Read More >>"> She Never Leaves (X2) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - She Never Leaves
MENU
About Us  

(Sharon, 15th)

“Sharon, bangun.” suara mama terdengar samar – samar.

Aku mulai membuka mataku dengan malasnya. Kulihat mama berdiri didepan pintu kamar dengan celemeknya.

“Sharon, nanti telat kesekolah.” Ulang mama.

Aku merenggangkan otot – ototku dan bangun dengan malasnya dari tempat tidur. Jam didinding kamar baru menunjukan pukul 6 pagi. Aku tidak pernah bangun lebih lama dari jam 6. Meskipun jam masuk sekolah adalah jam 8 pagi, aku selalu sampai tepat jam 7 pagi. Tidak akan pernah berubah. Aku turun dari kasurku dan berjalan kebelakang dapur. Kulihat mama yang sedang menghitung kerupuknya. Handuk terletak tidak jauh dari kursi, kuraih dengan malasnya dan berjalan kekamar mandi. Dikamar mandi sudah tergantung baju putih baruku dan sebuah rok. Warna rokku kini sudah berubah menjadi abu - abu.

Namaku Sharon, aku berumur 15th sekarang. Rambutku hitam sebahu. Mataku bisa dikatakan sedikit sipit, dan aku harus mengangkat wajahku sedikit lebih tinggi untuk bisa melihat orang lebih jelas. Banyak orang yang mengatakan bahwa aku sombong karena cara memandangku, dan tidak sedikit juga orang yang menghindariku karena beranggapan aku cacat. Hal ini sudah kualami sejak SD dulu. Menjadi korban bully dan tidak memiliki teman sudah merupakan hal biasa. Awalnya aku susah menerima kenyataan ini, namun setiap kali aku melihat kesosok mama yang tidak pernah berhenti mendukungku dan berkata bahwa aku cantik, semangat untuk menjalani kehidupanku selalu aku dapatkan kembali.

Aku tinggal hanya berdua bersama mama. Bukan karena mamaku adalah seorang janda, namun karena papa memilih meninggalkannya sejak kelahiranku yang cacat ini. Kami tinggal disebuah rumah kecil dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi dan sebuah dapur kecil dengan atap yang sudah mulai keropos. Ini adalah rumah sewaan. Mama bekerja keras dengan menjual kerupuk disekolah dan juga menitipkannya kebeberapa tempat demi bisa membayar biaya hidup kami sehari – hari, termasuk menyekolahkanku. Aku juga memiliki seorang kakak sempurna yang kini hidup enak bersama ayah. Jika kami bertemu, dia selalu membuang wajahnya, terutama didepan teman – temannya. Padahal tanpa begitupun, orang –  orang tidak akan menyadari bahwa kami bersaudara.

Kuselesaikan mandi pagiku dengan cepat dan segera memakan sarapan seadanya yang sudah disiapkan mama. Sepatu hitam yang tidak pernah kuganti sejak kelas 2 SMP kini sudah terasa semakin sempit, Kupaksakan sepatu itu masuk dan kukenakan tali pinggang hitamku yang sudah mulai terkelupas. Yang terpenting adalah warna bajuku sudah berubah, dan meskipun aku selalu mengunakan baju bekas milik kakakku, aku tidak pernah keberatan. Mungkin jika kakakku adalah perempuan, sudah pasti rok yang akan aku dapatkan jugalah rok bekas dia. Ada sedikit rasa syukur bahwa dia lelaki.

 

Kumasukan beberapa buku kedalam tas dan kupakai jaketku. Aku tidak pernah melewati jam 7 pagi sampai disekolah, bukan karena alasan mamaku menitipkan kerupuk dikantin, melainkan karena ada perasaan malu jika temanku mengetahui kenyataan tersebut. hal ini mulai kurasakan sejak aku menjalani kehidupan SMP, aku sendiri tidak mengerti kenapa, namun rasa minder yang besar selalu terlintas begitu saja.

“Sharon, ini buat kantin SD 50, kantin SMA 100 ya.” Mama menyodorkan 2 ikatan besar kerupuk untuk kubawa kesekolah. Kubaca bonnya dan kusimpan disaku bajuku.

Mama melihatku dengan perasaan cemas, lalu dia sodorkan uang yang lumayan besar hari ini. selembaran pecahan 10 ribu. Biasanya aku hanya mendapatkan 5 ribu saja.

“Lho Ma, ini gede bangat uangnya ?” aku menolak pemberian mama.

“Lho, kamu kan sudah masuk SMA.” Tangkas mama.

“Ga masalah kok ma 5rb, Sharon bisa makan enak malah dengan uang segitu.” Aku berkeras menolak pemberian mama.

“Yah, minimal buat hari pertama aja ya. Ni ambil terus berangkat, nanti telat kena hukum lho.” Mama menyelipkan uang tersebut dikantong rokku. Aku tidak melakukan perlawanan lagi dan bersiap untuk segera pergi.

