Di saluaran pembuangan ini aku hanya berpikir. Maksudnya mayat hidup apa? Dan kenapa bisa seperti ini. Atau itu seperti yang dijabarkan oleh artikel tadi.
Di saluran pembuangan ini. Aku hanya mencium bau amis, kotor, dan sangat menjijikkan. Apalagi suasananya gelap dan pencahayaannya hanya didukung oleh senter Arya. Itu pun tidak cukup untuk menerangi kami. Satu kata untuk terowongan ini. Mencekam!
Denayla terduduk lemas. Ia masih shock hebat. Dan aku benar-benar panik tingkat dewa. Bayangkan kawan! Tokoh fiksi film-film horror misteri, sekarang ada di dunia nyata. Dan aku merasa bahwa aku seperti tokoh novel-novelnya Stephen King dimana para tokohnya dikejar zombie. Oh, ini rumit sekali.
Aku memeluk Denayla. Denayla pun menangis.
“Ta. Aku takut. Aku takut sekali,” teriak Denayla.
Aku hanya terdiam dan mengelus rambut panjangnya. Dan tak disangka-sangka aku pun menangis. Menangis. Dan terus menangis.
Kulihat Arya hanya berdiri diam. Dan tampak berfikir-fikir. Ah, sudahlah tak usah pikirkan orang itu. Tapi, ternyata ia juga punya sisi manusia.
Lalu Arya menghampiriku yang masih memeluk Denayla dengan perasaan panik, “Ta, kita harus cepat-cepat. Kita harus cepat ke stasiun bawah tanah. Aku salah.”
Aku melepas pelukan Denayla. Bangkit dan mengusap air mata, “Maksudmu apa?”
“Apa kamu lupa bahwa sekarang sedang hujan deras?” tanya Arya dengan panik.
Aku sontak terdiam. Hujan deras? Di saluran pembuangan? Dan kita di gorong-gorong ini?
“Berarti?” aku bertanya keheranan dan panik.
“Air bah akan datang setidaknya lima menit dari sekarang. Dan kita harus bergegas. Kita akan memakai portal jika aku sudah fokus. Aku susah fokus jika dalam keadaan genting seperti ini,” jelasnya dengan cepat.
Double shit! Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Aku mengangguk cepat. Kemudian duduk disamping Denayla. Aku menjelaskan apa yang tadi Arya ucap, kemudian Denayla mengangguk cepat. Wajahnya shock berat, dan sekarang wajahnya bukan shock berat lagi. Tetapi super duper shock berat.
Denayla bangkit. Dan berjalan gontai kearah Arya.
“Kami siap. Ayo!” ajak aku semakin panik.
“Denayla?” tanya Arya khawatir.
“Tenang. Aku pasti bisa,” jawab Denayla.
Aku ramal, Denayla mengucapkan BISA karena TERPAKSA.
Aku berlari mengikuti Arya. Suasana yang gelap.
Aku masih bertanya-tanya. Mengapa aku sangat peduli sekali dengan laki-laki seperti ini? Apa gunanya coba? Ah, sudahlah. Lupakan saja. Buat apa berfikir negatif dikala keadaan genting seperti ini?
Arya berhenti. Aku dan Denayla pun ikut berhenti.
“Ada apa?” tanya Denayla.
Lalu lantai terowongan pun bergetar. Dan ada suara percikan air dan gemuruh di belakangku.
“Lari Ta! Air bah sudah dekat.” teriak Arya seraya berlari.
Berlari. Terus berlari. Tapi, itu tidak cukup. Air bah itu datang dengan tiba-tiba dan menyeret seluruh tubuhku. Aku bergelinjangan. Tidak tahu harus berbuat apa. Tidak bisa melihat apa-apa. Arya dan Denayla tidak tahu ada dimana.
Saat napasku mulai parau, tanganku memegang sebuah besi yang berada di dinding. Lalu sadar atau tidak sadar, aku memegang besi tersebut. Aku memegangnya dengan kuat. Berharap-harap air bah tersebut dapat surut dalam waktu dekat.
