Read More >>"> She Never Leaves (I Really Want to..) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - She Never Leaves
MENU
About Us  

(Sharon, 18th)

“Sharon, ke moll yuk pulang nanti !!” Kata Silvi dengan bersemangat didepan mejaku saat bel pulang berbunyi.

“Engga dhe Sil, aku ada kerjaan.” Jawabku dingin setiap kali Silvi mengajakku ketempat yang akan menghabiskan uangku.

“Aku traktir dhe.” Rayu Silvi tanpa lelah.

“Uda dhe Sil, aku itu pulang ada kerjaan. Belum lagi kita mau ujian akhir. Jadi daripada habisin uang dan waktu buat nemenin kamu tidak jelas, mending aku kerja dan belajar.” Kututup buku didepanku dan bersiap meninggalkannya.

“Ih Sharon. Always gitu ya. Iya dhe semangat aja dhe kalau gitu ya !” kata Silvi dengan wajahnya yang sudah mulai terlihat cemberut dan berlalu meninggalkanku.

Aku hanya tersenyum melihat kelakuan Silvi. Tidak pernah berubah sejak pertama kali aku mengenalnya dikelas 2IPS. Silvi memiliki rambut keriting yang lucu. Badannya hanya berbeda beberapa meter denganku. Sekitar 160cm dan berkulit putih. Dia adalah anak pindahan dan bisa dikatakan selama aku mengenal dirinya, dia tidaklah terlalu pintar. Sudah hal biasa aku menolak ajakannya. Dia akan merajuk dan menghabiskan waktunya untuk membantu mamanya menjaga toko sembako mereka. Yapz, dia selalu menjadikan diriku sebagai alasan dia bisa kelayapan dan tidak menjaga toko. Mama Silvi selalu welcome jika tahu Silvi akan pergi denganku karena tujuannya pasti untuk belajar. Aku hanya tersenyum setiap kali mama Silvi bertanya akan tujuan kami.

Aku sampai dirumah dan langsung mandi. Setelah badanku terasa lebih segar, aku langsung menuju meja belajarku untuk melihat apakah ada tugas sekolah yang baru. Sudah sejak kelas 1 SMA aku mengatur jadwalku sedemikian rupa karena aku bekerja paruh waktu disebuah kedai mie yang buka mulai jam 5 sore hingga jam 11 malam. Awalnya mama tidak setuju jika aku sudah harus bekerja sambil bersekolah. Namun karena keinginanku yang kuat dan tekatku untuk bisa berkuliah setelah lulus SMA nanti, dia tidak berkata apapun dan membiarkanku bekerja. Tentunya dengan catatan nilai akademisku haruslah tetap bagus.

Tidak ada tugas ! jeritku dalam hati. Kulihat jam kecil yang ada didinding kamarku, baru menujukan pukul 3 sore. Aku masih ada sisa 2 jam untuk beristirahat sebelum pergi bekerja seperti biasa. Kurapikan isi tasku dan pergi kedapur untuk makan siang. Ada beberapa piring dimeja makan hari ini, sepertinya mama masak. Kubuka salah satu penutup piring dan menemukan ada telur cabe dan sayur kankung didalamnya. Aku akan makan banyak hari ini sebelum pergi bekerja.

“Ma, ada nasi tidak ?” teriakku.

“Ada dibelakang, tadi sudah mama panaskan.” Sahut mama agak jauh dari dapur. Dia sedang mengaduk kerupuk seperti biasanya.

Aku pergi kebelakang untuk mengambil nasi yang sudah dipanaskan kembali. Kuintip sebentar mama yang sedang mengaduk kerupuk dibelakang seperti biasa.

“Mama, sudah makan ?” tanyaku.

“Kamu makan aja dulu ya, Mama masih kenyang.” Dia melihat kearahku sebentar dan kembali sibuk membuat kerupuk.

Kubuka tampan yang menyimpan nasi. Sisa sedikit, sekitaran porsi aku sendiri. Dan ini jelas nasi sisa semalam karena aku tidak melihat ada bekas beras tertumpah. Kalau mama masak nasi, biasanya selalu ada beras berserakan disekitaran wastafel mini kami. Pasti dia belum makan, atau hanya makan sedikit dan menyisakannya buatku. Rasa sayangnya padaku memang tidak bisa diragukan lagi. Kuambil piring yang tidak jauh dari sana dan mengambil dua suap nasi dari tampan tersebut. Aku berjalan kembali kemeja dan mulai menikmati makan siangku.

“Sharon, sedikit bangat makannya ?” Mama masuk kedalam sambil membawa kerupuknya yang sudah siap dicabekan dan melirik kepiringku.

“Iya Ma, tadi disekolah ada teman traktir makan.” Aku mulai berbohong pada mama.

“Beneran ? Kamu tidak bohong sama mama kan ya ? Soalnya mama sudah makan.” Jawab mama sambil mengelus perut buncitnya didepanku.

Aku tertawa dan melanjutkan kebohonganku pada mama.

“Bener kok ma, ini karena cabe masakan mama enak aja, makanya aku paksain makan lagi dikit.” Kataku sambil mengambil cabe sesendok penuh dan meletakkannya diatas nasiku. Aku makan dengan lahapnya agar mama percaya. Dia hanya tersenyum dan duduk tidak jauh dari tempatku sambil mulai membungkus kerupuknya.

“Gimana kerjanya ?” tanya mama lagi.

“Aman kok ma, pamannya baik, dia kasih aku pulang jam 10 malam. Kadang dia kasih lebih juga uangnya kalau ramai bangat tempat dia ma.” Aku menjawab sambil berusaha menahan rasa pedas dimulutku. Cabe yang kuambil jelas kebanyakan jika dibandingkan dengan takaran nasi sedikit ini. Semoga aku tidak sakit perut nanti. Doaku dalam hati.

“Kalau capek jangan dipaksain ya. Mama penjualannya lumayan kok. Kamu kan harusnya pergi sama teman – teman jalan ke mall.” kata mama lembut.

“Iya aman kok Ma, Aku bantu antar kerupuknya ya hari ini. Kebetulan tidak ada tugas sekolah juga kok.” Aku menyelesaikan makanku dan berjalan kebelakang untuk mencuci piringku dan beberapa perabotan yang kotor.

Kuselesaikan kegiatan mencuciku sambil memikirkan perkataan mama. Diam – diam didalam diriku ada sedikit keinginan untuk menjadi anak muda seperti temanku lainnya. Pulang sekolah, mandi dan pergi jalan ke mall, pasti akan sangat menyenangkan. Tapi keadaanku saat ini tidak memberikanku kesempatan untuk melakukan hal tersebut. Kusimpan celemekku dalam salah satu lemari kayu tidak jauh dari dapur. Mama sudah menyelesaikan kerupuknya. Ada beberapa ikat kerupuk yang ingin dikirimkan ke beberapa kedai kopi berbeda.

“Ini Sharon, ke kedai A, dan satu lagi kedai C ya.” Kata mama sambil memberikan label agar aku tidak salah mengantar.

