TUJUH
Arah pandangnya lurus ke depan. Berjalan dengan mantab dan penuh energi. Seperti butiran embun di pagi hari dengan segala kesegarannya. Menggugah bunga-bunga untuk menampakkan keanggunan mahkota mereka. Lengkap dengan siraman matahari pagi yang mencerminkan sebuah semangat baru untuk mengisi hati yang telah kusam. Begitu pula dengan Majid.
Pagi ini Majid terlihat lebih tegar dari sebelumnya. Semua perasaan hancur lantaran patah hati dan duri dari segala rasa benci seperti telah sirna. Aura kemurungan yang biasa menaungi dirinya berminggu-minggu juga kian memudar. Tergantikan oleh pancaran baru dari wajahnya. Bayang-bayang baru dari gadis menawan dalam perlombaan waktu itu menjadi fondasi baru untuknya. Meskipun sudah sekitar sebulan kejadian di Semarang berlalu, rasa penasaran akan keberadaan gadis misterius itu bukannya memudar malah semakin kuat. Setiap jedanya menciptakan sebuah candu semacam kerinduan. Entah bagaimana perasan semacam itu berhasil tumbuh menghantuinya. Dan anehnya lagi rasa itu terasa lebih kental dan kuat dibandingkan sebelumnya. Ketika dirinya masih dengan Martha.
Majid pernah terpikirkan untuk mencari kemana gerangan gadis itu berada. Nahas dia tidak memiliki petunjuk apapun mengenai keberadaannya. Sehingga ide itu hanya menjadi sebatas pemikiran mentah. Ingin rasanya meminta bantuan kedua sahabat dekatnya. Tetapi juga tidak mungkin. Selama liburan Majid tidak bisa bertemu secara langsung dengan keduanya. Mereka berada di tempat yang berbeda.
Liburan lalu Rudi pergi bersama keluarganya ke Sumatera. Dia mengatakan jika saudara jauhnya akan menikah, sehingga liburan kala itu dia habiskan di sana. Sedangkan Amir pergi bersama kedua orang tuanya, menjenguk satu-satunya kakak perempuannya yang sedang menempuh studi di negeri paman Sam. Entah kebetulan atau apa, keduanya pergi diwaktu yang hampir bersamaan. Hanya berjeda dua hari.
Kepergian kedua sahabatnya sepanjang liburan sempat membuat Majid kesepian. Bisa mendengar kabar mereka melalui sosial media saja sudah cukup menghiburnya. Akhirnya sisa liburan dia gunakan untuk mempelajari cara mengambil foto. Setelah kejadian itu entah mengapa dirinya seperti terkena hipnotis. Dia menjadi benar-benar menyukai seni memotret. Demi mendalami seni itu, dia mencari berbagai ulasan dalam internet untuk membantunya belajar. Hasilnya berbagai gambar aneh diambilnya sebagai media pembelajaran. Hasil jepretannya jauh berbeda jika dibandingkan dengan hasil jepretan Amir, karena alat yang dia gunakan sebatas kamera digital bukan menggunakan kamera DSLR seperti apa yang Amir biasa gunakan.
Mempelajari hal baru itu secara acak mengubah sudut pandangnya akan perasaan yang kalang kabut. Terlebih matanya telah melihat sisi sebenarnya dari hasil fotografi yang memukau setiap penikmatnya. Hari ini pun dia membawa kamera digital itu di saku celananya. Di dalam memori kamera mungil itu sudah tersimpan beberapa foto yang dianggapnya cukup menarik. Rencananya beberapa hasil jepretan akan dia tunjukkan kepada dua sahabatnya.
Majid berjalan melewati lapangan upacara sekolah dengan seragam putih abu-abunya. Tas punggungnya yang hitam digendongnya sebelah tangan. Dia tidak sabar ingin segera bertemu muka dengan kedua sahabatnya. Terakhir berjumpa dengan mereka adalah hari Minggu itu di Semarang. Dia pun semakin yakin karena keduanya mengatakan di malam sebelumnya jika hari ini mereka sudah berada di Surakarta.
“Hai Majid.”
Majid sedikit menengok ke arah suara itu memanggil. “Ah iya, Martha. Selamat pagi.” Kata Majid balas menyapa gadis itu.