Aku masih memegang besi itu. Tapi, air sudah turun sampai bahuku. Akhirnya, aku bisa bernafas. Walaupun sedikit bau sih…
Air pun perlahan-lahan berarus lambat. Dan juga berangsur-angsur turun. Dan keadaan pun, kembali normal walaupun seluruh tubuhku basah kuyup.
Aku menuruni tangga besi itu. Dan cepat-cepat mencari Denayla dan Arya.
“Arya… Denayla…!!!” suaraku menggema keras.
Belum ada jawaban.
“Arya…!!!”
Lalu suaraku ada yang membalas, “Mita aku ada disini.”
Suara itu berasal dari belakangku. Dan sepertinya ia dekat denganku.
“Diam disitu. Aku akan kesana.”
Aku berjalan menuju sumber suara tersebut sambil memegang dinding terowongan karena gelap. Lalu aku melihat seperti sebuah sinar senter yang kukenali. Aku cepat-cepat berlari sinar tersebut.
Semakin terang.
Semakin terang.
Dan kudapatkan Arya sedang terduduk lemas. Disampingnya ada Denayla yang telentang di lantai terowongan.
“Arya kamu tidak apa-apa?” tanya aku seraya duduk melihat kondisi Denayla.
“Aku hanya lemas. Napasku parau.” Jawab Arya.
“Bagaimana keadaan Denayla?” tanyaku panik.
“Ia lemas. Tenang saja Mita. Ia hanya pingsan. Mungkin dua menit dari sekarang ia akan siuman.” Jawabnya dengan napas tersengal-sengal.
Aku hanya terdiam dan menunggu.
Dua menit berselang, akhirnya Denayla membuka matanya. Dan terbatuk-batuk.
“Denayla?” pekik aku tanda kegirangan.
Ia hanya mengangguk lemas.
“Apa kamu bisa duduk. Atau berdiri?” tanya aku khawatir.
Ia mengangguk pelan. Kemudian duduk dengan lemas. Oh, Denayla. Kau seperti para orangtua stroke.
Kulihat Arya sedang mengatur napasnya karena serangan air bah tadi. Dan aku hanya melihat Denayla dengan cemas.
“Mita. Ayo kita lanjutkan. Ayo kita pergi ke stasiun bawah tanah. Agar kita mendapat pertolongan seperti di film-film,” ucapnya dengan lemas.
“Apa kamu kuat?” tanya aku semakin khawatir.
Ia mengangguk.
Lalu Arya mendekat, “Apa kalian sudah bisa melanjutkan perjalanan ini nona-nona?”
“Ngomong dijaga yah?!” kutoleh Arya dengan pandangan tajam.
“Ya memang kalian nona kan?”
“Ya ngomongnya jangan kayak gitu dong.” entah kenapa, penyakitku kambuh hingga ke level dewa.
“Ya sudah. Kita buat portal dan mungkin bisa cepat kita ke stasiun bawah tanah,” sahut Denayla dengan terkekeh, “ditambah. Kalian memang cocok kok.”
Ku sikut lengan Denayla, “Apaan sih.”
Arya hanya tersenyum, “Ya sudah. Ayo lanjutkan.”
Denayla berdiri dengan lunglai. Aku memangku lengan Denayla dengan sabar. Untung saja badannya kurus. Kalau gendut?
Kemudian Arya berfokus untuk membuat portal. Dan Wush! Portalnya terbentuk.
Setelah kami bertiga masuk, kami melihat beberapa properti stasiun rusak berat. Iklan-iklan, papan-papan, minuman bermesin, dan semua kawat-kawat berserakan. Oh, kita seperti tokoh novel.
Aku menuruni tangga untuk menuju peron. Dan aku melihat ada satu kapsul yang menyala dan ada banyak manusia normal didalamnya.
Aku menggendong Denayla cepat-cepat. Dan berlari menuju kapsul tersebut. Tapi, kami tidak disambut bahagia.