Kuperhatikan sekilas dan kumasukan kerupuk tersebut dalam plastik. Aku pamit dan pergi mengantarkan kerupuk sesuai dengan tujuan. Mama selalu memberikanku 5rb rupiah setiap kali aku membantunya mengantarkan pesanan. Teriknya matahari tidak kuhiraukan.

Rumahku berada dipersimpangan jalan besar. Kedai kopi tempat mama menitipkan kerupuk tidaklah jauh dari rumah kami. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 10 hingga 15 menit berjalan saja sudah sampai. Aku tidak pernah melalui jalan besar karena akan terasa lebih jauh. Selain itu, debu dijalan juga akan mengotori kerupuk mamaku. Aku terbiasa melalui gang – gang kecil yang sering ditunjukan oleh mamaku saat aku kecil. Aku mengingat setiap detail perjalananku dengan mama. Kami suka mengunakan payung agar terhindar dari panasnya matahari, dan makan es buah disalah satu gang kecil begitu kerupuk sudah diantarkan. Segelas berdua.

Aku sampai dikedai pertama, memberikan kerupuk dan meminta bayaran titipan kerupuk minggu lalu. Seminggu kami mendapatkan sekitar 30 sampai 50 ribu tergantung laku atau tidaknya titipan kami. Jika ada sisa, biasanya selalu kubawa pulang kerumah karena menjaga kualitas kerupuk. Kebetulan minggu ini habis, aku menerima bayaran penuh atas titipan minggu lalu. Setelah selesai serahterima, kulanjutkan perjalananku kekedai satu lagi yang hanya berjarak 20 langkah dari kedai pertama. Sejujurnya aku tidak begitu suka dengan kedai kedua karena pemiliknya yang sombong. Namun, aku diajarkan oleh mama untuk bersabar karena kami membutuhkan mereka. Aku selalu memaksakan bibirku tersenyum agar pemilik kedai tidak tersinggung. Hari ini aku juga akan melakukan hal yang sama.

“Berapa ?” tanya pemilik kedai dengan dinginnya.

“20 bungkus bu. Yang kemarin..” Aku berusaha mengingat.

“Sisa 10 nih.” Jawabnya cepat sambil mengeluarkan plastik berisi kerupuk mama dari salah satu laci meja.

Bagaimana bisa laku kalau disimpan begitu. Pikirku.

“Ini uangnya. Besok bawanya 10 bks saja. Jangan banyak – banyak.” Lanjutnya sambil menyodorkan uang 20rb.

 

Aku berusaha menahan emosiku. Bagaimana bisa laku kalau disimpan ! Aku menerima uangnya dan berlalu pergi setelah mengucapkan terimakasih. Ada rasa kesal yang begitu dalam yang berusaha kupendam sedari tadi. Tidak ingin membuat masalah bagi mama. Lantas, bagaimana aku harus menjelaskan pada mama kenapa kerupuknya bersisa begini banyak. Aku memikirkan jawaban terbaik sepanjang perjalananku menuju rumah.

Dengan keraguan aku menaiki tangga rumahku dan bersiap memanggil mama dari luar. Aku akan berkata jujur pada mama. Dagangan kami tidak laku bukan karena rasanya yang tidak enak, melainkan karena pemilik kedai yang sangat tidak bersahabat itu.

“Ma..” kupanggil mamaku.

Aku mendengar sahutan mama dari dalam rumah, dan tidak dibutuhkan waktu lama, pintu sudah dibuka oleh mama. Dia segera berlalu kembali kebelakang, pasti sedang mengoreng kerupuk lagi.

Kulepaskan sandalku dengan lemas, jaket yang kukenakan sedari tadi tidak terasa sudah dibasahi oleh keringat, kuletakkan jaket tersebut tidak jauh dari kipas angin yang berada diruang tamu dan berjalan menyusuri lorong gelap menuju dapur.

Rumahku memiliki 2 kamar didalamnya. Satu kamar dijadikan tempat tidur aku dan mama, dan kamar satu lagi kami gunakan sebagai tempat menyimpan pakaian dan kerupuk hasil jemuran mama. Rumahku juga memiliki satu ruang tamu yang diisi sebuah meja dan kursi kayu pemberian pamanku saat mama menikah dulu. Kami juga memiliki sebuah dapur mini dengan sedikit halaman belakang dan kamar mandi didalam rumah. Ini adalah rumah sewaan yang aku tinggali sejak aku kecil.

Rumah ini termasuk panjang karena memiliki lorong penghubung dari ruang tamu menuju dapur, dan disampingnya terletak kamar tidur dan kamar pakaian. Tidak terlalu lebar dan besar, namun rumah ini cukup bagiku karena hanya dihuni oleh aku dan mama.

“Ma, kerupuknya dikedai C sisa nih. Kalau dikedai A habis.” Kataku didekat mama sambil meletakkan bungkusan yang kutenteng daritadi. Mama menoleh dan mematikan api kompornya. Dia mendekatiku dan membuka bungkusan sisa kerupuk yang kubawa kembali dengan wajah penasarannya.

“Tumben disana sisa terus ya ?” tanya mama sambil membuka satu bungkus kerupuk tersebut.

Aku tidak menjawab pertanyaan mama, mungkin mama akan sedih jika mengetahui bahwa kerupuknya disimpan saja oleh pemilik kedai. Aku memilih untuk memberikan jawaban lain padanya.

“Karena kedainya dekat kali dengan si A. Coba besok kita nitipnya sedikit aja ma.” Kataku.

Mama melihatku sebentar dan menyetujui saranku. Dia memakan kerupuk sisa tersebut dan menyodorkannya padaku.

“Rasanya sih masih enak, Cuma bagus tidak usah mama campur ya Sharon. Kita harus menjaga kualitas jualan kita.” Jawabnya dan meninggalkan sisa kerupuk tersebut ditempat aku meletakkannya. Dia kembali memasak kerupuknya dan aku masuk kedalam kamar dengan perasaan bersalah.

Kulirik jam yang sudah hampir 5 sore. Dengan lelahnya aku beranjak kembali dan mengambil jaket dari ruang tamu. Aku pamit dengan mama dan berjalan menuju tempat kerjaku.

Perjalanan menuju tempat kerjaku tidaklah terlalu jauh. Hanya berkisar 10 menit berjalan kaki. Penjual mie tersebut dulunya adalah tetangga kami, dia menerimaku bekerja disana dan membantunya karena dia mengetahui seluk beluk kehidupan aku dan mama. Dengan gaji 10rb perhari, aku membantunya mulai jam 5 sore sampai jam 10 malam. Terkadang sedikit lebih lama karena ramai, dan dia selalu memberikan uang lebih jika tempatnya ramai.

“Sore Pak Ebi.” Sapaku begitu sampai.

“Sharon, semangat bangat ya setiap hari.” Sahut Pak Ebi begitu melihat batang hidungku.