“Satu lagi nak, Ini kado pertama karena sudah masuk SMA.” Mama menyodorkan satu plastik kecil, aku bisa menebak itu pasti kaos.

“Wah, makasih ya ma.” Kataku senang dan segera kubuka bungkusan tersebut.

Sebuah kaos biru bergambarkan monyet berada ditanganku. Ini nyata ! kupandangi mama yang tersenyum didepanku, segera kupeluk dia dengan erat. Aku ingat saat pertama kali menemani mama kesebuah pasar, aku begitu ingin membeli kaos ini, namun mama tidak membelikannya untukku. Aku menagis dengan kencang ditoko tersebut sampai semua orang melihat kearah kami, dan mama tetap tidak membelikannya untukku. Dan kini kaos monyet ini berada ditanganku.

“Ma, ini benaran mama beli ?” tanyaku tidak percaya.

“Iya. Biar kamu semangat sekolahnya.” Jawab mama dengan lembut.

“Tapi ma, ini kan mahal.” Aku benar – benar tidak percaya mama akan membelikannya buatku.

“Gpp, mama kan tidak pernah memberikan apapun untukmu. Ini adalah kado mama, dijaga dengan baik ya.” Mama mengusap kepalaku dan memberikan isyarat padaku agar segera berangkat kesekolah. Kusimpan kaos itu didalam tas dan pamit dengan mama.

Aku selalu berjalan kaki setiap pagi menuju sekolah, dengan dua kantong kerupuk ditanganku, kiri dan kanan, perjalananku setiap hari tidak terasa membosankan karena aku sibuk memikirkan berbagai hal. Aku membayangkan bagaimana kehidupanku setelah selesai sekolah, apakah aku akan meneruskan usaha mamaku, ataukah aku mulai bekerja dengan orang. Dan bagaimana aku akan melanjutkan pendidikanku nantinya ketingkat yang lebih tinggi.

Jarak antara rumahku menuju sekolah berkisar sekitar 20 menit jika dijalani dengan santai. Karena alasan jarak yang dekat, sering kali aku memutuskan untuk pulang berjalan kaki demi menghemat uang seribu rupiah. Aku sampai disekolah tepat jam 7 pagi. Dengan segera kuantarkan kerupuk ke kantin SD dan berjalan melewati batasan ke kantin SMA. Bisa kulihat sudah ada beberapa anak yang sampai disekolah lebih cepat dan duduk dikantin, mereka adalah teman seangkatanku dari SMP yang sama. Dan ada juga beberapa orang yang tidak kukenal, mungkin pindahan dari sekolah lain. Setelah selesai menyerahkan kerupuk titipan, aku duduk disalah satu pojokan kantin dan menunggu bel masuk sekolah berbunyi.

Kukeluarkan buku misteri yang kupinjam dari perpustakaan sekolah dan masih kubaca hingga saat ini. Buffy the vampire slayer. Imajinasiku menari – nari diatas kepalaku, lembar demi lembar kulewati dan pikiranku melayang jauh pada masa pembasmian vampire tersebut.

 

(Teng.. Teng)

Bel akhirnya berbunyi. Kutandai lembar terakhir yang kubaca dan kusimpan buku itu dengan baik kedalam tasku. Sekelilingku kini sudah ramai tanpa kusadari. Aku memutuskan untuk mengikuti arah keramaian dan masuk kedalam barisan yang dibuat oleh anak lainnya.

“Yang kecil tolong baris didepan !” suara salah satu guru yang sedang berkeliling terdengar jelas olehku.

Sekelilingku terlihat sibuk dan saling memandang satu sama lainnya, dengan kesadaran aku maju kedepan tanpa banyak berkata. Ada beberapa teman lamaku disini, aku mengenal wajah mereka karena kami berasal dari SMP yang sama. Meskipun mereka tidak menyapaku, aku tidak pernah mempermasalahkannya, karena masa SMP aku lewati tanpa teman.

Upacara sederhana dilakukan pagi ini, aku mendengarkan setiap intruksi kepala sekolah dengan cermat. Pembagian kelas ditempelkan dimading sekolah, dan setelah upacara selesai, kami akan masuk kekelas masing – masing untuk proses lanjutan. Ospek akan dilaksanakan selama 1 minggu sebelum memasuki tahun ajaran pertama sebagai anak SMA. Ini pasti akan menjadi mimpi buruk bagiku, aku begitu takut masa SMP akan terulang kembali kali ini, dimana hampir satu sekolah ikut membully dan menjauhiku karena perlakukan kakak kelas padaku. Bahkan kakakku sendiri tidak mau mengakuiku sebagai adiknya kala itu. Kejadian yang tidak bisa kulupakan meski sudah berlalu 3 tahun.

Tidak terasa upacara hari ini selesai lebih cepat, barisan ini bubar seperti semut dan semua orang berebutan untuk melihat mading. Aku berjalan paling belakang dan menunggu hingga suasana sedikit sepi karena mataku tidak mampu melihat dari kejauhan. Kucari namaku dan mataku tertuju pada kelas X2. Kelasku tahun ini terdiri dari 32 orang dan bisa dikatakan hampir semua nama yang berada dikelas ini aku kenali. Kupandangi bangunan sekolah yang terdiri dari tiga lantai. kelas X berada dilantai ketiga dan X2 adalah ruangan paling pojok sebelum WC.