Seorang laki-laki yang setidaknya berumur dua puluh lima tahun berdiri di ambang pintu kapsul, dan sambil mengarahkan lightsabernya kearah kami. Akan aku jelaskan apa itu lightsaber di kesempatan berikutnya, “Hei! Para zombie. Pergi kalian! Atau akan aku cincang tubuh kalian,” teriak orang itu dengan tidak manusiawi.
Apa? Kami dibilang zombie?
“Tenang kak. Kami bukan Zombie. Kita manusia normal. Benar kan?” sahut Arya menjelaskan dengan tenang tapi ada satu kata panik.
“Apa kalian berbohong?! Atau kalian sudah terkontaminasi?!” teriak orang itu semakin lantang.
“Tidak kak! Tidak,” mohon Arya.
“Ya sudah. Ayo masuk.”
Kami semua masuk. Ternyata kapsul ini sudah banyak sekali orang. Tua, muda, pelajar, dan semuanya berada disini. Ya, tidak semuanya.
Denayla ku turunkan dari gendonganku. Katanya, ia sudah kuat. Lalu aku mengikuti Arya yang sedari tadi ia berjalan terburu-buru. Matanya seperti menangkap sesuatu yang tidak umum baginya.
Benar adanya, “Papah?!” teriak Arya.
Apa? Itu Papahnya? Papahnya bahkan baru berumur tiga puluh tahunan. Wajahnya sama. Tampan, putih, dan semuanya sama seperti Arya.
“Arya?” pekik papahnya dengan terkejut.
Arya lalu bersalaman dengan papahnya, “Pah, kenalkan ini Mita, dan ini Denayla. Temanku satu sekolah.”
“Oh? Kamu punya teman? Perempuan?”
“Ya iyalah pah. Aku sudah besar.” Arya terlihat manja. Dan menurutku. Ini bukan papah dengan anaknya. Tetapi seperti adik dan kakak.
“Ya baru kali ini kamu mempunyai teman anak perempuan. Biasanya kamu tidak suka dengan perempuan.”
Tuh kan. Memang benar otak laki-laki ini. Otak gesrek sampai basement.
“Ah, si papah. Buat malu aku saja.”
“Ok. Tapi kamu tidak apa-apa?” tanya papahnya dengan air muka yang khawatir.
“Tidak apa-apa. Tapi, pah. Apa yang sebenarnya terjadi?” Arya balik tanya. Please, untuk kalian berdua. Tolong kalian bicaranya to the point. Agar aku tidak semakin penasaran.
Kulihat Papah Arya terdiam. Kerutan wajah senangnya menjadi berubah. Bingung.
“Jadi gini. Pada saat perusahaan IEU ingin menguji coba sebuah vaksin anti penyakit HIV, ketua direktur melanggar SOP medis di seluruh dunia. Pikiran ia hanya satu. Langsung disuntik kepada manusia. Tapi, serum itu sebenarnya baru tahap uji coba.”
Aku, Denayla, dan Arya terduduk di kursi kapsul. Hanya terdiam.
“Setelah disuntik, efeknya belum terjadi apa-apa. Itu satu minggu sebelum ada berita tentang ‘virus yang bermutasi’ tapi, setelah diteliti dua minggu kemudian, para ilmuwan terkejut. Virus yang sudah dilemahkan itu, malah bermutasi menjadi virus baru, yang bernama H561T.
Orang yang diuji coba itu akhirnya kami isolasi. Kami takut jika ada apa-apa yang dihasilkan orang itu. Tapi, takdir berkata lain. Saat ilmuwan ingin mengecek perkembangan orang itu tadi pagi kam dua dini hari, ilmuwan itu malah tercabik-cabik tubuhnya oleh orang yang disuntik itu.
Orang tersebut berubah menjadi berwarna hijau. Kukunya menjadi tajam dan panjang, kepala yang tidak simetris, gigi yang tidak beraturan. Lalu, papah cepat-cepat keluar gedung dan tidak memikirkan orang dan ilmuwan itu. Pada saat itulah, wabah dimulai.”