Aku segera masuk kedalam dan mengantung jaketku disalah satu tiang yang sudah disiapkan. Kupasang celemekku dan berjalan kedepan untuk membantu Pak Ebi membersihkan meja – meja yang sudah ditata rapi diposisinya. Pak Ebi memiliki 4 orang anak, 2 masih kelas 1 dan 2 SMP, 1 sudah menikah dan meninggalkan rumah, dan 1 lagi kadang membantu Pak Ebi dan terkadang tidak. Pak Ebi berjualan berdua dengan istrinya, Bu Tini. Kadang saat kedai mie ini ramai, mereka berdua sering kewalahan. Dibandingkan dengan memperkerjakan orang asing, mereka lebih suka jika aku yang membantu mereka disini.

“Ibu kemana hari ini Pak ? Tumben ga Nampak.” Tanyaku saat aku tidak bisa menemukan Bu Tini.

“Dia pergi beli mie. Semalam dia lupa pesan, jadi tidak diantar, terpaksa kita jemput kesana.” Jawab Pak Ebi lembut.

Aku tersenyum dan membersihkan meja hingga keujung. Pak Ebi meninggalkan urusan membersihkan meja padaku dan pergi mengerjakan hal lainnya sebelum kami mulai berjualan.

Bisa dibilang umur Pak Ebi sudahlah tidak muda lagi, sekitar 52th dan Bu Tini sekitar usia 48th. Mereka sudah mulai berjualan sejak pertama kali pindah menjadi tetangga kami. Karena mie jualannya enak dan laris, mereka memutuskan untuk pindah ketempat yang lebih besar karena daerah rumahku tergolong kecil dan susah parkiran.

Aku selesai bersih – bersih dan duduk disalah satu meja didepan kedai, menunggu tamu datang dan menawarkan menu pada mereka. Sementara Pak Ebi akan berdiri ditempatnya masak dan Bu Tini terkadang ikut membantu masak jika tamu kami sudah ramai. 2 anak lainnya juga ikut melayani tamu didepan jika memang sudah tidak terhandle lagi oleh kami.

Kuperhatikan jalanan yang sepi, mungkin hari ini tidak akan seramai kemarin. Aku selalu membawa sebuah buku diary setiap saat aku datang bekerja disini. Jika keadaan sepi, aku selalu menghabiskan waktuku untuk mengarang berbagai cerita didalam buku ini. Terkadang aku juga membawa tugas sekolahku kesini jika tidak terkejar olehku dan kadang aku membawa novel yang sedang asik kubaca. Pak Ebi tidak pernah marah ataupun memotong gajiku. Dia juga memberikanku libur jika aku sudah memasuki musim ujian.

 

Aku selalu menulis setiap hari. Entah itu saat perasaanku sedang sedih, bahagia ataupun ketika aku memiliki masalah. Aku tidak memiliki teman disekolah kecuali Silvi dan beberapa anak orang kaya yang aku dekati dengan cara membagi ilmuku pada mereka, dan tentunya dengan imbalan makan siang gratisan. Dan buku selalu menjadi sahabatku setiap saat. Saat aku mulai menceritakan masalahku pada mama, aku tidak pernah mendapatkan solusi ataupun mendengar bahwa mama membelaku, dia selalu mengatakan padaku untuk tidak mencari masalah dengan teman, karena takut aku akan dikeluarkan dari sekolah. Padahal tidak semua masalah yang terjadi adalah karena kesalahanku. Sejak saat itu, aku tidak pernah menceritakan apapun pada mamaku lagi.

“Sharon, dimeja 10.” Kata Pak Ebi tiba – tiba.

Aku sedikit terkejut dan segera melirik kesalah satu meja yang sudah diisi oleh satu keluarga kecil disana. Aku selalu keasyikan menulis sampai lupa melihat keadaan sekelilingku. Kututup bukuku dan segera mengambil kertas yang sudah kusiapkan dan berjalan mendekati meja tersebut.

“Sore Pak, Bu. Silakan dipesan.” Kataku sambil memberikan selembaran kertas menu pada mereka.

Tidak dibutuhkan waktu lama mereka sudah menentukan apa saja yang akan mereka pesan, aku mencatat semua pesanan mereka dan mengulanginya kembali. Setelah mereka menyetujui semua pesanan yang kubacakan, aku mengambill kembali kertas tersebut dan memberikan data pesanan kepada Pak Ebi. Menunggu hingga Pak Ebi selesai memasak dan mengantarkannya pada mereka. Lalu, membersihkan meja mereka begitu mereka sudah pergi dari sini. Itulah rutinitasku setiap hari disini, dan aku menikmati pekerjaanku. Terkadang ada tamu yang memberikanku tips diatas meja.

Bekerja melayani orang selama 3 tahun seperti ini juga membantuku untuk lebih mengenal bahwa manusia memiliki berbagai macam jenis sikap dan sifat. Ada yang ramah, ada yang sombong dan ada juga yang judes. Ada begitu banyak perilaku yang berbeda dan membuatku lebih mengerti bahwa tidak semua orang kaya itu ramah, dan tidak semua orang susah itu pelit. Terkadang melihat orang bisa makan malam bersama sekeluarga juga menimbulkan perasaan iri didalam diriku. Sejak kecil, aku lahir dalam keadaan tidak normal seperti anak lainnya.

Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena mataku yang kecil sebelah, dan aku juga baru bisa berjalan setelah menginjak usia 18bulan. Papaku mengira bahwa aku adalah anak premature, dan meninggalkan mama karena diriku. Yah, dia menjadikanku sebagai alasan perpisahan mereka. Meskipun kenyataannya adalah bahwa papa sudah memiliki wanita idaman lainnya dihati, menjadikanku sebagai alasan sungguhlah hal yang menyakitkan. Mama masih mempertahankan status pernikahannya karena tidak ingin aku menjadi anak yatim. Sejak kecil aku juga sering dipukul oleh kakakku, apapun hal yang aku lakukan, dia selalu marah dan memukuliku. Aku tidak mengerti alasannya, apakah karena memang aku salah ataupun karena dia malu memiliki adik seperti diriku. Dan hanya mamalah yang pada saat itu selalu memelukku dan membelikanku permen setiap kali aku berlari dan menagis tersedu – sedu, aku selalu mengadu pada mama bahwa kakakku memukulku, dan bahkan dia tidak mau bermain denganku. Mama dengan sabar selalu menghiburku dan tidak jarang membelikanku permen dengan sisa uang yang dia miliki.

“Ini bayaran kamu hari ini ya.” Kata Pak Ebi saat aku sedang asik membersihkan piring – piring kotor yang ada.

Dia memberikanku selembar uang 20rb hari ini. Kulirik jam yang sudah menuju kearah jam 10 malam. Aku menerima uang pemberian Pak Ebi dan menyelesaikan cucianku terlebih dahulu. Saat akan pamit, Bu Tini memanggilku dan memberikanku dua bungkus mie kuahnya.

“Ini buat kamu dan mama ya, Tadi kan lumayan ramai, dan kamu tidak sempat makan juga. Ini dibawa pulang saja ya.” Kata Bu Tini lembut. Kuterima mie tersebut dan berjalan kembali kerumah dengan penuh semangat.

