Enam
Waktu bergulir tanpa terasa, kenangan demi kenangan telah mengukir sebuah jejak baru dihatinya. Merangkai dan saling tersusun menjadi sebuah jalinan rantai kehidupan. Hari ini, akhir pekan menakjubkan tergambar indah pada Minggu senja yang tidak kalah istimewa. Bahkan lara lama kini kian sirna begitu berjumpa dengannya, sosok misterius yang datang dan pergi tanpa sebuah kata permisi. Sampai-sampai memandangi langit jingga menjadi salah satu hal mewah untuknya kala ini. Meskipun setelahnya akan menjemput petang.
Majid masih sanggup menikmati setiap hamparan langit merah lembayung yang lambat laun kian memudar. Sama halnya dengan suasana perlombaan fotografi di SMA Bintang Kejora. Memudarnya para pengunjung yang sedari tadi siang berbondong-bondong riuh menikmati keindahan foto-foto para peserta. Sebagian dari mereka sudah meninggalkan perlombaan tatkala pengumuman juara lomba fotografi disemarakkan, sisanya masih berada di dekat panggung menikmati lantunan musik indie.
Majid dan kedua temannya memutuskan untuk meninggalkan tempat itu sebelum sore benar-benar memisahkan diri, berpamitan pada burung-burung yang mudik diangkasa. Mengingat armada yang mereka tumpangi adalah bus yang membutuhkan waktu untuk bisa tiba kembali di Surakarta.
Suka cita masih tergambar jelas di raut muka sahabatnya, Amir. Anak laki-laki itu terus bersenandung lirih saking senangnya. Menjadi juara ketiga saja sudah luar biasa baginya, apalagi proses singkat beberapa waktu silam yang membuatnya naik menjadi peringkat kedua. Seperti mendapat durian runtuh, katanya sembari membawa tropi berwarna keemasan. Majid memasang senyum tatkala menatap Amir berjalan riang bersamanya ketika meninggalkan SMA Bintang Kejora. Akankah dirinya bisa seceria itu, mengingat sakitnya tercampakan beberapa minggu lalu. Ingin rasanya Majid bisa melepaskan luka dalam dadanya. Ikut berbahagia bersama si pemegang juara kedua.
Tepat mendekati jalan raya, Amir meletakkan tropinya sembari merogoh telepon genggam disaku celananya. Seperti cara mereka tiba di SMA pagi tadi, kini mereka harus mencari tumpangan menuju titik yang dilalui bus dan itu menjadi tugas untuk Amir. Karena dari mereka bertiga hanya Amir-lah yang mempunyai pulsa lebih.
Tak membutuhkan waktu lama, mobil bertuliskan taksi berhenti tepat di depan tiga sekawan itu. Setelah ketiganya duduk, taksi tumpangan mereka melaju menyisiri jalanan kota Semarang yang mulai diterangi oleh lampu-lampu jalan. Melaju dengan santai dibalik padatnya sisa-sisa akhir pekan.
Rudi melirik ke belakang di mana Amir dan Majid duduk terdiam, dia tersenyum. “Bagaimana? Seru bukan?” Tanyanya pada Majid.
“Yah, lumayanlah. Suasana baru yang mengagumkan. Aku mendapatkan pengalaman baru yang menarik.” Jawab Majid dengan senyuman. Kali ini senyumannya berbeda jika dibandingkan pagi tadi atau kemarin. Pancarannya seoalah memastikan jika hatinya sudah berangsur membaik.
“Sangat seru!” Tambah Amir seraya mengedarkan pandangannya kepada kedua temannya.
“Kau berhutang sebuah traktiran besok men.”
“Wah mantap, Rudi benar tuh. Tanpa kami, kau tak akan menjadi juara Mir.” Sambung Majid. Kemudian keduanya tertawa.
“Heee... Tidak ada hubungannya.” Sahut Amir dengan muka anehnya. “Tapi okelah, anggap saja sebagai rasa bersyukur.” Tambahnya kemudian tanpa menghiraukan kedua temannya. Tangannya memegang erat tropi emasnya, seakan tak ingin melepasnya barang sedetik.
Rudi mengarah ke Majid. “Kau bagaimana? Masih sedih?”