“Lalu, bagaimana cara untuk menghentikannya?” aku spontan bertanya. Jujur, kali ini aku takut. Kakiku gemetar, tanganku mulai dingin, dan menggigit bibir.
Papah Arya menghela napas, “Cuma ada dua cara. Pertama, kita mungkin harus meledakkan bom yang memiliki jangkauan luar biasa seperti nuklir. Yang ini harus cepat, karena wabah ini akan begitu cepat menularnya. Kedua, kalian harus membunyikan suara dengan frekuensi dan gelombang yang sangat tinggi di pusat pengendali sinyal radio dan gelombang, di sekitaran Bundaran HI.”
“Tapi, siapa yang harus melakukannya?” tanya Denayla khawatir.
“Kita,” Arya spontan menjawab.
“Maksudnya?” tanya aku penasaran.
“Ya kita. Aku, Ayah, Denayla dan kamu.”
“Apa?” Aku dan Denayla serentak mengucapkan itu. What the? Apa-apaan si otak gesrek ini mengajakku ikut-ikutan petualangan zombie? Nggak… aku nggak mau. Titik, loh, kok jadi koma? Ah, sudahlah. Receh banget sih jokes saya.
Aku melihat sekeliling. Keadaan menjadi lengang. Di kursi kapsulku, aku bisa merasakan ada derap kaki yang akan mendekat. Tapi siapa?
Aku, Arya, Denayla, dan papah Ale beranjak dari tempat duduk. Dan berjalan menuju lorong gerbong. Satu gerbong menjadi sepi. Dan aku bingung lagi. Kemana semua orang ini?
Derap kaki itu semakin mendekat.
Mendekat.
Mendekat.
Szreb!!! Lampu mati secara tiba-tiba. Aku kaget menahan teriak. Denayla memelukku erat. Arya dan papahnya melihat sekeliling.
Derap kaki itu berhenti. Itu membuatku lega. Tapi, ada suatu dengusan napas di leherku. Aku menahan teriakan. Dan sekarang, aku menjadi takut lagi.
Semua orang senyap. Tidak ada yang berbicara. Seperti film A Quiet Place. Aku memberanikan diri menyalakan senter. Ku nyalakan, dan diarahkan ke leherku. Ku lihat tidak apa-apa. Arya, Papah Arya, dan Denayla juga awas memrhatikan sekitar. Hanya aku, ditengah, sendirian yang memegang senter dengan perasaan takut.
Ku belokkan senterku ke kiri dengan perlahan. Tidak ada apa-apa.
Ku belokkan senterku ke kanan.
Bhua!!! Makhluk berwarna hijau yang kusebutkan zombie sedang melihatku dengan penuh ambisi. Badannya yang jangkung membuat aku harus mendongak sedikit untuk bisa kaget.
Aku berlari di ke belakang dan mendapati urutan nomor satu. Disusul Denayla, Arya, dan papahnya. Aku terus berlari dengan panik.
Larianku mengarahkan kami semua ke pintu masuk kapsul. Dan aku amnesia. Ini mati lampu woy, mau sampai lebaran monyet juga pintu nggak akan kebuka.
Ku gebrak-gebrakan agar pintu terbuka. Itu bodoh sekali. Mayat hidup itu berjalan ke arah kami hanya dengan jarak dua puluh detik. Menyia-nyiakan satu detik, tubuh sudah amblas.
Lalu, tanpa pikir panjang, ku pecahkan kaca pintu tersebut dengan senter. Prank!!! Kaca pun pecah. Aku lalu keluar dari kaca itu. Disusul Denayla dan Arya. Tunggu, dimana papah Arya.
Ku lihat Papah Arya badannya tersangkut di kaca tersebut. Arya sedang menarik-nariknya. Dan aku membantunya.
Aku terus menariknya. Terus menarik. Tapi, hasilnya nihil.
Aku bingung. Lalu, mayat hidup itu pun mendekati badan Papah Arya. “Aaaakkk!!!” teriak Papah Arya disertai meringis di wajahnya. Aku merasa kasihan.
