Read More >>"> SATU FRASA (Kebanggan Semu) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - SATU FRASA
MENU 0
About Us  

 

Bagi Juwi, minggu ini mungkin menjadi pekan tersibuknya. Entah bagaimana cerita bermula, semesta seolah bersekongkol membuatnya kalang kabut hingga gelundungan.

Ujian Tengah Semester lengkap dengan OSCE sudah mewarnai hari-hari manjanya mulai Senin kemarin. Mwodar! Otak Juwi sudah mengepul mengeluarkan asap saja kalau begini.

Eits, itu istilahnya masih open gates, belum aja ke belakang bakal nemu wahana yang lebih seru.

Yes, UTS nyambi GR untuk Java Grand Prix Festival yang akan dihelat Sabtu malam besok.

Jadi ceritanya saat ini, Juwi lagi menyempatkan isi bensin di kantin FK. Selalu dengan stomachte-nya si Ayunda, yang kini juga lagi menikmati satu mangkuk mie ayam dan segelas es blewah. Kenapa disebut stomachte, itu karena mereka mengklaim bahwa mereka menjadi soulmate hanya ketika urusan perut telah tiba. Cocok banget kalau lagi kulineran, mulai incip-incip makanan kaki lima hingga restoren Miceline, dua cewek setengah genap ini hampir hapal sempurna.

Bahkan mereka sedang mencanangkan proyek tentang foodreview yang bakal diunggah di Yutub gitu.

"Gila laper banget gue. Apa tiap ujian Farmako selalu menghasilkan efek kliyengan ya? Kek ngedrugs gitu," celoteh Juwi sambil menyangga kepalanya dengan sebelah tangan sementara tangan satunya aktif menjejalkan makanan ke mulut.

"Tele omongan lo, Wi. Nggak usah bahas ujian di meja makan. Jadi pengen nambah ini." Ayunda menimpali dengan ekspresi datar tetap fokus pada mangkuk mie ayamnya.

"Ye dugong! Gue kira jadi eneg."

"Kagak ada makanan eneg di dunia ini Armando. Percaya itu," balas Ayunda mulai drama.

"Aku percaya, Esmeralda, asalkan lontong soto gue kali ini lo bayar ya, honey." Juwi nggak ingin kalah, alih-alih mau membayar ke ibu kantin, Juwi malah minta tambah es blewah satu gelas.

"Moh! Enak aja. Bokap punya sawah gedenya se kelurahan kerjaan makan minta bayarin. Diketawakin dakocan, Wi." Ayunda gregetan, punya teman agak-agak seperti Juwi memang kudu sabar.

"Ah udahlah, makin nggak penuh nih otak aing kebanyakan bergumul sama elo," oceh Juwi sambil mengelutuk es tube yang tersisa di gelasnya.

"Bergumul bahasa lo gugug! Geli gue."

Juwi tak menggubris Ayunda, ia masih asyik dengan sisa es batu yang masih ada satu tube utuh. Ia berusaha mengambil dengan sedotan tapi selalu merusut. Alhasil tangan pun beraksi, tidak ada ceritanya higienitas dan konsep sterilisasi. Hap! Dapat, langsung klutuk... es batu itu pun sudah ia kremus dengan selamat.

"Tadaaaa, habis makan terbitlah ngantuk. Hoaam... Ya Allah makasih lho masih bisa makan Juwi mah. Allah baik banget dah."

Ayunda geleng-geleng lihat tingkah sableng Juwi. "Lo bukannya ada latihan?"

Juwi terbelalak. "Matek! Kok lo nggak ingetin dari tadi sih, Nyun! Jadi santapan Miss Evelyn lagi ini mah." Ia buru-buru membereskan tasnya dan bersiap pergi.

"Masih untung gue ingetin sekarang curut. Udah sanaan lo!

Sambil menyeruput es blewah milik Ayunda, Juwi langsung tancap, ngacir lari ke ruang Auditorium di lantai lima. Mana lift masih di atas, lama banget sampai ke lantai dasar seolah semua itu lagi barengan mengerjainya.

