TIGA
“Hai.” Sapanya seraya mengedarkan senyum. “Sudah lama?”
“Oh Hai. Ya. Oh, maksudku tidak. Aku baru saja kok.” Majid terlihat gugup menjawab pertanyaan sepele itu.
Gadis itu hanya membalas senyum pada anak lelaki di depannya. Menarik kursi, lalu dia duduk dengan lembut.
“Ah iya, ini cokelat kesukaanmu. Tadi aku tidak sengaja mampir di mini market.”
“Tidak sengaja? Kamu itu...” Gadis itu menerima cokelat pemberian Majid dengan senyum di bibirnya. "Tapi, terima kasih. Aku senang."
Itu adalah senyum terindah sepanjang yang pernah dia lihat. Juga senyum manis yang terlihat tulus. Majid tidak sanggup melupakannya. “Aku juga sudah memesankan makanan. Tunggu saja.”
Dua buah steak mengepul siap santap terhidang di depan keduanya. Aromanya semerbak meningkatkan nafsu makan siapa saja yang menghirupnya. Seorang pelayan baru saja menghidangkannya lengkap dengan dua gelas milkshake chocolate.
“Kamu tahu saja apa yang menjadi favoritku.” Gadis itu tersenyum simpul.
“Martha...”
“Hmmm.” Jawabnya dengan berdeham, sementara tangannya fokus dengan pisau steaknya.
“Aku harap hari seperti ini tidak pernah berlalu.”
Gadis itu tersenyum.
Sebuah mimpi dimalam yang salah, membawanya pada rasa yang benar-benar salah. Mimpi dari kenangan memang terlihat begitu nyata. Terlihat begitu menyakitkan.
Majid membuka lembaran baru. Suasana pagi yang cerah terpancar menembus jendela kamar sesaat setelah dirinya menyibak gorden sewarna kelabu. Melirik angkasa, di sana langit sudah biru cerah dengan mentari yang masih malu-malu jauh di timur, tertutup sela-sela awan. Suasananya berkebalikan dengan mendung yang ada di hatinya. Masih terlalu pekat untuk diterangi mentari. Sepertinya luka dihatinya tidak semudah itu untuk disembuhkan. Luka fisik memang banyak obatnya, tapi tidak untuk luka di hati.
Dasar! Gerutunya dalam hati.
Kenangan itu kian menyakitkan. Padahal dia tak pernah mencoba mengingatnya. Terkadang hari-hari bersama Martha muncul begitu saja. Sama halnya mimpi semalam. Tidak ada angin tidak ada hujan, mimpi itu tercipta begitu saja. Sekuat apapun mencoba, kenangan sukar untuk dilupakan. Memang sebuah bentuk ketidakadilan untuknya. Padahal semua hal yang membuatnya teringat oleh gadis itu sudah tidak ada lagi. Akan tetapi memorinya berputar sendiri seperti kotak musik usang. Dia mengalunkan lagu lama bersama datangnya potret-potret yang melintasi masa.
Menyebalkan. Dasar gadis cantik bodoh! Majid menutup pintu lemarinya kencang.
Dia berlari menuruni tangga, menggigit roti sarapannya yang dia tarik dari meja makan, lantas kembali berlalu. “Ibu aku berangkat, assalamualaikum.” Serunya sambil menuju garasi tanpa menunggu suara balasan dari ibunya. Dia menaiki sepeda motornya dengan tergesa. Cepat-cepat menuntunnya keluar dari garasi melewati gerbang, kemudian tangan kanannya memutar tuas gas membuat motornya melesat.
Majid menancap gas melaju di jalanan komplek dengan kencang. Jam tangannya telah menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Perjanjiannya dengan Amir, mereka akan berangkat pukul enam tepat. Suara Amir terdengar jelas tatkala Majid memikirkannya. Sehingga membuatnya harus menempuh jarak dalam kurun waktu kurang dari setengah jam untuk tiba di terminal, dan itu mustahil.
Beruntung Majid paham sedikit banyak mengenai jalanan. Meski begitu ramai, dia berhasil tiba di terminal dengan melintasi beberapa jalan pintas. Matanya menatap silau pada sinar keemasan matahari pagi yang menyingsing lebih tinggi sekarang. Perlahan sinar dari timur cakrawala itu menyinari sebagian bangunan tua terminal kota. Suara riuh telah mendarah daging di hari libur semacam ini. Sejumlah pedagang asongan mondar-mandir dengan suara lantang menjajakan dagangan mereka, sedangkan puluhan calon penumpang memenuhi jalanan di sekitar pintu masuk terminal. Mereka terlihat saling berdesakkan berusaha memasuki bangunan.
