Minju—teman kerjaku yang teramat manis—membawaku ke sebuah toko kopi yang letaknya tak jauh dari bangunan StarSing berdiri. Toko itu lumayan ramai pengunjung, terlebih saat jam istirahat—ditambah hujan yang kembali membasahi permukaan bumi.
Sementara Minju ikut mengantre di konter, aku mencari tempat duduk yang belum terisi. Beruntunglah ada satu tempat duduk untuk dua orang yang tak seorang pun mengisinya. Aku pun menghampiri kursi bersofa yang menempel di jendela toko itu. Sembari menunggu Minju datang bersama pesanan, aku duduk di sana, menatap luar jendela toko yang basah akibat tempias hujan.
Lagu Summer Night You And I milik Standing Egg yang sebelumnya menguasai seluruh udara di toko ini, kini berganti dengan lagu Caffé Latte milik Urban Zakapa. Bertepatan dengan itu, seseorang menyebutkan namaku. Aku pun mengalihkan pandangan dari jendela toko dan menatap seorang pemuda yang sudah lima hari ini tak kutemui. Ia tertunduk sesaat, menatapku lekat-lekat, sebelum akhirnya ia tersenyum dan duduk di hadapanku.
“Kau tidak bekerja?”
Pemuda itu tak lagi memakai kemeja kotak-kotak berwarna merah-hitam yang terakhir kali kulihat. Ia mengenakan long sleeve berwarna abu-abu. Tas punggung hitamnya masih setia melekat di punggungnya.
“Sedang jam istirahat.” Jawabku.
Ia membulatkan mulutnya, lalu mengusap tengkuk—yang kusebut sebagai salah satu kebiasaannya.
“Kau?” aku bertanya balik.
“Aku belum bekerja.”
“Maksudku, apa yang kau lakukan di sini? Kau tak punya kegiatan apa pun sebelumya?” aku pun membenarkan pertanyaanku tadi.
“Aku berkuliah. Dan hari ini masuk siang.” Jawabnya. “Jadi, sebelum memulai perkuliahan, aku singgah sebentar di sini.”
Oh, begitu rupanya.
“Hei, kau mau tahu?”
Aku sekilas melirik ke belakang bahunya, memastikan Minju masih mengantre di konter. Antrean masih panjang ternyata! Aku pun memusatkan perhatian padanya.
“Soal CD Chick Corea itu… Kakekku sama sekali tak menyentuhnya.”
“Eh? Memangnya kenapa?”
Ia mengangkat bahu. “Kakek memang berterima kasih padaku soal CD itu, tapi ia sama sekali tak memutarnya. Ia pun tetap termenung menatap pekarangan belakang rumah bersama kesunyian. Saat kutanya, mengapa ia tak mau memutar CD itu, ia sempat berkilah tentang ia yang tak tahu cara memakai pemutar CD, sebelum akhirnya ia mengaku bahwa ia masih menginginkan piringan hitam itu.”
Pemuda itu mengembuskan napas putus asa.
Seandainya aku tahu di mana piringan hitam itu dijual, aku pasti sudah membantunya.
“Mengapa tak cari di toko online saja?” komentarku.
Ia kembali mengembuskan napas pendek. “Sudah kucari dan tak ketemu.”
Sejenak kami terdiam, lantunan lagu dari Urban Zakapa masih mengudara di toko ini.
“Omong-omong, kau bekerja di toko CD.” Katanya kemudian. “Apa kau bisa membantuku? Seperti mencari informasi tentang tempat yang menjual piringan hitam itu pada rekan-rekan kerjamu, atau mungkin atasanmu.”
Karena sudah sejak awal aku ingin membantunya, tak ada alasan untuk menolak permintaannya.
Usai aku mengangguk, senyum pemuda itu seketika mencekah. Seakan mengingat sesuatu, ia segera mengangkat tangan kirinya, menarik lengan bajunya, dan menatap sesuatu yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Aku harus segera pergi. Perkuliahanku ternyata sudah dimulai!” serunya. Dengan terburu-buru ia mengangkat pinggang.
Sewaktu ia meninggalkan toko, barulah kuingat satu pertanyaan yang tak pernah kusampaikan padanya.
Namanya.[]
i love rain too
Comment on chapter [2]