DUA
Majid berjalan melewati gerbang sekolah masih dengan ekspresi lesunya. Dia tertunduk mengenang pertanyaan-pertanyaan aneh yang tak mampu dijawabnya. Di atas, gerbang sekolah terpampang tulisan SMA Citra Mandiri dengan cat putih dalam plakat logam berwarna biru tua. Plakat besi itu terlihat kuat dan kokoh. Dibandingkan dengan keadaannya pagi ini, terlihat seperti lelucon buatnya.
Di SMA ini-lah Majid menempuh pendidikan setiap harinya. Disamping belajar, dia juga bersendau gurau dengan teman-temannya. Suka duka dia lewati dengan suka cita setiap hari dalam balutan seragam yang kian kusut dimakan tahun. Hari-hari berjalan normal setiap minggunya. Keseharian yang tidak jauh berbeda dengan para siswa lainnya. Sampai akhirnya rasa baru bersarang dalam dirinya. Rasa yang dia rasa sangat menyebalkan. Hingga mukanya tidak kalah kusut dengan seragam yang dia kenakan.
Kedua kakinya menuntunnya pada lorong yang memanjang. Di sebelah kirinya berjejer deretan ruang kelas. Terlihat beberapa siswa sedang bergerombol di salah satu ruang kelas yang bersebelahan dengan ruang OSIS. Mereka terlihat saling memamerkan sepatu baru mereka tepat di hadapan Majid yang sedang melintas. Anak-anak itu sama sekali tidak melirik Majid, begitu pula sebaliknya. Jika diingat-ingat Majid sendiri bukan salah satu dari gerombolan anak populer itu. Dia tidak mempunyai kelebihan mencolok di bidang pendidikan, olah raga ataupun hal lainnya. Apalagi yang berhubungan dengan finansial. Karena hidup normalnya itu dia jadi lebih mudah ramah dan akrab kepada siapapun. Tidak perlu kepalsuan. Berbeda dengan anak-anak populer yang selalu menjaga image mereka untuk sebuah popularitas.
Sempat Majid merasa heran pada mereka. Bisa-bisanya mereka berlaku sok kaya dan sombong hanya demi popularitas. Padahal bagi anak seusianya, barang yang mereka sombongkan masih hasil mengemis kepada orang tua. Terlebih mereka makan makanan yang sama, nasi dan minum minuman yang sama, air. Majid yakin akan hal itu. Namun, tanpa popularitas yang tidak penting itupun Majid masih tetap memiliki teman. Termasuk anak perempuan yang pernah mengisi relung hatinya.
Tangannya reflek bergerak memukul jidatnya sendiri.
Sebuah kesalahan mengingat gadis itu. Setiap kali mengenangnya malah membuka kembali luka di dadanya. Lagi-lagi Majid menggerutu dan menggumamkan kata-kata aneh. Meskipun tidak dipungkiri dia juga sempat terngiang masa-masa indah bersamanya. Namun, entah mengapa rasa pedih lebih kentara dibandingkan rasa manis. Kian menusuk-nusuk hatinya tanpa henti. Membuatnya terasa sesak dan menyakitkan.
Otaknya kembali teringat akan kalimat-kalimat seseorang di dunia maya. Mereka mengatakan jika jatuh cinta itu seperti menaiki bukit. Ketika mencapai puncak, lembah berbunga yang sedang bermekaran terlihat mengagumkan. Menikmatinya di atas ketinggian adalah suatu anugerah dari sang pencipta dan membayangkan tinggal disana berdua dengan pasangan sungguh syahdu rasanya.
Hebatnya itu terbukti benar. Majid pernah merasakan hal semacam itu. Dulu.
Demi mencapai lembah, orang harus bersusah payah menaiki bukit terjal setapak demi setapak. Sesekali sakit menginjak bebatuan tajam dan terkadang terpeleset karena licinnya lumut. Tidak ada jalan cinta yang mulus, penuh bebatuan terjal dan juga rintangan. Baru akhirnya bisa menikmati keindahannya. Luar biasa seperti secuil surga yang jatuh di dunia fana. Sebuah taman bunga indah sedang bermekaran di sana. Kupu-kupu berterbangan dengan indah, sedangkan panorama matahari terbit hangat dan mempesona di angkasa layaknya pelengkap pagi biru cerah dalam relung hati dan jiwanya. Tidak ada malam gelap atau mendung ditempatnya berasal.