Majid berlari kencang menuju bangunan utama terminal, memasuki pintu dengan susah payah. Terlambat hampir lima belas menit dari waktu yang telah ditentukan membuatnya panik. Segera tangannya meraih telepon genggam di saku celana, memastikan. Ada tujuh kali panggilan tak terjawab di sana. Lantas sebuah pesan baru masuk membuat telepon genggamnya kembali bergetar. Di sana tertulis nama Amir yang sudah tidak sabaran. Buktinya sudah ada lima buah pesan dari pengirim yang sama tatkala Majid membukanya. Dia membaca pesan-pesan itu dalam hati. Dari bahasanya sudah terlihat kalau Amir sedang kesal lantaran Majid tak kunjung datang. Kemungkinan besar keempat pesan lainnya terkirim ketika Majid mengendarai sepeda motornya.
Hei! Kau di mana?
Kau sudah bangun bukan?
Kau pikir ini jam berapa?
Cepatlah, atau kau aku tinggal!
Hei, Pemalas! Cepatlah!
Majid mengubah larinya dengan berjalan cepat disaat membalas pesan tersebut. Sambil melirik ke depan memperhatikan jalan yang penuh sesak, dia mengetik pesannya secepat mungkin yang dia bisa.
Kau ada di mana? Ini aku sedang memasuki terminal. Balasan pesan Majid kepada Amir.
Tak berselang lama telepon genggamnya kembali bergetar. Balasan pesan dari Amir masuk dengan cepat.
Langsung saja di jalur Semarang. Rudi juga baru saja datang. Isi pesan teks dari Amir mulai terlihat normal. Sudah tidak ada tanda seru yang mengancam.
Majid menghela napas, melanjutkan langkahnya yang sempat tertahan sampai setengah berlari. Keadaan di dalam terminal pagi ini ternyata tidak mau kalah sesaknya dengan kepadatan di luar. Lusinan manusia saling berhimpitan hampir di setiap ruas terminal. Di samping itu, Majid sedikit kesulitan mencari di mana kedua temannya berada. Arah pandangnya sedikit terhalang oleh sejumlah orang di depan. Dia sampai memaksakan diri berdesakkan ketika melewati pintu peron terminal.
Perasaan senang datang ketika dia berhasil melewati desakkan penuh manusia itu. Akhirnya aksi berdesakannya dengan puluhan orang membuahkan hasil. Tak lama setelah terbebas dari kerumunan Majid kembali berlari menuju sebuah pemberhentian bus dengan plat besi bertuliskan Semarang seperti yang dikatakan Amir dalam pesan teksnya.
Kau pake baju warna apa? Di sini terlalu banyak orang. Aku kesulitan mencari keberadaanmu. Majid kembali mengirim pesan kepada Amir. Kini dia hanya berdiri sambil celingak-celinguk mencari sahabatnya berada.
“Hei, Majid! Di sini!” Teriak anak lelaki dengan kemeja biru berpola persegi kecil-kecil. Dia melambaikan kedua tangannya ke atas. Di sebelahnya ada seorang anak laki-laki lain dengan jaket abu-abunya yang khas, itu pasti Rudi.
Mendengar suara Amir membuatnya kembali bersiap. Setelah melihat di sekitar, memastikan jika tidak ada bus yang melintas, Majid segera berlari menuju tempat di mana kedua temannya menunggu.
“Apa yang menahanmu selama ini, kawan?” Tanya Amir pada Majid yang baru saja datang dan terlambat hampir dua puluh menitan.
“Hah... Hah... Maaf.” Jawab Majid dengan napas terengah-engah. “Huft... Aku dipaksa sarapan dulu sama ibuku. Konyol bukan?” Jawabnya masih dengan terengah seraya menebak apa yang kedua temannya pikirkan. Tidak mungkin dia mengatakan jika tidak bisa tidur semalaman penuh hanya gara-gara gadis itu.
Rudi tertawa mendengar alasan Majid yang terdengar bodoh. “Dasar kau, anak ibu satu-satunya.” Katanya mengejek, sebelum dia kembali tertawa.
“Hei Rud, Kau sendiri juga terlambat!” Kata Amir sambil memukul ringan kepala Rudi. “Nih, kau minum dulu. Aku yakin kau haus.” Dia menjulurkan sebotol minuman kepada Majid.
Majid segera meneguk sebotol air dingin itu dengan segera. “Segar sekali. Thank You Mir.” Dia mengembalikan botol itu ke Amir.
@atinnuratikah gehehe thx u kak... iya emang lagi galau
Comment on chapter Satu