Read More >>"> Dia Dia Dia (Kenapa Begini!) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dia Dia Dia
MENU
About Us  

Masuk ke dalam kelas 11.7 terlihat Riska dan Tara sudah duduk di balik mejanya. Nggak ada rasa tegang dan cemas di wajah mereka berdua atas kejadian kemarin yang telah mereka lakukan. Melewati kursi Elok yang masih kosong membuat keningku sedikit merapat, mungkin Elok belum datang, atau mungkin dia nggak masuk hari ini karena....sakit. Saat itulah hatiku berbisik halus “Kalau Elok sakit, maka kamu yang salah karena kamu nggak nolong Elok kemarin.” Namun sisi hatiku yang lain berkata keras. “Enggak Zifan, kamu tenang aja. Elok sakit karena ulah dia sendiri. Dia berani ngelawan Tara, Riska dan ketiga temannya, padahal dia tahu kalau dia sedang sakit. Kamu nggak perlu perduli sama dia.”

Duduk di kursi belakang pandangku masih terpaku pada kursi Elok yang kosong. Entahlah, berkali-kali otakku ini kembali mengingat kejadian kemarin dan berkali-kali pula hatiku gelisah. Di sampingku Hisyam bertanya sembari meneliti diriku “Kalau aku lihat-lihat....hari ini ada yang berbeda sama kamu.”

“Kamu ada masalah? Sama siapa? Sama si Riska dan Tara? Atau sama geng mereka?” Tanya Hisyam sembari terus menatapku, namun aku aku nggak menjawab.

“Zifan.” Suara Hisyam keras.

“Kalau ada cowok perduli sama cewek yang baru dikenal, apa kamu tahu apa yang ada dipikiran cowok itu?” Suaraku datar tanpa mengalihkan padanganku.

“Oooh jadi....kamu bingung masalah itu....” Hisyam tersenyum.

“Kalau nggak tahu jawabannya nggak apa.” Suaraku datar.

Setelah itu Hisyam tersenyum, lalu mengangguk-angguk sembari mengerutkan dahi. “Hmmm....ada tiga kemungkinan. Pertama, dia emang suka sama kamu, tapi cuma sebatas kagum, nggak lebih. Dan dia pingin berteman sama kamu. Kedua, dia suka sama kamu,  suka dalam arti cinta. Dan dia pingin melindungi kamu, dari apapun yang menurutnya akan membawa akibat buruk padamu. Ketiga, emang pada dasarnya dia cowok yang baik, jadi dia selalu perduli sama semua orang.”

Jadi apa maksud Alfian perduli sama aku? Apa Alfian pingin jadi temanku? Nggak mungkin kalo Alfian cinta sama aku, kita kan baru kenal. Dan aku juga belum tentu aku tertarik sama dia. Mungkin....Alfian itu emang baik sama semua orang. Dia juga baik sama Elok. Apa.....dia ingin aku juga baik sama semua orang? Dia ingin aku perduli sama semua orang? Atau.... Haaa.

Kemudian pandanganku kembali tertuju pada kursi Elok yang masih kosong. Kenapa Elok belum juga datang? Apa dia nggak masuk hari ini?

“Elok nggak masuk hari ini. Tadi aku ketemu Kakaknya, katanya Elok sakit. Dan Elok juga harus cuci darah.” Kata Hisyam.

“Cuci darah?” Aku mengulang sembari menoleh pada Hisyam.

“Iya. Elok punya kelainan pada ginjal, makanya selama ini dia jarang ikut olahraga. Kalaupun ikut, dia melakukan olahraga yang ringan.”

Sejenak Hisyam menarik nafas dan membuangnya perlahan. “Elok dekat sama Kakaknya, Kakaknya di kelas 12...apa ya? Ya pokoknya itulah. Aku salut sama Elok, dia berusaha menjalani sekolah, dia nggak perduli sama penyakitnya, dia nggak pernah memikirkan hari esok apa dia bisa kembali ke sekolah atau enggak. Dia ingin seperti anak normal lainnya. Dia teman yang baik.”

Sigap kedua mataku memandang kursi Elok yang kosong. Seketika itu aku teringat sama perkataan Riska saat di kamar mandi, bahwa Elok punya masalah sama ginjalnya. Saat itulah perlahan hatiku bergetar, saat rasa sesal masuk ke dalam hati, saat aku mengingat kejadian kemarin. Harusnya aku menolong Elok saat Elok berusaha menolong empat siswi cewek yang di-bully sama gengnya Riska, tapi disisi lain aku ingin empat cewek kelas 10 itu bisa merasakan sakit. Merasakan sakitnya di-bully sama gengnya Riska, karena empat cewek kelas 10 itu udah mem-bully Elin sampai Elin trauma, dia kabur dari rumah dan nggak mau kembali ke sekolah. Tapi...apa kalau seperti...apa berarti aku udah perduli sama Elin? Aku ingin empat cewek kelas 10  yang mem-bully si Elin merasakan sakitnya di-bully.

