“Yang tadi itu…” ia berhenti sejenak, mengusap tengkuknya, “aku tak bermaksud menggodamu atau semacamnya… Yah, meskipun itu terdengar seperti menggodamu.”
Aku tersenyum. “Tak apa-apa. Meksipun itu memang terdengar seperti menggodaiku.”
Kami berdua pun tertawa.
Langkahku terasa berat saat menuju kereta bawah tanah, begitu pula dengan perasaanku. Entah kenapa, rasanya terlalu cepat mengakhiri bertualangan kami mencari piringan hitam di Itaewon-dong hari ini. Dan aku masih ingin terus bertualang bersamanya.
“Kau akan langsung pulang ke goshiwon-mu?” tanyanya, sewaktu kami menunggu kereta datang di peron.
“Ya.” Sahutku, meskipun sebenarnya aku masih ingin tinggal di stasiun ini.
Ia hanya diam saja hingga kereta datang.
Sepasang pintu gerbong di hadapan kami terbuka lebar, aku lebih dulu masuk ke dalam gerbong sebelum ia. Aku meliriknya sesaat; ia ikut duduk di sampingku, pandangannya terlontar ke luar jendela gerbong, gerak matanya tampak tak tenang, keningnya yang berkerut-kerut pun ikut-ikutan tak tenang, seakan-akan sedang menunjukkan ada pergulatan pikiran di dalam kepalanya.
“Ada apa?” tanyaku, karena penasaran—sekaligus tak tega menatap wajah menawannya yang mendadak gelisah. “Kau takut kakekmu tak menerima piringan hitam itu?”
Kini kereta telah bergerak.
Ia menolehku, lalu tersenyum tipis. “Bukan.” Ujarnya, terdengar agak tenang.
“Lalu, apa?”
Ia diam sejenak, menatapku agak lama. “Hanya, aku berpikir bukankah terlalu cepat untuk...” Ia mendadak terdiam, menggantungkan kata-katanya.
“Apa kita memikirkan hal yang sama?” ucapku.
“Memangnya apa yang kau pikirkan?” ia mengembangkan senyum.
Sekarang malah aku yang mendadak terdiam. Kualihkan padanganku ke depan, mencoba menghindarinya. Dari sudut mataku ia masih menatapku dengan rasa ingin tahu.
“Hei, Han Yuna, beritahu aku. Apa yang kaupikirkan?” godanya.
“Aku tidak memikirkan apa-apa.” Ujarku, masih tak mau menatapnya.
Kudengar ia terkekeh sebelum akhirnya menyandarkan punggung ke sandaran bangku. Kedua tangannya yang terlipat, ia letakkan di depan dada.
“Kau lucu.” Katanya, diselingi dengan tawa ringan.
Aku mencoba untuk tak mendengarkannya, meskipun aku sudah terlanjur mendengarkannya hingga membuat pipiku seakan terpanggang.
Beberapa saat kemudian, kereta berhenti untuk pertama kalinya di Stasiun Gongdeok. Pemuda itu pun mengangkat pinggang. Ia menatapku sejenak sembari tersenyum, sementara aku masih duduk di tempat. Perlu beberapa kali lagi kereta berhenti sebelum aku turun dan pulang ke goshiwon-ku.
Pemuda itu belum lagi beranjak dari tempat. Entah apa maunya, barangkali ia ingin aku mengucapkan kata ‘sampai bertemu lagi’, jadi aku mengangkat tangan hingga ke dada, lalu melambai secara canggung.
“Sampai bertemu lagi…”
Ia mengernyitkan kening. “Mengapa kau mengucapkan itu, seakan-akan kita hendak berpisah? Bukankah pikiran kita tadi sama?”
Aku menatapnya tak percaya.
Ia terkekeh sejenak, lalu tersenyum. “Ayo, kita menemui kakekku.” Ajaknya
Dan aku tak tahu lagi mau bereaksi seperti apa selain mengekorinya dengan perasaan tak terkira.[]
i love rain too
Comment on chapter [2]