Sedari awal, Ayesha sudah menduga kejadian seperti ini bakal terjadi. Menjadi pembicaraan banyak orang soal statusnya yang kontroversial. Oke, oke... mungkin secara akademis, perempuan yang baru lulus enam bulan lalu itu nggak perlu diragukan. Salah satu contohnya adalah ia berhasil lulus dengan predikat cumlaude juga embel-embel Mawapres terpilih dua tahun lalu, serta prestasi lain yang kalau disebutkan satu persatu bisa menjadi satu rubik sendiri di surat kabar.
Pilihannya untuk meniti karier di kantor keluarga bukanlah suatu hal yang bijak. Niat awalnya untuk membantu Mami dan Tantenya mengurus Top Manajemen ternyata justru menuai banyak sekali perbincangan. Jujur saja, Ayesha sudah muak mendengar semua itu sejak ia masih kuliah kemarin.
"Ya iyalah jadi mahasiswa terbaik, lha wong anaknya yang punya nih kampus." Itu salah satu contoh sekelebat kalimat yang Ayesha dengar saat ia menuruni panggung usai menerima penghargaan sebagai lulusan terbaik.
"Mawapres yang terpilih anaknya Bu Vale, gaes. Duh, kalau kayak gitu mah ngapain ngadain pemungutan suara, langsung tentuin aja dari awal. Udah jelas juga siapa yang bakal menang. Dasar kampus penuh KKN!" Kalau yang ini, Ayesha mendengarnya sendiri saat tengah menyelesaikan tugas di perpustakaan pusat sehari setelah pemilihan itu. Rasanya, Ayesha sudah mendidih ingin ngedamprat cewek-cewek kebanyakan micin seperti mereka. Untung saja pengendaliannya cukup baik saat itu.
Serius, menjadi putri pemilik kampus adalah suatu beban moral tersendiri. Apapun yang ia lakukan, akan menjadi sorotan publik. Begini nggak benar, begitu salah, nggak dilakukan adalah justru kesalahan kuadrat.
"Saya tuh gedek deh Bu. Mentang-mentang nih kantor milik keluarganya, bukan berarti dia bebas dari kesalahan kan? Ibu tahu nggak Laporan Pertanggung jawaban anak-anak EM event Penerimaan Mahasiswa Baru? Itu amburadul parah, tapi Bu Vale semudah itu memberikan Acc. Duh, saya jadi nggak betah deh, Bu, kerja di sini," cerocos salah satu dari segerombolan Ibu-ibu yang sedang makan siang di kafetaria pusat tersebut dan kebetulan tertangkap pendengaran Ayesha yang juga sedang nge-brunch sendiri dengan arah yang bersinggungan. Ayesha sih, justru senyum-senyum malah menajamkan telinga.
Pasalnya, dia nggak merasa melakukan kesalahan dalam pengecekan LPJ tersebut. Anggaran keuangan yang diajukan dalam proposal dulu, sudah sesuai dengan nota-nota serta kwitansi berstempel yang dilampirkan, tidak ada selisih sekalipun itu hanya duaratus rupiah. Dan, tidakkah Ayesha harus mengapresiasi kinerja para mahasiswa tersebut? Hei, dia pernah merasakan berada di posisi mereka. Ayesha paham betul bagaimana alur pengurusan LPJ di Top Manajemen dipersulit dengan jabaran kurang P sampai R--yang menjadi pe-er banget setelahnya. Karena itu, Ayesha nggak ingin hal-hal begini terjadi lagi pada adik-adik tingkatnya.
"Yang benar, Bu? Idih, kayak gitu kok katanya Mawapres, jelas dulunya main belakang tuh." Ayesha masih bergeming sembari menikmati rujak buah di depannya.
"Yaa... mirip ibunya lah. Denger-denger dulunya kan Bu Vale cuma mahasiswa magang, terus tiba-tiba saja menikah sama anaknya yang punya kampus ini. Jelas ada main belakang kan? Nggak heran lah kalau anaknya sekarang juga gitu." Sampai satu kalimat tersebutlah yang menjadikannya naik pitam. Ayesha tak melanjutkan makan siangnya, bergegas pulang lebih cepat dari biasanya. Bahkan, Ayesha nggak mengabari Maminya jika ia sudah meninggalkan kampus lebih dulu.
I'm so done! batin Ayesha, ya, mungkin ini adalah titik klimaks dari pergolakan hatinya selama ini.
????????????????
"Pih, please, Aye udah nggak bisa ngelanjutin kerja di Top Manajemen," rengek Ayesha selepas makan malam bersama. Menikmati malam panjang di ruang keluarga, dengan teve yang dibiarkan menyala begitu saja.
