(13 tahun kemudian)
(tit.. titt…)
Bunyi klakson mobil terdengar jelas dari depan. Aku mengintip dari balik tirai jendela dan taxi yang kupesan tadi sudah berhenti didepan rumahku.
“Ma, taxinya sudah datang.” Aku memanggil mamaku yang sedari tadi tidak menampakkan dirinya.
Kunyalakan camera ponselku dan melihat kembali wajahku. Tidak ada yang salah dengan riasan sederhana yang tertempel diwajahku saat ini. Aku mengenakan kebaya yang kupinjam dari salah satu teman baikku dari kampus yang berbeda, Kulapisi kebaya dengan selembaran baju toga dan kukenakan togaku. Hari ini adalah hari kelulusanku setelah berhasil menyelesaikan pertempuranku selama hampir 4 tahun dibangku perkuliahan.
Aku kebelakang dan melihat mama sedang berusaha mengaitkan salah satu tali sepatu dikakinya dengan susah payah. Pantas dia tidak menjawab panggilanku sama sekali sedari tadi. Aku berjalan mendekatinya dan jongkok tidak jauh dari tempat duduknya.
“Sini Ma, Sharon bantuin.” Kupegang sepatu yang berada dikakinya dan kukaitkan dengan pas.
Aku sudah berpesan pada mama untuk mengunakan sandal biasa saja agar kakinya tidak sakit, namun karena hari ini adalah hari besarku, mama berkeras untuk mengenakan sepatu tinggi. Aku tidak memberikan perlawanan apapun, meskipun aku tahu itu akan menyiksa pergelangan kakinya, namun ketulusannya untuk hadir dan menemaniku hari ini adalah hal terindah bagiku.
Dia bangkit berdiri dengan sedikit sempoyongan. Kutatapi wajahnya yang sudah tidak semuda dulu lagi. Sudah ada beberapa bintik hitam disudut wajahnya, meskipun bedak berusaha menutupinya, namun keriput yang ada disekitar matanya tampak jelas olehku.
Rambutnya juga sudah tidak sehitam dulu lagi, tangannya yang dulu begitu kuat mengandengku, kini sudah tidak segagah dulu lagi. Meskipun fisiknya sudah jauh berubah, satu hal yang aku ketahui secara pasti adalah rasa sayangnya padaku tidak pernah luput oleh waktu.
Kupastikan pintu rumah terkunci dengan baik dan kami berjalan kearah taxi yang sabar menunggu kami. Pelan – pelan mama turun dari tangga dan masuk kedalam taxi. Aku menyebutkan tujuanku kepada supir taxi, dan kami melaju menunju tempat acara wisudaku.
Kupandangi mama yang hanya diam sepanjang jalan. Satu hari sebelum hari sebelum hari wisudaku, dia begitu cemas akan apa yang akan dikenakan diacara tersebut. Meskipun aku berkata bahwa tidak masalah mau berpakaian bagaimana, dia tetap bersikeras harus tampil baik karena tidak ingin membuatku malu disana. Sebuah baju bunga – bunga menutupi badannya, dipadukan dengan celana panjang kain dan sepatu heels yang tidak terlalu tinggi. Mamaku tampak luar biasa dimataku. Kugengam tangannya dan taxi membawa kami sampai tujuan dengan cepat.
“Makasih ya Pak.” Kusodorkan uang selembaran limapuluh ribu pada supir taxi tersebut dan tidak meminta kembaliannya.
Supir tersebut tersenyum dengan bahagia dan membantu mama turun dari mobil. Setelah supir itu pergi. Aku terus mengandeng mamaku dan berjalan pelan masuk kedalam sebuah bangunan megah yang akan dijadikan tempat peresmian gelar baruku hari ini.
Aku menyadari mama tampak gugup karena tidak terbiasa ketempat mewah. Kupandangi ponselku dan tidak ada pesan masuk sama sekali dari kakakku ataupun papa. Kuhela nafasku dan berusaha memendam kekecewaanku yang siap meledak kapan saja. Aku tidak memberitahu mama bahwa aku mengundang kakak dan papa ketempat ini, Jika mama tahu dan menyadari mereka tidak hadir, pasti dia juga akan merasakan kesedihan yang sama denganku.