“Aku baik-baik saja. Berkat kalian dan hari menyenangkan ini.” Kata Majid dengan sunggingan di bibirnya. “Terima kasih, kalian memang benar-benar sahabatku.”
Rudi dan Amir tersenyum, meski terdengar aneh, namun ucapan Majid cukup membuat mereka lega. Keadaan murung Majid beberapa hari terakhir lumayan memprihatinkan untuk diingat.
Sorot lampu kendaraan lain semakin terlihat mencolok jika dibandingkan waktu ketika berangkat. Tetapi yang tidak jauh berbeda adalah suasana di luar sana. Pasalnya, Semarang merupakan sebuah kota yang cukup ramai.
Taksi menepi di pinggir jalan di mana beberapa pejalan kaki lain berdiri. Sepertinya mereka adalah orang yang bernasib sama dengan ketiga anak laki-laki itu, sedang menunggu armada jurusan Surakarta.
Kala itu sore sudah benar-benar larut, menciptakan warna baru seperti kopi dan susu, tidak cerah dan tidak pula pekat. Semburat merahnya sudah menghilang sepenuhnya. Sebagai gantinya bintang yang kemerlip mulai terlihat malu-malu di langit biru gelap. Sementara rembulan berangsur melirik dari balik awan menghadiahkan panorama yang remang-remang.
Majid tersenyum beberapa saat. Hatinya mulai terobati di akhir pekan yang penuh dengan keseruan. Seharian dia berhasil mengacuhkan ingatan tentang Martha. Aneh namun terasa begitu saja, hambar. Meskipun pada mulanya rasa gundah itu tetap masih terasa tatkala melihat sosok gadis diseberang jendela. Lambat laun rasa sedih itu telah tersamarkan akan keindahan yang dijumpainya.
Dalam sore menjelang malam, dia berjanji dengan mantap pada bulan dan bintang-bintang, juga pada suara angin yang mengalun lirih. Jika dirinya akan bangkit dan tegar memandang cakrawala, dimulai besok pagi yang diiringi mentari. Bukan laki-laki namanya jika terus menerus terpuruk lembek hanya karena masalah cinta yang tidak sempurna. Mungkin memang Martha bukan jodoh yang sudah disiapkan Tuhan untuknya. Mungkin saja Tuhan telah memiliki alur lain yang lebih indah untuknya kelak. Dibalik cueknya harapan pastilah seorang jodoh sudah Tuhan siapkan hanya untuk dirinya di masa depan. Sesosok gadis yang akan benar-benar merajut kisah cinta sempurna dengannya, bukan sekedar persinggahan sesaat belaka. Karena hati bukan halte bus ataupun tempat persinggahan seperti terminal sekalipun. Hati merupakan rumah sederhana bagi sosok bernama cinta untuk tinggal selamanya. Memadu kasih dan bertukar keluh kesah akan pahit manisnya kehidupan. Saling menjaga hingga kerutan menjadi bukti nyata akan tulusnya cinta. Skenario Tuhan siapa yang tahu.
Deru mesin bus terdengar semakin mendekat. Dengan sigap ketiga sahabat tersebut mengejar, melompat dalam pintu masuk bus berada. Mereka berdesakan dengan calon penumpang lain tatkala bus tersebut telah berhenti. Amir sedikit kewalahan untuk naik. Tangannya harus menjaga tropi yang dibawanya agar tetap aman.
Setibanya dalam bus, mereka bertiga harus berdiri. Bangku telah ludes tanpa sisa, kecuali satu di sebelah Majid. Tetapi dia mempersilahkan seorang nenek dengan cucunya yang masih kisaran anak TK untuk duduk. Memandangnya membuatnya trenyuh, teringat akan sosok almarhum neneknya dulu.
Kendaraan itu segera melaju menjauh dari kota Semarang dengan cepat. Sisa penumpang yang berdiri terlihat bergoyang-goyang mengikuti arus bus yang mendayu-dayu seakan mengikuti alunan musik dalam bus. Begitu halnya dengan Majid, sementara Amir sibuk menjaga tropi di tangannya. Raut wajahnya nampak khawatir dengan barang bawaannya itu. Majid merasa kasihan melihatnya, namun dia tidak bisa membantu lebih. Begitu juga dengan Rudi, yang bisa mereka berdua lakukan hanya memandangi temannya dengan tatapan iba.
