LIMA
Matanya membuka perlahan. Mengedip beberapa kali mencari fokus, lantas melirik ke samping. Meskipun demikian, kunang-kunang di matanya tak kunjung hilang. Dia hanya mampu sepintas melirik ke arah gadis itu, hanya sebatas mencuri pandang untuk memastikan. Didapatinya seorang gadis menawan berdiri tepat di sebelahnya. Ternyata hanya parfum gadis itu yang sama, sosoknya bukan Martha yang dia kenal.
“Cantiknya.” Majid bergumam lirih. Tanpa dia sadari suaranya muncul, terdengar samar.
Pandangan gadis itu beralih menatap anak laki-laki di sebelahnya. “Kau suka fotografi?” Tanyanya pada anak lelaki si sampingnya.
Mendengar ucapan gadis itu, segera Majid kembali memandang foto di depannya. Entah mengapa dia merasa tak kuasa memandang ketika bola mata mereka saling bertemu. Bola mata yang berpendar keemasan terasa begitu menyilaukan. “Ah, tidak juga.” Jawab Majid singkat terlihat cuek, namun sejatinya karena gugup.
Gadis itu terlihat mengangkat alisnya bingung. “Terus, kenapa kau ada di sini jika kau bukan seorang fotografer atau sekedar penikmat?” Tanya gadis itu penasaran. “Tunggu, tapi kau terlihat begitu menikmatinya barusan.” Tambahnya kemudian dengan nada yang masih penasaran.
Majid berusaha melihat gadis itu dengan seksama, masih dengan rasa gugupnya. Dia memandangi dari ujung sepatu converse-nya, melewati celana ripped jeans biru tua, sampai akhirnya berhenti di sebuah ID Card bertuliskan Siska Rahmawati menarik perhatiannya. Ah, panitia ya. Pikirnya dalam hati.
“Teman-temanku mengajakku ke acara ini.” Kata Majid seraya memandang gadis itu. Namun hanya sesaat, ternyata dia masih tak sanggup menatap sosok jelita sang gadis untuk waktu yang lebih lama. Bagi Majid wajah gadis itu terlalu menyilaukan untuk dipandang. Hampir seperti matahari terbit. Menengok sedikit saja sudah membuat dirinya gugup bukan main.
Gadis itu mengedipkan matanya dua kali, kemudian tersenyum simpul. Dia seperti menangkap gerak-gerik aneh pada anak lelaki di sebelahnya. Terlihat lucu. “Kau bukan anak Semarang kan?” Tanya sang gadis lagi.
Walau beberapa menit sudah berlalu, namun rasa gugup masih saja bersarang di benak Majid. “B-bukan.” Jawabnya singkat. Ucapan gagapnya tambah menampakkan rasa tidak percaya dirinya. Tiba-tiba saja Majid sudah menunduk di saat gadis itu menatapnya langsung. Mata mereka bertemu sejenak. Selain berpenampilan menarik, mata gadis itu terlihat cerah seperti rembulan.
“Memangnya kau berasal dari mana?” Suara gadis itu kembali terdengar.
Anak laki-laki itu mengangkat mukanya perlahan. Dia dengan susah payah menatap gadis itu. “Surakarta.” Majid mencoba memberanikan diri untuk berucap setelah menyusun beberapa kata menjadi sebuah kalimat pertanyaan yang mungkin terdengar sedikit konyol. “Apakah fotografi selalu seindah ini?”
Gadis itu terlihat menahan tawa dengan tangan kanannya. Dia terlihat sangat manis. Seketika itu juga Majid dibuat terkesima lebih dahsyat lagi.
“Hmm... Bagaimana ya? Bisa jadi, begitulah.” Kata gadis itu dengan sedikit senyum menghiasi bibirnya.
“Maksudmu?” Tanya Majid keheranan. Kepalanya sedikit miring sampai alis matanya sedikit terangkat sebelah.
Kali ini gadis itu tertawa lepas. Membuat Majid tambah kebingungan dan salah tingkah. Pasalnya dia sangat tidak mengerti esensi dari sebuah fotografi selain dari hasil indah di dalamnya. Bahkan dia tidak tahu jika hasilnyapun bisa seindah ini hanya untuk sebuah foto.