Kuhela nafasku dan langkahku sedikit berat untuk menaiki tangga demi tangga menuju kelas. Aku berada disekolah yang sama dengan kakakku, kami berbeda 2 tahun dan saat ini dia adalah kakak kelasku, aku bahkan tidak tahu dimana kelasnya berada, dan apakah dia akan bertingkah tidak mengenaliku lagi seperti waktu di SMP. Ada kesedihan yang tertancap begitu dalam dihatiku.

Salim Wave, kakakku yang berbeda 2 tahun lebih besar dariku. Bisa dikatakan dia adalah orang yang berbeda jauh denganku, baik itu dari segi kepintaran, penampilan fisik hingga kasih sayang yang dia peroleh. Tidak akan ada yang menyadari bahwa kami adalah saudara kandung.

Tinggi badanku hanya berkisar diangka 150cm, sementara Salim memiliki tinggi sekitar 170cm,

Mataku bisa dikatakan kecil, sementara mata Salim besar.

Rambutku lurus pendek, sementara Salim memiliki rambut yang ikal.

Aku dikenal sebagai anak tukang jual kerupuk karena tinggal bersama mamaku, sementara Salim tinggal bersama ayahku, kehidupannya jauh lebih baik daripada kehidupanku, dan dia selalu mendapatkan apapun yang dia inginkan. Sangat berbeda denganku. Aku tidak pernah menyesali hal tersebut, namun kadang terlintas keirian pada diri Salim, iri dan benci yang bertumbuh semakin besar hari demi hari.

Aku sampai didepan kelas dan masuk kedalam. Sebagian meja sudah dipenuhi oleh temanku, aku memilih duduk paling pojok seperti biasanya, dan sendirian. Kulihat teman – teman lainnya yang sibuk berkenalan satu sama lain dan saling bercerita pengalaman liburan mereka.

Kelasku ini memiliki satu papan tulis didepan, sebuah meja guru dan 32 meja siswa beserta kursi. Berbeda dengan masa SMP ku, dimana satu meja bisa diisi dengan 2 orang siswa, kelas SMA adalah kelas dimana tempat duduk dan meja terpisah, artinya aku tidak perlu cemas jika tidak ada teman yang duduk disampingku.

Bel berbunyi sebanyak 3x. kuperhatikan temanku mulai kembali ketempat duduk mereka masing – masing dan menunggu guru wali yang akan masuk. Kupandangi jam dinding yang sudah menujukan jam 8 pagi. Hal yang kulakukan adalah mengeluarkan sebuah buku tulis dan pena. Aku akan mencatat semua pesan pertama wali kelas kami.

Tidak lama kemudian beberapa kakak kelas masuk kedalam kelas kami. 2 orang lelaki dan seorang perempuan. Spontan kami semua mulai gelisah dan saling lirik satu sama lain. Aku tetap duduk tenang ditempatku.

“Pagi adik – adik semua.” Sapa salah satu kakak kelas didepan.

“Tidak perlu cemas karena kalian memang tidak akan mendapatkan guru hari ini. Dan selama satu minggu kedepan, kalian akan berada dibawah didikan kami. So, apapun yang kalian kerjakan, semua haruslah atas izin kami. Jika kalian tidak bisa mematuhi aturan kami, maka kamu harus bersiap pindah kesekolah lainnya, mengerti semua ?!” lanjut kakak itu dengan kasarnya.

Sekelilingku seketika hening, aku bisa melihat ada beberapa anak mulai kelihatan pucat. Aku tersenyum sendiri karena teringat masa ospek SMP, dimana sangking takutnya, ada anak yang sampai ngompol dicelana. Kupandangi kakak kelas perempuan didepan, kuprediksikan dia berasal dari kelas XI, hanya berbeda satu tahun denganku. Berbeda dengan 2 teman lelakinya, mereka jelas dari kelas XII.

“Ok semua, satu – satu dari pojok kiri maju kedepan dan memperkenalkan dirinya.” Perempuan itu menunju meja dipojok kiri depan yang sontak membuat anak yang duduk disana kaget.

Dia berdiri dengan ragu dan mulai berjalan kedepan. Semua mata memperhatikannya.

“Nama saya..”

“STOP ! MANA SALAMNYA !” bentak perempuan tersebut.

Aku bisa melihat betapa kagetnya dia mendengar bentakan tersebut. Dia berusaha menelan ludahnya berkali – kali dan tangannya terlihat gemetar.

“Pagi semua.. nama saya.”

“JANGAN NGOMONG TERUS TANPA JAWABAN !” bentak perempuan itu lagi.