Anak laki-laki itu benar-benar merasakannya beberapa waktu silam. Mengingatnya saja sudah membuat dirinya tersenyum senang. Dia tersenyum walau hanya sebentar. Kemudian sirna seperti kabut yang terbiaskan oleh cahaya matahari pagi.
Di saat terngiang akan masa lalu itu, Majid telah memasuki ruang kelasnya. Di dalam hanya berisi segelintir orang. Dia duduk termenung di bangku paling belakang tanpa ada kontak dengan teman-temannya. Seakan dalam pandangannya ruangan itu hanya berisi kekosongan, kecuali dirinya sendiri yang sedang gila. Benar-benar gila. Sesaat dia murung. Sedetik kemudian dia merasa marah. Dan sekejap setelahnya berubah menjadi senyuman.
Sebenarnya Majid baru mengenal dan mencicipi apa itu cinta hanya selama umur jagung. Selama itu pula dia merasakan hal yang luar biasa setiap harinya. Seakan-akan matahari enggan tenggelam di setiap sorenya. Tak ingin meninggalkan sisa hari dalam naungan kegelapan. Di ufuk barat menunjukkan keindahan cinta yang keemasan. Setiap napasnya adalah harum wewangian bunga mawar. Sedang paras cantiknya bak mawar yang baru merekah bersama embun pagi. Sungguh gadis yang sempurna.
Seusai pulang sekolah dadanya selalu berdebar jika mengingat sosok kekasihnya. Dia sangat mendambakan anak perempuan berambut sebahu itu. Meski ibunya sering memperingatkannya akan bahaya cinta monyet. Majid selalu mengelaknya. Pikiran dan hatinya tidak bisa diganggu gugat. Keduanya menyatu layaknya sepasang sepatu bertalikan benang merah.
Sampai akhirnya hari itupun datang. Hari yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Tidak sekalipun pernah terlintas dipikirannya sebuah suasana lain dalam hal cinta-cintaan. Rasa kacau di hari itu merambat melintasi waktu hingga detik ini. Majid tidak menyangka dia benar-benar merasakannya. Setiap detiknya terasa sangat lama dan menyesakkan dada. Amarah terasa seperti binatang buas yang menaungi dirinya setiap saat. Tidak ada Majid yang ceria dan ramah, yang tersisa hanya kemurungan dan kasar. Sampai dia menghindari kedua sahabatnya.
Martha Ayu telah mencampakannya begitu saja. Gadis itu lebih memilih pebasket yang baru naik daun daripada dirinya. Memang tahun ini adalah musim basket antar sekolah. Dibandingkan dengan pebasket itu, Majid tidak ada apa-apanya. Umumnya anak laki-laki pebasket itu berfisik tinggi, tampan dan juga populer dikalangan siswa satu sekolah, bahkan namanya dikenal sampai sekolah tetangga. Sedangkan Majid, dia hanyalah siswa biasa tanpa hal mencolok. Sama sekali tidak ada hal yang spesial pada dirinya. Perbandingannya seperti semak kumuh dengan hutan kokoh di kaki gunung. Terlampau jauh dan mengada-ada.
Gadis itu meninggalkannya tanpa ada kata putus atau alasan apapun. Itulah yang membuatnya kecewa. “Kenapa harus Martha!” Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Majid tertunduk dalam duduknya.
Rasa kehilangan membuatnya terperosok jatuh di kedalaman jurang yang tak menentu. Hari-hari dengan nuansa musim semi lenyap seketika. Kini yang tertinggal hanya bencana dan rasa amarah. Memang terkadang dia tersenyum mengingat kenangan seperti sebelumnya. Namun itu hanya sebatas kenangan. Di waktu lain rasa benci dan amarah yang akan muncul ketika teringat akan kejamnya cinta dan pengkhiatan. Sungguh keji jika mengingat sebuah ketulusan cinta suci yang telah ternodai begitu saja. Tidak adakah ikrar suci yang terucap dalam bibir itu adalah nyata. Ternyata yang diutarakan setiap saat itu hanya kebohongan belaka. Pencitraan akan hadirnya cinta penuh kepalsuan.