Mataku sayu sepanjang perjalanan pulangku kerumah. Ditemani sekantong plastik berisi mie ditangan kananku, kumasukan tangan kiriku kedalam kantong jaket, berusaha menghangatkan badanku dari dinginnya cuaca malam. Aku selalu memimpikan banyak hal setiap kali aku berjalan kaki kemanapun. Aku selalu membayangkan kehidupan yang lebih baik. Untuk seorang anak perempuan sepertiku, masa SMA seharusnya menjadi masa yang sangat menyenangkan. Masa dimana aku bisa memulai pencarian jati diriku, bersenang – senang dengan teman sekolah, dan juga masa dimana aku sudah boleh mencoba merasakan arti cinta.

Aku selalu membayangkan diriku memiliki seorang kekasih yang setia menemaniku, dan disisi lain, ada rasa takut yang turut serta didalam bayanganku. Rasa takut akan ditinggalkan seperti yang dialami oleh mamaku selalu membuatku membenci setiap pria yang berusaha mendekatiku. Aku selalu menghabiskan waktu istirahatku dengan pergi keperpustakaan. Membaca berbagai macam buku selalu memberikan kesenangan tersendiri bagiku, dan rasa kesepian juga sudah menjadi temanku sehari – hari sejak aku SD dulu.

Aku sampai dirumah dan bisa kulihat lampu diruangan depan masih menyala. Mama pasti belum tidur. Kukeluarkan kunci kecil yang berada disaku celanaku dan masuk kedalamnya.

“Ma, ada mie ni dikasih sama Bu Tini.” Kataku dengan lelahnya.

“Oh ya. Hari ini ramai ya disana ?” suara mama terdengar dari dapur seperti biasanya.

“Iya Ma, hari ini Sharon dikasih 20rb dan 2 bungkus mie sama dia. Yuk kita makan Ma.” Jawabku.

Kulepaskan jaketku dan kuganti pakaianku. Meja makan kami kosong, mama pasti hanya makan nasi seadanya sisaku tadi siang. Tidak dibutuhkan waktu lama mama sudah duduk dimeja makan dan membuka mie pemberian Bu Tini dengan semangat. Kami menghabiskan mie kami dengan lahapnya. Ada rasa bahagia didalam hatiku setiap kali melihat mama menyantap makanan kesukaannya ini. Mie jualan Pak Ebi tergolong mahal, satu bungkus dibandrol dengan harga 25rb. Hal ini membuat kami jarang membeli mie ini. Biasanya kami hanya akan makan mie Pak Ebi jika jualan kerupuk kami banyak ataupun saat Bu Tini lagi berbaik hati karena kedainya ramai.

Aku masuk kedalam kamar dan seluruh badanku terasa begitu lelah. Kulirik jam yang sudah menujuk kearah jam 11 malam. Mama masih sibuk dengan kegiatannya didapur. Aku selalu tertidur duluan sehingga tidak sadar lagi jam berapa sebenarnya mama tidur, begitu juga saat aku terbangun, semua hal yang kuketahui adalah aku tidur terlebih dahulu dari mama dan mama jugalah yang bangun lebih cepat dariku. Kupejamkan mataku dan kubayangkan diriku jika sudah bekerja penuh besok saat lulus SMA. Aku akan bekerja dengan sangat keras dan giat sehingga mama tidak perlu berjualan kerupuk lagi, sehingga mama bisa menikmati masa tuanya. Aku akan sukses ! Tekatku didalam hati. Aku tidak membutuhkan kehidupan seperti anak perempuan lainnya. Asalkan aku bisa bekerja, makan dengan cukup dan kuliah setelah menyelesaikan SMA, aku akan menunjukan bahwa aku akan sukses dengan kerja kerasku !

 

(Tringgg….)

“Ughh…” tanganku berusaha meraba alarm yang ada didekat telingaku dan menekan tombolnya dengan mata yang masih terpejam.

Kubuka perlahan mataku dan kulihat mama tidak ada ditempat tidurnya pagi ini. Aku pasti ketiduran lagi sebelum mama masuk kamar semalam. Dengan malasnya aku bangkit dan berjalan seperti zombie menuju kamar mandi. Aku bisa mencium aroma cabe khas mama. Pasti dia masak pagi ini. Seketika semangatku bertambah.

Setiap pagi aku hanya mencuci mukaku dan membersihkan gigiku dan berangkat kesekolah, tidak biasa untuk mandi pagi. Aku menghampiri mama didapur dan melirik kearahnya, dia masak ikan cabe kesukaanku.

“Wah, tumben masak enak pagi ini ma.” Kataku.

Mama melirik kearahku dan mencicipi cabe masakannya sebelum akhirnya mematikan kompor.

“Iya, biar kamu semangat sekolahnya. Semalam tidurnya ngorok lho. Pasti capek bangat kan.” Kata mama.

Aku bahkan tidak sadar bahwa tidurku ngorok tadi malam. Aku bahkan tidak bermimpi apapun semalam. Aku berjalan kemeja makan dan mengambil nasi yang masih panas agak banyak. Hari ini adalah hari terakhirku sekolah dan besok sudah memasuki masa ujian akhir. Mama mengikutiku dan mengambil nasi dengan porsi lebih sedikit lalu duduk bersamaku dimeja makan.

“Kerja sama Pak Ebi berat ya ?” tanya mama membuka pembicaraan.

“Engga kok Ma, hari ini terakhir aku kerja sih. Soalnya sudah masuk masa ujian akhir.” Kataku pada mama dengan cemas. Mama pasti sadar jika aku tidak bekerja dengan Pak Ebi, maka aku tidak akan memiliki uang. Ditambah hasil kerjaku selama ini selalu kuberikan pada mama untuk membayar uang sekolahku.

“Sharon, tidak terasa ya sudah besar. Sebentar lagi sudah lulus sekolah. Bagaimana SPP masa ujian akhir ?” tanya mama lagi.

“Ada peningkatan 200rb ma dalam 2 bulan ini.” jawabanku terhenti karena menyadari tingginya SPP yang harus kubayar. Sudah setara dengan 1 bulan kerja part timeku pada Pak Ebi jika dia membayar normal.

Kupandangi mama yang diam dan makan tanpa suara. Ada perasaan bersalah dari dalam diriku menjelaskan pada mama hal begitu. Seharusnya aku cukup bilang bahwa SPP masih sama seperti sebelumnya. Aku bisa membantu mencari uang tambahan dengan mengerjakan tugas temanku ataupun hal lainnya seperti yang sudah kulalukan 3 tahun selama masa SMA ku ini. Masa kenaikan kelas dan kelulusan selalu menjadi masa yang kubenci karena aku tidak bisa mendapatkan job tambahan. Selain itu, biaya yang dibutuhkan juga lebih tinggi dari bulan – bulan lainnya.

“Ma, apa aku minta sama papa aja ya 2 bulan ini ?” tanyaku.

Mama melihatku sebentar lalu tampak berpikir. Dia menyelesaikan makannya dengan cepat dan berjalan kesalah satu lemari tempat dia menyimpan uangnya. Dikeluarkan semua uang yang dia miliki dan dihitungnya didepanku. Ada sekitar 500an. Cukup untuk membayar uang SPP ku satu bulan pertama.

