Pukul lima sore, di awal bulan Juli. Langit yang mulanya cerah perlahan mendung. Seakan tak sanggup menahan sedih, langit sekejap menumpahkan tetesan air laut. Tak ayal orang-orang yang sedang berjalan santai di sekitar Myeong-dong segera berlarian mencari tempat perlindungan dari gempuran air hujan.
Aku menghela napas, memandang tirai hujan dan orang-orang yang kini berdiri di balik jendela toko. Kanopi yang terbentang di depan toko telah menyelamatkan mereka dari gempuran air hujan. Mereka tampak lega, aku sebaliknya. Karyawan-karyawan yang bekerja di toko baju di seberang toko ini pun pasti merasakan hal yang sama denganku.
Sebagian mereka, mungkin akan tetap tinggal di depan toko. Atau tidak, beberapa dari mereka berjalan ke pinggiran trotoar yang terlindungi oleh kanopi milik toko-toko untuk pergi ke minimarket yang menjual payung. Nah, sebagian lainnya terkadang masuk ke dalam toko. Tak bermaksud membeli sebuah CD, mereka hanya berseliweran di sekitar rak-rak CD, lalu melihat-lihat cover CD yang sepintas menarik perhatian mereka.
Tapi, kuingatkan sekali lagi, mereka tidak membeli! Masuk ke toko kami hanya untuk mengisi waktu luang mereka karena menunggu hujan yang tak tahu kapan berakhir.
Teman kerjaku, Park Yewon—yang sesungguhnya lebih senang disapa Minju—memberengut di seberangku, dagunya bersandar di puncak ganggang pengepel. Matanya menatap kesal jejak-jejak alas kaki nan basah di lantai.
Aku tahu permasalahan yang dihadapi Minju. Sama halnya denganku yang sejak tadi tak henti-hentinya menyusun CD-CD yang tak sesuai tempatnya.
Orang-orang yang bosan menunggu hujan inilah penyebabnya!
Padahal Minju baru saja selesai mengepel lantai lima menit sebelum hujan turun, begitu juga denganku yang telah meletakkan CD-CD di tempatnya. Namun, apa daya, pengunjung malah ramai di saat kami harus segera merapikan dan membersihkan toko ini. Sebab pemilik toko akan segera datang. Beliau tak senang bila tokonya seperti tak terurus.
Minju mengangkat kepala, menatapku. Bibirnya masih memberengut. Aku menghentikan kegiatanku.
“Apa aku harus mengepel dari awal lagi?” tanyanya kepadaku, yang terdengar seperti mengeluh.
Aku mengangkat bahu. “Ya, sebelum kau diomeli Pak Lee Jae Wan.”
Gadis berwajah bulat itu memutarkan bola matanya, ia tampak sebal. Seraya meninggalkan tempatnya berpijak, ia menghela napas. Aku terkekeh melihatnya kembali mengepel lantai di ujung ruangan, tempat awal ia memulai kegiatan tersebut.
Tatkala aku kembali dengan kegiataanku, kudengar pintu toko didorong kuat oleh seseorang. Aku mengangkat pandangan ke arah sepasang pintu kaca. Satu pintu itu telah terbuka lebar, sehingga menampakkan sosok jangkung dengan tubuh yang agak basah.
Pemuda itu terengah-engah, agaknya sehabis berlari. Sembari menutup kembali pintu, rambut kecokelatannya yang basah ia sugar. Tak lupa ia menyeka wajahnya yang basah akibat tempias hujan.
Begitu, saat matanya yang tajam menyapu ruangan, tatapan kami bertemu.
Sudut bibirnya perlahan tertarik secara polos. Dan bak mentari pagi, kendati silau, aku malah terbelenggu menatap senyumnya.[]
i love rain too
Comment on chapter [2]