“Rud.” Kata Majid memanggil nama Rudi. “Apa kau tadi siang benar-benar tidak melihat gadis yang bersamaku?” Tanyanya lagi memastikan. Ada rasa haru di wajahnya tatkala menanyakan hal tersebut.
“Yang aku tahu, kau hanya sendirian men.” Jawab Rudi kemudian. “Bukan begitu Mir?”
“Aku yakin seratus persen.” Sahut Amir. “Memangnya siapa gadis yang kau maksud?” Tanya Amir dengan wajah tidak kalah penasaran dengan Rudi.
“Dia salah satu panitia di sana.” Majid menyatukan kedua alisnya seraya berpikir mengingat. “Kalau tidak salah namanya Siska. Siska Rahmawati.”
“Kenapa kau tidak bertanya pada panitia ketika kau masih di sana?” Tanya Rudi dengan penasaran.
Majid terbelalak mendengar pertanyaan itu. Sepanjang siang dia hanya mondar-mandir tanpa arah dan tujuan. “Kau benar! Kenapa tidak terpikirkan olehku ya?” Gerutu Majid.
“Huft... Dasar.” Rudi ikut menggerutu dan membuang napas melihat kebodohan temannya.
“Kau tertarik dengannya?” Selidik Amir kemudian penuh penasaran.
Mendengar ucapan Amir, Rudi menajamkan telinganya mendengarkan. Pertanyaan yang akan dia lontarkan telah diwakilkan oleh sahabatnya.
“Tertarik? Entahlah Mir.” Majid terlihat diam sejenak sebelum dia kembali berucap. Mana mungkin dia bisa tertarik dengan lawan jenis secepat itu. Wajah Martha saja masih menari-nari diingatannya beberapa kali. “Gadis itu menjelaskan banyak hal mengenai fotografi. Dan kalian tahu, caranya menjelaskan sangat menarik. Padahal aku sudah mengatakan pada gadis itu kalau aku sama sekali tidak paham mengenai apa itu seni memotret, tapi dia tetap bersikeras bercerita. Tidak jarang dia menjelaskan berulang kali sampai aku paham.” Jelas Majid kepada kedua sahabatnya.
“Dan kau tertarik dengannya men?” Sahut Rudi masih dengan nada penasarannya.
“Tertarik dengan fotografi.” Jawab Majid kesal.
Rudi mulai tertawa lepas. “Kau pikir kita ini siapa men? Kita ini sahabatmu. Kau kira bisa mengelak seperti itu?” Tambahnya seraya mempersembahkan tawa.
“Memang apa yang gadis itu katakan sampai kau tertarik seperti ini?” Selidik Amir penasaran.
Majid menarik nafas panjang, mengisi dadanya dengan udara hingga mengembang, lalu membuangnya kembali. Dia bersiap bercerita dengan memikirkan beberapa ingatannya dalam bentuk kata hingga muncul begitu saja.
“Tadi aku melihat-lihat foto para peserta. Menurutku foto-foto itu hanya sebatas bagus jaga. Ya karena aku tidak begitu paham dengan fotografi.” Kata Majid menjelaskan. “Lalu aku berhenti di depan foto di mana kalian menemukanku.”
“Maksudmu foto si juara misterius itu men?” Tanya Rudi.
“Aku juga merasa foto itu memiliki daya tarik yang luar biasa. Aku mengakuinya.” Sambung Amir. “Bukan begitu Rud?”
“Aku sangat setuju denganmu men.” Katanya pada Amir.
“Aku juga merasa begitu.” Sahut Majid. “Melihat panorama merah keemasan itu seolah-olah ragaku dipaksa untuk masuk ke dalam imajinasi dari si pemotret. Bisa kau bayangkan, birunya pantai dengan jutaan buih tertangkap dengan detailnya. Kemudian sebagian warna matahari senja terpantul kuat disisa warna biru lautan. Belum lagi dengan jutaan butiran pasir pantai yang terlihat cokelat keemasan. Sungguh perpaduan panorama pantai dikala senja yang mengagumkan untuk dinikmati.” Jelas Majid dengan sangat antusias.
