Oh, Tuhan ....
Kucinta dia
Kusayang dia
Rindu dia
Inginkan dia
Allenia Mesriana, siswi kela XI IPA 1 itu tidak melewatkan ritualnya setiap pagi. Berbekal ukulele berwarna cokelat, ia menyanyikan lagu layaknya seniman jalanan. Tidak ada yang menegurnya, tentu saja. Tidak akan ada yang berani menegur Allenia Mesriana, seorang playgirl ramah yang paling tersohor di sekolah. Semua lelaki tunduk akan keramahannya, kecuali orang yang tidak memiliki hati.
“Please, Len. Kalau nyanyi yang ada semangatnya dikitlah. Jangan yang galau mulu!” Tawar Elsa yang baru saja melangkahkan kaki di kelas.
“Lo aja yang terlalu bawa perasaan, Sa. Kan baru diputusin sama Riko.” Allen tidak memedulikan perkataan Elsa. Ia masih memetik ukelele tanpa diiringi nyanyian.
“Please, Len. Lo jangan ngomongin dia! Gue jadi mual.” Elsa menaruh tas di bangku samping Allen, melemparkannya begitu saja. Wajahnya langsung ditekuk tanpa peringatan apa pun.
“Yaelah, Sa. Dulu pas lagi jadian, kuping gue hampir mendidih dengerin curhatan lo tentang Riko, sekarang lo malah bilang mual.” Allen turun dari meja, ia segera duduk di bangku lalu menghadapa Elsa.
“Please, Len. Siapa, sih, yang gak benci sama mantan?”
Kini giliran Elsa yang duduk di meja. Ia mengayunkan kaki dan melirik ke arah Allen yang sedang membuka bekal. Di mata Elsa, Allen memang orang baik, hanya saja perempuan itu memiliki kebiasaan buruk yaitu bergonta-ganti pasangan. Allen cantik, apalagi saat menarik kedua bibir dan memperlihatkan dua gigi kelincinya.
“Gue! Gue gak benci sama mantan, tuh.” Allen membiarkan roti yang ada di genggamannya mengapung di udara, ia menyelipkan rambut lurus yang tergerai ke belakang telinga. Selain memiliki senyuman bak vodka, ia memiliki rambut indah layaknya aktris iklan sampo.
“Morning, Girls!” Tania menggebrak meja di hadapan Allen. Selalu saja, Tania paling suka kalau urusan mengagetkan orang lain.
Tania terlalu keras menggebrak meja hingga membuat Allen kaget. Allen menyimpan kembali roti ke dalam kotak makan. Seleranya langsung menghilang begitu saja.
“Tapi mantannya yang benci sama lo.” Candra yang baru saja memasuki kelas langsung menyahut begitu saja. Ia sudah mengetahui kebiasaan yang dilakukan perempuan sebelum jam masuk. Apalagi kalau bukan menggosip? Perempuan memang seperti itu, kalau ada celah waktu pasti dipakai buat ngerumpi. Mulai dari ngerumpiin model baju terbaru, diskonan di mal, sampai ngerumpiin mas-mas ganteng yang jualan bakso di depan sekolah. Topik yang sederhana bisa menjadi obrolan yang menarik. Itulah perempuan.
Pandangan ketiga perempuan yang sedang berkumpul itu langsung beralih pada Candra, mata mereka langsung menatap tajam. Perempuan tidak jauh seperti bunglon, cepat sekali berubah ekspresinya. Padahal Candra hanya mengucapkan enam kalimat.
“Bilang aja kalo lo masih suka sama Allen!” Tania melemparkan tas begitu saja. Ia melipat kedua tangan di depan dada. Pandanganya begitu tajam, bahkan lebih tajam dari silet ataupun golok yang dipakai buat motong daging sapi.
“Gue? Gue masih suka sama Allen? Jelas enggaklah. Dalam kamus sejarah hidup gue, gue gak akan balikan sama cewek yang udah mutusin gue.” Candra duduk di bangku paling depan, ia masih ingin berbicara lebih banyak lagi. Candra memutar kursi agar bisa melihat ketiga cewek yang berhasil membuat riuh suasana kelas.
“Pasti mutusinnya gini, Yang, lo terlalu baik buat gue, kayaknya kita udahan sampai di sini aja,” celetuk Aldi. Padahal dari tadi Aldi sedang mendengarkan musik melalui earphone, tetapi ia bisa menyahut dengan seenak jidat.
“Atau gini, Yang, gue udah gak nyaman lagi, kita udahan ya.” Brian tak mau kalah. Ia berbicara seraya mengedipkan mata ke arah Allen. Tanpa merasa segan, Brian langsung merangkul Aldi.