Mata anak itu sudah kelihatan sedikit memerah, mungkin jika dibentak sekali lagi dia akan menagis. Aku melipat tanganku didagu dan memperhatikan tingkah konyol kakak kelas ini didepan. Lucu jika dipikir, umur kami kini sudah beranjak 14th dan ada yang sudah 15th, namun kenapa masih takut dengan gertakan tidak jelas begitu. Mana mungkin mereka punya otoritas untuk menentukan kita layak atau tidak bersekolah dsiini, toh sudah dibayar saat pendaftaran. Terkadang aku merasa kasihan kepada mereka yang mempercayai hal tersebut, namun aku tidak banyak berkata.

“Siapa nama kamu ?” tanya perempuan itu lagi.

“So..Sonya bu.” Jawabnya gugup.

“Aduh Sonya, saya semuda ini kamu panggil ibu ! panggil saya kakak saja !” perempuan itu mengerutu, aku bisa melihat 2 teman priannya berusaha menahan senyum.

“Jadi Sonya, perhatikan ya. Termaksud kalian semua yang ada dikelas ini ! kalau memperkenalkan diri, kalian harus mengucapkan salam terlebih dahulu. Tunggu dijawab baru melanjutkan perkenalan kalian. Nah, jika dirasa sudah selesai, maka beri waktu kepada teman lainnya apabila ada yang mau ditanyakan ataupun kurang jelas. Mengerti semua ?” jelas perempuan itu.

Hening, hanya ada beberapa orang yang  menjawab, samar – samar antara ‘mengerti’ dan ‘iya kak’.

“MENGERTI SEMUA ??” suara perempuan itu meninggi kembali.

“Mengerti kak…” satu kelas menjawab.

“Ok, Sonya. Kamu ulangi dari awal ya. Saya tidak mau ada kesalahan lagi.” Tutur perempuan itu dengan judes.

“Pagi semua.” Sonya mengulang kembali pengenalan dirinya seperti intruksi.

“Pagi..” jawab sebagian anak didalam kelas.

“Perkenalkan, nama saya Sonya. Saya berasal dari SMP kenangan. Umur 14th.” Jelas Sonya singkat.

Tidak ada pertanyaan ataupun komentar. Kuperhatikan salah seorang kakak kelas melihat jam dan berbisik ke perempuan tersebut.

“Ok baiklah, next.” Kata perempuan tersebut akhirnya.

Aku bisa melihat expresi lega dari Sonya. Dia langsung berlari kecil ketempatnya dan duduk disana. satu persatu siswa lainnya maju secara teratur dan memperkenalkan diri sama persis dengan yang dilakukan Sonya hingga giliranku tiba.

Aku maju kedepan dengan sedikit kecemasan, namun aku berusaha kelihatan tenang. Berharap bahwa 2 lelaki tersebut tidak ada yang mengenaliku.

“Pagi semua.” Kutunggu jawaban teman kelas lainnya dan kembali melanjutkan perkenalanku.

“Nama saya Sharon Wave. Bisa dipanggil Sharon saja. berasal dari SMP yang sama.” Tutupku cepat.

Saat aku bersiap kembali ketempat dudukku, salah satu kakak kelas menghentikan langkahku.

“Eh, kamu adiknya Salim ya ?” tanyanya.

Kupandangi wajahnya, ragu untuk menjawab. Seharusnya aku tidak perlu menyebutkan nama lengkapku tadi. Sesalku.

“Iya kak.” Kataku sederhana lalu kembali ketempat dudukku sebelum dia memberikan pertanyaan lainnya.

‘Baiklah semuanya, kalian punya waktu istirahat 10 menit dan tepat jam 9.20 semua sudah harus berada dilapangan upacara ya.” Kata lelaki lainnya.

Mereka bertiga pergi meninggalkan kelas kami dan tidak dibutuhkan 1 menit kelas sudah ribut. Mereka mulai membahas apa yang akan terjadi dibawah nanti, da nada beberapa yang berlagak kenal dengan kakak pembina barusan. Kusimpan bukuku dan berjalan mendahuli mereka turun kebawah. Aku akan duduk dikantin dan menghabiskan waktu 10 menit yang ada untuk membaca.

Kuturuni tangga sambil berpikir bagaimana kehidupan SMAku dan apa yang akan kulakukan setelah selesai sekolah nantinya. Aku memperhatikan setiap wajah siswa yang aku lewati, penuh dengan kebahagiaan, aku tahu bahwa masa SMA adalah masa paling membahagiakan. Selain ini merupakan masa kebebasan didepan mata, ini juga merupakan masa dimana kita mulai mengenal kata cinta.

“Sharon.” Sebuah suara membuat langkahku terhenti.

Kuputar badanku dan bisa kulihat sosok yang sudah begitu lama tidak pernah kulihat, kakakku berada dibelakangku. Ada perasaan kuat untuk segera lari, namun aku tidak mungkin selamanya begitu. Meskipun dia akan lulus sebentar lagi, namun kenyataan bahwa kami akan bersama selama 1 tahun dibangunan ini membuatku tidak melarikan diriku darinya.

Dia berjalan mendekatiku, begitu tinggi hingga aku harus menaikkan kepalaku sedikit untuk bisa melihat wajahnya.