Fachry, Papinya, hanya menghela napas kasar, tanda sedikit kecewa dengan pernyataan putri sulungnya tersebut. Bukan kali pertama Ayesha mengungkapkan keinginannya untuk hengkang dari Top Manajemen. Tapi sejauh ini, Fachry kira itu hanya keinginan semu Ayesha, sehingga ia justru nggak acuh dengan persoalan yang dianggap remeh temeh semacam ini.
"Sebenarnya kenapa sih, Kak?" tanya Fachry pelan.
Ayesha melirik sekilas ke arah Maminya, Valerie. Sementara Valerie yang baru saja bergabung membawa puding dari dapur, hanya menggeleng ringan.
"Ya nggak pa-pa, Pih. Aye cuma ingin membangun karier Ayesha sendiri, tanpa ada embel-embel Papi, Mami, ataupun tante Fara," jelas Ayesha dengan raut keletihan tercetak jelas.
"Jujur aja, Pih. Nama besar kalian tuh sebenarnya menjadi tekanan sendiri untuk Aye. Apa, ya? Aye tuh... semacam hidup dalam bayang-bayang kalian. Apapun yang Aye lalukan akan selalu disangkutpautkan, Pih," lanjut Ayesha, mengambil bantal dan menenggelamkan wajahnya.
Fachry dan Valerie saling melempar pandang melihat putrinya yang memang akhir-akhir ini selalu murung.
"Apa salahnya sih, Kak, kerja di kantor keluarga? Kan enak, kamu nggak mulai beradaptasi dari nol. Sedikit banyak kamu sudah paham situasinya." Fachry kembali memberikan pandangan kepada Ayesha, barangkali saja putrinya itu bisa sedikit mengerti kalau memang seperti itu kejamnya dunia kerja.
"Kakak nggak suka. Papi sama Mami nggak tahu seninya merintis karier dari bawah itu seperti apa. Dan, kakak pengin menjadi diri kakak sendiri, Pih, Mih," gerutu Ayesha masih dalam posisi kepala tertunduk bertumpu bantal.
"Maksud Papi, Mami, itu baik, Kak. Biar kamu nggak kesusahan dengan dunia luar. Di sana tuh keras, Kak. Beragam karakter berkumpul, dan Kakak harus memahami mereka satu per satu. Orang baik dan pura-pura baik nggak bisa dibedakan hanya dengan kasat mata. Juga, orang-orang yang punya segudang topeng, yang bisa diganti kapanpun, two face, multiple face, itu menyeramkan, Kak." Kini giliran Valerie yang turut memberi wejangan kepada Ayesha.
Ayesha justru mengambil posisi tengkurap di kasur lantai depan teve. Kembali menelungkupkan kepalanya di ceruk boneka Rilakuma kesayangannya itu.
"Kaaak... Kakak tahu risiko, kan? Risiko itu ada untuk dikelola, bukan dhindari. Seperti halnya ini, nak." Valerie menyusul bangkit dari sofa dan ikut bergumul di lantai kasur, membelai pelan rambut panjang sebahu putrinya tersebut.
Ah, nggak terasa, waktu begitu cepat. Padahal, rasanya, kemarin Valerie baru saja melahirkan putri kecilnya itu. Saat ini, bahkan ia harus dihadapkan dengan problematika yang ternyata cukup memberikan tekanan besar untuk Ayesha.
Ia salah, salah jika menganggap putrinya sedang main-main. Ada luka menganga yang selama ini tersimpan rapi di hati Ayesha. Ah, apa mungkin ini manifestasi dari rasa sayang berlebih yang dilimpahkan kepada putrinya? Segala fasilitas yang ia berikan itu, justru menjadi bumerang untuk membunuh karakter Ayesha perlahan-lahan. Naasnya, baik Fachry maupun Valerie terlalu abai dengan selentingan di sekitaran, sehingga seolah bom waktu, dan mungkin saja waktu telah meledakkannya.
"Terus, Kakak maunya gimana sekarang?" Fachry angkat bicara sembari memakan puding buatan istri tercintanya itu.
"Aye mau resign dari Top!" putus Ayesha final.
"Kalau Kakak resign, terus Kakak mau apa setelahnya?" runtut Valerie penasaran.
"Ya kerja di tempat lain, Mih," jawab Ayesha sambil memainkan ponsel dengan posisi yang masih sama.
"Memangnya Kakak sudah ngelamar di perusahaan lain? Atau sudah ada penawaran?" Fachry menyahut, ikut penasaran juga dengan keputusan Ayesha ke depannya.