Majid tidak habis pikir. Dia menghabiskan banyak tenaga hanya untuk memikirkan gadis itu. Membuang-buang waktu kesannya. Namun, dia tidak bisa mengelak dari potret-potret kenangan yang mempermainkan hatinya. Membingungkan.
Dia pernah mendengar ungkapan seseorang. Patah hati memanglah menyakitkan untuk dirasakan dan memilukan untuk dipastikan. Bagai sebuah mawar dengan tangkai penuh duri. Akhirnya dia mencicipi juga sakitnya duri-duri itu. Dahulu yang dia rasakan hanyalah semerbak aroma mawar dan keanggunan. Setiap saat aroma itu membuatnya terbuai akan panorama cinta yang merah jambu. Kini duri itu membuahkan sebuah goresan dan tusukan tepat di hatinya. Luka yang akan membekas entah sampai kapan. Merubah dirinya menjadi pribadi yang lain, penggerutu dan pemarah. Tidak ada warna keemasan mentari saat ini, yang ada warna merah menyala yang berkobar. Amarah.
Sejak saat itu Majid telah gagal menafsirkan sosok sebenarnya dari perasaannya. Sosok dari apa itu hati dan bagaimana rasa akan cinta. Selain warna kelabu yang kusam. Juga rasa kecewa, cemburu, derita dan juga amarah. Dadanya terasa sesak. Sementara media di dalamnya seperti tercabik-cabik.
Ego anak laki-laki itu membuatnya ingin menemui sosok pebasket yang telah merebut Martha darinya. Segudang usaha di kepalanya mengatakan untuk menghadang anak itu dan berkelahi memperebutkan satu-satunya gadis dalam hatinya. Tapi dia mengurungkan niatnya secepat dia mendapatkan ide bodoh itu. Bukan perasan lega, tapi luka dan benjolan yang akan menantinya. Itulah yang dikatakan oleh kedua sahabatnya berulang kali, Amir dan Rudi. Mereka tidak pernah lelah menasehati Majid, meskipun dirinya memilih mengelak dan menjauh pergi. Tidak jarang dia memaki kedua sahabatnya yang dipikir terlalu ikut campur.
Amir dan Rudi merupakan sahabat karib Majid sejak mereka masuk ke SMA. Tepatnya ketika ospek sekolah. Mereka adalah orang yang selalu menemani hari-hari Majid. Terlebih saat Majid belum mengenal Martha dan segala cinta yang menyakitkan itu.
Amir merupakan anak dari direktur bank di Surakarta. Rambutnya yang hitam mengkilap diolesi minyak rambut hingga sedikit berdiri. Meski dia tidak tampan, namun rasa percaya dirinya sangat luar biasa. Tubuhnya juga tidak terlampau tinggi daripada Majid. Hanya selisih dua senti saja. Sedang Rudi adalah anak cewawakan tapi asyik. Dia selalu melakukan hal aneh. Rambut ikalnya tidak pernah dia sisir. Bukannya malas, melainkan rambut itu tidak bisa diajak kompromi tiap kali disisir. Hal yang mengejutkan dari Rudi adalah dia peringkat satu di kelas. Anak seceroboh Rudi bisa sepintar itu, kadang membuat Majid iri. Namun, begitulah temannya.
Setiap kali Majid sedang menyendiri, dia kadang juga menyadari apa yang dikatakan kedua temannya ada benarnya. Jika dia bersikeras berkelahi, hanya kekalahan yang menantinya. Pasalnya dia kalah fisik dengan pebasket populer itu. Menantangnya hanya menambah luka dan catatan nakal di kantor bimbingan konseling yang mana tidak pernah ada coretan seperti itu pada namanya. Memikirkannya hanya membuatnya murung. Merasa lemah dan tidak berguna diakhir pekan yang seharusnya menyenangkan.
Kini dia hanya sosok anak muda yang gagal menafsirkan apa itu cinta. Seutuhnya rasa sakit hati akan kehilangan pacar yang dicintainya telah merusak hari cerianya. Sekaligus mencemari pribadinya. Merubahnya menjadi orang yang lain.
“Ayolah, mau sampai kapan kau murung sobat?” Kata Amir seraya duduk di bangku kelas tepat di samping Majid.
Melihat sahabatnya hanya melamun tidak merespons, Amir memberi isyarat ke arah Rudi meminta bantuan.