“Apa kabar mama ?” kalimat tersebut adalah hal pertama yang dia ucapkan.

“Baik.” Aku menjawab sesederhana mungkin.

“Oh, kamu sudah makan ?” tanyanya lagi.

“Sudah kok. Aku turun dulu ya, nanti kena hokum.” Tutupku dengan cepat dan segera berjalan pergi meninggalkannya.

“Ada apa – apa kasih tau aku ya.” Teriakan Salim terdengar jelas olehku, namun aku meneruskan langkahku terus tanpa menoleh kearahnya lagi.

Kenapa dia memperdulikan kehidupanku dan mama sekarang !

Aku mengingat betul masa pahit pada saat aku masih SMP, dimana dia membuang muka dan tidak mengakuiku sebagai adiknya didepan teman – temannya. Bahkan dia tidak membelaku sama sekali pada saat itu. Kenangan itu tidak akan bisa kulupakan begitu saja.

 

Semua anak kelas X mulai membentuk barisan dan menunggu dilapangan sesuai intruksi yang diberikan dari kakak pembina dikelas masing – masing. Tidak dibutuhkan waktu lama ketua osis keluar dan mulai memberikan pengarahan kepada kami. Dia memberikan intruksi akan bahan apa saja yang perlu dibawa besok dan apa saja kegiatan yang akan kami lakukan. Aku mencatat dengan cepat setiap kata – katanya dan saat kuperhatikan sekilas, Salim sedang berada dilantai satu dan memperhatikanku. Aku berusaha untuk tidak memperdulikannya. Begitu pengumuman selesai, kami diperbolehkan pulang oleh ketua osis, dan tanpa banyak berbicara, aku langsung pergi.

Aku sampai dirumah lebih cepat dari waktu yang biasa dibutuhkan karena ada perasaan kesal didalam diriku. Langkahku laju agar pikiranku tidak mengingat kejadian barusan disekolah. Kuletakkan tasku dan kurebahkan badanku dikamar. Perasaan lelah ini begitu besar.

“Sharon, cepat pulang hari ini ?” mama sudah berdiri dibalik pintu kamar dan berjalan masuk kedalam.

“Iya Ma, besok sudah mulai ospek nih satu minggu.” Jawabku singkat.

“Terus, gimana hari pertamanya ?” tanya mama antusias.

Kupandangi wajah mama sekilas, tidak berani berkata bahwa aku satu sekolah dengan Salim. Aku tidak tahu mama akan senang atau sedih jika mengetahuinya, mungkin sekarang bukanlah saat yang tepat untuk memberitahukan hal tersebut padanya.

“Biasa aja ma, pengen bolos sih kalau ospek. Hehe.” Candaku.

“Kamu, nanti mama dipanggil kesekolah lagi karena bandel.” Mama bercanda balik padaku. Dielusnya kepalaku dan diciumnya keningku.

“Istrahat ya, nanti bangun makan. Mama masakin makanan kesukaanmu.” Kata mama.

Aku tersenyum melihat mama dan kupejamkan mataku untuk beristirahat.

Semoga aku bisa melalui tahun pertamaku tanpa masalah, harapku dalam hati.

Jalanan masih tampak sepi dan gelap. Aku berjalan dengan cepat menyusuri jalanan setapak yang selalu aku lalui setiap pagi. Dengan 2 kantong plastik kerupuk tertenteng ditanganku, dan beberapa perlengkapan aneh didalam tasku, ini adalah hari pertama ospekku dimasa SMA. Aku sengaja datang kesekolah lebih cepat hari ini karena aku akan mengenakan attribute memalukan hari ini. Kami dilarang masuk jika tidak mengenakan perlengkapan konyol seperti yang diintruksikan oleh ketua osis semalam. Datang paling pagi adalah solusi terbaik karena aku bisa menganti pakaianku diwc tanpa ketahuan.

Aku sampai lebih cepat dari sebelumnya, kulirik jam dikantin saat menungu kakak disana menghitung, masih 6.30. kuselesaikan pengantaran kerupukku dan kubeli semangkok miso pagi ini. Mama memberikanku selembaran 5ribu hari ini seperti biasa. Aku tidak pernah meminta uang jajan lebih meskipun harga makanan dikantin terus meningkat, tidak ingin khawatir. Biasanya aku akan meminta uang lebih dengan berat hati jika ada tugas yang mengharuskan aku memfotocopy sesuatu atau menjilid. Selama ini mama tidak pernah menolak memberikanku uang, namun satu hal yang aku ketahui, dia selalu bekerja extra untuk mencari uang tambahan.

Kuhabiskan miso dengan cepat dan kuteguk semua kuahnya sampai habis, aku tidak akan jajan lagi hari ini, jadi aku harus bisa bertahan dengan energy semangkok miso ini disekolah. Aku segera pergi ke wc dan menganti seragamku dengan kaos putih polos seperti permintaan ketua osis. Kukenakan tali raffia yang sudah kubuat menjadi seperti kalung, dan kuhiasi wajahku seperti orang pedalaman papua. Konyol memang, tapi aku tetap melakukannya karena aku tidak ingin membuat masalah apapun dimasa SMA kali ini.