Rudi sampai tercengang mendengar penjelasan Majid. Dia tidak menyangka sahabatnya mampu menafsirkan sebuah foto dengan kalimat yang begitu menakjubkan. Padahal hari ini adalah hari pertama untuknya melihat hasil karya yang berupa potretan para fotografer. Berbeda dengannya yang sering menemani Amir bahkan di tempat pameran. Meskipun begitu, Rudi belum pernah sekalipun mengungkapan sebuah gambaran seperti yang Majid lakukan barusan.
“Aku sungguh tidak menyangka kau bisa mengutarakan gambar di sebuah foto sampai sebegitu indahnya.” Sambung Amir. “Walaupun foto pemandangan pantai itu memang memiliki daya magis. Seperti menyihir siapa saja yang menatapnya.”
“Waktu itu aku sangat menikmati panorama pada foto itu. Sampai-sampai tidak sadar aku terpejam. Bahkan aku sendiri tidak sadar berapa lama aku terpejam di sana. Sampai suara itu terdengar.” Ucap Majid. “Aku mendengar langkah kaki dan harum parfum bunga.” Jelasnya kemudian.
“Lalu? Langkah kaki dan harum parfum itu si Siska yang kau maksud?” Tanya Rudi tidak sabar.
“Pada mulanya kukira dia Martha.”
“Ternyata kamu memang masih belum bisa melupakan gadis itu ya.” Sahut Rudi, dia menepuk-nepuk punggung Majid. Sementara Majid merasa telah mengatakan kata kunci yang salah. Menjerumuskannya pada ejekan Rudi.
“Sebenarnya aku melihat gadis seperti Martha ketika kita berangkat pagi tadi.” Akunya pada kedua sahabatnya. “Dia sedang berboncengan dengan Aldo, si pebasket itu.” Tambah Majid menjelaskan.
“Kenapa kau baru cerita?” Sahut Amir.
“Iya, men. Kenapa kau tidak bilang daritadi?” Rudi menambahi.
“Ya, karena itu hanya mungkin. Bisa saja aku salah lihat bukan? Dan pada mulanya aku tidak ingin membahas seputar Martha hari ini. Tapi karena aku masih ingat betul bagaimana harum parfum yang biasa dia pakai dan entah mengapa harumnya bisa sama persis dengan harum yang kuhirup ketika menutup mata di depan foto pantai itu. Harumnya semerbak tatkala suara langkah kaki itu semakin terdengar mendekat.” Kata Majid menjelaskan. Sementara Amir dan Rudi antusias mendengarkan cerita sahabatnya dengan tenang.
“Dan ketika aku membuka kedua mataku, memang benar adanya, ada seorang gadis berdiri tepat di sebelah kiriku. Namun dia bukan Martha seperti apa yang aku pikirkan sebelumnya. Dia cantik dan putih dengan rambut panjangnya nan bergelombang sepunggung. Berbeda dengan rambut Martha yang lurus. Dari ID Card yang menggantung di lehernya, tertera nama gadis itu di sana dan namanya adalah Siska Rahmawati. Walaupun dia hanya berbaju kasual namun itu tidak menyembunyikan betapa cantiknya dia.”
“Aku yakin dia sedang tertarik dengan gadis itu.” Rudi berbisik kepada Amir. Sementara Amir mengangguk dan tersenyum. Merasa senang karena sahabatnya kembali bersinar hari ini.
“Saat itu tiba-tiba saja dia sudah berada tepat di sebelahku. Secara tidak sengaja kami menatap foto indah itu bersama. Aku akui jika aku sangat mengagumi foto itu dan ternyata dia juga merasakan hal yang sama. Dia juga mengatakan jika hasil sebuah fotografi yang indah itu tergantung dari setiap penikmat keindahan itu sendiri. Atau bisa kuartikan tergantung hati seseorang yang ingin menafsirkan bagaimana mereka menyikapi sebuah seni.”
“Lantas, gadis itu mengatakan apa lagi?” Kini Amir yang penasaran.