“Maaf-maaf.” Kata gadis itu kemudian, tangannya masih menahan sisa tawanya. “Maksudku, ya hasil foto ini buktinya. Jika kau pikir ini menakjubkan, bisa jadi hasilnya sama dengan lukisan indah Pablo Picasso. Lagipula fotografi juga sebuah seni, bukan? Tergantung penilaian setiap orang juga, sih. Tapi, keseruan sesungguhnya ada pada saat kita sedang hunting foto dan pergi ke spot-spot tempat buruan itu.” Jelas gadis itu dengan antusias. “Aku jamin itu sangat menyenangkan.”
Sementara gadis itu bercerita. Majid hanya memandangi bagaimana cara gadis itu menjelaskan setiap detailnya. Entah sejak kapan dia mampu memandang paras sang gadis. Padahal beberapa menit yang lalu dia masih memalingkan muka menghindar. Melihatnya terasa seperti sedang berada di dunia yang berbeda. Seperti duduk dibawah malam luas, lengkap dengan kerlipan bintang dan gadis itu seolah menjadi gugusannya. Majid tersenyum simpul. Sepertinya dia mulai tertarik akan aroma-aroma fotografi. Faktanya pembawaan gadis itu ketika bercerita memang begitu memukau.
Selain tertarik dengan fotografi, seperti ada hal lain yang mengganjal aneh dalam dadanya. Rasanya begitu berdebar-debar dan kian nyata. Terbentuklah rasa yang tidak asing baginya. Sebuah rasa yang pernah dia rasakan dahulu. Begitu sejuk dan penuh asap berwarna merah jambu yang mengaromakan kekaguman. Atau bahkan cinta.
Mengingat cinta, benih itu seperti jatuh entah dari taman surga yang mana, tertanam dan siap untuk tumbuh di taman yang sebelumnya telah porak poranda oleh badai. Bahkan awan badai yang tadinya gelap telah sirna seutuhnya. Saking cepatnya, Majid tidak menduga sejak kapan perubahan itu terjadi. Panorama suram yang sebelumnya menaungi hatinya telah tergantikan dengan nuansa mentari yang bangkit menyingsing. Keadaannya menjadi sangat indah dengan pelangi seusai badai.
Majid merasa betah, entah sudah berapa lama dia berdiri di sana. Seakan-akan waktu berjalan sangat lambat dan begitu nyaman. Sehingga dia tidak ingin masa itu berakhir dengan segera. Dia ingin merasakan indahnya cinta sekali lagi yang baru dia rasakan kembali setelah sekian lama hancur. Karena dimabukkan oleh rasa cinta seakan membuat candu alami pada dadanya, berdebar.
“Kau di sini rupanya.” Kata Amir.
“Kau melamun ya?” Sahut Rudi kemudian sembari menepuk bahu Majid. “Kami daritadi mencarimu kemana-mana.”
Majid menoleh ke arah kedua sahabatnya. Dia tidak menanggapi celoteh keduanya yang entah datang dari arah mana. Satu-satunya yang menjadi perhatiannya adalah kemanakah gadis yang bersamanya tadi. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru aula berusaha mencari sosok gadis itu. Gadis cantik yang terakhir bersamanya. Entah sejak kapan tempat itu menjadi dua kali lipat lebih ramai. Kenyataan yang dia ketahui dalam keramaian ini adalah dia sudah kehilangan gadis itu. Seolah-olah gadis itu lenyap bagai hantu. Hantu yang teramat sangat cantik jelita.
“Hei, apa yang kau cari sobat?” Tanya Amir seraya mengikuti arah Majid yang sedang celingak-celinguk mencari sesuatu.
“Ah, tidak.” Majid menjawab pertanyaan Amir sekenanya. Sementara dia masih mengedarkan pandangannya ke segala arah. Dia merasa belum puas dengan apa yang dialaminya. Tidak ingin kehilangan sosok gadis cantik itu. “Apa kalian melihat ada gadis di sebelahku tadi?” Tanya Majid kemudian.
Amir dan Rudi saling pandang, kemudian menggeleng.
Rudi berjalan mendekat. Dia merangkul Majid dan mengacak-acak rambutnya dengan kuat. “Siapa sekarang yang membahas soal gadis. Ha?” Sahut Rudi mengejek.
“Ah Rud, hentikan! Kau merusak tatanan rambutku.” Teriak Majid sambil mencoba meloloskan diri dari jeratan Rudi.
Amir menoleh kesana kemari ikut memastikan. “Kau hanya sendiri di sini sobat.” Kata Amir menjelaskan keadaannya.