Kupastikan kembali penampilanku yang sudah sesuai dengan intruksi ketua osis dan kembali kekantin. Bisa kuperhatikan penjaga kantin tersebut heran melihatku dan berusaha menahan tawa mereka. Aku mengabaikan mereka dan duduk membaca bukuku disalah satu kursi dipojokan sambil menunggu jam masuk sekolah berbunyi.

(teng .. teng)

Bel tanda masuk berbunyi. Kututup bukuku dan kupandangi sekelilingku yang sudah ramai tanpa kusadari. Aku bahkan tidak mengenali lagi wajah teman sekelasku hari ini karena sudah dipenuhi hiasan aneh. Ada beberapa orang yang masih sibuk menyelesaikan riasan wajah mereka, sementara yang lainnya sibuk saling foto mengunakan hp secara diam – diam. Aku ingat pernah diberikan sebuah hp hitam putih oleh ayahku, namun sudah lama kujual demi membantu mama. Aku berbohong kepada ayahku bahwa aku kehilangan hp tersebut karena tidak ingin terjadi perkelahian antara mama dan papa. Saat mengetahui bahwa aku menghilangkan pemberiannya, dia hanya pergi tanpa berkata apapun padaku. Bisa kutebak dia kecewa karena aku tidak bisa menjaga barang pemberiannya.

Aku berjalan kelapangan dan berbaris sesuai dengan kelasku. Tidak dibutuhkan waktu lama kakak osis dan jajaran pendampingnya sudah berbaris didepan kami. Aku bisa melihat wajah mereka yang tersenyum geli melihat penampilan kami saat ini. kakak kelas dari XI dan XII juga ikut memperhatikan kami karena penasaran akan apa yang terjadi. Awalnya suasana masih hening saja saat ketua osis memberikan kata pengantar dan beberapa pengarahan akan aturan sekolah, dan suasana seketika menjadi ricuh saat kami disuruh mencari plastik sampah khusus bertanda yang sudah disebarkan diseluruh area sekolah, dan kami diwajibkan memungut semua sampah yang ada disekolah ini dan mengumpulkan setidaknya satu plastik penuh sampah kepada salah satu kakak pembina yang mengunakan tanda pengenal khusus. Ini adalah tugas kelompok, dan kami harus berpasangan. 2 orang satu kelompok tanpa mempermasalahkan genre.

“Kak Oliva kejam bangat ya sesuai rumornya.” Bisik salah satu teman disampingku.

Kupandangi wajah ketua osis yang berdiri didepan dengan seksama. Untuk ukura cewek bisa dikatakan dia lumayan tinggi, dan putih. Rambutnya panjang dan berkilau. Bisa kutebak dia berasal dari kalangan orang kaya. Matanya juga cantik. Pasti dia memiliki kehidupan yang sempurna.

Oliva memberikan aba – aba terakhir, dia mengeluarkan sebuah peluit dari kantongnya dan meniupkannya. Suara khas peluit tersebut memang terdengar berbeda. dan mulai hari ini, nada tersebut akan menjadi suatu code dari kakak pembina untuk mengumpulkan kami semua dilapangan ini.

Oliva membubarkan barisan dan semua mulai saling berpencar sibuk mencari teman masing – masing. Aku berjalan sendirian kearah berlawanan dan keluar dari pagar pembatas antar SMA dan kantin. Aku melakukan pencarian plastikku tanpa berteman dengan siapapun, ini adalah hal yang sudah biasa kulakukan.

Karena ini masih dalam tahapan ospek, para kakak kelas yang lain tidak memiliki kelas da nada sebagian dari mereka yang duduk dikantin sambil melihat kami, ada juga yang memilih untuk berolahraga bersama. Tidak ada sedikitpun tanda khusus tempat plastik disembunyikan. Aku berjalan menyusuri pinggiran sekolah dan mengintip ketempat – tempat yang mencurigakan. Tidak ada satupun plastik kutemukan disepanjang perjalanku.

Beberapa team berjalan melewatiku. Salah satu diantara mereka memegangi plastik hitam berlogo sekolah kami. Bagaimana mereka bisa mendapatkannya, pikirku. Aku memutuskan untuk mengikuti mereka dari belakang untuk mencari tahu. Mereka menghampiri beberapa kakak yang sedang beristirahat tidak jauh dari lapangan. Melihat mereka menghabiskan minumannya dan meminta botol minum mereka. ada yang memberikannya langsung, dan ada juga yang mengerjai adik kelasnya.

Kuputuskan untuk tidak membuang waktu lebih lama. Setelah mereka berhasil mendapatkan botol sampah, aku memutuskan mengejar mereka dan menghentikan mereka.

“Sorry ganggu, plastiknya dapat darimana ya ?” tanyaku.

Awalnya mereka saling pandang dan ragu membantuku, namun karena melihat aku sendirian saja, dan penampilanku yang menyedihkan, mereka sepakat untuk membantuku.