“Ini pakai dulu Sharon.” Mama menyodorkan sekitar 400an kepadaku. Biaya SPP ku biasanya hanya 150rb, 2 bulan terakhirku dimasa SMA membuat SPPku berubah menjadi sekitar 350rb. Kupandangi mama dengan perasaan ragu.

“Ini gpp ma ?” tanyaku sekali lagi.

“Iya pakai dulu. Nanti sisa 100rb ini mama jadikan modal buat dapet uang lagi. Yang penting sekarang kamu fokus sama ujian akhirnya ya. Jangan sampai tidak lulus.” Mama menyemangatiku dengan senyum khasnya. Aku bisa melihat ada kerutan dibeberapa sudut mata mama saat dia tersenyum. Kusimpan uang pemberiannya dan kuselesaikan makanku dengan cepat. Aku berangkat kesekolah dengan membawa 2 kantong kerupuk seperti biasa dan tidak berpamitan dengan mama pagi ini. Aku tahu mama pasti tidak suka jika aku meminta sesuatu pada papa, padahal dia selalu memberikannya padaku. Aku tetap akan meminta pada papa meskipun mama tidak suka, tekatku. Karena bagaimanapun juga, aku masihlah anak papa. Dia tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya terhadap kehidupan aku begitu saja.

Kuserahkan kerupuk titipan mama pada salah satu kakak penjaga kantin dan segera bergegas ke tata usaha untuk membayar SPPku bulan ini. Setelah selesai, aku masuk kedalam kelasku dan membuka kembali buku diariku. Aku mulai menulis segala perasaanku didalam buku tersebut. Mulai dari Pak Ebi yang memberikanku mie dan uang lebih, hingga expresi wajah mama ketika aku membahas soal papa didepannya. Aku mengerti bahwa pasti ada luka didalam hati mama saat kami ditinggalkan olehnya karena lahirku yang kurang normal. Bukan bermaksud untuk menyakiti hati mama, tapi aku tidak ingin diriku selalu menjadi alasan dari semua kesedihan dan kesusahan mama. Biasanya jika aku meminta uang pada papa, dia tidak pernah berkata tidak. Dia selalu memberikannya padaku tanpa banyak bertanya.

“Sharonnn !” suara Silvi membuatku terkejut. Cepat – cepat kututup buku diaryku sebelum dia sampai kemejaku.

“Cepat bangat sampai !!” dia segera duduk disampingku setelah meletakkan tasnya. Jarak meja kami agak jauh. Awalnya saat kenaikkan kelas, kami duduk sebelahan, namun karena kami suka bercerita terus, akhirnya kami dipisahkan. Silvi duduk paling depan dan aku 3 baris dari bangku depan.

“Iya biasa, anterin kerupuk. Selesainya lebih cepat.” Kataku singkat. Kusimpan buku diaryku kedalam tas dan mata Silvi sibuk terpaku pada buku tersebut.

“Baca dong diarynya.” Bujuknya.

“Engga !” jawabku judes.

“Ahh, besok kucuri buku sakralnya ya !” Silvi tidak pernah menyerah untuk mendapatkan kesempatan membaca buku diaryku itu. Dia juga pernah berkata bahwa dia cemburu kepada buku diaryku karena aku lebih memilih bercerita disana daripada kepadanya.

“Kita sarapan yuk sebelum masuk. Aku traktir hari ini !” dia berdiri dan tangannya menarikku untuk ikut bersamanya.

Aku tersenyum melihat kelakuan temanku yang hanya satu ini, aku bangkit dan ikut pergi bersamanya. Masih ada sekitar 15 menit sebelum bel masuk berbunyi. Dia membeli 2 piring miso panas dan kami makan dengan lahapnya. Kutatapi dirinya, terkadang ada rasa iri dalam diriku terhadap kehidupannya. Meskipun dia menjaga toko, minimal hidupnya tidak sesulit kami. Dia juga mendapatkan kasih sayang yang besar dari papa dan mamanya. Menjadi anak satu – satunya tentunya menyenangkan. Aku kembali teringat saat aku masih kelas X pertama kali. Pertama kali Salim menyapaku dan aku mengabaikannya karena perlakuannya saat aku masih SMP, hingga hari dia lulus aku bahkan tidak pernah berbicara padanya disekolah. Aku sering melihatnya dijemput oleh papa setiap jam pulang, berbeda denganku yang berjalan kaki. Dari sana aku belajar untuk dekat pada papa dengan tujuan minta uang saja. Dan itu berjalan hingga kelulusan SMA Salim, papa membelikanku sebuah ponsel dengan tujuan agar aku bisa menghubunginya kapan saja. Yang sekarang sudah tidak ada lagi karena dijual untuk kebutuhan sehari – hari.

“Sharon !” Silvi melambaikan tangannya didepan wajahku dan membuyarkan khayalanku.

“Mikirin apa sih sampai terbengong begitu.” Tanyanya cemas.

“Aku ke flash pas kelas X dulu. Tidak terasa ya kita sudah mau tamat aja.” Aku mengarang cerita pada Silvi.

“Iya, kamu lanjut kuliah ndak Sharon ?” tanya Silvi antusias.

Aku terdiam dan berpikir sejenak. Untuk membayar SPP akhir saja aku sudah kesulitan, bagaimana mungkin aku berani berimpian untuk melanjutkan sekolah kejenjang sarjana.

“Engga dhe Sil, bantuin mama atau kerja dulu. Kamu bagaimana ?”

“Lho, kamu pintar gitu sayang dong ya tidak kuliah. Kalau aku sih mau ke ibukota rencananya. Aku akan menjadi seorang notaris.” Perkataan Silvi penuh optimis dan semangat. Aku hanya tersenyum mendengar setiap keinginannya dan didalam hati aku selalu berharap bisa mendapatkan kesempatan seperti dirinya.

Bel masuk berbunyi dan aku menghabiskan hari terakhir sekolahku seperti biasa. Silvi pulang lebih cepat karena sudah berjanji pada mamanya untuk membantu membersihkan toko mereka. Kupandangi kelas ini sebentar sebelum pulang. Ini adalah kelas yang pernah diduduki oleh kakakku, Salim. Hal terakhir yang aku tahu adalah dia melanjutkan kuliahnya. Apakah aku akan disekolahkan juga oleh papa, sama seperti dirinya. Aku sangat menginginkan hal itu. Aku menginginkan semua yang didapat Salim. Dan tanpa aku sadari, keinginan yang besar untuk mendapatkan kehidupan dan perlakuan yang sama dengan Salim membuatku terus memendam kebencian yang dalam pada Salim dan papa. Aku bahkan tidak pernah bertanya kabarnya kecuali masalah uang. Pikiranku dipenuhi oleh rasa iri sepanjang perjalanan menuju rumah.