Dengan napas satu dua persis ikan cupang tergelepar di darat, Juwi sampai di ruang Auditorium. Lengkap! Semua member MedChoir sudah hadir di sana.

"Doremi... mifasol... lasido...." terdengar suara mereka sedang melakukan pemanasan.

Sebenernya pemanasan sebelum choir itu banyak banget caranya. Beberapa dari mereka ada yang lagi latihan pernafasan menggunakan otot diafragma. Satu dua lainnya sedang mencoba staccato, falsetto, sekadar bersenandung dengan gumamam, mendesis seperti ular, bahkan ada yang pakai metode menguap.

Miss Evelyn sebagai coach tentu saja sudah mentereng sambil bersendekap memerhatikan para anak didiknya.

Sementara Juwi, datang tanpa dosa begitu saja.

"Miss... maaf saya telat," ucapnya takut-takut.

Tentu saja Miss Evelyn langsung memutar arah ke sumber suara.

Dengan kedua tangan masih di depan dada. Serta pandangan yang tentu saja mematikan. Maut!

Singa lapar siap menerkam mangsa yang tersaji menggiurkan di depan mata.

Juwi mengkeret tanpa nyali.

"Memangnya Yu masih anggota MedChoir, Juwita Ameera?" tanya Miss Evelyn dengan ketukan stilettonya yang terdengar di tengah suasana yang mendadak hening.

Miss Evelyn bergerak mendekat.

Juwi mundur teratur.

"Miss...." Suara Juwi seperti kegencet.

"Seenak udel Yu keluar masuk kelas latihan saya. Yu tahu? Sekarang ini statusnya sudah bukan lagi latihan. Tapi GR, Juwita! Ji Ar! Paham, Yu?" hardik Miss Evelyn dengan garang.

"Saya benar-benar minta maaf, Miss. Saya tadi UTS Farmako sama ngumpulin laporan praktikan ke lab." Juwi melayangkan pembelaan.

"Alasan! Buktinya, temen-temen Yu yang lain bisa ontime. Why Yu nggak bisa?"

"Saya mampir kantin, Miss. Itu juga demi komposisi suara yang padat tanpa sumbang kecekik minta makan di tengah-tengah." Di tengah-tengah kondisi dirinya yang berada di ambang maut, Juwi masih bisa mengelak.

Pada akhirnya Miss Evelyn hanya bisa geleng-geleng pasrah melihat kelakuan Juwita. Beliau tetap mempersilakan Juwi untuk mengikuti GR. Lagipula hari H tinggal esok. Mana mungkin ngedepak satu orang hanya karena persoalan seperti ini.

Tidak dipungkiri memang. Sekalipun Juwita tergolong anak didiknya yang terlanjur bandel, tapi kalau ia benar-benar niat serius, suara Juwi patut dipertimbangkan kok. Sekalipun banyak falsnya. Hahaha.

Latihan pun dimulai. Beberapa kali nada-nada fals masih dijumpai, membuat Miss Evelyn mengurut dada dalam-dalam. Ini GR, dan struktur suara mereka belum pakem. Alhasil, selesai GR kali ini pun harus ngaret dari jadwal yang sudah ditentukan.

Latihan terus digenjot. Ulangan tiap potongan lagu bisa mencapai sepuluh kali baru lanjut ke syair berikutnya. Hingga pukul sepuluh malam, mereka baru saja mencapai dinamika yang selaras, akhirnya.

"Enough for today. Saya harap besok kalian lebih prima. Silakan pulang dan persiapkan stamina untuk besok," ucap Miss Evelyn sebagai penutup malam itu.

Juwita sudah mengantuk berat, seharian ini tubuhnya terpontang-panting. Mulai dari UTS di gedung kuliah lantai tujuh, mengumpulkan laporan praktikum di Lab yang letak gedungnya berjarak dua gedung di seberang. Kemudian balik untuk makan di kantin, dan harus naik lagi ke lantai lima untuk GR. Sudah kayak gasing lah dirinya hari ini.