Gadis itu membalas dengan senyuman. “Selamat pagi.” Katanya lembut. “Duluan ya.”
Majid tersenyum menanggapi, dia melambaikan tangan kanannya berusaha kelihatan keren. Tapi entah apa yang sebenarnya orang lain lihat dengan tingkah sok kerennya itu.
Kini sebuah tangan merangkulnya dengan kuat. “Hebat kau men!” Suaranya khas terdengar.
Majid melirik ke arah anak yang merangkulnya erat. Dari wangi parfumnya dia tahu betul siapa anak itu. “Ah, kau Rud. Kenapa?” Majid bertanya meskipun sebenarnya dia tahu apa maksud temannya.
“Dasar. Pintar ya berpura-pura. Barusan siapa?” Tanya Rudi terkekeh.
“Martha. Kenapa emangnya?” Suara Majid terdengar malas. Dia yakin jika sahabatnya yang satu ini akan membuat ungkapan menyebalkan. Dan seketika itu juga rasa rindunya pada sosok Rudi menjadi sebuah rasa malas. Malas untuk menanggapi. Namun dia sadar, kalau bukan berulah semacam itu bukan Rudi namanya. Majid mencoba biasa menanggapi celotehnya pagi ini.
Rudi tersenyum nakal. “Kau sudah sembuh total ya.” Katanya kemudian. “Apa Siska sebegitu hebatnya? Sampai-sampai bisa merubah keadaanmu.”
Majid hanya mendengus kesal menanggapi celoteh sahabatnya dipagi itu.
Keduanya berjalan memasuki ruang kelas baru, angka romawi XII berkolaborasi dalam balutan persegi panjang biru tua, menempel di atas pintu kelas. Majid telah duduk di kelas tertinggi di SMA. Menandakan jika waktu bermainnya sudah habis sekarang. Kurang dari setahun ke depan dia sudah menempuh ujian untuk menentukan kelulusan. Apakah dirinya layak untuk melangkah meninggalkan dunia putih abu-abu ini atau tidak.
Di dalam kelas terlihat Amir sudah duduk di bangku belakang seperti yang biasa dia lakukan sejak kelas X. Majid dan Rudi menghampiri sahabatnya itu. Lantas mereka saling bertegur sapa.
Rudi duduk tepat disebelah Amir. Dia melepas tasnya seraya berucap. Mulutnya mengembangkan sebuah cengiran nakal. “Mau tahu sesuatu tidak?” Tanya Rudi menggoda.
Majid sudah paham apa yang ingin Rudi katakan. Tapi dia berusaha bertindak senormal mungkin. Meskipun sebenarnya dia ingin menghentikan omong kosong sahabatnya itu sebelum meletus menjadi hal membosankan. Namun Majid lebih memilih untuk diam kali ini dan sibuk dengan bukunya daripada menanggapi omong kosong Rudi.
“Serius amat. Ada berita apa?” Amir balik bertanya.
Rudi melirik ke arah Majid, kemudian menatap Amir. “Kau pasti tidak percaya dengan apa yang aku lihat barusan.” Kata Rudi memancing keingintahuan Amir.
Amir melihat ke arah Majid yang diam tidak menanggapi.
“Memang ada apa Rud?” Tanya Amir penasaran. “Ayolah jangan berbelit-belit. Tidak seperti kau saja.”
“Tadi aku melihat dia.” Kata Rudi seraya melirik ke arah Majid lagi. “Dia sudah berani bertegur sapa dengan Martha. Hebat bukan?”
“Kau serius?” Amir terkejut, seketika dia memandang ke arah Majid.
Pas sekali, seketika suara bel pelajaran pertama berbunyi. Suara nyaringnya membuat anak-anak di dalam kelas segera duduk di kursi mereka msing-masing sebelum wali kelas mereka memasuki ruangan.
“Sudahlah itu bukan hal penting. Dengar, bel sudah berbunyi.” Sahut Majid tanpa ekspresi dan nada yang datar.
“Aku salut padamu sobat.” Kata Amir. “Akhirnya kau memperlihatkan sikap jantan seorang lelaki. Yakinlah kami selalu mendukungmu. Bukan begitu Rud?” Katanya menenangkan Majid.
Rudi mengangguk tanda setuju, sedang Majid hanya mengamini dengan segores senyum di bibirnya.