Aku sampai dirumah dan hal yang selalu kulihat setiap hari adalah mama yang selalu sibuk didapur dengan kerupuknya. Kami bahkan tidak pernah menghabiskan waktu kami untuk pergi jalan – jalan. Minimal ke mall saja kami tidak pernah. Paling hebat kami hanya pergi keswalayan terdekat dan membeli beberapa snack. Atau kami pergi makan fast food yang bisa dihitung jari. Aku dipenuhi oleh rasa benci seketika didalam benakku. Aku begitu benci akan kehidupanku. Aku tidak membenci mama, tapi aku membenci diriku sendiri. Aku masuk kekamar tanpa menyapa mama seperti biasa dan merendamkan kepalaku dibantal. Ada begitu banyak hal yang memenuhi pikiranku. Aku mulai cemas terhadap masa depanku.

“Sharon, kamu baik – baik saja ?” tanya mama dari balik pintu. Sadar bahwa aku sudah pulang dan langsung masuk kamar.

“Hmm..” jawabku.

“Ada masalah ya disekolah ?” mama duduk disebelahku dan mengelus kepalaku.

Airmataku terasa ingin keluar didepannya. Aku tidak berani melihatnya karena aku akan menagis, dan itu pasti akan membuatnya merasa sedih.

“Ngantuk ma.” Kataku pelan.

“Yauda, kamu tidur saja dulu ya. Mama selesaikan dulu pesanan orang. Nanti sore kita makan diluar ya.” Kata mama lembut dan pergi meninggalkan aku.

Mama pasti sadar ada yang berbeda dari suaraku tadi, dia tidak pernah memaksa aku untuk menceritakan masalahku. Dan hal yang bisa dia lakukan adalah mengajakku pergi makan malam. Seketika aku tersadarkan oleh rasa keegoisanku yang begitu besar. Aku pasti terlalu memikirkan diriku sendiri dan keinginanku. Jika dulu tidak ada mama, mungkin aku tidak akan bisa seperti saat ini. Kupejamkan mataku dan airmataku keluar begitu saja. Ada rasa kesedihan begitu besar didalam diriku. Kenapa aku terlahir dengan kondisi begini. Apakah aku egois jika berharap dan meminta untuk bisa kuliah ! aku menghabiskan masa 12th sekolahku tanpa pernah meminta apapun dari orangtuaku. Aku selalu memendam semua keinginanku, dan aku bekerja untuk memenuhi keinginanku sendiri. Untuk kali ini saja, apakah salah jika aku menyampaikan keinginanku ini ? Aku bahkan tidak tahu kenapa papaku meninggalkan mama, apakah benar karena aku ? kenapa dia masih memberikanku uang saat aku minta padanya. Seandainya aku tidak terlahir….

Aku bangkit dari tempat tidurku dan kuputuskan untuk pergi mandi agar pikiranku bisa lebih jernih. Kulepaskan  seragam kotorku dan kuletakkan didalam keranjang yang berada tidak jauh dari kamar mandi. Kunyalakan air sederas mungkin agar mama tidak mendengarkan apapun selain suara air. Aku mulai membasahi seluruh tubuhku dengan air yang sudah tertampung didalam bak. Guyuran air ini tidak terasa dingin ditubuhku. Bisa kurasakan ada aliran hangat yang mulai mengalir membasahi pipiku. Aku menarik nafasku berulang kali, berusaha membendung airmataku agar tidak terjatuh, namun aku tidak mampu menahannya lagi. Tangisku meledak, suaraku berlomba dengan kencangnya air yang keluar dari kran itu. Aku meringkuk didalam kamar mandi dan kubiarkan diriku hanyut dalam kesedihan. Semua perasaan yang selalu aku tutupi dan kupendam sekuat hati selama ini. Aku tidak mampu lagi menahannya. Ingin kucurahkan semua isi hatiku, namun aku takut. Aku takut bahwa aku akan menjadi orang paling egois, dan aku takut kejujuranku ini akan menyakiti perasaan orang yang paling kusayangi selama ini. Kupejamkan mataku dan kubiarkan airmataku kering sendiri.

 

“Sharon.” Panggil mama dari balik pintu.

“Iya Ma ?” jawabku tegas, berusaha membuat suaraku terdengar biasa saja.

“Masih lama mandinya ? Mama mau ke toilet.” Kata mama lagi.

“Uda kok ma, bentar ya pakai handuk dulu.” Aku bangkit berdiri dan mencuci mukaku lagi agar terlihat segar. Aku akan jujur pada mama nanti. Aku tidak ingin terus membohongi mama.

Kumatikan kran air dan keluar dari kamar mandi bermodalkan handuk saja. Mama melihatku dan tampak sadar bahwa ada yang berbeda dengan mataku.

“Kamu nagis ? kok matanya merah ?” tanya mama sebelum masuk kekamar mandi.

“Tadi kena sabun ma, melamun. Ga nagis kok.” Jawabku cepat seraya berlalu pergi. Mama tidak banyak bertanya dan menghilang dibalik pintu kamar mandi.

Aku mengambil kaos hitam kesukaanku dan celana pendek selutut. Kuintip dapur yang sudah bersih, pasti mama menyelesaikan kerupuknya dengan cepat agar bisa makan bersamaku. Aku akan menceritakan padanya keinginanku untuk berkuliah. Tentunya aku akan sambil bekerja dan membayar biaya kuliahku sendiri. Hal yang aku inginkan hanyalah dukungannya.

“Makan apa kita sore ini ma ?” tanyaku saat mama mengambil sandalnya.

“Makan kfc yuk.” Ajak mama semangat.

Aku tersenyum dan mengandeng tangan mama. Dia selalu mengajakku makan kfc setiap kali punya uang lebih karena itu adalah makanan kesukaannya. Kami naik angkutan umum menuju ke salah satu mall yang tidak terlalu jauh dari rumah. Kami sangat jarang keliling mall karena hanya akan menghabiskan uang saja, biasanya acara keliling mall akan kami lakukan jika mendekati hari raya ataupun saat ada diskon besar – besaran. Kfc menjadi tujuan kami setiap kali kesini.

Mama duduk disalah satu kursi yang menghadap kejalan raya dengan berbatasan kaca saja. Dia memberikanku selembaran uang 50rb dan aku mengantri didepan. Aku sedikit terkejut melihat harga paket makanan yang sudah berubah. Untuk paket nasi dan 2 potong ayam sudah menghabiskan sekitar 35rb. Kupesan paket tersebut satu dan kupesan seporsi spagetty seharga 9rb untuk diriku.

“Totalnya 48rb kak.” Kakak kasir tersebut memberikan struk pesananku dan kuserahkan selembar uang 50rb tersebut padanya. Dia memberikan kembalian dan pesananku.

Kuhampiri mama yang duduk sendiri menungguku sambil menghadap kejalan raya. Lamunannya buyar ketika kuletakan nampan berisikan makanan kami. Dia melirik sekilas dan bertanya padaku dengan cemas.

“Uangnya kurang ya ?” matanya tidak terlepas dari 2 potong ayam dan nasi serta sepiring kecil spagetty didepannya.

“Cukup kok Ma, aku lagi pengen makan mie.” Jawabku.