“Ini tidak akan ketemu dimanapun. Kamu harus mengoda salah satu kakak pembina yang tersebar untuk bisa mendapatkan plastik.” Mereka memberikan penjelasan.

“Oliva itu berbohong jika berkata dia menyembunyikannya. Jika dicari kamu tidak akan mendapatkannya. Info ini kami dapat dari salah satu adiknya kakak pembina, makanya kami bisa dapat dengan cepat.” Lanjut mereka.

Aku merenung sebentar, mungkin aku sudah kehabisan saat ini. Bagaimana aku bisa meminta plastik kepada kakak pembina jika sendirian saja. Berbicara dan merayu bukanlah kemampuanku.

“Oh, makasih ya infonya.” Jawabku cepat dan segera meninggalkan mereka.

Aku segera bergegas kembali ke lapangan tadi dan berusaha mencari kakak pembina. Mereka sudah bubar, bodohnya aku karena tidak menunggu atau memperhatikan teman lainnya terlebih dahulu. Setelah berkeliling agak lama dari lapangan tempat kami berkumpul tadi, aku memutuskan untuk duduk dikantin saja. Siap menerima segala konsekuensi yang akan diberikan nantinya.

“Hai kamu.” Sapa seseorang dari belakangku.

Kupalingkan wajahku dan betapa kagetnya aku melihat ketua osis berada dibelakangku.

“Boleh duduk disini ?” katanya lembut.

Aku hanya mengangguk saja tanpa bisa bersuara, terkesima melihatnya sedekat ini. Aroma parfumnya bisa kucium dengan baik. Dan dia begitu cantik. Pantas ketua osis adalah orang yang diidolakan semua lelaki disekolah.

“Oliva.” Katanya sambil megulurkan tangannya padaku.

“Sharon.” Kataku lirih dan kuulurkan tanganku yang tapaknya sudah berkeringat.

“Kemana teman kamu ? apakah sudah selesai mendapatkan sampah satu kantong ?” tanya Oliva.

Aku tidak berani memandangi wajahnya. Kutundukkan kepalaku dan sebuah kebohongan keluar dari mulutku.

“Sudah kak.” Jawabku pelan.

Suasana diantara kami terasa hening. Aku berharap dia cepat pergi dari sini. Hatiku tidak tenang karena berbohong padanya, pasti nanti dia akan tahu sendiri dan aku akan berada didalam masalah besar, pikirku.

“Yakin sudah kamu kumpulkan ? sama kakak yang mana satu Sharon ?” tanya Oliva lagi.

Aku bisa merasakan wajahku pasti sudah berubah warna saat ini. Apakah aku harus melanjutkan kebohonganku atau berkata jujur padanya.

“Tidak usah dijawab Sharon. Saya dari awal negokkin kamu lho sampai saat barisan bubar. Dan kamu langsung pergi sendirian sementara yang lain sibuk mencari teman dan meminta plastik kepada kakak pembina.” Lanjut Oliva.

Aku tertegun mendengar jawabannya. Ternyata dia memperhatikanku sedari tadi. Ada rasa malu didalam diriku, sehingga aku hanya menundukkan kepalaku tanpa berani menatapnya.

“Saya tidak marah kok. Saya dulu juga begitu. Tidak mau berteman dengan orang dan selalu mengerjakan semuanya sendirian saja.” lanjut Oliva.

Sungguh suatu pernyataan yang membuatku kaget, namun aku menjadi penasaran setengah mati akan kisah hidupnya hingga saat ini.

“Ada kalanya siifat begitu juga termasuk bagus. It’s doesn’t a matter kok kita mau berteman ataupun tidak. Namun satu hal yang harus kamu tahu, kita butuh yang namanya bersosialisasi. Dan ingat juga, bersosialisasi dengan orang tidak berarti kamu harus berteman dengan mereka.” kata Oliva.

Aku tidak mengerti apa maksud dari perkataan Oliva, bahkan aku juga tidak tahu mengapa dia tiba – tiba mendatangi aku dan menceramahiku hal – hal begini. Apakah ada seseorang yang meminta padanya melakukan hal tersebut ? Jika ada, hanya ada satu kemungkinan, dan itu pastilah Salim.

“Makasih kak, apakah ada seseorang yang meminta kakak menyampaikan hal tersebut padaku ?” tanyaku langsung pada Oliva.

Dia sempat diam dan berpikir sebentar sebelum memberikan jawaban padaku.

“Apakah ada orang yang mengenal dirimu ?” dia memberikan pertanyaan kembali.

Ingin rasanya aku menyebutkan nama Salim, namun sebelum kata itu keluar, aku melihat beberapa kakak pembina mendatangi Oliva.

“Liv, daritadi dicariin, ternyata disini lho.” Kata salah seorang dari mereka. Mata mereka memandangiku dan Oliva secara bergantian. Heran.

“Oh iya, aku baru aja mau pergi kok. Yuk !” sambut Oliva sambil berdiri.