Keadaan pun mendadak senyap. Orang-orang yang tadi menghilang, berada di belakang kami. Bersembunyi di tiang peron atau di reruntuhan atap stasiun.
Lalu ku arahkan senter tadi kearah Papah Arya. Papah Arya yang tadi memakai jas laboratorium putih bersih, kini berwarna merah karena darah. Matanya memelotot besar. Aduh, mungkin ini ajal Papahnya Arya.
“Papah…!!!” teriak Arya. Melihat papahnya. Sudah tiada.
Aku menarik lengan Arya agar ia tidak sedih, dan juga takut papahnya berubah menjadi zombie juga.
“Ayo, Arya! Kita pergi.”
Ia hanya diam.
Aku menariknya sekali lagi, “Ayolah Arya,” dan pada saat itulah, aku berempati kepada Arya. Dan anehnya, saat aku menyentuh kulitnya yang putih ini, jantungku berdebar. Aku tidak tahu apa alasannya.
Akhirnya Arya mengikutiku. Kami bertiga berjalan hingga tiang peron didepan kami. Jaraknya sekitar seratus meter. Kami tergopoh-gopoh saat berjalan. Lalu kami sampai. Kami bersandar, dan duduk.
Arya masih diam. Ia belum mengucapkan apa-apa lagi setelah teriakannya tadi. Aku memegang pundaknya.
“Sudah, Arya. Ini memang sebuah takdir Tuhan. Ok?”
Ia malah memegang tanganku. Tangannya lembut, lembut sekali.
Pipiku memerah. Dan pada saat itulah, lampu kembali menyala. Itu membuatku lega sekali. Lega untuk menghemat senterku yang hanya menyala dengan durasi tiga jam.
Ia tersenyum melihatku. Dan pada akhirnya, ia berbicara kembali, “Terima kasih Mita.”
Ya Tuhan. Aku baru sadar. Aku dipegang sama otak gesrek ini? Tapi, ya, mau gimana lagi? Ia kini sedang berduka. Dan sebagai temannya aku harus menghiburnya.
“Sama-sama.”
“Ekhm… boleh tidak, kalian pacarannya nanti saja? Kita sedang berada di kota yang banyak mayat hidupnya. Apa yang harus kita lakukan kedepannya?” Denayla menyahut dengan mulut bersunggut-sunggut. Oh, aku lupa. Denayla ini jomblo akut.
Aku langsung melepaskan pegangan tangan Arya, “Eh, nggak pacaran kok,” jujur, dipegang Arya tadi jantungku berdegub sangat kencang.
“Kalau misalkan kita berdua pacaran, kamu mau ngapain Denayla?” tanya Arya sembari terkekeh.
Aku? Aku hanya pasrah. Ya Tuhan. Jangan sampai aku dijodohkan dengan pria ini. Sumpah, yang tadi itu spontan. Bukan disengajakan.
“Ehmmm,” sambil pura-pura berpikir, “Ya pacaran saja. Jujur, kalian cocok sekali.”
“Apaan sih,” aku mendekati Denayla dan menyikut lengannya.
“Ok. Sekarang kita mau apa?” tanya Denayla.
“Sepertinya, kita harus…” kalimat Arya terpotong.
Kami bertiga merasakan suara derap kaki yang perlahan-lahan mendekat.
Mendekat.
Mendekat.
“Halo?” suara itu berasal dari belakang kami.
Saat kami menoleh, ada dua orang pria dua puluh lima tahunan dan perempuan yang seumuran pria itu. Kalau dicerna lebih dalam lagi, pria itu adalah pria yang memegang linghtsaber di ambang pintu tadi.
“Kalian bertiga. Apakah kami boleh ikut kalian?” tanya pria itu. Jika lebih dekat, ia mirip Dilan, itu lho, tokoh film dan novel yang booming ditahun dua ribu delapan belasan.
“Boleh kak. Eh, kakak yang tadi berdiri bawa lightsaber di pintu kapsul?” tanya aku.
“Kok tahu?”