Aku menuntun mama ketempat cuci tangan sebelum menikmati makanan kami. Dia melihatku dan memberikanku satu potong ayam yang besar.

“Lho, engga usah ma. Aku lagi ga pengen makan ayam.” Aku berbohong padanya.

“Mama engga boleh makan banyak, nanti batuk.”

Kulihat mama dan kutukar ayam pemberiannya.

“Aku yang kecil saja ma.” Jawabku.

Kami menikmati makanan kami sore ini. Kulirik mama yang menghabiskan ayamnya dengan semangat. Tidak disisakan sedikitpun daging ditulangnya. Kuselesaikan makanku dan sengaja menyisakan daging diayamku. Aku pergi kewastafel dan mencuri pandang kearah mama, dia mengambil ayamku dan membersihkan dagingnya dari sana. Ada perasaan sedih didalam hatiku. Untuk membelikannya sepotong ayam kfc saja aku tidak mampu.

“Ma, masih mau makan lagi ?” kuhampiri dia saat sedang membersihkan sisa daging diayamku. Dia sedikit terkejut dan segera meletakkan kembali ayam tersebut dipiringku.

“Mama pikir sudah tidak mau lagi. Sayang aja ayamnya masih banyak. Mama sudah kok makannya.” Katanya cepat sambil berdiri dari tempatnya dan berjalan ke wastafel. Kuperhatikan sisa tulang dipiringnya, begitu bersih tidak bersisa.

Dia kembali tidak lama dan menghabiskan minumannya.

“Ma, aku mau ngomong.” Kataku.

“Kenapa Sharon ?” Tanya mama sambil meletakkan minumannya dan melihat tepat kemataku.

Tanganku terasa dingin, aku akan berkata jujur padanya.

“Ma, aku kan sudah mau selesai SMA. Aku mau kuliah ma.” Kataku penuh keyakinan.

Dia diam membisu mendengarkan permintaanku. Kutatap mata mama dan kuutarakan keinginanku tersebut.

“Ma, aku sangat ingin kuliah. Aku tidak mau hidupku begini terus. Dengan berkuliah aku bisa menjadi orang sukses dan mengubah kehidupanku.” Kataku antusias.

“Kita kan wanita, pasti kedapur juga.” Jawab mama.

Aku terkejut dengan jawaban tersebut.

“Ma, kata siapa semua wanita kedapur ! Selesai kuliah aku akan menjadi wanita karier dan membangun hidupku sendiri !” bantahku.

Mama tidak menjawab lagi. Dia hanya diam dan mengahlikan pandangannya kesisi jalan raya.

“Aku tidak minta uang mama kok. Aku akan bekerja selesai SMA dan aku akan berkuliah dengan usahaku sendiri. Aku hanya mau dukungan mama saja. Itu sudah cukup !” kataku lagi. Suaraku terasa bergetar.

“Aku tidak pernah meminta apapun sama mama dalam hidupku. Dan untuk kali ini saja, aku hanya ingin mama mendukung keinginanku. Bukan mematahkan semangatku !” lanjutku.

Suaraku pecah karena aku tidak mampu mengendalikan emosiku lagi. Mama akhirnya menatapku dan memegang pipiku. Matanya tampak berkaca – kaca, merasakan apa yang kurasakan. Aku sadar bahwa mama pasti akan selalu mendukungku, namun dia tidak berani memberikanku jawaban karena ketidakmampuannya. Tidak ingin aku kecewa akan harapanku sendiri nantinya.

“Mama pasti dukung kok.” Katanya lembut.

Kugengam erat tangan mama dan dari matanya terpancar keyakinan bahwa aku pasti bisa menjadi orang yang sukses. Sebuah senyum terukir dibibirku, tidak akan kusia – siakan kepercayaan mama padaku.

“Yuk Ma, aku mau ketempat Pak Ebi lagi.” Kataku.

“Kita beli buah sebentar ya sebelum pulang.” Ajak mama. Aku mengandeng mama dan kami masuk kesalah satu market buah yang ada didalam mal. Mama melihat beberapa jenis buah dan tampak mulutnya sibuk menghitung harga belanjaannya. Kami selesai membeli buah dan segera keluar dari mal tersebut. Angkutan umum yang menuju arah rumah kami tampak belum ada yang lewat. Kupegang kantong belanjaan mama dan duduk disalah satu halte didepan mal.

“Ma, besok aku akan punya kendaraan sendiri, dan kita tidak perlu hitung – hitung uang lagi kalau pengen belanja ma. Dan mama juga bisa makan kfc sepuasnya.” Kataku.

“Mama yakin dan percaya padamu kok Sharon.” Jawab mama.

Angkutan umum berhenti didepan kami dan kugandeng mama masuk kedalam bersama. Ada begitu besar semangat didalam diriku untuk mengejar cita – citaku. Aku akan sukses, dan aku tidak akan membiarkan mama terus berjualan kerupuk. Mama harus bisa menikmati hari tuanya. Tekatku dalam hati.

Tidak dibutuhkan waktu lama kami sudah sampai rumah, aku pamit dengan mama dan berjalan dengan semangat ketempat Pak Ebi. Ada perasaan sedih ketika aku harus meninggalkan Pak Ebi dan Bu Tini yang telah banyak membantuku selama 3 tahun masa SMA ku. Mereka tidak hanya mempekerjakanku disini, mereka juga sudah merawat dan mendidikku layaknya anak mereka sendiri.

 

Kuselesaikan pekerjaanku hari ini dan sengaja menunggu hingga jam 11 malam. Aku membantu Pak Ebi dan Bu Tini sampai mereka menutup kedainya. Mereka sudah tahu rutinitasku ini, jika aku pulang hingga larut, berarti ini menandakan aku akan berhenti bekerja dengan mereka sementara waktu, apalagi sekarang sudah memasuki masa ujian akhir yang akan menjadi penentu kelulusanku dijenjang SMA.

“Jadi nak Sharon, ini sudah hari terakhir bekerja sama bapak ya ?” tanya Pak Ebi saat aku membantunya menyimpan meja terakhir.

“Iya Pak, doain Sharon lulus dengan nilai yang bagus ya.” Kuletakkan meja itu sesuai dengan tempatnya dan menunggu bayaran Pak Ebi atas kerjaku hari ini.

“Sampai kapan berhentinya ?” tanya pak ebi.

Aku berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan pak ebi. Berada diantara pilihan harus berkata jujur bahwa aku akan mulai mencari kerja penuh waktu dan tidak akan kembali bekerja ditempatnya lagi. ataukah aku harus berbohong padanya, jaga – jaga jika aku belum mendapatkan pekerjaan nantinya, aku bisa kembali bekerja disini.

“Ada apa Sharon ?” pak ebi bertanya lagi padaku, membuatku tersentak sedikit kaget. Pak ebi melihatku dengan keheranan.

“Pak, Sharon mau pamit buat nyari kerja lain. Soalnya kan Sharon uda selesai masa SMA, ada rencana mau kuliah juga pak.” Entah kenapa aku berkata jujur kepada pak ebi.

Dia melihatku sejenak sebelum akhirnya tersenyum padaku.