Aku melihat sepanjang jalan menuju gedung acara sudah dipenuhi oleh papan bunga ucapan selamat. Aku tidak menemukan papan dengan namaku disana. Tidak jarang juga aku melihat teman seangkatanku tersenyum penuh kebahagiaan karena kehadiran keluarganya yang lengkap. Masing – masing mereka mendapatkan bunga dan boneka dari orangtuanya dan berfoto ria didepan papan bunga mereka.
Kulihat mamaku yang sedikit sedih karena sadar bahwa dia tidak memberikanku apapun hari ini. Kugandeng tangannya dengan erat dan berjalan dengan bangga bersamanya masuk kedalam bangunan, meskipun aku menginginkan hal tersebut, aku berusaha tidak menunjukannya dihadapan mama, minimal aku harus bisa menyakinkannya bahwa aku tidak membutuhkan seikat bunga ataupun sebuah boneka. Aku tidak mengikuti sesi foto disalah satu stand yang sudah disiapkan. Aku tahu betul bahwa mama bukanlah orang yang suka tampil didepan khalayak ramai. Memutuskan untuk datang dan hadir diacaraku hari ini saja sudah merupakan hal luar biasa didalam hidupku.
Aula acara ini dipadukan dengan warna silver gold. Aku begitu terkesima dengan desain yang dikerjakan oleh temanku. Panggungnya lebar dihiasi dengan bunga – bunga. Kursi – kursi antik dan meja kecil terpajang dengan rapinya tidak jauh dari panggung, tempat para dosen akan duduk. Dan disusul dengan sederetan kursi berlapis kain warna putih dan diberikan nomor dibelakang kursinya, tempat dimana kami akan duduk menunggu giliran untuk maju. Dan dibelakang kursi kami, terdapat deretan tempat duduk orangtua yang berwarna merah.
“Ma, gpp nih duduk sendirian dibelakang ? Aku harus kesana duduknya.” Aku menjelaskan kepada mama sambil menunjuk salah satu kursi tidak jauh dari tempat dia akan duduk.
Mama memicingkan matanya dan melihat tepat kearah jariku. Dia tersenyum dan duduk disalah satu kursi berwarna merah tempat kami berdiri. Kulepaskan pegangan tanganku dan berjalan meninggalkan mama sendirian dibelakang sana. Aku menolehkan kepalaku untuk memastikan dia duduk dengan baik disana, dan yah. Mata mama hanya tertuju padaku, dan dia selalu tersenyum setiap kali aku mencuri pandang kearahnya.
Kursiku berada sekitar 10 deret dari jarak mama berada. Aku duduk dan menunggu bangku lainnya terisi. Beberapa temanku mulai datang dan aula ini mulai dipenuhi hiruk pikuk mahasiswa.
“Sharonnn…..” sebuah teriakan membuatku terkejut seketika.
Aku menoleh kearah suara tersebut dan bisa kulihat dengan jelas Ellena melambai – lambaikan tangannya, menandakan posisi keberadaannya. Yah, dia adalah teman pertamaku sejak aku memulai masa perkuliahan, aku tidak pernah berpikir bahwa aku bisa berteman baik dengannya hingga hari kelulusan kami.
Ellena berlari kecil menuju ketempatku dan memelukku dengan eratnya. Aku bisa mencium aroma parfum dibadannya hari ini. Dia pasti menghabiskan sebotol parfum agar menjadi orang paling wangi seruangan. Setelah puas memelukku, dia duduk disampingku. Aku selalu berharap untuk lepas darinya satu kali saja, namun sepertinya itu adalah hal mustahil karena dia melekat seperti siput denganku. Kami bahkan pernah dikatakan kembar identik.
“Sama siapa ron ?” tanyanya cepat begitu nafasnya sudah teratur.
“Mama saja.” aku memandang kearah mama duduk dan dia mengikuti pandanganku. Tidak dibutuhkan waktu lama dia berdiri dan berteriak dengan kerasnya.
“Tante.. I love you…” suaranya lantang dan melambai – lambaikan tangannya kearah mama.
Spontan seisi ruangan melihat kearah kami, kututupi mukaku dengan tas dan menarik bajunya agar dia segera duduk kembali dengan tenang.
“Haha, mama nengokin aku lho ron.” Katanya penuh semangat.
“Iya, Makasih ya el. Terus kamu sendiri kesini sama siapa akhirnya ?” aku balas bertanya padanya.
Ellen tampak kaget mendengar pertanyaanku. Senyumnya seketika hilang.
“Kamu tahu sendirilah ron. Mereka sibuk.” Jawabnya pelan.