Juwi sedang memejam di bangku lobby fakultas sambil menunggu siapapun yang mau mengangkutnya pulang. Baterai tubuhnya benar-benar low, sedikit saja tenaga tidak ada dalam dirinya. Ia sudah mencari bala jemputan kok, tapi dari sekian pesan yang ia kirimkan ke keluarganya, belum ada satupun yang dibalas. Bunda? Hah! Bunda baca itu sudah untung-untungan, kalau dibaca pun ya paling sepuluh jam later. Kalau Ayah, memang sih Ayahnya itu nganggur, tapi saking nganggurnya sampai nggak pernah pegang ponsel, hal tersebutlah yang membuat Juwi kadang mencak-mencak saking jengkelnya.

Ia berserah saja lah. "Anybody can pick me up, please??!!!" erangnya sambil bersendekap tas di depan dada.

Namun, tak lama setelah itu, Juwi merasakan pipinya mendadak nyess... dingin. Juwi terhenyak tapi masih tak berani membuka matanya. Oh... oh... ini pukul sepuluh malam, dan mitos-mitos tentang cerita misteri gedung fakultasnya sudah kerap ia dengar.

Apalagi koridor lab anatomi yang kalau praktikum pakai cadaver. Baru jarak sekian meter saja bau formalin sudah menyengat tajam.

"TIDAAAAK!!!!" Ia berteriak sambil tetap menutup mata dan telinganya.

"Hei? Tidak apaan, Wi? Kalau mau ngigo tidur dulu. Jangan pura-pura tidur di sini."

Suara itu!

Hasshhh!!! Hampir saja Juwi mengumpat kencang saat ia akhirnya memutuskan membuka mata.

Abang Rayyan.

Well yeah, Abangnya memang tidak terduga kan?

"Abang?" ucapnya agak penasaran juga sih bagaimana Abangnya bisa ada di sini. Apa benar ini Rayyan atau jangan-jangan hantu jelmaan Rayyan.

"Oh, nggak mau? Ya udah aku pul--" Rayyan bergegas balik. Namun, belum satu langkah ia pergi, Juwi kembali berteriak.

"MAU!!! Jangan tinggalin Juwi, Bang!"

Rayyan geleng-geleng saja, sambil jalan balik ke parkiran.

"Nih, minum biar melek." Rayyan mengasongkan satu kaleng susu steril dingin yang tadi ditempelkan di pipi adiknya itu.

"Aww... susu bear, Abang tahu banget sih yang aku butuhin." Juwi memasang cengiran khasnya. Ia mulai membuka kaleng susu tersebut dan menandaskan isinya dalam sekian detik.

"Biar kuat. Besok on stage jam berapa?" tanya Rayyan sambil membuka alarm kunci mobil saat mereka sudah sampai parkiran.

"Mulai jam tiga sore udah harus di JCC sih. Eh bentar deh, kok Abang???" tanya Juwi dengan nada menggantung penuh rasa penasaran.

"Apa?" tanya Rayyan balik yang kini fokus memainkan perseneling mobilnya.

"EH!!! KOK ABANG YANG JEMPUT?" Juwi histeris baru menyadari hal itu.

Entah nyawanya dari tadi melayang ke mana, seakan kesadarannya baru kembali hingga baru tahu bahwa Abangnya berada di sini untuk menjemputnya.

Menjemputnya tanpa ia minta.

Sweet bukan?

Jantung Juwi mendadak berubah jadi taman bunga di musim semi. Segar. Senyuman pun terbit di lengkungan bibirnya.

"Kalem bisa?" balas Rayyan dengan datar.

"Eh, sorry, Bang. Habisnya to much excited baru nyadar kalau Abang yang jemput. Btw, gue kan nggak hubungin Abang? It's named Intuisi gitu?"

"Hahaha, mikirnya nggak usah kejauhan kali, Wi. Gue tadi di RS ketemu tante Freya pas banget baru mau masuk OK sama Biya. Jadinya ya tante Freya yang minta gue jemput lo."