Pak Ardi berjalan memasuki kelas dengan beberapa berkas di tangannya. Tahun ini sepertinya beliau akan menjadi wali kelas di kelas Majid dan teman-temannya berada. Pak Ardi adalah seorang guru sejarah. Meskipun usianya tidak setua pelajaran yang diampunya, namun rasa sabarnya melebihi masa-masa dalam sejarah. Apalagi jika dibandingkan Pak Budi, Pak Ardi lebih sabar dalam menanggapi berbagai macam ulah anak didiknya. Karena hal itulah, para murid bersorak gembira ketika Pak Ardi memasuki ruang kelas. Seperti kejadian pagi ini di kelas Majid. Seketika itu juga seisi kelas mengucap salam kepada guru idola tersebut.
Pertama yang di sampaikan oleh Pak Ardi di dalam kelas adalah penjelasan mengenai prosesi pemilihan ketua kelas dan jajarannya seperti biasa. Ada tiga kandidat dalam pemilihan kali ini dan salah satunya ada nama Amir di sana. Seorang siswi berdiri di depan kelas sebagai relawan untuk menulis di papan tulis. Pemilihan terjadi cukup ketat sampai harus mengulang sekali lagi ketika ada jumlah yang sama. Lagi-lagi Amir yang menjadi pemimpin kelas pada pemilihan yang kedua. Kemudian dilanjutkan pembuatan tata tertib kelas dan regu piket harian yang dipimpin oleh Amir. Terakhir adalah pembahasan seberapa besar nominal yang harus dibayar setiap siswa untuk uang kas kelas. Setelah tugas itu selesai sampai jam istirahat pertama mereka bebas melakukan apa saja.
“Kau tidak mau bercerita?” Kata Rudi pada Majid.
Ketiga sahabat itu kini sudah berada di kantin. Sebelum liburan Amir bilang akan membayar utang traktirannya pada Rudi dan Majid hari ini. Setelah sebelumnya dia telah merasa berhutang pada mereka berdua selama hampir satu bulan.
“Bercerita tentang apa lagi?” Jawab Majid dengan rasa malas dimimik mukanya.
“Itu.” Kata Rudi sambil menyuguhkan muka konyolnya. “Kenapa kau bisa akrab lagi dengan dia?” Tanya Rudi kemudian.
Amir segera menghentikan makannya. “Nah iya, aku juga penasaran. Coba kau ceritakan. Sedikit juga boleh.” Desaknya pada Majid.
“Aku rasa itu awal yang tidak begitu buruk, dan menurutku itu juga merupakan hal yang luar biasa.” Tambah Rudi kemudian, tidak seperti biasanya dia berbicara serius.
Majid terlihat berpikir menimbang sesuatu sebelum berucap. “Huft.” Dia menghela napas. “Ketika liburan kami beberapa kali bertemu dan berbalas pesan.” Katanya singkat.
Rudi dan Amir saling pandang, mereka terkejut mendengar pengakuan sahabatnya.
“Hebat kau men. Kau mengajaknya berkencan?” Tanya Rudi penasaran.
Majid menggeleng. “Mula-mula, beberapa hari diawal liburan aku mencoba menghubunginya. Aku cuma mengirim pesan teks yang menurutku masih wajar sih dan diapun juga membalas dengan wajar. Tidak ada yang spesial menurutku. Hanya saja aku berpikir tidak ada salahnya untuk memaafkannya. Dan kami berteman lagi. Sudah, hanya itu saja.” Kata Majid menjelaskan.
“Kupikir kau mengajaknya pergi berkencan.” Kata Rudi dengan nada kecewa.
“Terserahlah.” Kata Majid kesal. Dia meraih kamera digital di sakunya. “Ada yang ingin aku perlihatkan pada kalian. Lihat apa yang aku tangkap.” Dia menyerahkan kameranya pada Amir.
Amir terlihat menikmati foto demi foto yang berhasil Majid kumpulkan dalam kamera digitalnya. Rudi yang berada di sebelah Amir penasaran dan ikut menengok isi kamera digital itu. Di sana terpampang beberapa foto tanaman bunga, pepohonan dan semak-semak, orang berlalu lalang dan beberapa foto pantai.
“Sejak kapan kau mengumpulkan foto-foto ini?” Amir bertanya penasaran.
