Malam itu, aku duduk di atas kasur sembari menghitung angka-angka yang semakin berkurang di dalam buku tabunganku. Kuingat-ingat, ke mana perginya angka-angka itu; dua minggu yang lalu sebagian tabunganku kuberikan kepada Ibu. Akhir-akhir ini tenaga kerja Ayah jarang terpakai sehingga tak banyak uang yang didapati setiap harinya, mau-tak-mau aku pun turut membantu kebutuhan mereka.
Aku menghela napas panjang, lalu berbaring di atas kasur. Rasanya ada sesuatu yang menumpuk di dadaku sehingga terasa sesak. Kedua bahuku pun rasanya seperti ditindih oleh beras karung. Aku terbebani.
Selama merasakan beban yang menindih jiwaku, ponselku bergetar. Dengan malas, aku meraba tanganku di samping kepala, lalu membaca sebuah pesan masuk. Sudut bibirku seketika tertarik saat tahu siapa si pengirim pesan tersebut.
Si Tampan Dari Gunpo: Kau sudah tidur?
Kuingat saat ia meminta nomor teleponku. Kuserahkan ponselku padanya agar ia dapat menyimpan nomor teleponnya di kontak ponselku, begitu sebaliknya. Di kontaknya, kuberi nama ‘Han Yuna’ pada nomor teleponku. Sewaktu kulihat nama pada nomor teleponnya di kontakku, aku tak menyangka ia akan mengetiknya dengan kata-kata ‘Si Tampan Dari Gunpo’. Agak narsis juga, pikirku. Tapi, toh, tak masalah. Pemuda itu memang Si Tampan yang berasal dari Gunpo.
Aku pun membalas pesannya. Perasaan terbebani kini telah berganti dengan perasaan gembira.
Aku: Belum. Kau?
Si Tampan Dari Gunpo: Aku juga. Boleh aku meneleponmu?
Aku: Boleh.
Baru sedetik pesanku terkirim, panggilan masuk dengan nama Si Tampan Dari Gumpo kini terpampang di layar ponsel. Cepat-cepat aku menekan ikon berwarna hijau, lalu menempelkan layar ponsel di telinga kiri. Kini, aku sudah duduk tegap di atas kasur.
[Halo… Yuna-ya….]
Bahkan dalam waktu setengah hari saja, ia telah berganti memanggilku dari ‘Yuna-ssi’ menjadi ‘Yuna-ya’. Diam-diam aku tersenyum.
“Ya, Ahn Tae Young-ah…”
Dari seberang sana, aku mendengar ia terkikik. [Mengapa kau belum tidur?]
“Belum bisa tidur. Kau sendiri?”
[Ini sudah pukul satu malam dan kau belum bisa tidur?] kagetnya. [Ada banyak tugas kuliah yang akan dikumpulkan besok, maka dari itu aku belum bisa tidur… lebih tepatnya belum boleh tidur.]
“Yah, ada hari di mana aku susah tidur.” Aku pun terkekeh. “Dan kau meneleponku di saat kau sedang mengerjakan tugas kuliahmu? Bukankah itu sama saja dengan kau membuat waktu tidurmu semakin berkurang. Kau seharusnya mengerjekan tugas kuliahmu ketimbang meneleponku.”
[Apa yang kau lakukan sekarang?] tanyanya. [Aku butuh semacam hiburan atau penyemangat agar aku bisa mengerjakan tugas kuliah dengan lancar. Sekarang aku tak bisa memikirkan apa-apa.]
“Aku hanya termenung saja.” Aku menyipitkan mata, meskipun aku tahu ia tak bisa melihatku. “Jadi, kau butuh aku sebagai hiburan atau penyemangatmu agar kau bisa mengerjakan tugas kuliahmu dengan lancar, begitu?”
Di seberang sana kudengar ia terkikik lagi. Lalu bergumam, [Mengapa sih kau termenung di jam segini.] Ia pun menjawab pertanyaanku. [Kurang lebih begitu.]
“Memangnya kau ingin aku melakukan apa… Oh, asalkan jangan yang aneh-aneh, ya.”
Ia lagi-lagi terkikik. [Memangnya aku terdengar seperti ingin meminta yang aneh-aneh?]
Aku mengangkat bahu. “Ya, seperti itu.”
Kini, ia terkekeh. [Aku ingin mendengar nyanyianmu.]
“Oh, ayolah. Jangan yang satu itu.”
[Lalu, apa?]
Aku terdiam sejenak, “Memberimu semangat dengan menyerukan ‘Fighting’, barangkali.”
Dan aku selalu mendapatkan responnya dengan tertawa. [Itu pun kakekku bisa melakukannya. Kecuali kalau kau menari-nari ala cheerleader dengan membawa pom-pom di kedua tanganmu, itu boleh juga.]
Sekarang, malah aku yang tertawa. “Aku tak bisa melakukan itu.”
[Kalau begitu, menyanyilah untukku.]
“Aku bisa mengganggu tetangga bila bernyanyi.”
[Memangnya kau selalu menyanyi dengan suara keras?]
“Tidak juga… Hanya… sudah kukatakan tadi, kalau aku bernyanyi hanya di kamar mandi saja.”
[Astaga… Mengapa harus di kamar mandi?]
“Karena bila aku berada di kamar mandi dan bernyanyi di sana, nyanyianku akan terdengar seperti nyanyian Beyonce.”
Ia tertawa. [Bila aku bernyanyi di kamar mandi, nyanyianku akan terdengar seperti nyanyian Michael Jackson, begitu?]
Aku terbahak. “Mana aku tahu.”
[Ya sudah, aku akan menunggumu bernyanyi sampai kau masuk ke dalam kamar mandi.]
“Aku sedang tidak ingin ke kamar mandi sekarang.”
[Besok pagi, saat kau akan pergi mandi. Aku akan meneleponmu kembali.]
Aku terkekeh. “Memangnya kau tahu jam berapa aku akan pergi mandi?”
[Maka dari itu, kau harus memberitahuku… Entah kenapa aku terdengar seperti om-om mesum… Tapi, kau bisa bernyanyi sebelum kau benar-benar mandi.]
“Lalu, bila kuberitahu, kau akan bergadang sembari membiarkan tugas-tugas kuliahmu terbengkalai karena kau menungguku mandi pagi, begitu?”
[Aku akan menyelesaikan tugas kuliahku lebih cepat, lalu tidur. Kan, aku sudah kembali bersemangat karena menunggu kau akan menyanyikanku sebuah lagi pagi nanti.]
“Baiklah, baiklah. Pukul tujuh.” Kataku.
[Aku harus menyetel alarm pukul tujuh pagi.]
Aku tertawa mendengarnya.
[Aku pikir kau harus segera tidur, karena besok kau akan bernyanyi untukku.] Ujarnya, sebelum memutuskan telepon. [Good bam, Yuna-ya.]
Aku tak bisa berhenti tersenyum. “Ya, good bam.”[]
i love rain too
Comment on chapter [2]