Penjelasan Rayyan barusan itu terlalu jujur. Abangnya nggak bisa kali ya sedikit berbohong untuk membahagiakan dirinya. Juwi merasa kecewa. Yaah, jadi bukan inisiatif Abang sendiri nih?

"Kok diem?"

Juwi tergagap, "eh, oh, mmm... thanks ya, Bang. Oh iya, besok dateng ya, Bang. Wajib! Kudu pokoknya nggak mau tahu nggak pakai tapi."

"Hahaha, diundang nih?"

"Iya lah. Wish you'll be there, Bang."

"Diusahakan, ya. Intinya satu, maksimal dan optimalkan. Apapun hasilnya, itu bonus. Oke, Mbul?" nasihat Rayyan tapi dengan kejahilannya mencubit pipi gembil Juwi.

"Iya, Abaangg... tapi bisa nggak ini tangan nggak usah cubit??? Makin tembem tauuu!!!"

"Dari lahirrr Wiwiimbulll."

****

Sabtu malam telah tiba. Juwi dan beberapa anggota MedChoir sudah bersiap di belakang stage menunggu giliran tampil.

Namun, ada yang membuatnya gelisah nggak karuan. Pasalnya, ia mengintip dari belakang stage mengarah ke barisan tribun penonton, belum ada tanda-tanda orang-orang terspesialnya datang.

Ia kembali membuka aplikasi pesan pesat cepat di ponselnya.

Ayah ????????
Semangat Neng princessnya Ayah. Nanti Ayah datang kok, ini masih ketemu klien Ayah. Tunggu ya cantik.

Setidaknya Ayahnya menyediakan janji untuk datang. Sedikit lega.

Lalu, pesan lain datang dari Bundanya. Tadi waktu mau berangkat ke JCC Bundanya itu mendadak ada panggilan dari rumah sakit. Kalau sudah begitu Juwi sih nggak berharap banyak Bundanya datang. Namun yaa, satu senyum merekah saat Bunda mengabarinya kalau Bunda pasti akan datang. Semoga saja.

Kalau soal Rayyan...

...ia pasrah saja.

Sudah dijemput semalam saja rasanya membuat Juwi terbuai dan jantungnya mendadak gedebukan nggak karuan saking senangnya. Apalagi saat Rayyan bilang, "Istirahat sana, besok harus tampil oke kalau gue lihat. Semangat, Mbul."

Secara tidak langsung, Rayyan memberitahukan kalau ia akan datang, kan?

Sebenarnya, Juwi juga mengundang Izzy, Ayesha, Ayunda, dan orang-orang terdekatnya yang lain sih. Namun, itu bukan termasuk prioritas yang kehadirannya begitu diinginkan oleh Juwi. Mau datang yaa dirinya senang banget, kalaupun nggak yawes mau bagaimana lagi?

Ada Mami Vale sih, tapi Mami Vale ikut bukan karena dirinya yang minta, melainkan pengawal kontingen dari kampusnya sebagai salah satu orang paling berpengaruh di Top Manajemen Rajendra University.

"Guys! Take our time. Show the world that we are fabolous!!!" seru Miss Evelyn menyadarkan mereka bahwa waktunya telah tiba.

"Wi, gue deg-degan," ucap Nirina salah satu anggota MedChoir yang lumayan dekat dengan Juwi.

"Ya lo kira gue nggak. Sama aja, Nir."

Juwi mengambil ancang-ancang, menyedot oksigen sekitaran lebih dalam dan panjang.

Mereka mulai menaiki stage saat MC di depan sana mulai memanggil kontingen mereka. Rajendra University sendiri mengirimkan dua kontingen sekaligus. Kontingen pertama dari Gita Svara Rajendra yang merupakan klub paduan suara utama tingkat Universitas. Kedua, ya MedChoir ini, paduan suara tingkat fakultas yang terpilih untuk mewakili RU di ajang Java Grand Prix Festival kali ini. Tentunya merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi Juwi dan kawan-kawan nggak sih?

Sambutan sorak sorai dari tim pendukung mereka sudah meramaikan barisan tribun di depan sana. Berbagai atribut seperti balon tepuk, banner, pom-pom, dan aneka hiasan lain turut menyemarakkan gemuruh riuh JCC malam ini.