Dipandanginya aku sebentar lalu dia berbicara pada salah satu kakak pembina, dengan helaan nafas, mereka mengeluarkan sebuah kantong plastik yang kucari sedari tadi dan diberikannya kepada Oliva.

“Ini Sharon, plastik kamu. Buruan sana kumpulin sampahnya ya.” Katanya lembut sambil memberikan plastik tersebut padaku.

“Satu lagi, siapapun yang ada dipikiranmu. Percayalah, tidak semua hal yang kamu pikirkan itu benar sesuai dengan pemikiran kamu. Yang terutama adalah siapa yang paling memperdulikan hidupmu.” Kata Oliva sambil melambaikan tangannya dan berlalu dengan teman – temannya.

Kupandangi dia dari belakang dan merenungkan setiap perkataannya. Kugengam erat plastik yang kini berada ditanganku dan kuputuskan untuk mulai mengumpulkan sampah – sampah yang ada. Aku akan melewati masa SMA ini dengan baik. Tidak akan kusia – siakan masa SMA ku kali ini dan akan kutunjukan kepada semua orang bahwa aku bisa.

Aku juga akan membuat diriku baik – baik saja dan menjadi baik – baik saja. Karena yang paling penting bagiku saat ini adalah bagaimana aku bisa menyelesaikan masa SMA ku tanpa ada masalah apapun dan memulai kerja paruh waktuku untuk bisa mencukupi kebutuhan rumah dan membayar uang sekolahku. Aku memutuskan untuk langsung pulang begitu bel berbunyi. Perjuanganku yang sesungguhnya baru akan dimulai dari jam pulang sekolah.

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
I have a dream
284      231     1     
Inspirational
Semua orang pasti mempunyai impian. Entah itu hanya khayalan atau angan-angan belaka. Embun, mahasiswa akhir yang tak kunjung-kunjung menyelesaikan skripsinya mempunyai impian menjadi seorang penulis. Alih-alih seringkali dinasehati keluarganya untuk segera menyelesaikan kuliahnya, Embun malah menghabiskan hari-harinya dengan bermain bersama teman-temannya. Suatu hari, Embun bertemu dengan s...
Neverends Story
4289      1320     6     
Fantasy
Waktu, Takdir, Masa depan apa yang dapat di ubah Tidak ada Melainkan hanya kepedihan yang di rasakan Tapi Harapan selalu menemani perjalananmu
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
225      182     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
A Story
256      205     2     
Romance
Ini hanyalah sebuah kisah klise. Kisah sahabat yang salah satunya cinta. Kisah Fania dan sahabatnya Delka. Fania suka Delka. Delka hanya menganggap Fania sahabat. Entah apa ending dari kisah mereka. Akankah berakhir bahagia? Atau bahkan lebih menyakitkan?
Should I Go(?)
9658      2263     12     
Fan Fiction
Kim Hyuna dan Bang Chan. Saling mencintai namun sulit untuk saling memiliki. Setiap ada kesempatan pasti ada pengganggu. Sampai akhirnya Chan terjebak di masa lalunya yang datang lagi ke kehidupannya dan membuat hubungan Chan dan Hyuna renggang. Apakah Hyuna harus merelakan Chan dengan masa lalunya? Apakah Kim Hyuna harus meninggalkan Chan? Atau justru Chan yang akan meninggalkan Hyuna dan k...
KATAK : The Legend of Frog
395      318     2     
Fantasy
Ini adalah kisahku yang penuh drama dan teka-teki. seorang katak yang berubah menjadi manusia seutuhnya, berpetualang menjelajah dunia untuk mencari sebuah kebenaran tentangku dan menyelamatkan dunia di masa mendatang dengan bermodalkan violin tua.
Awesome Me
3017      1079     3     
Romance
Lit Academy berisi kumpulan orang-orang mengagumkan, sebuah wadah untuk menampung mereka yang dianggap memiliki potensi untuk memimpin atau memegang jabatan penting di masa depan. Mereka menjadi bukti bahwasanya mengagumkan bukan berarti mereka tanpa luka, bukti bahwa terluka bukan berarti kau harus berhenti bersinar, mereka adalah bukti bahwa luka bisa sangat mempesona. Semakin mengagumkan seseo...
Kumpulan Quotes Random Ruth
1773      931     0     
Romance
Hanya kumpulan quotes random yang terlintas begitu saja di pikiran Ruth dan kuputuskan untuk menulisnya... Happy Reading...
Sweet Sound of Love
476      314     2     
Romance
"Itu suaramu?" Budi terbelalak tak percaya. Wia membekap mulutnya tak kalah terkejut. "Kamu mendengarnya? Itu isi hatiku!" "Ya sudah, gak usah lebay." "Hei, siapa yang gak khawatir kalau ada orang yang bisa membaca isi hati?" Wia memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kalau kamu juga senang." "Eh kok?" "Barusan aku mendengarnya, ap...
In your eyes
7932      1868     4     
Inspirational
Akan selalu ada hal yang membuatmu bahagia