Rudi yang baru saja datang langsung mendekat dengan gaya sok akrabnya. “Sudahlah men, kau kan masih ada kita-kita. Apa bagusnya sih cewek bodoh itu. Ha?” Cetus Rudi kemudian dengan kedua alisnya terangkat. Tangannya memukul pundak Majid pelan untuk menyadarkannya karena sahabatnya hanya diam tanpa respon. Majid seperti hanyut dalam lamunannya.
Bukannya membaik, ucapan Rudi itu malah membuat suasana hatinya bertambah kacau. Dia menatap lekat-lekat wajah Rudi, rahangnya mengatup keras dan matanya seolah memaki, namun dia hanya membuang napas. Majid bangkit dan melepaskan pundaknya dari tangan Amir. Tanpa berkata sepatah kata dia berlalu meninggalkan kedua sahabatnya.
Amir bangkit dan berseru kearah Majid yang hendak keluar kelas. “Kau mau ke mana?!” Serunya. Suasana gaduh dalam kelas membuatnya tidak begitu terpengaruh akan teriakan itu.
“Toilet.” Majid menjawab singkat sambil terus berlalu dari kelas. Bahkan dia tidak menoleh sedikitpun ke arah sahabatnya.
“Kau sih, Rud!” Amir menyenggol pundak Rudi cukup keras.
“Apa? Huft...” Rudi hanya membuang napas dan menggelengkan kepala. Sementara kedua tangannya berkacak pinggang. Ada secarik rasa kecewa dan khawatir di wajahnya. Tapi dia sadar untuk saat ini dia tidak bisa berkomunikasi dengan harimau yang sedang lapar.
***
Bel berbunyi nyaring menandakan waktu pelajaran segera di mulai. Namun hari ini adalah hari bebas di mana para OSIS dan anggotanya mengadakan acara class meeting. Minggu kemarin adalah waktu terakhir ujian kenaikan kelas. Sehingga para anggota OSIS menyiapkan beberapa lomba dan panggung hiburan sebagai puncaknya.
Majid kembali masuk ke ruang kelas tidak lama setelah bel berbunyi. Sudah lima belas menit dia meninggalkan ruang kelas entah ke mana. Waktu lima belas menitnya ternyata tidak memperbaiki keadaannya sedikitpun. Wajahnya masih sama kusutnya dengan sisa-sisa tisu yang diremas.
Rudi bangkit menghampiri Majid yang berjalan lesu. “Maafkan aku men. Aku tidak bermaksud seperti itu. Hanya saja aku...”
“Tenanglah Rud. Aku tidak apa-apa. Aku hanya butuh waktu.” Majid memotong perkataan Rudi, memaksakan sebuah senyuman kaku dibibirnya. “Katamu kemarin di pesan teks, kau butuh penjaga gawang untuk tim futsal kelas? Bagaimana? Jadi?” Katanya berusaha merubah topik yang tidak ingin selalu dibahasnya.
“Kami tidak akan memulai permainan tanpa kau, men.” Jawab Rudi dengan cengiran di bibirnya.
“Okelah. Tapi jika tidak ada bola yang masuk di gawangku, kau harus siap-siap mentraktirku di kantin.” Kata Majid seraya menjulurkan tangannya. “Setuju?” Tegas Majid memastikan. Senyuman dibibirnya kembali muncul walau nampak jelas dipaksakan.
Rudi tertawa kecil. “Alah, itu mah kecil. Gampang, men.” Rudi menjabat tangan Majid dengan erat tanda setuju. “Kau tenang saja.” Dia tertawa dan menggoyang-goyangkan jabatan tangannya.
“Kalian sudah siap?” Seru Amir dari depan pintu ruang kelas. Majid dan Rudi mengangguk berjalan ke arahnya.
Ketiga sahabat itu berjalan meninggalkan ruang kelas mereka menuju aula yang biasa digunakan menjadi ruang olah raga. Hari ini aula telah disulap menjadi sebuah lapangan futsal sederhana. Rencananya akan ada pertandingan antar kelas. Demi memeriahkan acara class meeting.