Ayesha menggeleng, bangkit dari posisi rebah. Ayesha mengembuskan napas kepasrahannya, sambil duduk bersila berpangku boneka Rilakumanya.
"Tapi, Aye yakin dalam waktu dekat, Aye pasti mendapatkannya," seru Ayesha yang kontras sekali dengan ekspresinya beberapa detik yang lalu.
"Mami nggak mau lho, Kak, kamu kerja jauh-jauh. Jangan sampai aja keluar kota, apalagi pakai ngekos segala. Sebenarnya itu alasan kami ngotot pengin kamu tetap kerja di kantor Top. Mami nggak sanggup jauh, Kak." Valerie menambah kesenduan malam ini dengan paparannya baru saja itu.
Duh, Mih, kalau udah gini mah, mana tega Ayesha?
"Kita lihat nanti saja ya, Mih, Pih. Aye ngantuk, boleh duluan kan?" tanpa menunggu jawaban kedua orang tuanya, Ayesha beranjak menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Sementara Fachry dan Valerie, dihadapkan dalam kebimbangan yang membuatnya cukup sesak seketika.
"Bee... anak kita udah besar," ucap Valerie sambil bergelayut di dada suaminya.
"Tau, Hon. Kamu tenang aja, kamu tetap cantik dan menggemaskan seperti biasa, kok. Nggak berkurang sedikit pun," goda Fachry yang langsung dibalas tinjuan ringan oleh Valerie.
Fachry sih, justru terkekeh sambil pura-pura mengaduh kesakitan. Iya lah! Dia memang paling doyan mengerjai istrinya seperti ini.
Cup...
"Iih, Bee! Apa-apaan, sih?!" Satu kecupan berhasil ia curi dari kening istrinya. Valerie berteriak sampai-sampai ia lupa bahwa ini hampir saja tengah malam.
Valerie bangkit, membersihkan sisa-sisa makanan yang masih berserak di ruang keluarga. Kemudian, ia menaruh piring-piring kosong ke wastafel untuk dicuci esok saja.
"Ayo ke kamar, jangan sampai Ayesha dan Izzy dengar kegaduhan yang kita buat." Satu pelukan dari belakang, dengan deru napas yang terasa sekali di ceruk lehernya, menjadi kelemahan tersendiri bagi Valerie.
Seperti biasa, hands up! Nyerah kalau begini caranya mah.
????????????????
Sebuah kantor digital agency pada akhirnya menjadi pilihan Ayesha untuk move up dari lingkaran Rajendra. Tekadnya sudah pakem, nggak bisa diubah lagi sekalipun beberapa kali Valerie masih menunjukkan keberatannya.
Tidak terlalu sulit untuk menunggu balasan cover letter dan CV yang disebarnya di beberapa perusahaan. Namun, entah mengapa, dari sekian tawaran--yang bisa dikatakan lebih besar--Ayesha memilih perusahaan periklanan digital yang terletak di salah satu bilangan Jakarta Barat.
Menurutnya, ia tertarik dengan paparan HRD tentang jobdesc yang akan digelutinya jika bergabung dengan perusahaan ini. Sesuai dengan passion-nya yang memang gemar sekali hal-hal berbau desain.
Bukan, Ayesha bukan lulusan Desain Komunikasi Visual, atau jurusan desain lainnya. Ayesha menjatuhkan pilihan jurusan kuliahnya dulu pada Teknik Industri--di mana jauh sekali dengan dunia orang-orang di sekelilingnya.
Yap, it's passion. I want to know what passion is. I want to feel something strongly. Begitu kata Aldous Huxley, yang selalu Ayesha gaungkan ketika banyak sekali pertanyaan seputar: kok nggak jadi dokter aja? Atau kok nggak jadi dosen aja kayak Bu Fara, atau minimal ambil Manajemen lah kayak Ibunya.
Kalau sudah seperti itu, Ayesha hanya mendengus sebal sambil memutar mata jengah. Iya kan? Hidupnya yang bergelut di lingkaran Rajendra menjadikan ia serba salah di setiap suasana. Ah, ya sudahlah! Yang penting saat ini Ayesha begitu antusias menyambut hari pertamanya di tempat kerja baru.
Setelah berhasil menembus kepadatan rush hour Ibukota, sampailah Ayesha di depan tower di daerah Palmerah. Mengeluarkan satu lembar pecahan kertas berwarna biru, Ayesha mengembalikan helm dan membayar tagihan ojek online-nya. Setelah Kang Ojek tersebut memberikan kembalian, Ayesha bergegas masuk tower sembari memberikan penilaian singkat di aplikasi sebagai feedback karena telah berjasa menyelematkannya dari kepadatan lalu lintas di jam-jam tegangan tinggi seperti sekarang ini.