Konduktor mulai bermain dengan stiknya, mengarahkan mereka untuk mengambil nada pembuka.

Tak... Tak... Hak....

"Sik sik sibatumanikaaaaam....."

(Play mulmed on)

JCC menggema, tribun penonton sudah ricuh karena suara para pendukung yang beteriak histeris. Lagu Sik Sik Sibatumanikam menjadi lagu pilihan yang dinyanyikan Medchoir dalam laga ini. Komposisi nada yang selaras mengalun indah sepanjang Medchoir bersuara. Tepuk tangan, sorak bergemuruh tak hentinya bergelora di seluruh penjuru JCC.

MedChoir berhasil mencuri perhatian khalayak. Dewan Juri yang berada di depan stage persis ikut terkesima mendengarkan ritme musik juga paduan suara yang diracik apik.

Lima menit sepuluh detik yang sangat berarti. Berakhir dengan formasi menunduk sebagai ucapan terima kasih, MedChoir mulai menuruni panggung.

"Great!!! Proud of you, Guys!!! You're rock! Thanks kalian, sekarang istirahat dulu gih. Habis itu kita ke bangku penonton buat lihat tim lainnya," ucap Miss Evelyn meminta para anak didiknya untuk sedikit beristirahat sembari menunggu akhir acara.

Ya, pengumuman pemenang akan diumumkan nanti ini juga. Itu artinya mereka harus tetap tinggal hingga akhir acara untuk menunggu hasil dari kerja keras latihan beberapa bulan ini.

Setelah meneguk satu botol air mineral, Juwi dan teman-teman satu timnya pindah ke tribun penonton untuk menyaksikan penampilan kontingen lain. Sambil celingukan, Juwi mencari kehadiran orang-orang terpentingnya.

Anyunyun
Geula geula anaknya pak Miko bisa cetar jg yaa. Makan apa semalem smpe g fals gitu?

Kampret si Yunda! Juwi kembali memandangi kanan-kirinya, rombongan RU kalau ia nggak salah lihat sewaktu di panggung tadi berada di deretan tribun atas sebelah kanan. Matanya kembali mencari Ayunda di sana. Kali saja ada yang lain selain Yunda.

Anda
Lu di mana Nyun???

 

Anyunyun
Di barisan para mantan!

 

Anda
Jam tayang telenovela kita belum mulai Esmeralda

 

Anyunyun
Ya elo pake nanya. Gue di barisan kedua tribun kanan atas. Mo dikeker pake teleskop boscha ya kagak bakal keliatan. Lo pikir JCC lapangan basket taman komplek lo yang gedenya seuprit.

 

Anda
Esmeralda kok tele ya. Males ah. Lo kagak liat bala-bala gue yang lain?

 

Anyunyun
Bahasa lo kayak punya bala-bala selain gue. Siape? Abang Rayyan? Kagak ada! Dia ada konsultasi sama Bunda lho di RS. Jadilah mereka berdua kagak dateng...

 

Jleb! Itu Ayunda bicara berdasarkan fakta atau hanya untuk menggoda Juwi? Juwi sedikit cenut-cenut membaca pesan Ayunda.

 

Anda
Terkadang keseriusan dan dustamu tipis sekali perbedaannya Esmeralda. Gue kudu nangis deh kalau itu sungguhan. Kau jahad!

 

Nyatanya, kalau Ayunda benar, maka begitu teririsnya batin Juwi. Hatinya kini sudah cenat-cenut mendapati fakta bahwa mereka tidak datang saat dirinya tampil tadi. .

 

Ia menggelengkan kepalanya. Juwi berusaha menyugesti pikirannya sendiri kalau mereka pasti datang. Sekalipun ia sudah tampil. Sekarang saja ia sudah kecewa. Namun, masih ada satu harapan, kesemogaan atas kemenangan kontingennya masih ia harapkan. Dan, ia juga berharap saat kabar bahagia itu benar menjadi nyata, ada orang-orang terpentingnya yang turut mendengar serta menyaksikan langsung pengumuman itu.