“Kalau tidak salah minggu kedua liburan. Pada mulanya aku hanya mencari gambar di sekitar rumah. Hanya sebatas iseng saja. Lalu kebetulan keluarga mengajak pergi liburan ke pantai. Begitulah, sekalian saja aku hunting di sana. Aku rasa tidak ada salahnya sekalian latihan.” Jawabnya menjelaskan.
“Menurutku foto-fotomu lumayan bagus. Apalagi media yang kau gunakan hanya sebatas kamera digital. Ya walaupun ada beberapa pencahayaan yang masih lepas kontrol dan tidak tepat sasaran. Kurasa kau perlu mempelajari tentang balance sebuah gambar, juga termasuk PoI (Point of Interest) dari angle gambar dan rumus simpel pencahayaan.” Kata Amir seraya menyerahkan kamera itu kepada Rudi. “Namun, secara keseluruhan sudah bagus untuk ukuran pemula dan terlebih hanya menggunakan kamera digital seperti ini.”
Rudi terlihat antusias melihat isi kamera tersebut. “Aku setuju dengan Amir. Gambarnya cukup bagus. Aku sampai tidak menyadari jika ini hasil kerjaanmu men.”
“Atau jangan-jangan kau melakukannya karena termotivasi sama gadis misterius itu?” Selidik Amir sambil tertawa.
“Ngomong-ngomong soal gadis itu, aku sudah berulang kali mencoba mencarinya tapi tetap saja gagal.” Celetuk Majid.
“Kau pergi ke Semarang lagi? Ke SMA Bintang Kejora?” Tanya Rudi penasaran. Kedua alisnya sampai berkerut.
“Tidaklah.” Kata Majid mengelak. “Aku hanya mencoba menghubungi nomor panitia yang menyortir nama peserta. Aku bertanya mengenai keberadaan Siska.” Majid menahan sejenak untuk berpikir mengingat. Dia meminum es teh di depan mejanya. “Awalnya pemegang kontak antusias menanggapi ketika aku bilang tertarik dengan lomba tahun depan. Namun ketika aku bertanya soal panitia bernama Siska, dia tidak menanggapiku lagi. Mungkin dia kira aku hanya orang iseng. Jadi dia merasa jika tidak ada kepentingan baginya untuk meladeniku.”
“Karena itu kau jadi belajar tentang seni memotret?” Kata Amir kemudian.
Akhirnya Majid mengangguk mengiyakan. “Aku juga mencoba menghubungi admin facebook lomba itu. Menurutku dia lebih parah lagi. Dia mengerjai aku habis-habisan. Dia bilang dia adalah Siska. Dan bodohnya lagi aku percaya saja dengan setiap ucapannya. Kami sering berbalas pesan melalui facebook. Walaupun dia juga seorang gadis, namun dia bukan Siska setelah akhirnya aku mengetahui kebenarannya. Aku mengetahuinya ketika dia meng-upload sebuah pemberitahuan baru dalam halaman lomba di facebook dan berkaitan dengan facebook aslinya.”
Rudi tertawa. Sepertinya dia mengartikan cerita yang dia dengar menjadi sebuah cerita kocak. “Untung dia bukan hode. Jika benar, pasti ceritamu lebih lucu lagi.”
“Apa itu hode?” Tanya Amir penasaran.
“Kau tidak tahu? Itu istilah untuk seorang laki-laki yang mengakui jika dirinya seorang perempuan. Biasanya hode muncul di game online yang berbasis RPG.” Jawab Rudi menjelaskan pada Amir.
“Aku masih normal. Aku lebih memilih Siska daripada perempuan jadi-jadian.” Bentak Majid terganggu dengan kata hode.
“Terus sekarang bagaimana?” Tanya Amir selanjutnya.
“Mau bagaimana lagi. Surakarta dengan Semarang itu lumayan jauh. Kalau memang bisa bertemu lagi, aku anggap dia jodohku. Lagi pula sebentar lagi kita sudah harus memikirkan ujian bukan.” Jelas Majid dengan nada pasrah.
“Ya. Kau benar sekali. Tumben kau berpikir dewasa.” Kata Amir seraya tersenyum.
@atinnuratikah gehehe thx u kak... iya emang lagi galau
Comment on chapter Satu