“Kamu ragu ya bilangnya bagaimana, takut nanti ga boleh kerja sama bapak lagi ?” tebakan pak ebi benar. Bagaimana dia bisa tahu isi hatiku.

“Bapak pas seumuran kamu juga begitu kok Sharon. Bagus kamu berani jujur sama bapak. Kalau besok kamu masih mencari – cari kerja dan punya waktu luang, kamu bisa balik kerja kesini kok kapan saja. Kamu sudah seperti anak sendiri bagi bapak.”

Perkataan Pak Ebi membuatku merasakan kelegaan yang luar biasa. Aku mengucapkan banyak terimakasih padanya. Dia memberikanku selembaran uang 100rb. Aku kaget dan berusaha menolaknya. Pak Ebi berkeras memberikan uang tersebut padaku. Kusimpan uang tersebut dan pamit dengannya. Aku berpikir disepanjang perjalanan pulang. Selama ini aku terlalu sibuk memikirkan diri sendiri. Aku tidak menyadari ada orang yang begitu sayang dan peduli padaku. Pikiran tersebut membawaku kembali pada Salim. Bagaimana kabarnya saat ini, dan bagaimana perjalanan hidupnya tanpa mama. Ada terbesit perasaan ingin berkomunikasi dengannya, namun tidak tahu bagaimana caranya. Ada juga rasa penasaran didalam diriku saat dia masih menjadi kakak kelasku, kenapa aku harus menghindarinya. Apakah karena rasa benciku padanya, ataukah karena perlakuannya saat aku masih SMP, ataukah karena rasa iri yang besar terhadap dirinya. Aku tidak pernah bertanya apapun soal perasaannya terhadap perpisahan mama dan papa. Semua karena rasa egoisku yang besar.

Aku akan menyelesaikan ujianku dan berharap Salim akan datang keacara kelulusanku nanti. Aku masuk kerumah dan bisa kulihat mama sudah tidur terlebih dahulu, tidak seperti biasanya. Kucuci mukaku dan kukunci semua pintu akses kedalam rumah. Aku membaringkan badanku disamping mama. Kutarik selimut yang berada tidak jauh dari tempat tidur mama dan kuselimuti badannya. Kutatapi wajahnya yang sudah tidak muda lagi dan kucium keningnya dengan lembut.

“Tunggu anakmu sukses ya, Ma.” Kataku lembut dan kupejamkan mataku.

Aku akan menyelesaikan ujianku dan segera bekerja. Akan aku tunjukan bahwa aku pasti menjadi orang sukses !

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
Midnight Sky
1469      701     2     
Mystery
Semuanya berubah semenjak kelompok itu muncul. Midnight Sky, sebenarnya siapa dirimu?
The Friends of Romeo and Juliet
18617      2791     3     
Romance
Freya dan Dilar bukan Romeo dan Juliet. Tapi hidup mereka serasa seperti kedua sejoli tragis dari masa lalu itu. Mereka tetanggaan, satu SMP, dan sekarang setelah masuk SMA, mereka akhirnya pacaran. Keluarga mereka akur, akur banget malah. Yang musuhan itu justru....sahabat mereka! Yuki tidak suka sikap semena-mena Hamka si Ketua OSIS. dan Hamka tidak suka Yuki yang dianggapnya sombong dan tid...
100%-80%
9671      1585     4     
Romance
Naura merasa dirinya sebagai seorang gadis biasa -biasa saja dan tidak memiliki kelebihan tertentu bertemu dengan Tsubastian yang bisa dibilang mendekati sempurna sebagai seorang manusia. kesempurnaan Tsubastian hancur karena Naura, bagaimana Naura dan Tsubastian menghadapinya
BIYA
2945      973     3     
Romance
Gian adalah anak pindahan dari kota. Sesungguhnya ia tak siap meninggalkan kehidupan perkotaannya. Ia tak siap menetap di desa dan menjadi cowok desa. Ia juga tak siap bertemu bidadari yang mampu membuatnya tergagap kehilangan kata, yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Namun kalimat tak ada manusia yang sempurna adalah benar adanya. Bidadari Gian ternyata begitu dingin dan tertutup. Tak mengij...
A D I E U
1938      729     4     
Romance
Kehilangan. Aku selalu saja terjebak masa lalu yang memuakkan. Perpisahan. Aku selalu saja menjadi korban dari permainan cinta. Hingga akhirnya selamat tinggal menjadi kata tersisa. Aku memutuskan untuk mematikan rasa.
Love vs Ego
7958      1691     1     
Fan Fiction
WATTPAD PUBLISHED STORY(MsJung0414) Choi Minho merupakan seorang pangeran vampire yang membuat keresahan didalam keluarganya dan klan vampire karena keganasannya. Untuk mengatasi keganasannya ini, keluarganya pun menyuruh Minho untuk mendekati seorang gadis pemilik kekuatan supranatural yang bisa mengembalikan Minho menjadi normal dan membawa keuntungan besar untuk bangsa vampire. Berha...
Power Of Bias
1064      614     1     
Short Story
BIAS. Istilah yang selalu digunakan para penggemar K-Pop atau bisa juga dipakai orang Non K-Pop untuk menyatakan kesukaan nya pada seseoraang. Namun perlu diketahui, istilah bias hanya ditujukan pada idola kita, atau artis kesukaan kita sebagai sebuah imajinasi dan khayalan. Sebuah kesalahan fatal bila cinta kita terhadap idola disamakan dengan kita mencitai seseorang didunia nyata. Karena cin...
Aku dan Dunia
343      259     2     
Short Story
Apakah kamu tau benda semacam roller coaster? jika kamu bisa mendefinisikan perasaan macam apa yang aku alami. Mungkin roller coaster perumpamaan yang tepat. Aku bisa menebak bahwa didepan sana ketinggian menungguku untuk ku lintasi, aku bahkan sangat mudah menebak bahwa didepan sana juga aku akan melawan arus angin. Tetapi daripada semua itu, aku tidak bisa menebak bagaimana seharusnya sikapku m...
A You.
768      398     1     
Romance
Ciara Leola memiliki ketakutan yang luar biasa kepada Shauda Syeffar. Seorang laki-laki yang dulu selalu membuatnya tersenyum dan menyanyikan lagu-lagu cinta untuknya setiap hari. Ciara melanjutkan hidupnya sebagai orang asing di hadapan Shauda, sedangkan Shauda mengumpat kepada dirinya sendiri setiap hari. Lagu-lagu cinta itu, kemudian tidak lagi dinyanyikan.
PUBER
1868      787     1     
Romance
Putri, murid pindahan yang masih duduk di kelas 2 SMP. Kisah cinta dan kehidupan remaja yang baru memasuki jiwa gadis polos itu. Pertemanan, Perasaan yang bercampur aduk dalam hal cinta, serba - serbi kehidupan dan pilihan hatinya yang baru dituliskan dalam pengalaman barunya. Pengalaman yang akan membekas dan menjadikan pelajaran berharga untuknya. "Sejak lahir kita semua sudah punya ras...