Kuceritakan padanya tentangku: aku yang tamat SMA sudah tiga tahun yang lalu; aku yang lahir di kota Goyang dan meninggalkan kota itu beserta keluargaku karena pernah bermimpi ingin tinggal di Seoul; aku yang sekarang tinggal di goshiwon di daerah Mapo-gu; dan aku yang berada di Seoul selama tiga tahun ini telah mengenyami banyak pekerjaan, seperti menjadi pelayan di restoran, karyawati di binatu, penjaga kasir di 7-Eleven, petugas delivery makanan di Pizza Hut, penjual karcis di bioskop, dan terakhir menjadi karyawati di StarSing hingga sekarang.
Ia tersenyum kecil usai mendengar ceritaku. “Kau gadis pekerja keras ternyata.” Pujinya.
Aku hanya mengangkat bahu. “Hidup menuntutku harus menjadi pekerja keras.”
“Mengapa tak berkuliah?” tanyanya. “Saat pertama kali melihatmu, aku pikir kau seorang mahasiswi yang sedang bekerja paruh waktu.”
Aku tak punya alasan lain tentang aku yang tak pernah pergi berkuliah; aku tak punya biaya.
Aku bukanlah dari keluarga yang memiliki perekonomian yang stabil. Ayahku hanyalah seorang pekerja serabutan, sementara ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga yang mengurus ketiga anaknya. Saat memulai kehidupan SMA, aku telah menyadari kesusahan yang keluargaku alami. Semenjak itu, aku tak pernah memiliki ambisi untuk pergi berkuliah. Meski guruku pernah berkata bahwa banyak universitas menerima murid berprestasi tanpa menerima bayaran, toh aku bukanlah murid berprestasi, dan pasti pun akan kalah saing dengan murid-murid lainnya yang terus meningkatkan prestasinya lewat bimbingan belajar yang berbayar mahal. Sementara aku tak akan pernah bisa mengikuti bimbingan belajar semacam itu.
“Aku lebih suka bekerja ketimbang belajar.” Jawabku.
“Itu cukup masuk akal.” Komentarnya.
“Bagaimana dengan kau?” tanyaku. Sekarang akulah yang menuntut kisah tentang dirinya.
Ia menarik napas pendek tanpa senyum yang luntur di wajahnya, lalu berpikir sejenak, seakan sedang mengingat-ingat kejadian-kejadian yang telah ia lewati selama ia hidup.
“Aku lulus SMA empat tahun yang lalu, dan itu berarti aku lebih tua darimu,” katanya, memulai.
“Umur kita hanya berbeda satu tahun.” Komentarku sembari tertawa.
Ia hanya tersenyum. “Aku asli orang Gunpo dan hampir semua keluargaku tinggal di sana. Keberadaanku di Seoul sekarang ini karena sedang melanjutkan pendidikan, aku pun tinggal bersama ayah dari sebelah ibuku. Kakekku itu asli orang Seoul.”
Sejenak ia mengusap tengkuknya—itu kebiasaannya.
“Aku berkuliah di Hankuk Universitas, jurusan Politik. Tahun ini adalah tahun terakhirku berkuliah… Tak banyak yang aku lakukan selama ini di Seoul selain berkuliah dan magang… Oh, yah. Pernah sekali aku bekerja paruh waktu, menjadi karyawan di toko yang menjual video game.”
Aku masih setia mendengarkannya sembari menyesap caffè macchiato-ku. Tanpa sadar aku tersenyum.
“Karena aku menyukai game, maka dari itu aku melamar kerja di sana.” Ia melanjutkan. “Namun, setelah Kakek tahu aku sering pulang larut karena bekerja, ia menyuruhku untuk berhenti. Kakek bilang, aku lebih baik memikirkan kuliahku ketimbang bekerja. Orangtuaku mengirimku ke Seoul untuk berkuliah, bukannya mencari uang, omelnya. Begitu, aku tak pernah lagi berpikir untuk mencari pekerjaan sebelum kuliahku selesai.”
“Itu karena kakekmu mengkhawatirkanmu.” Komentarku.
“Yah, begitulah.” Katanya.
Tanpa sengaja pandangannya terlontar ke luar jendela.
“Sepertinya hujan telah reda.”
Aku ikut menoleh ke luar jendela. Benar katanya, hujan telah reda.
“Ayo kita pergi ke Itaewon-dong.”
Kami pun segera mengangkat pinggang. Saat mengekorinya, bersamaan dengan menatap punggungnya yang kokoh, benakku masih diselimuti rasa penasaran akan dirinya.[]
i love rain too
Comment on chapter [2]