Jadi, aku bangun lima belas menit sebelum pukul tujuh pagi. Aku duduk di atas tempat tidur sembari mengumpulkan nyawa yang melayang-layang. Lalu, memeriksa ponsel dan menunggu angka enam berganti dengan angka tujuh. Begitu, layar ponselku menampilkan panggilan masuk tepat pukul tujuh. Senyumku seketika mencekah. Cepat-cepat aku menuju kamar mandi sebelum menekan ikon hijau di layar, lalu menempelkannya di telinga kiri.
‘Hei… Yuna…’ suaranya terdengar seperti khas orang baru bangun tidur.
Aku sejenak tertawa di dalam hati. Agaknya ia meneleponku setelah alarmnya berbunyi.
“Ya. Bukankah kau masih mengantuk, Tae Young?”
Aku bisa mendengar suara embusan napasnya di sana, lalu kekehan yang agak lemah. ‘Aku ingin mendengar suaramu sekarang agar aku tak mengantuk lagi.’
“Bukankah karena mendengar nyanyian seseorang, kau bisa semakin mengantuk?”
‘Tidak, kalau itu kau.’ Sahutnya di seberang sana. ‘Ayo, nyanyikan satu lagu untukku.’
Aku tersenyum kecil, lalu menyandarkan bokong di tepian wastafel. “Kau ingin aku menyanyikan lagu apa?”
‘Apa ya…’ Ia pun diam sejenak, sedang berpikir. ‘Lagu milik Heize, mungkin. Kalau kau tahu… Yang judulnya Don’t Know You.’
“Beruntung sekali, itu lagu yang sering kunyanyikan.”
‘Benarkah? Kalau begitu, aku ingin mendengarnya.’
Jadi, aku pun mulai menyanyikan lagu Don’t Know You milik Heize. Selama aku menyanyi, Ahn Tae Young sama sekali tak bersuara. Aku curiga ia kembali tertidur.
“Ahn Tae Young, kau tertidur?” aku menghentikan nyanyianku.
‘Tidak kok.’ Suaranya masih terdengar lemah. ‘Aku mendengarkannya.’
“Kalau begitu, berjanjilah untuk tidak tertidur.”
‘Iya, iya.’
Begitu, aku kembali menyanyikan lagu itu. Saat dibagian rap, suaraku sengaja kutekan agar Ahn Tae Young tak benar-benar tertidur. Hal itu pun berhasil, kudengar ia terkekeh.
‘Oke. Oke. Nyanyian rap-mu bagus.’ Komentarnya. Aku malah berhenti sejenak hanya untuk tertawa.
Usai lagu itu kunyanyikan, seketika hening di seberang sana. Aku bertanya-tanya, mengapa ia tak berkomentar lagi… Tapi aku malah mendengar deruan napas yang tak asing lagi di telingaku. Suara dengkuran.
Astaga, pemuda itu tertidur?!
Aku mendengus sebal, lalu ingin meneriaki namanya. Namun, niatku itu segera kuurungkan saat suara dengkurannya menjadi-jadi terdengar dari ponselku. Barangkali sebenarnya ia bergadang semalaman, tadi malam ia bilang banyak tugas kuliah yang harus ia selesaikan dan akan dikumpulkan hari ini. Jadi, aku terdiam, masih mendengarkan dengkurannya. Perutku terasa geli. Dalam diam, aku tertawa.
Setelah puas mendengar dengkurannya, kuturunkan ponselku dari telinga. Ikon berwarna merah di layar ponsel, kugeser.
*
Saat jam istirahat kerja berlangsung, tak biasanya Minju hanya ingin makan siang di ruang karyawan saja. Dia bahkan telah memesan jjajangmyeon melalui deliveryman. Padahal, ia hampir-hampir selalu mengajakku makan di luar toko StarSing. Kini, aku dan Minju duduk berhadapan, ada meja persegi empat di antara kami. Kai, seperti biasanya, akan menjaga kasir bila kami sedang makan siang—ia sendiri sudah lebih dulu mengambil jam makan siang daripada kami.
Bila bersama gadis berwajah bulat ini, ia tak akan pernah berhenti berkata-kata. Pembicaraan pun bermacam-macam; mulai dari menguak fakta betapa tampannya para idolanya yang berasal dari grup idola bernama BTS, hingga teman-teman kencannya yang terkadang agak menyebalkan. Soal pemuda, Minju memang agak pemilih. Maka dari itu ia seringkali mengikuti kencan buta, mencari pemuda-pemuda yang barangkali cocok dengannya. Namun, sampai sekarang, aku tak pernah melihatnya menjalin hubungan dengan seorang pemuda hingga berumur satu bulan.
Di sela-sela pembicaraan tentang teman kencannya yang kelewat kaku saat mereka pergi kencan kemarin, ponselku yang berada di atas meja bergetar. Minju masih belum menghentikan pembicaraannya, sementara aku meletakkan sumpit di samping piring. Kuangkat ponsel tersebut, ada pesan masuk dari Si Tampan Dari Gumpo.
Si Tampan Dari Gumpo: Hei, maaf aku tertidur tadi pagi.
Aku pun mengetik pesan, ‘Ya’, lalu kukirim. Telingaku masih menangkap kisah kencan milik Minju yang menurutnya menyebalkan. Pesanku cepat terbalas dengan waktu tak sampai setengah menit.
Si Tampan Dari Gumpo: Aku tak melihatmu. Aku pikir, kau akan istirahat kerja di sini. Sekarang, aku berada di toko kopi… sendirian.
Aku: Temanku sedang tak ingin ke sana.
Si Tampan Dari Gumpo: Kau marah?
Aku: Mengapa aku harus marah….
Aku diam sejenak, pesan belum kukirim. Mendadak terlintas ide ingin menjahilinya. Aku pun jadi ingin tahu rasanya merajuk di depan seorang pemuda.
Jadi, kuhapus isi pesan tadi, lalu kuganti dengan kata, ‘Ya’. Pesan pun kukirim. Sembari terkikik-kikik di dalam hati, kuletakkan kembali ponsel di samping piringku. Aku kembali menyumpit jjajangmyeon, serta mendengar curahan hati Minju.
Belum lama kubiarkan ponselku tergeletak di sana, benda itu berdering sehingga Minju mendadak menghentikan mulutnya. Aku malah terkaget.
“Eonni, seseorang meneleponmu… Si Tampan Dari Gumpo?” kata Minju sewaktu ia mencondongkan tubuhnya ke depan hanya untuk melihat nama si pemanggil di layar ponsel.
Cepat-cepat aku mengangkat ponsel. Pemuda itu ternyata yang meneleponku. Aku menahan tawa. Pasti ia merasa bersalah… Ya ampun, aku jahat sekali. Tapi aku malah menikmatinya. Karena aku masih ingin melanjutkan aksi merajuk, dan ingin cepat menghabiskan jjajangmyeon-ku, kugeser ikon berwarna merah, lalu kumatikan ponselku.
Saat kuletakkan kembali ponselku di atas meja, Minju pun membuka suara.
“Si Tampan Dari Gumpo itu, siapa?” ia tampak penasaran.
Aku mengangkat bahu. “Entahlah, aku juga tidak tahu.”
Minju malah tersenyum curiga. “Itu pasti teman kencan Eonni, kan?”
Aku menggeleng. Di dalam hati berharap begitu.[]
i love rain too
Comment on chapter [2]