“Kan kakak yang menybutkan kami zombie…”
“Oh… maaf yah. Eh, Arya. Kamu tidak bersama papahmu?”
“Kalian saling kenal?” tanya aku sambil menunjuk pria itu dan Arya.
Arya terkekeh, “Kita sebenarnya saling kenal. Tapi, agar kita misterius saja. Iya Dian?”
“Yoi dong bro!” jawab kak Dian. Oh, namanya kak Dian.
“Oh, iya. Nama kakak Dian, dan ini, hmm… pa… pacar kakak. Hehehe. Namnya Mila,” Kak Dian berkata dengan malu-malu.
Kak Dian menjulurkan tangan kepada kami berdua. Kami pun bersalaman.
“Eh, Arya. Papahmu kemana? Bukannya tadi ia di kapsul? Duduk sama kalian?” tanya kak Dian.
Arya diam. Air mukanya yang gembira. Mendadak menjadi sedih.
“Tadi. Papah tersangkut di jendela pintu. Karena tadi sedang mati lampu, pintu tidak bisa dibuka. Tak selang beberapa lama, papah pun kakinya yang didalam kapsul tercabik-cabik oleh mayat hidup itu, atau zombie. Dan papah, terkontaminasi virus zombie itu.”
“Ya Tuhan. Apakah itu benar?” tanya kak Dian sembari menoleh kepadaku.
Aku mengangguk pelan.
“Ya Tuhan. Terus kita harus bagaimana. Pilihan kita hanya dua. Pertama, kita mati dimakan zombie. Kedua, kita harus menghentikan wabah ini.”
“Mungkin, pilihan pertama bukan prioritas kita, Di,” sahut kak Mila.
“Betul kak. Kata Papah Ale. Menyelamatkan kota ini ada dua. Pertama, kita harus menylakan bom yang berjarak jauh. Dan kedua, kita harus memancarkan gelombang dan frekuensi radio sampai ke tingkat tinggi di stasiun radio Bundaran HI,” aku menjelaskan dengan satu tarikan napas.
“Boleh juga. Tapi, dimanakah letak bom tersebut?” tanya kak Dian.
“Ada di IEU,” jawab Arya. Air mukanya perlahan-lahan kembali berubah.
“Jarak dari stasiun?”
“Delapan kilometer,” jawab Arya.
“Ok, kalau sudah siap. Kita berangkat?”
Sebenarnya hatiku juga memilih antara setuju dan tidak setuju. Bila setuju, mungkin badanku akan lemas dan pingsan dijalan. Tapi, bila tidak setuju, akankah aku mau mati secara tragis di tempat ini?
Lalu. Kami berlima merasakan suara derap kaki. Kali ini rasanya sangat banyak sekali.
Perlahan-lahan derap kaki itu mendekat.
Mendekat.
Terus mendekat.
Lalu kami berlima menoleh ke belakang tiang. Betapa terkejutnya kami melihat segorombolan zombie yang dating dari penjuru arah. Keluar dari kapsul, dari eskalator, dan dari mana-mana.
“Ok. Sekarang kita semua berlari. Tapi, jangan meninggalkan siapapun. Mengerti?” sahut kak Dian dengan pelan-pelan.
Aku beranjak dari dudukku. Denayla juga.
Lalu kami berlari sekencang-kencangnya. Kami turun ke rel kapsul. Dan berlari bebas menuju terowongan.
Double shit! Kita dikejar zombie. Zombie itu meraung-raung. Aku mulai panic dan berlari sekencang mungkin. Benar yah menurut para ahli. Saat kita ketakutan, otak kita dibanjiri dengan hormon adrenalin. Yang bisa meng-upgrade lari, pukulan, dan keagresifan.
Kami semua panik. Panik sekali. Kami menuju terowongan gelap. Aku pemandunya. Karena akulah dikelompok ini yang membawa senter. Kami semua berlari. Memandang sekitar hanya dengan radius lima meter.
Bersyukurnya aku. Akhirnya, zombie itu tidak mengejar lagi.