“Dia mengatakan keseruan dikala hunting foto dan menjelajah di spot-spot indah untuk mengambil suatu gambar. Tapi tempat yang dia sebutkan hanya berbagai macam alam saja. Seperti lautan, danau, gunung atau hutan. Seperti yang kau tahu hunting foto di jalanan kota atau hiruk pikuk kegiatan masyarakat juga bisa. Namun kami memiliki kesamaan itu. Kami sepertinya sama-sama lebih tertarik dengan panorama alam.” Tambah Majid menjelaskan.
“Alah itu pasti akal-akalanmu saja kan? Ngaku...” Kata Rudi seraya tertawa.
Namun tidak untuk Amir. Dia tertegun mendengar penjelasan sahabatnya yang dia ketahui bahwa Majid masih sangat baru dibidang fotografi.
“Terserah kau percaya atau tidak, Rud.” Jawab Majid kesal. “Dan dia sangat menawan. Putih menawan. Rambut bergelombangnya yang hitam sepunggung, Harum parfumnya juga, aku tidak bisa melupakannya sampai sekarang.” Kata Majid sambil membayangkan sosok gadis itu dalam ingatannya.
“Aku yakin.” Kata Amir kemudian.
“Yakin apa?” Kata Majid balik bertanya.
Rudi ikut berbicara. “Aku setuju denganmu men.” Mukanya berubah serius.
Majid berpikir dengan keras membayangkan tentang ucapan aneh kedua sahabatnya. Sementara bus yang mereka tumpangi terus melaju kencang. Beberapa penumpang telah turun beberapa kali. Membuat keadaan bus lebih senggang dari sebelumnya.
“Yakin kalau kau sedang jatuh cinta!” Kata Rudi dan Amir bersamaan, lalu keduanya tertawa lepas.
“Haaa?” Kini Majid yang tercengang mendengar perkataan kedua sahabatnya. “Mana mungkin? Kami saja baru bertemu.”
“Kau bukan anak TK yang sedang beralih masuk ke SD.” Kata Rudi sedikit kesal dengan kepolosan Majid yang seperti orang bodoh.
“Ada kalanya manusia mendapatkan anugerah rasa yang datangnya dari mata dan seketika itu juga jatuh ke hati menjadi perasaan cinta.” Jelas Amir.
“Jatuh cinta pada pandangan pertama.” Tambah Rudi tidak sabar.
“Entahlah.” Kata Majid kemudian seraya memalingkan muka untuk menyudahi percakapan yang menyudutkannya pada rasa pasti yang tidak begitu diketahuinya.
Sedikit banyak Majid mulai paham dengan maksud ucapan kedua temannya. Mungkin benar adanya jika dia mulai merasakan rasa itu lagi. Rasa yang penuh dengan bunga-bunga di taman. Rasa yang mengisyaratkan pagi buta dengan rekahan pertama sinar matahari yang menghangatkan. Di mana embun baru saja membangunkan bunga-bunga di taman untuk membuka mahkota indah mereka.
“Bagaimana kalau nanti sampai di rumah kau segera mengirim pesan ke dia.” Kata Rudi memberikan usulan.
“Aku tidak bisa, Rud.” Kata Majid dengan nada pasrah.
“Kenapa?” Kini Amir yang berseru bingung.
“Tidak ada tujuan dengan nama Siska di telepon genggamku.” Kata Majid murung.
Kedua sahabatnya terkejut. Muka mereka sampai melongo tidak percaya.
“Aku terlalu gugup. Ketika sudah mulai terbiasa, aku malah terlalu asyik mendengarkan suara gadis itu ketika dia bercerita. Dan berakhir disaat kalian berdua datang.” Tambah Majid menjelaskan.
Kini ketiganya diam dalam bisu. Tidak tahu harus mengisi kalimat terakhir Majid dengan candaan apapun. Pasalnya Majid telah melakukan kesalahan fatal dalam hal berkenalan dengan seorang gadis. Jika tanpa nomor telepon selesai sudah kisah cinta yang baru berawal di salah satu pihak saja. Tanpa ada perjuangan berarti atau ajang menyatakan cinta.
@atinnuratikah gehehe thx u kak... iya emang lagi galau
Comment on chapter Satu