“Betul itu, kau hanya mematung sendiri sedari tadi.” Sahut Rudi. “Kami panggil-panggil pun kau hanya terdiam.”
Majid hanya terbelalak karena ucapan kedua sahabatnya. Mana mungkin gadis yang terlihat nyata tadi hanya imajinasinya saja. Lalu penjelasan tadi itu apa. Majid hanya termenung sendiri. Tidak mungkin juga kan kalau gadis secantik itu benar-benar hantu. Sungguh tidak realistis jika dia menampakkan diri di siang begini. Dan Majid masih ingat benar bagaimana paras gadis itu, juga harum parfumnya masih mengisi paru-parunya. Sementara lembut suaranya berputar-putar dibenaknya.
“Kau suka dengan foto ini?” Sergah Amir kemudian seraya menunjuk sebuah foto pantai dengan langit kemerahan yang sedari tadi mengalihkan pandangannya. “Dari kejauhan kau terlihat terpaku menatapnya.”
“Ya, begitulah.” Majid mengangguk mengiyakan pertanyaan Amir. Kemudian dia terlihat berpikir, tangan kirinya memegang dagu. “Menurutku foto ini sangat menakjubkan. Dia menenangkan jiwa. Sungguh luar biasa bukan?” Majid menunjuk foto di depannya. “Lihatlah juga deburan ombak yang menyisakan jutaan buih pada pasir yang terhampar, sungguh terlihat nyata dan alami. Panorama sore kemerahan tercipta begitu cantik menawan meskipun hanya sebatas foto.” Jelas Majid pada sahabatnya.
“Wow, aku tidak menyangka kau mampu mengungkapkan suatu keindahan ketika hatimu sedang dilanda sebuah kegundahan men.” Tingkah usil Rudi kembali, dia tertawa mengejek.
“Ah, sialan kau Rud.” Kata Majid sebal. “Bisa tidak sehari saja kau jaga mulutmu yang bagai hewan buas itu.” Tambahnya kesal sampai menunjuk ke arah Rudi.
Rudi tertawa nakal, sepertinya ada ide baru yang muncul di otak briliannya. “Jangan-jangan kau tadi mencari Martha ya? Ngaku saja...” Rudi kembali mengejek sobatnya itu bertubi-tubi sambil terkekeh.
“Terserah kau sajalah.” Jawab Majid serampangan. Sementara Amir hanya tertawa melihatnya. “Bagaimana dengan keikutsertaan lombamu Mir?” Tanya Majid mengganti arah topik pembicaraan yang menjengkelkan.
“Sementara kau menghilang entah ke mana, aku sudah mendaftarkan ulang fotoku. Seharusnya sebentar lagi sesi penilaian. Namun panitia mengatakan sebelumnya jika juri penilainya membaur menjadi penikmat jadi kita tidak tahu mereka sedang berada di mana dan siapa saja mereka. Bahkan kapan waktu pasti para juri menilai setiap foto di sini pun juga dirahasiakan. Mereka bilang demi kelancaran lomba. Doakan saja kawan.” Jelas Amir dengan rasa berharap.
Ketiga sahabat itu menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di sekitar pameran foto para peserta lomba. Sesekali mereka berdiskusi ketika mengamati sebuah gambar yang menurut mereka indah dan mempunyai potensi untuk menjadi juara. Karena setiap foto yang mereka komentari pasti ada sesuatu yang menarik. Tidak jarang juga mereka memiliki argumen yang berbeda satu sama lain tatkala mengomentari foto-foto itu.
Semakin siang keadaan perlombaan fotografi menjadi semakin bertambah ramai. Kini kepadatan tempat itu telah mencapai tiga kali lipat dari terakhir yang mereka rasakan. Mungkin memang benar adanya, karena perlombaan kali ini tingkatnya tidak hanya mewakili anak SMA semata. Namun, orang umum boleh ikut andil didalamnya. Tidak ada batasan usia di sana. Siapa saja yang berminat berhak ikut meramaikannya.
Seorang jurnalistik sebuah surat kabar swasta sampai ikut menjadi pemburu berita di acara itu. Orang itu terlihat sibuk memotret beberapa hasil foto dari para peserta. Jurnalistik itu juga sempat mengabadikan meriahnya suasana siang hari di SMA Bintang Kejora Semarang. Dengan mewawancari beberapa penikmat.