Kuhela nafasku dan tanganku merangkul Ellen. Aku dan Ellen tidaklah berbeda jauh. Jika aku harus bekerja keras demi mendapatkan sesuatu, maka Ellen tidak perlu melakukan itu karena semua sudah tersedia. Bisa dikatakan perbedaan kami hanyalah berada pada materi.
Jika berbicara soal kasih sayang, aku masih menang karena mama yang setia mendukungku dan tidak pernah meninggalkanku. Apapun yang aku lakukan, dia selalu bangga padaku.
Berbeda dengan Ellen, tidak ada satupun hal yang dia lakukan mampu membuat orangtuanya bangga. Bahkan, untuk hari penting begini saja orangtuanya tidak hadir. Hal ini dikarenakan hal yang mereka inginkan adalah Ellen menempuh pendidikan diluar negeri. Bukan kuliah dikampus abal – abal seperti saat ini. Ellen yang tidak tahan dengan tekanan itu keluar dari rumah dan bertekat untuk menyelesaikan kuliahnya dengan hasil keringatnya sendiri. Awalnya orangtuanya sepele mendengarkan tekat Ellen, namun setelah Ellen berhasil membuktikannya, mereka tetap tidak merasa bangga pada anak satu – satunya itu. Ellen, pribadi yang terkenal dengan keramahan, keceriaan serta semangatnya yang luar biasa. Memiliki rasa sakit yang tidak mampu dia ungkapkan.
Lampu aula dimatikan. Sebuah lampu sorot tertuju didepan panggung, dan salah satu petinggi kampus mulai berjalan naik keatas panggung.
Aku melihat kembali kebelakang dan mama masih duduk disana, tidak bergerak dan tidak berbicara dengan teman disebelahnya. Dia terus memandangku. Kata pengantar mulai diberikan oleh para petinggi kampus. Apa yang menjadikan acara wisuda kami unik ini adalah, kami tidak hanya maju kedepan saat nama kami disebutkan, tidak hanya menunggu toga kami dipindah arahkan, namun kami juga boleh memberikan kesan dan pesan serta cerita tentang perjuangan kami berkuliah disini. Anak – anak semester pertama sengaja diundang hadir agar mereka bisa mengambil intisari dari kehidupan perkuliahan kami.
Kata sambutan diakhiri dengan nyanyian lagu kebangsaan kampus kami. Tidak lama setelah itu, sesi yang ditunggu akhirnya dimulai. Satu – satu siswa/i mulai dipanggil untuk mengambil sertifikat mereka dan memberikan beberapa kesan dan pesan diatas panggung. Sorakan dan tepuk tangan beiringan tanpa henti. Bahkan ada yang menagis diatas panggung saat dia berusaha memberikan kisahnya selama masa perkuliahan.
Kuambil kertas yang kuselipkan disalah satu kantong tas kecilku. Aku menuliskan pesan dan kesanku selama masa perkuliahan disini dan kupastikan ini akan selesai tidak lebih dari 10 menit. Aku tidak akan memberikan pidato menyedihkan yang akan membuatku menagis diatas panggung karena itu adalah hal yang sangat memalukan bagiku. Aku membaca sekilas isi kertas yang kusiapkan sejak 2 hari lalu. Ellena sesekali mencuri pandang pada kertas yang aku tulis. Kututup kertasku agar dia tidak meledek isi pidatoku nanti. Dia tidak membuat persiapan apapun, karena aku tahu dia akan ceplas ceplos diatas panggung seperti biasa. kuakui tingkat kepercayaan dirinya diatas rata – rata teman lainnya.
“Ron, bentar lagi kamu tu.” Ellena berbisik ditelingaku.
Aku melihat sekelilingku, sisa 5 orang lagi sebelum giliran aku dan El, aku mengintip kertas tersebut lagi dan berusaha mengingat setiap kata yang sudah tertulis disana. Namun El begitu rusuh disebelahku. Hampir semua orang yang maju dan siap memberikan pidato selalu dia sorakin dengan kencang. Aku berusaha tetap fokus pada tulisan tanganku dan mengabaikan sekelilingku.
“Sharon Wave.” Suara diatas membuatku kaget, sudah giliranku !