 

Ia masih gusar, kembali mengecek beberapa aplikasi pesan onlinenya. Tidak ada-ada tanda-tanda notifikasi di sana.

 

Sampai waktunya telah tiba. Peserta terakhir dari kontingen Universitas Hang Tuah Surabaya menjadi penutup kompetisi paduan suara paling bergengsi ini.

 

Sebentar lagi pengumuman pemenang akan dikumandangkan. Rekan satu timnya sudah gasrak gusruk ada saja polahnya untuk menetralisir rasa gugup. Sementara Juwi, celingukan masih mencari seseorang. Sesekali mengecek ponsel, tapi nihil, paling notifikasi dari Line Today yang menyembul mencari perhatian.

 

"Dan.... Piala Java Grand Prix Festival Tahun ini... diberikan kepada...," ucap MC tak mampu mengalihkan fokus Juwi.

 

Ia masih tengok kanan dan kiri. Kali saja keajaiban sedang berpihak padanya. Bahkan, timnya menang pun kini sudah bukan lagi prioritas bagi Juwi. Ia membutuhkan support system-nya. Dan, ia rasa, mungkin ia salah mengartikan support system saat ini.

 

Keluarganya, cinta pertamanya, Ayah, Bunda, bahkan tidak nampak hadir di acara penting bagi dirinya saat ini.

 

Bukan kali pertama. Sejak dulu, Juwi merasakan sendiri bagaimana pahitnya menjadi anak tunggal yang haus canda tawa suasana rumah yang renyah.

 

Hanya materi yang sedikit bergelimang yang mungkin menemani hari-hari sepinya.

 

Namun kini, ia semakin merasa kosong dalam euforia kemeriahan acaranya sendiri.

 

Ayah dan Bunda tidak hadir.

 

Abangnya juga.

 

Oke, mungkin kalau Rayyan ia bisa maklum sekalipun tetap saja kecewa.

 

Tapi kedua orang tuanya?

 

Apa kabar?

 

"Selamat MedChoir dari Rajendra University sebagai Juara Umum Java Grand Prix Festival 2017 ????????????????."

 

"AAAAA GUYSS!!!! KITA MENANG!!!" teriakan kencang dan suara jejeritan samping kanan dan kirinya langsung membuat telinga Juwi pengang seketika.

 

"Alhamdulillah ya Allah."

 

"Puji Tuhan."

 

"Astungkara." Berbagai ucapan syukur dari teman-temannya ikut meramaikan kemenangn ini.

 

"Wiii, kita menang, Wi." Satu pelukan menyadarkan lamunannya.

 

Iya, Juwi sadar kok kalau menang.

 

Namun, untuk apa juga menang?

 

"Ayo ke stage, Guys!" seru Miss Evelyn sudah membimbing para anak didiknya untuk naik ke panggung guna menerima piala.

 

Mars Rajendea University langsung bergema dari tribun kanan atas. Mereka menyanyikan lagu kebangsaan kampusnya. Sementara di sebelah, tim dari Gita Svara Rajendra juga turut memberikan dukungan penuh berupa ucapan selamat atas kemenangan tim sesaudaranya itu.

 

Yah, hasil tidak pernah mengkhinati usaha. Inilah pepatah yang tepat untuk tim mereka. Juwita, sekalipun ia ogah-ogaha di awal latihan, tapi kalau sudah menang gini, bangga tentu saja.

 

Bangga sendiri.

 

Tidak ada yang membanggakan lagi selain dirinya sendiri.

 

Saat di panggung pun, Juwi yang terkenal atraktif kini hanya diam memaksakan senyum satu simpul saat harus berfoto satu tim bersama piala besar di tengah itu.

 

Kompetisi ini telah usai, ia harus kembali ke kehidupan nyata. Tidak ada yang perlu dimeriahkan berlebih. Toh, ini hanya sebuah ajang minat bakat yang mungkin tidak diminati oleh Ayah Bundanya.