Setelah lelah berkeliling dan menjalankan ibadah salat dhuhur, ketiga sahabat itu merasa perut mereka kosong. Baru tersadar semenjak tiba di Semarang, mereka sama sekali belum memakan apapun. Ketiganya berjalan menuju stand-stand kantin di halaman sekolah yang telah disediakan oleh para panitia penyelenggara lomba fotografi.
Majid duduk di sebuah bangku bersebelahan dengan Rudi, tangannya membawa nampan berisi tiga mangkuk soto panas. “Kau masih ingat janjimu bukan?” Kata Majid pada Rudi.
“Iya-iya aku yang traktir.” Jawab Rudi segera karena tidak ingin berdebat dengan perut keroncongan. “Lagipula kau tidak kemasukkan bola karena jasaku sebagai back bukan?” Tambahnya seraya menyeruput es tehnya.
“Ya terserah. Tapikan janji tetaplah janji, Rud.” Majid tertawa senang.
Amir yang tidak tahu apa yang mereka bicarakan hanya diam dan mengambil semangkuk soto. Dia segera menyantap nasi soto di hadapannya dengan tenang.
Seusai makan dan merasa kenyang, mereka kembali ke tempat perlombaan yang berlangsung riuh. Akhirnya waktu pengumuman lomba akan segera di gelar. Tidak hanya Amir yang jantungnya berdegup cepat. Majid dan Rudi juga merasa terjebak di aura yang sama. Rasa berdebar menanti hasil dari lomba fotografi siang hari ini. Bahkan Rudi terlihat berkomat-kamit berdoa. Saking gugupnya Majid dapat melihat keringat bercucuran di dahi Amir.
Pembawa acara membuka sesi pengumuman lomba dengan sangat meriah. Amir tetap diam membisu menanti hasilnya, dia masih terlihat gugup. Wajahnya kian terlihat pucat pasi kalau-kalau mendapati hasilnya tidak seperti apa yang dia harapkan. Acara siang hari ini masihlah sangat panjang. Berbagai band indie ikut memeriahkan acara lomba tersebut sebelum perlombaan benar-benar sampai dipuncak penilaian, membuat sebuah suasana keasyikkan yang tidak monoton.
Tanpa terasa siang pun telah berganti dengan suasana sore. Sesuai waktu, saat inilah hal mendebarkan itu akan segera dimulai. Sebuah penentuan bagi sang juara lomba fotografi di SMA Bintang Kejora. Tiga buah bingkai foto diangkat ke atas panggung bergantian oleh panitia lomba. Di muka bingkainya ditutupi oleh kain hitam agar tidak terlihat milik siapa foto-foto tersebut. Pembawa acara berseru tatkala ketiga bingkai telah berdiri di atas panggung lengkap dengan penutup mereka. Mula-mula pembawa acara hendak membuka penutup bingkai pertama sebagai juara ketiga. Dengan tepuk tangan meriah dia menyibak penutup hitamnya.
Semua mata terkejut melihat foto apa yang terpampang di sana. Sebuah gambar candi terbingkai apik dalam balutan kayu dan kaca. Seketika Amir bersorak seperti orang kesetanan. Rudi yang melihat segera memeluk sahabatnya kegirangan. Majid hanya bisa tertawa senang melihat keberhasilan sahabatnya itu. Meski hanya sampai di juara ketiga saja, hal itu sudah menjadi momen yang luar biasa bagi mereka yang masih duduk di bangku SMA. Juara kedua adalah gambar dari adaptasi hiruk pikuk kegiatan pasar yang sebelumnya mereka bertiga lihat.
Terakhir adalah penentuan juara pertama, sekaligus hal yang paling membuat Majid tercengang ketika penutup bingkai tersebut disibak oleh si pembawa acara. Foto dalam bingkai yang ada di atas panggung tersebut adalah foto yang dia kagumi selama beberapa waktu silam sampai membuatnya terkesima. Sebuah gambar panorama pantai yang sangat natural dan mengesankan. Bahkan semua penonton memuji foto pemandangan pantai dikala senja itu.
Hal lain yang membuat Majid terheran adalah pemilik foto tersebut. Sebanyak apapun pembawa acara memanggil nama pemilik foto itu, yang bernama Iis, orang itu tidak kunjung naik ke atas panggung. Sampai akhirnya foto tersebut dinobatkan sebagai juara misterius dan Amir naik menjadi juara kedua. Anak laki-laki itu bertambah girang luar biasa.
@atinnuratikah gehehe thx u kak... iya emang lagi galau
Comment on chapter Satu