Aku bangkit berdiri dan tanganku seketika terasa begitu dingin. Ellena memegang tanganku dan mengangguk padaku. Kuyakinkan diriku untuk melangkah kedepan. Iringan tepuk tangan mulai terdengar, sorakkan teman lain juga mulai menyebutkan namaku. Tentunya suara Ellena tetap yang paling keras. Kupandangi mama dibelakang sebelum maju kedepan, dia tersenyum dengan bangganya. Wajahnya berseri. Kulangkahkan kakiku dengan tegas kedepan panggung, seperti saat pertama kali aku melangkahkan kaki berkuliah disini.
“Jurusan Human Resource. Lulus dengan pujian.” Suara dosen membacakan nilaiku dengan keras.
Ada rasa bahagia dan kebanggaan yang luar biasa didalam diriku karena lulus dengan akreditas A. Perjuanganku dan usahaku selama ini tidaklah sia – sia. Aku naik keatas panggung dan berdiri tepat didepan salah satu dosen yang memegang gulungan sertifikat kelulusanku hari ini. Sorak teman – teman dan tepuk tangan terdengar tiada henti. Kutundukkan kepalaku dan salah satu petinggi kampus memindahkan letak tali togaku, pertanda aku sudah lulus. Aku menyalami dan memeluk mereka, aku juga berusaha menahan airmata yag sedari tadi sudah mengumpul diujung pelupuk mataku.
Kini tiba saatnya aku memberikan pidato perpisahanku. Kupandangi sekeliling ruangan yang begitu ramai. Semua diam dan menunggu pidatoku. Kukeluarkan kertas yang sudah kusiapkan dan bersiap untuk membacakannya. Bibirku kaku, kakiku terasa bergetar diatas sini. Seketika tulisan dalam kertas yang sudah kupersiapkan dengan baik terlupakan begitu saja olehku. Kugengam kertas tersebut kuat – kuat dan mataku tertuju pada mama yang duduk sendirian memperhatikanku didepan ini sambil tersenyum. Kuahlikan segera pandanganku keluasnya ruangan ini.
“Kamu bisa Sharon..” Teriakan Ellena membuat mataku tertuju padanya, begitu juga sekeliling ruangan seketika melihat kearahnya. Kukepal tanganku dan aku memulai kata perpisahanku secara spontan.
“Hari ini adalah hari terbaik didalam hidupku.” Aku terdiam setelah mengeluarkan kalimat pertamaku. Suasana ruangan ini hening dan semua orang terus memperhatikanku. Pikiranku kosong, aku tidak tahu apa yang ingin kusampaikan. Saat keadaan panik bersiap menyerangku, Mataku terahlikan ketangan mama yang terangkat tinggi dan membentuk jempol. Keberanianku terkumpul seketika dan kulanjutkan pidatoku.
“Hari ini adalah hari terbaik didalam hidupku. Bukan karena kehebatan dan kemampuanku, melainkan karena orang – orang yang hadir disini. Mereka yang tidak pernah lelah mendukungku disaat aku ingin menyerah, menyemangatiku disaat aku lelah, dan terlebih mereka yang percaya padaku bahwa aku bisa dan juga mereka yang selalu ada disisiku setiap saat, tidak peduli apapun kondisinya.” Kataku tegas.
Aku bisa merasakan suaraku mulai berubah, airmata yang sejak tadi aku tahan sudah tidak sanggup aku bendung lagi, dia mengalir begitu saja dari ujung mataku. Aku kumpulkan tenagaku dan kuteruskan pidatoku.
“Saat aku menjalani kehidupanku sebagai anak kuliah, semua orang tidak percaya bahwa aku sanggup, bahwa aku mampu dan bahwa aku akan sukses. Dan jujur itu membuatku hampir menyerah. Membuatku berpikir buat apa membuang uangku banyak – banyak jika hasilnya sama saja. Lebih baik uangnya aku pakai buat kebutuhan lainnya. Buat apa bergelumut dengan kehidupan perkuliahan disaat aku bisa memanfaatkan waktu yang ada untuk mencari pekerjaan tambahan.” Suaraku bergetar, seluruh badanku terasa panas.
“Saat saya berpikir begitu, dan saat saya memutuskan untuk menghentikan pendidikanku, disana ada satu orang yang bekerja lebih keras, yang terus mendukungku tidak peduli seberapa besar harga yang harus dibayar olehnya, dan yang selalu berkata padaku bahwa aku bisa, dan aku akan sukses. Dan karena dialah, aku bisa berdiri disini hari ini. Dia yang hadir disini, yang tersenyum penuh kebanggan dihadapanku.” Pidatoku terhenti, dan tanganku mengarah pada mama.