“Sekarang. Semuanya berhenti,” suruh Kak Dian saat kita telah keluar dari terowongan dan mendapati peron stasiun Gambir. Rusaknya minta ampun. Langit-langit retak, lantai pecah, kerikil rel kemana-mana, dan semuanya kosong. Sunyi senyap kecuali ada satu orang yang sedang berdiri menghadap membelakangi kami. Jarak kami hanya sepuluh meter.
Arya bersorak memanggil, “Halo! Sedang apa kau disini. Apakah kau petugas?”
Entah mengapa, bulu romaku berdiri.
“Sebaiknya. Kita mundur. Kita takut kalau dia zombie,” sahut kak Dian dengan panik.
Ku lihat Kak Mila memegang tangan Kak Dian. Ia ketakutan. Kulihat kakinya bergetar dan mulutnya komat-kamit. Aku tidak tahu itu apa.
Denayla? Jangan ditanya. Ia memegang tanganku. Menutup mulutnya dengan tangan kanan. Seperti adegan di film-film.
Arya bersorak lagi, “Halo!?”
Orang itu berbalik dan…
Bhua!!! Itu bukan orang. Tampilannya, masya Allah. Kotor sekali. Mukanya penyok. Berwarna hijau. Aku takut. Takut sekali.
“Aaaaakkkkk....,” kami semua berlari. Dan dengan ambisi yang tinggi, zombie itu mengejar kami. Anehnya, kejarannya sangat kencang sekali. Apakah ini realita dari sebuah film fiksi?
Lalu, Kak Dian mengeluarkan lightsaber itu. Ia memencet bawah pegangan, dan terbukalah pedang laser. Ia lalu berhenti dan cepat-cepat menghujamkan lightsabernya kearah jantung zombie itu. Dan, ya. Zombie itu terpelanting jauh. Darahnya bermuncratan kemana-mana. Jantungnya terurai, bajunya yang kumal, terbuka semuanya. Its creepy, right?
Lightsaber pun kembali lagi ke tangan Kak Dian layaknya sebuah boomerang. Hebat sekali bukan?
Lalu, aku melihat sebuah tangga darurat yang mirip gorong-gorong tadi.
“Ayo! Kita keluar dari sini. Disini tidak aman kak.”
“Tapi, Ta. Diluar pun pasti akan banyak. Ini Gambir. Dan lima kilometer dari sini ada IEU,” timpal Arya.
“Ya sudah. Kita sekalian keluar dan ke gedung IEU. Sambil meledakkan bom jarak jauh itu. Kan?” sahut Kak Dian.
“Tapi, kalau kita bertemu zombie bagaimana?” tanya Denayla khawatir.
“Kita pakai portal saja?” tanya aku.
“Ada kabar bahwa portal ditutup oleh Negara,” kata Kak Mila.
“Lalu, bagaimana caranya?” tanya aku dengan super khawatir.
“Berarti. Kita pakai ini saja. Tangga ini. Keatas, dan done, right?” timpal Kak Dian.
Kami semua berpasrah mengangguk. Ok. Let’s do it.
***
Aku menaiki tangga. Rasanya lelah. Dan aku baru tahu kalau sekarang sudah malam, tepat saat kami semua sudah keluar dari kapsul bawah tanah itu.
Aku menguap.
“Kamu lelah?” tanya Arya.
“Iya nih. Kita tidur saja yuk. Tapi dimana?” tanyaku.
“Apa semua orang disini lelah?” tanya Kak Dian dengan memandang ke seluruh anggota.
Kami semua menggangguk.
“Terus?” tanya kak Dian.
“Ayolah An. Aku pun lelah. Jangan paksakan dirimu untuk sesuatu besar seperti ini,” bujuk Kak Mila.
“Ok, lah. Kita tidur di hotel. Hotelnya, berada lima ratus meter dari sini. Pertama, kamu belok kanan, terus lurus.”
Kami semua menggangguk. Semua orang berdiri dan mulai melanjutkan perjalanan. Oh… Akhirnya.