Saat kami sedang berkemas-kemas untuk menutup toko, kutanyai tentang piringan hitam itu kepada Minju.
“Piringan hitam?” Minju mengulangi perkataanku. “Memangnya Eonni punya phonograph?”
Aku menggeleng.
“Lalu? Mengapa Eonni mencari piringan hitam?” tanyanya lagi.
“Seseorang membutuhkannya.” Jawabku. Sebelum ia memberondongiku dengan ribuan pertanyaan, cepat-cepat aku berucap. “Kau tahu di mana tempat piringan hitam dijual?”
Ia memutarkan bola matanya, tampak sedang berpikir. Tak lama ia menatapku dengan wajah serius. Aku menanti-nantikan setiap kata yang keluar dari bibir mungilnya.
“Sayangnya, aku tak pernah tahu toko mana yang menjual piringan hitam.” Katanya kemudian, ia tersenyum polos.
Aku mengembuskan napas kecewa sekaligus sebal.
“Beruntungnya, aku pernah mendengar Kai Oppa membeli phonograph dan mengoleksi piringan hitam di rumahnya.”
Seketika aku langsung bersemangat. Minju pun menyandarkan ganggang pengepel di meja konter, lalu berteriak memanggil Kai yang sedang merapikan CD-CD di rak khusus musik indie.
Dari ujung pandanganku, tampak Kai langsung menghentikan pekerjaannya. Ia menoleh ke arah kami dengan masing-masing tangan memegang sebuah CD. Ia menatap kami dengan raut wajah bertanya. Setelah diminta Minju untuk menghampiri kami, ia pun mendekat.
“Kai, Minju bilang, kau pernah membeli phonograph dan mengoleksi piringan hitam di rumah?” ujarku pada Kai, memastikannya.
Pemuda tampan berwajah lonjong—yang selalu kusayangi mengapa ia tak menjadi idol saja ketimbang menjadi karyawan di sebuah toko CD—itu mengangguk. “Sampai sekarang aku masih mendengarkan musik lewat phonograph.”
“Kau tahu di mana piringan hitam itu dijual?”
Sekali lagi ia mengangguk. “Ada di sekitar Itaewon-dong…”
*
Lima hari setelah aku tahu di mana piringan hitam itu dijual, pemuda itu tak lagi muncul. Padahal aku selalu datang ke toko kopi tempat kami bertemu untuk ketiga kalinya saat jam istirahat kerja. Aku juga menunggu kedatangannya di toko maupun halte bus. Nyatanya sampai toko tutup dan bus terakhir menjemputku, pemuda itu tak menampakkan batang hidungnya.
Aku agak menyesal karena tak pernah menanyai nomor teleponnya, terutama namanya.
Karena itu, aku pun hampir melupakan permintaannya itu. Sebelum akhirnya hujan kembali turun di sore hari bersamaan dengan suara sepasang pintu kaca yang didorong oleh seseorang.[]
i love rain too
Comment on chapter [2]