernahkah kau mengatakan bahwa bekerja di toko CD itu lebih menyenangkan ketimbangkan bekerja di tempat lainnya pada orangtuamu?”
Seingatku, aku tak pernah mengatakan hal itu pada orangtuaku, terutama Ibu. Aku bahkan tak banyak bercerita tentang kehidupanku di Seoul kepada Ibu. Ibu pun pasti tak tahu bahwa aku lebih sering bergonta-ganti pekerjaan. Kuingat pun, sedari dulu, aku memang tak suka menceritkan apa pun kepada Ibu tentang masalah-masalahku, terlebih tentang perasaanku yang terkadang seperti roller coaster setiap waktunya.
Seakan sudah tahu jawabannya, Ahn Tae Young kembali membuka suara. “Coba saja berbicara kepada ibumu bahwa kau merasa terbebani selama ini. Bicarakan juga tentang pekerjaanmu itu, aku rasa ibumu akan mengerti.”
“Begitu?” aku meyakinkan.
Ia mengangkat bahu. “Tak ada orangtua yang senang menyusahi anaknya. Barangkali mereka berpikir bahwa kau selama ini merasa baik-baik saja setelah disusahi. Kupikir kau harus memberitahu itu, agar mereka mengerti. Namun, bila keadaan orangtuamu harus diselamatkan olehmu, tak ada salahnya mencoba bersikap lapang dada. Anggap saja sebagai bentuk kebaktianmu terhadap kedua orangtuamu.”
Setelah mendengar perkataannya tadi, mendadak beban yang berkumpul di dalam dadaku menyeruak keluar dari sana, bergantikan dengan perasaan lega. Aku pun bisa tersenyum dengan ringan. Begitu, ia ikut tersenyum.[]
i love rain too
Comment on chapter [2]