 

Bubar acara, mereka berganti pakaian di ruang ganti, beberapa temannya bahkan langsung pulang karena sudah dijemput.

 

Sementara ia?

 

Ia duduk terpekur di ruang ganti. Sambil menghapus riasan wajahnya menggunakan cleansing water, pikirannya benar-benar kusut. Ia malas pulang. Juwi marah dengan Ayah dan Bundanya.

 

"Sayang...." Juwi menoleh ke sumber suara.

 

Oh... bukan.

 

Itu Maminya.

 

"Ya ampun, kamu ke mana aja? Mami cariin dari tadi juga," ucap Valerie dengan nada khawatir.

 

"Bersihin make up dulu, Mi." Sedikit dusta tapi ada benarnya.

 

Pasalnya ia malas pulang, dan ia belum tahu mau pulang dengan cara apa.

 

"Selamat ya sayang. Mami bangga sama kamu." Valerie memeluk erat keponakan kesayangannya itu.

 

Hanya Mami. Itupun kalau Mami bukan pengiring kontingen, mana mungkin datang khusus nonton, Juwi? Batinnya kembali miris.

 

"Hei, you look so pale, cantik. Capek, ya?"

 

"Hmmm," gumam Juwi.

 

"Ya udah, yuk pulang sama Mami. Mami anter ya. Mami dijemput Papi tuh."

 

"Izzy sama Kak Aye nggak nonton, Mi?" tanya Juwi, menyadari kalau dua sepupunya yang lain juga tidak nampak hadir.

 

Benar-benar tega kan?

 

"Izzy ada racing sama klubnya anak mesin. Kak Aye lembur deh kayaknya, tadi WA Mami kalau nggak salah," jelas Valerie sambil turut membantu Juwi beres-beres.

 

Mereka berjalan keluar JCC. Valerie menggandeng Juwi yang sudah terlihat payah dengan jalan ogah-ogahan begitu. Mood-nya benar-benar sudah rusak. Kemenangannya tidak berarti apa-apa.

 

"Juwi nginep di Mami boleh? Daripada Mami nganter ke Kalibata jauh."

 

"Ya nggak papa sih. Tapi emang kamu nggak papa nginep di Mami? Ayah sama Bunda?"

 

"Juwi juga capek, Mi. Lagian besok Minggu."

 

Juwi mencari alasan agar Maminya tidak menelisik lebih jauh.

 

"Ya udah, terserah Juwi aja. Tuh Papi sudah nagkring depan mobil, yuk."


Mereka sampai di parkiran, menemukan Fachry yang berdiri sambil senden Pajeronya.

"Hai anak Papi yang katanya menang. Cie cie, menang cie," goda Fachry malah membuat Juwi mengerucutkan bibir.

 

"Iiih, Papi apaan sih." Juwi sudah sebal bukan main.

 

"Selamat ya cantik. Papi bangga sama kamu. Jarang lho calon dokter yang punya bakat lain seperti nyanyi. Itu artinya kamu bertalenta sayang. Kembangin deh, kayak Mamimu pas masih kuliah dulu, suka banget nyanyi," ucap Fachry sambil melirik istrinya.

 

"Papi sambil jalan boleh nggak? Juwi ngantuk," pinta Juwi.

 

Ia risih juga dengan om dan tantenya yang malah pamer kemesraan mengenang masa muda dulu. Sudah dia nggak mood sama sekali, ditambah Papi makan membuatnya kesal nggak karuan.

 

"Siap tuan putri. Ajudan meluncur langsung ke Kalibata," kata Fachry sambil mulai melajukan mobil.

 

"No!!! Ke Setiabudi aja. Keburu capek!"

 

"Loh?" Fachry melihat ke sunvisor, melihat Juwi sudah manyun cemberut gitu.

 

Ia menengok ke arah istrinya. "Udah, Pi. Pulang langsung aja," kata istrinya sambil memberikan isyarat untuk diam dan nggak menggoda keponakannya lebih lagi.

 

"Oke, oke."

