Tentang Abu
Pagi ini, matahari terlihat malu-malu. Awan abu-abu yang sedari tadi bergelung dan berarak, sepertinya enggan meninggalkan langit. Begitu pula dengan kawanan burung yang biasa terbang lalu lalang, pagi ini mereka pun enggan meninggalkan sarang. Angin berembus sedikit lebih kencang dari biasanya. Daun-daun kering terlihat melayang berjatuhan meninggalkan ranting-ranting tua. Alam seakan murung, semurung hati gue pagi ini.
Pertemuan kemarin membuat mata gue enggan terpejam sejak semalam. Entah perasaan apa yang mengitari gue saat ini. Gelisah tiba-tiba menyesakkan dada. Banyak sekali tanya yang tersusun, tapi entah pada siapa gue harus menanyakannya. Sholat tahajud sudah gue lakukan. Namun tetap saja, selesai sholat, hati gue kembali gelisah. Bahkan, selepas Subuh tadi, beberapa ayat Al-qur’an sengaja gue baca senyaring mungkin. Hingga air mata tak mampu gue tahan.
Zahra. Lagi-lagi lo merusak mood gue pagi ini. Saat lo jauh, rindu yang tak terbendung mengusik habis ruang waktu gue. Saat lo sedekat ini pun, lo malah lebih menyiksa gue. Dia, lo, gue yang lo maksud waktu itu, apakah Ali?
Ya Allah, Zahra. Apa iya gue harus menanyakan hal itu pada lo sekarang? Gue takut. Kejadian beberapa tahun lalu terulang lagi. Lo menghilang dari hidup gue. Dan gue harus melewati sekian waktu untuk menenangkan diri lagi untuk bertemu lo.
Tapi Ali? Lo dan Ali terlihat sama seperti dulu. Tak ada yang berubah dari Ali, sahabat yang selama ini mengerti tentang perasaan gue ke lo.
“Abu! Sarapan dulu, gih. Mama sudah masakin bubur ayam kesukaanmu.” Mama tiba-tiba menghampiri Abu yang sibuk dengan tulisannya di beranda belakang rumah. “Pagi ini cukup dingin. Bubur ayam insyaAllah bisa menghangatkan hatimu itu.”
“Mama?”
Mama tersenyum pada Abu dan berkata, “Wajahmu itu tidak bisa bohong sama mama. Mama tunggu di depan, ya.” Mama pun berlalu, meninggalkan Abu kembali bersama gelisahnya.
Gerimis tiba-tiba menyapa. Mungkin, langit sudah tidak mampu menahan rindunya pada bumi. Atau mungkin juga, kegelisahan awan yang hanya berarak melintasi langit sejak tadi sudah terlalu ingin dilepaskan saja.
Seperti Abu. Inginnya ia segera melepas saja gundah hatinya pagi ini. Tapi bagaimana? Ketakutan yang menggelayut di kepala semakin menambah berat untuknya melangkahkan kaki meninggalkan beranda belakang rumah. Abu sungguh tidak ingin jauh dari Zahra. Jangankan menjalani, untuk membayangkan saja, Abu harus berpeluh mengumpulkan keberanian.
“Astagfirullahaladzim. Kok gue bisa setakut ini. Sedang Allah selalu bersama gue.” Abu mengusap wajahnya dan memandang gerimis yang kian menjadi. “Allahuma shoyyiban naafi’an. Hujan-Mu ini adalah manfaat bagiku, ya Allah.” Abu sadar, bahwa tak seharusnya ia berpikir tentang hujan pagi ini pertanda alam ikut murung sepertinya. Hujan adalah berkah Allah yang harus disyukuri, bukan menjadikannya melankolis seperti ini.
Abu pun menarik senyum dan berjalan menghampiri mama yang sibuk di meja makan. Aroma bubur ayam buatan mama sudah menggoda hidung Abu. Dari jarak yang tidak terlalu jauh itu, Abu bisa memandang wajah mama. Wanita yang sampai hari ini dan selamanya akan menjadi wanita teristimewa baginya.
Sekian lama, sejak papa Abu meninggal, mama adalah tulang punggung keluarga. Bukan hanya menjadi seorang mama yang baik, ia juga pemimpin yang bijaksana.
“Abu, masih berdiri di situ saja?”
“Nggak lah, Ma. Laper.” Abu berkata seraya menggeser kursi dan bersiap di meja makan.
Sarapan berdua bersama mama, momen sangat istimewa bagi Abu. Ia sangat bersyukur memiliki keluarga kecil yang sederhana dan bahagia. Abu hampir tidak pernah ada masalah dengan mama. Mama Abu cukup demokratis. Segala hal yang berkaitan dengan keluarga, mama tak ragu untuk membahas bersama Abu.
Kadang, Abu pun menyesal telah sempat meninggal mama sekian tahun lamanya. Hanya untuk menenangkan hatinya dari penolakan Zahra.
“Ma, maafin Abu, ya. Selama ini, Abu sudah ninggalin mama.” Abu meraih tangan wanita paruh baya itu.
“Sayang, kamu ninggalin mama untuk belajar, kan? Jadi, kenapa harus minta maaf?” Mama mengelus rambut anak semata wayangnya itu. “Ingat, sayang, kamu adalah satu-satunya yang mama miliki di dunia ini.”
Abu tersenyum mendengar perkataan mama. Dalam hati, Abu hanya meyakinkan diri, bahwa wanita yang akan menjadi istrinya nanti, harus juga bisa mencintai mama. Bagi Abu, keluarga adalah segalanya. Dari situlah ia belajar tentang hidup dan kehidupan.
“Abu? Kok buburnya didiemin aja?” Mama menyenggol siku Abu. “Nggak enak, ya? Maafin mama, ya. Nanti mama buatin yang lebih enak, ya.”
“Ah, nggak kok, Ma. Masakan mama tetap juara.”
Kedua mama dan anak lelaki itu pun melanjutkan sarapan mereka. Menikmati hangat bubur ayam di antara hujan yang enggan mereda.
“Semoga yang terbaik senantiasa bersama keluargaku, ya Allah,” lirih gumam Abu saat hujan.