“Dia adalah phalawanku, tidak peduli betapa hancur kehidupanku, betapa banyak kekecewaan yang aku berikan padanya. Tidak peduli seberapa sering aku berbohong padanya, bahkan terkadang aku sering berkelahi dengannya, melawan dan kasar padanya. Dan hebatnya adalah, dia tidak pernah sedetikpun meninggalkanku. Karena kasih sayangnyalah, aku berdiri disini. Dan karena kepercayaannyalah, aku akan membuktikan bahwa aku akan lebih sukses dari saat ini. Marilah kita jadikan hari ini sebagai langkah utama kita untuk meraih impian kita.” Tutupku.
Ruangan yang tadinya hening, kini dipenuhi oleh sorakan teman – teman dan tepuk tangan. Kutundukkan kepalaku dan turun dari panggung. Hal pertama yang kulakukan adalah berlari kearah mama dan aku memeluknya. Airmataku tidak terbendung lagi, dengan lembut mama mengusap airmataku.
“Mama bangga padamu, Sharon.” Bisik mama sambil mencium keningku.
Kupandangi dia dan kuhadiahkan sertifikat kelulusan ini padanya. Aku berdiri disamping mama dan tidak kembali ketempat duduk awal. Tidak lama nama Ellena dipanggil. Kupandangi dia yang naik dengan penuh semangat. Sorakan dan tepuk tangan mengiringi dia.
“Jurusan Human Resouce, Lulus dengan pujian.”
Dia berhasil. Kami berada dikelas yang sama dan menyelesaikan perkuliahan kami dengan hasil yang sungguh luar biasa. dia menundukkan kepalanya dan begitu tali toga dipindahkan, dia bersiap memberikan pidatonya. Aku tidak sabar menunggu apa yang akan dia sampaikan, karena biasanya dia selalu memberikan kejutan luar biasa.
“Hmm.. aku tidak tahu mau berkata apa karena pidato yang diberikan Sharon barusan sangat menyentuh.” Kata pertama Ellena keluar begitu saja.
Aku tersenyum dan tidak sabar menunggu bait berikutnya dari Ellena. Dia diam dan tidak melanjutkannnya. Ada kecemasan didalam diriku.
“Sukses buat kita semua. Terimakasih.” Tutupnya dan dia turun dari panggung. Spontan membuat semua orang yang berada disana kaget, termasuk diriku.
Mataku mengikuti Ellena yang berjalan dengan cepat, dia tidak kembali kekursinya melainkan keluar dari ruangan ini dari pintu sebelah. Aku memberikan togaku pada mama dan memintanya menunggu sebentar, kulepaskan heels yang kupakai agar bisa mengejar dirinya. Suasana awalnya hening namun kembali normal dengan dilanjutkannya pembacaan kelulusan.
“Ellena..” Panggilku. Aku berlari mengejarnya yang agak jauh. Berusaha menghentikannya dengan teriakkan namun dia tidak menghiraukanku.
“Ellena..” aku berlari agak kencang dan meraih pundaknya.
Tangannya kasar menghempas peganganku. Dan dia melanjutkan langkahnya menuju parkiran.
Kuhela nafasku, aku sudah mengenal temanku ini hampir 4th, dan aku tahu dia pasti kecewa dengan pidatoku barusan. Bukan bermaksud melukai hatinya, tapi aku sadar dia pasti terluka karena tidak ada satupun keluarganya yang datang hari ini.
“Ellena.” Aku berlari kedepannya dan menghalangi jalannya.
“Minggir Sharon !” bentaknya. Dia mengambil jalan samping dan menghindar dariku.
“Aku tidak akan kemanapun !” aku berkeras.
Dia tidak menghiraukanku dan berbelok. Dia terus berjalan tanpa memandangiku sama sekali.
Aku berlari kedepannya lagi, dan memaksanya berhenti. Saat dia ingin melayangkan amarahnya padaku, aku memeluknya. Dia meronta melepaskan pelukanku, namun aku berusaha sekuat tenaga agar dia tidak pergi lagi dari dekapanmu. Lama melakukan perlawanan, akhirnya dia hanya berdiam dipelukanku dan dia menangis.