 

Juwi memilih memejamkan matanya di bangku belakang. Tanpa sadar, air mata luruh tak tahu diri di kedua pipinya. Sesak. Ia benci kenyataan ini. Kedua orang tua Juwi tidak menyanyangi dirinya sebagaimana mestinya. Ia ingin membuat bangga. Namun apa? Kebanggaan itu sirna, tidak guna.

 

Bahkan hingga kini, tidak ada pesan masuk dari mereka. Setidaknya permintaan maaf karena tidak hadir, atau sekadar tanya bagaimana hasilnya, pun tidak ada.

 

Juwi menyusut air mata yang menganak sungai itu. Tanpa Juwi sadari, dua orang di bangku depan sedang memerhatikannya. Mereka memang tidak tahu pasti alasan Juwi jadi murung menangis begini. Setidaknya, mereka bisa menebak dari alasan Juwi tiba-tiba tidak mau diantarkan pulang ke rumahnya.

 

Juwi miris sekali.

 

_______Nantikan Kelanjutannya_______

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • yurriansan

    Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.

    Comment on chapter Sembilu Dusta
  • eksindrianii

    Ada abg disini????????

    Comment on chapter SERANGKAI FRASA
  • dede_pratiwi

    nice story :)

    Comment on chapter BERMULA KARENA
Similar Tags
Not Alone
495      251     3     
Short Story
Mereka bilang rumah baruku sangat menyeramkan, seperti ada yang memantau setiap pergerakan. Padahal yang ku tahu aku hanya tinggal seorang diri. Semua terlihat biasa di mataku, namun pandanganku berubah setelah melihat dia. "seseorang yang tinggal bersamaku."
Princess Harzel
15562      2318     12     
Romance
Revandira Papinka, lelaki sarkastis campuran Indonesia-Inggris memutuskan untuk pergi dari rumah karena terlampau membenci Ibunya, yang baginya adalah biang masalah. Di kehidupan barunya, ia menemukan Princess Harzel, gadis manis dan periang, yang telah membuat hatinya berdebar untuk pertama kali. Teror demi teror murahan yang menimpa gadis itu membuat intensitas kedekatan mereka semakin bertamba...
Inspektur Cokelat: Perkara Remaja
307      213     1     
Short Story
Elliora Renata, seorang putri dari salah satu keluarga ternama di Indonesia, hal itu tak menjamin kebahagiaannya. Terlahir dengan kondisi albinis dan iris mata merah tajam, banyak orang menjauhinya karena kehadirannya disinyalir membawa petaka. Kehidupan monoton tanpa ada rasa kasih sayang menjadikannya kehilangan gairah bersosialisasinya sampai akhirnya...serangkaian kejadian tak menyenangkan...
Tak Segalanya Indah
666      449     0     
Short Story
Cinta tak pernah meminta syarat apapun
SUN DARK
379      234     1     
Short Story
Baca aja, tarik kesimpulan kalian sendiri, biar lebih asik hehe
Dear Groom
468      333     5     
Short Story
\"Kadang aku berpikir ingin seperti dulu. Saat kecil, melambaikan tangan adalah hal yang aku sukai. Sambil tertawa aku melambaikan tangan pada pesawat yang lewat. Tapi sekarang, bukan seperti ini yang aku sukai. Melambaikan tangan dengan senyuman terpaksa padanya bersama orang lain.\"
Kulacino
381      248     1     
Romance
[On Going!] Kulacino berasal dari bahasa Italia, yang memiliki arti bekas air di meja akibat gelas dingin atau basah. Aku suka sekali mendengar kata ini. Terasa klasik dan sarat akan sebuah makna. Sebuah makna klasik yang begitu manusiawi. Tentang perasaan yang masih terasa penuh walaupun sebenarnya sudah meluruh. Tentang luka yang mungkin timbul karena bahagia yang berpura-pura, atau bis...
MASIHKAH AKU DI HATIMU?
630      413     2     
Short Story
Masih dengan Rasa yang Sama
Lagu Ruth
409      291     0     
Short Story
wujud cintaku lebih dari sekedar berdansa bersamamu
MAMPU
5732      2162     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...