Allen hanya bisa diam, ia mengurung wajah dengan kedua telapak tangan. Belum genap seminggu Allen menduduki kelas XI, ia sudah merasa tidak tenang begitu saja. Bagaimana tidak? Allen harus satu kelas dengan ketiga mantan pacarnya sekaligus. Dan yang lebih parahnya lagi, ketiga mantan itu selalu terlihat akur dan berusaha memojokkan Allen. Allen benar-benar tidak habis pikir. Kenapa bisa seperti itu?
Gara-gara ketiga mantan itu, akhirnya Allen dijuluki sebagai ‘playgirl’ dan memang tidak bisa dielak lagi. Allen memang seperti itu, ia sudah mulai berpacaran sejak kelas lima SD, itu terlalu dini, tetapi Allen memang melakukannya. Meski pacaran saat itu hanya sekadar bertukar pesan lewat ponsel atau sekadar bertukar panggilan 'ayah-bunda'.
“Diam lo! ABC lima dasar!” Teriak Allen, ia mengangkat wajah seraya melemparkan bolpoin. Seketika wajah Allen yang memerah karena marah berubah jadi malu.
Shit! Seketika ketiga mantan itu langsung tertawa bersamaan. Dan sekarang Allen hanya bisa menatap bolpoin yang sudah berada di genggaman. Untung saja Allen bisa menahan diri, kalau tidak, mungkin bolpoinnya sudah melayang tepat ke kepala Nirgi yang baru saja memasuki kelas.
Berbeda dengan ketiga mantan itu, Allen langsung terdiam. Tidak bisa berkutik. Untung saja Nirgi tidak melihat ke arahnya. Untung saja.
Nirgi Razhi Pradita, siswa penyandang predikat juara umum saat kelas X dua semester berturut-turut. Tubuhnya tinggi, berlesung pipi, tidak berkacamata, dan selalu menyampirkan ransel di sebelah bahu. Tidak ada yang mengetahui status Nirgi kecuali statusnya sebagai siswa. Tidak tahu apakah Nirgi sudah pernah pacaran, sedang pacaran atau baru saja diputuskan. Tetapi Allen selalu mengasumsikan kalau Nirgi tidak memiliki pacar. Tidak ada yang melarang untuk berasumsi, 'kan?
“Nirgi, lo mau gak jadi pacar gue?”
Semua pasang mata langsung tertuju pada Allen yang sedang membungkam mulut. Keceplosan.
Nirgi yang masih berjalan menuju bangku langsung berhenti, ia memutar beberapa derajat posisi berdirinya. Kini pandangannya beradu dengan Allen. Wajahnya masih datar tak berekspresi. Tidak tersenyum atau cemberut.
Ketiga mantan Allen langsung menatap Nirgi dan Allen bergantian. Entah ini akan menjadi berita baik atau buruk.
Nirgi tidak menjawab. Ia malah duduk di bangku paling belakang seperti biasa. Semua orang jelas menantikan Nirgi membuka mulut, menerima atau menolak. Allen masih menatap Nirgi sampai lelaki itu menatapnya kembali.
“Kemarin lo masuk ranking sepuluh besar di sekolah?”
Nirgi melihat perubahan ekspresi Allen yang langsung menciut. Ia tidak memedulikan perempuan itu dan malah mengeluarkan ponsel. Kebiasaan Nirgi memang seperti itu, di kelas bukannya membaca buku atau belajar, tetapi malah bermain game. Tapi herannya lagi, ia bisa jadi juara umum.
Allen tahu, yang dikatakan Nirgi adalah sebuah pertanyaan bukan pernyataan. Tetapi Allen juga tahu, apa arti dari perkataan Nirgi. Oke, fine. Allen merasa tersambar petir begitu saja. Bukan hanya Allen, semua orang di kelas sudah tahu apa jawaban yang Nirgi lontarkan secara tidak langsung. Allen merasakan hatinya tersambar petir, bergetar dan terkejut tentunya.
“Sabar ya, Len. Hidup emang harus begitu. Meski lo cewek, bukan berarti lo gak bisa ditolak. Roda itu berputar, Dude! Ada saatnya lo nolak, dan suatu saat juga lo bisa ditolak.” Brian menatap Allen sambil menggeleng kasihan. Ada perasaan bahagia yang tiba-tiba menyelimuti hatinya.
Candra dan Aldi pun langsung menggeleng kasihan bersamaan. Fix, ketiga mantan itu kompak banget. Tinggal nyari dua personil lagi buat bisa jadi boyband.
“Fine, gue gak juara di sekolah, tapi gue bakalan juara di hati lo!”