Tangisan pertama yang kudengar dari Ellena setelah sekian tahun aku mengenal dirinya sebagai orang yang tegar dan kuat. Dia tidak bisa menahan rasa kekecewaan didalam dirinya lebih dari saat ini, dan dia menagis sejadi – jadinya. Aku memeluknya dan berusaha menghiburnya. Aku bahkan tidak peduli pada sekelilingku yang lewat dan melihat kami. Aku tidak bisa menahan airmataku saat melihat Ellena menagis. Kepahitan dan luka yang dia rasakan, membawaku teringat akan masa laluku. Airmataku terjatuh saat aku memeluknya, aku tidak memperdulikan hiasan diwajahku lagi saat ini. aku terus memeluknya hingga dia tenang.
“Maaf Sharon.” Ellena akhirnya berusaha dan melepaskan pelukanku.
Kupandangi riasan wajahnya yang sudah luntur, begitu juga denganku. Dan akhirnya kami tertawa bersama. Kami pergi ke wc terdekat dan membersihkan sisa makeup kami dengan air sebisa mungkin. Kami saling bertukar pandang didepan kaca dan Ellen akhirnya bisa tersenyum kembali.
“Kamu pulang sama aku aja. Mama masih didalam kan ?” tanya Ellena.
“Iya, gpp tuh ?” kupandangi dia dari balik kaca. Dia berkeras untuk mengantarkanku pulang. Kupandangi wajahnya dengan mata yang kupaksa – paksa terlihat besar, dan akhirnya dia menghela nafas panjang.
“Kita bawa mama pulang, terus kamu nemenin aku ngopi ya.” Ellena akhirnya jujur, tidak tahan dengan tatapanku.
Aku tersenyum dan pergi duluan. Aku masuk kembali kedalam aula tersebut dan mama masih setia duduk disana. Aku berjalan mendekati mama, awalnya dia sempat terkejut melihat perubahan wajahku, aku berbisik padanya dan kami meninggalkan aula terlebih dahulu sebelum acara benar – benar selesai. Mama adalah orang yang paling mengerti diriku. Tanpa banyak bertanya dia mengikutiku keparkiran. Aku mencari mobil Ellen dan masuk kedalamnya.
“Hai Bu..” sapa Ellena begitu kami sudah duduk didalam mobilnya.
Mama memandangnya dengan tersenyum, sepertinya dia sudah mengerti alasan perubahan wajahku ini cukup dengan melihat Ellena. Matanya masih bengkak.
“Bu, nanti sampai rumah kita tinggal bentar ya, pinjam Sharonnya pergi ngopi bareng bentar.” Kata Ellena.
“Iya, asal jangan pulang malam ya. Besok kan Sharon kerja.” Jawab mama santai.
Mobil kami melaju dengan pelan diiringi dengan musik lembut yang memang sengaja dipasang oleh Ellena. Maklum, demi memberikan kesan baik kepada mama. Kami sampai dirumah lebih cepat. Kubantu mama turun dari mobil dan kami masuk kedalam rumah. Ellena selalu membawa kaos dan celana pendek serta sandal jepit dibagasi mobilnya. Hal ini dia lakukan karena kebiasaannya untuk bolos ditengah jam kerja ataupun dipertengahan kuliah.
“Kalian mau makan dulu ?” tawar mama setelah melepas sepatu heelnya. Ada perasaan lega dari wajahnya.
Kupandangi Ellena sebentar dan dari raut wajahnya aku tahu dia akan berkata tidak. Dia tidak menjawab pertanyaan mama dan langsung pamit kekamar mandi.
“Engga usah ma, nanti kami makan diluar aja ya.” Kutolak tawaran mama. Dia tampak lemas dan berbisik ditelingaku.
“Ada uang kan buat makan diluar ?” bisikan mama sontak membuatku kaget.
“Ada kok ma. Mama jangan lupa makan ya.” Aku balik berbisik dan dia mengangguk, lalu meninggalkan kami kembali kedapur untuk mengoreng kerupuknya.
Aku masuk kekamar dan membuka lemari pakaianku. Saat sibuk mencari kaos hitamku, pandanganku terarah pada sebuah kaos bergambar monyet biru disalah satu sudut lemari. Kaos ini pasti muncul saat mama sedang membongkar lemari demi mencari bajunya. Kuraih kaos tersebut dan kupandangi dalam diam. Ada kenangan yang begitu manis didalam sebuah kaos sederhana itu. Kado pertama pemberian mama ketika aku pertama kali masuk SMA sekaligus kaos yang aku minta dengan rengekan seperti anak kecil kepada mama.
nice story :)
Comment on chapter Prolog