Sekolah mereka berada di tengah kota dengan jajaran bangunan yang cukup padat. Bangunan sekolahnya terkenal cukup tua dan masih mengadopsi struktur kuno asal negeri kincir angin. Meski demikian, sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah favorit di kota Surakarta. Banyak calon siswa yang berbondong-bondong ingin mendaftar di SMA Citra Mandiri pada saat musim penerimaan siswa baru.
“Oh iya, aku lupa.” Kata Amir tiba-tiba. “Besok hari Minggu. Kau ada acara ke mana sobat?” Tanyanya pada Majid.
“Entahlah. Mungkin hanya di rumah. Aku kan jomblo sekarang.” Jawabnya dengan tawa hambar.
“Syukurlah kau sudah bisa tertawa riang semacam itu.” Sahut Rudi riang, walaupun maksudnya mengejek. “Minum obat apa kau men?”
“Sialan! Kau kira yang begini ada obatnya.” Jawab Majid kesal seraya mengacak-acak rambut sahabatnya tersebut.
“Ya siapa tahu kan.” Sahut Rudi seraya berusaha melepaskan diri dari ulah Majid. “Kau kan laki-laki, yang tegar dong!” Tambahnya.
Amir hanya tertawa melihat tingkah konyol kedua sahabatnya. Sampai akhirnya dia ikut andil dalam proyek perusakan rambut Rudi. “Aku akan ke Semarang besok dengan Rudi.” Katanya kemudian. “Kau harus ikut, kawan.” Ajak Amir dengan sedikit memaksa.
“Acara apa?” Majid balik bertanya. Tangannya mulai melepaskan cengkramannya pada rambut ikal Rudi.
“Ikut saja. Kita akan senang-senang. Siapa tahu bisa menenangkan hatimu yang sedang kelabu itu.” Tambah Rudi dengan tawa terbahak seraya mengatur rambut ikalnya dengan jemarinya setelah terlepas dari tangan-tangan jahil temannya. Walaupun pada akhirnya rambut itu sama sekali tidak berubah.
“Aku mendaftar lomba fotografi di SMA Bintang Kejora Semarang.” Jelas Amir. “Dan mungkin Rudi ada benarnya. Kau butuh suasana baru.” Tambahnya kemudian.
“Dan lagi, di sana banyak cewek cakep, men.” Sahut Rudi sambil tertawa nakal. Sementara jari tangannya menunjukkan bentuk metal saat mengatakannya.
“Alah kau ini Rud. Di otakmu cewek mulu adanya. Ekonomi noh remidi, pikirin!” Sambung Amir gemas.
Majid tertawa karenanya.
“Nah! Itu kan memang aku sengaja tidak lolos, biar sama dengan kalian.” Kata Rudi membela diri dengan nada sombongnya.
Memang jarang Rudi bisa sampai mendapat remidi seperti itu. Dia masih tertawa lepas. “Hmm... Sepertinya menyenangkan. Ya walau aku tidak tahu menahu soal fotografi. Tapi, tidak ada salahnya juga aku ikut. Aku ingin melihat fotomu dikalahkan.” Majid kembali tertawa.
“Lah gitu amat kau sob sama kawan sendiri. Senang ya lihat kawan sendiri gagal?” Sahut Amir seraya memukul pundak Majid karena kesal.
“Bercanda Mir. Gitu aja diambil hati.” Sambung Majid masih dengan tawa mengejeknya. Tangan kanannya melindungi lengan kirinya yang menjadi sasaran Amir dan mengelusnya pelan.
Amir menepukkan kedua tangannya. “Bagus, sudah ditentukan. Besok pagi jam enam kalian berdua harus sudah di terminal.” Ucap Amir memerintah. “Ingat ya, jam enam tepat!” Tambahnya dengan menekankan kata enam dan tepat. “Kalau tidak mau aku tinggal. Terutama kau Rud. Dasar tukang tidur!” Jelasnya pada Rudi.
“Tenang saja men. Besok alarmku siap membangunkanku tepat waktu.” Sahut Rudi lengkap dengan cengirannya yang khas.
“Alarm? Maksudmu ibumu?” Ujar Majid balas mengejek.
Tawa Majid dan Amir kembali terlepas.
“Ayo kita bermain. Yang lain sudah siap tuh!” Sahut Rudi berusaha menghentikan percakapan yang semakin memojokkannya.
@atinnuratikah gehehe thx u kak... iya emang lagi galau
Comment on chapter Satu