Ayesha memperhatikan sekeliling, memastikan kembali bahwa ia nggak salah alamat. Heh, please! Nggak ada waktu buat bercanda hal-hal kampret seperti itu. Ia sudah cukup senewen dengan frasa 'hari pertama'. Kebat-kebit nggak ketulungan membayangkan manusia-manusia seperti apa yang akan dihadapinya kelak.
"Permisi, Pak? Kantor Digimed Creartive Agency di lantai berapa ya?" Pada akhirnya, Ayesha menjatuhkan pilihannya untuk bertanya lebih dulu kepada security yang berjaga di pintu lobby utama.
"Oh, Mbaknya naik saja ke lantai sebelas dan duabelas, dua lantai itu miliknya DCA," jelas security tersebut.
Ayesha mengangguk, "kalau lift-nya sebelah mana, Pak?" melanjutkan pertanyaannya.
"Tengah sebelah kanan lobby, kalau antre Mbak juga bisa pakai yang dibaliknya, agak ke pojok kanan belakang."
Ayesha kembali mengiyakan penjelasan security tersebut. Setelah berterima kasih, ia langsung mencari lift yang dimaksud.
Benar memang, lift utama penuh dengan antrean mengular seperti menanti pembagian sembako gratis. Oooh... Ayesha nggak akan mau berjibaku dengan hal-hal seperti itu. Memilih mencari alternatif jalan lain, Ayesha berjalan menuju balik lobby sebelah kanan belakang--sesuai instruksi security tadi. Yah, walaupun sama saja ramainya, tetapi seenggaknya ini lebih manusiawi.
"Eh... eh, tunggu!" teriak Ayesha sambil berlari begitu melihat beberapa orang masuk dan pintu lift mulai menutup.
Perempuan itu berhasil menahannya, ia tersenyum lega. Namun, saat dirinya akan masuk ke dalam lift, satu orang dari arah samping berhasil menyerobot.
"Maaf, Mbak. Saya duluan," begitu katanya.
Ayesha cengo, terpaku seperkian detik sebelum kesadarannya kembali. Ia nggak ingin kalah, memaksakan dirinya untuk tetap masuk ke dalam lift.
Teet!!!
Sialnya, alarm tanda penuh sudah berbunyi. Tentu saja semua mata tertuju kepadanya. Dan, lelaki yang menyerobotnya tadi. Mereka saling melempar pandang. Laki-laki itu hanya mengendikkan bahu nggak acuh dengan situasi sekitar. Merasa kesal, Ayesha mengalah, keluar dari dalam lift dan membiarkan mereka semua naik terlebih dahulu.
Allah, ini baru hari pertamanya ia kerja di sini, dan ia sudah mendapatkan memorable things yang mengakar sampai ke hati.
Ia berdoa, semoga hanya sekali saja bertemu dengan kejadian seperti itu. Lebih-lebih lagi, semoga lelaki itu tidak satu lantai dengannya.
Oke, oke... pada akhirnya Ayesha hanyaa pasrah menunggu giliran lift selanjutnya. Sekitar tujuh menit terlalu berharga hanya untuk menunggu lift turun kembali sampai ke lobby.
Untung saja, lift berikutnya tidak menimbulkan drama lain sehingga hanya dalam empat menit, Ayesha telah sampai di kantor barunya.
"Kamu... Ayesha Anugrah, benar?" Baru saja ia akan bertanya kepada receptionist yang berjaga, satu suara memusatkan perhatiannya.
"Iya, Pak. Saya Ayesha," tuturnya sambil menyimpul senyum singkat dan menjabat tangan pemilik suara tersebut--seseorang yang Ayesha yakini sebagai staf HRGA.
"Mari ikut saya ke ruangan," pintanya yang dibalas anggukan kecil oleh Ayesha.
Yeah, let's start the adventure, Ye!
________Nantikan Kelanjutannya______
Like by Fachry.Sp.PD, RayyanArg, and 6969 others.
AyeshaA Jangan menyerah sayang, bahkan medan perang saja baru nampak di depan mata. Be brave, struggling together. ????????????
View 69 all comments
Fachry.Sp.PD incess papi semangat ????????????????
ValerieS kaka hati-hati, tempat baru, jaga diri, jaga sikap.
Jujuwwitjantik yay, traktiran kami para pengacara kak @RayyanArg @IzzyAlf
AyeshaA iya mi siap @ValerieS
AyeshaA makasih myKing ????????
AyeshaA gaak ada! Kuliah yg bener biar geura lulus @Jujuwwitjantik @RayyanArg @IzzyAlf
Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.
Comment on chapter Sembilu Dusta