Pelajaran pagi ini akhirnya dimulai juga, namun pikiranku lagi-lagi berserakan, memikirkan yang telah kulihat dan kudengar. Hingga bel istirahat memutuskan yang kupikir, juga mengakhiri materi pagi ini. Saat semua siswa/siswi di kelas ini tertawa dan mulai berceloteh, saat itu juga seperti biasa hatiku nggak tersenyum. Namun kali ini hatiku juga nggak santai, nggak tenang.

“Zifan, ayo ke kantin. Perasaan dari awal kamu datang ke sekolah ini, kamu nggak pernah pergi ke ke kantin.” Kata Hisyam sembari menoleh padaku, namun aku memilih nggak menjawab.

“Zifan, bisa ikut Ibu sebentar.” Suara Bu Ida di samping mejaku.

Sigap aku menoleh pada suara itu. Ternyata benar Bu Ida yang barusan berkata. Tanpa menjawab aku hanya mengangguk pelan, kemudian bangkit berdiri dan berjalan mengikuti Bu Ida. Keluar dari kelas 11.7 Bu Ida masih berjalan tergesa di depanku, sedangkan aku masih mengikutinya di belakang.

Rasa heran baru menghampiriku saat langkahku semakin dekat dengan ruang Kepala sekolah. Saat itu juga jantungku berdetak lebih cepat, merasakan yang akan terjadi di ruang Kepala sekolah. Untuk apa Bu Ida membawaku ke ruang Kepala sekolah? Apa Bu Ida sudah tahu semuanya? Tentang Elin atau apa?

Masuk ke dalam ruang Kepala sekolah tiba-tiba jantungku berdebar lebih keras, menyusul kemudian wajahku memucat melihat Ayah dan Ibu duduk sofa dalam ruang Kepala sekolah. Saat itulah hatiku bertanya “Kenapa Ayah dan Ibu ada di sini?”

Tegas Ayah memandangku dengan sorot matanya, sementara wajahnya terlihat nggak kalah tegas. Sedangkan Ibu yang di duduk di samping Ayah sedari tadi hanya mendekapkan tangan kanannya di depan mulutnya. Setelah memintaku duduk di sofa paling ujung menyusul Bu Ida duduk di sampingku. Sebelum pembicaraan dimulai, keningku merapat melihat selembar kertas di atas meja. Kertas canson dengan goresan pensil yang terkena cipratan air.

Setelah itu Kepala sekolah memulai pembicaraan, sementara kedua sorot mataku masih terpaku pada selembar kertas canson di atas meja. Selanjutnya Kepala sekolah menjelaskan tentang kejadian bullying di sekolah yang akhir-akhir ini terjadi.

Sejenak Kepala sekolah terdengar menghela nafas, kemudian berkata “Zifan, kami menemukan kertas ini di kamar mandi putri, saat siswi kelas 11.7 pingsan. Keterangan sementara yang kami kumpulkan adalah dari pengakuan empat siswi kelas 10, yang mengatakan bahwa kamu yang melakukan bullying pada mereka dan Elok, teman satu kelas kamu. Karena itu pihak sekolah memutuskan untuk men-skorsing kamu selama satu minggu, sampai kami dapat memastikan bahwa kamu.... ”

“Tidak perlu Pak Gatot, saya akan menerima kalaupun anak saya langsung dikeluarkan dari sekolah ini. Tidak perlu skorsing segala, saya yakin anak saya yang melalukannya.” Potong Ayah tegas.

Mendadak aku sangat terkejut sembari menatap Ayah yang sangat marah. Saat itulah kedua mataku dan mulutku ingin membantah semua, aku nggak melakukannya, bukan Ayah. Namun perkataan Ibu mendahuluiku bicara “Ayah, sudahlah. Biarkan pihak sekolah ini melakukan yang sudah diputuskan, walaupun Ibu sangat malu atas kelakuan Zifan di sekolah ini.”

Menyusul kemudian air mata menetes dan mengalir di pipi Ibu, namun sigap Ibu menghapus dan mencoba menegarkan diri. Sigap aku berkata “Ibu, Ayah Zifan nggak mem-bully, Zifan nggak salah, Zifan nggak tahu apa-apa. Ayah sama Ibu harus percaya Zifan. Zifan nggak seperti yang dituduhkan mereka.”

“Zifan, berapa kali Ayah bilang sama kamu, jangan berbuat masalah seperti di sekolah-sekolahmu sebelumnya. Dan apa Ayah harus nggak percaya sama pihak sekolah yang lebih tahu apa yang kamu lakukan di sekolah? Kamu salah Zifan!” Kata Ayah tegas. Membuatku mendadak terdiam membatu, nggak bisa aku membela diriku saat ini.

Setelah itu Kepala sekolah memberikan surat pada Ayah, kemudian meminta Bu Ida mengambilkan tas milikku di dalam kelas 11.7. Pagi ini juga pihak sekolah men-skor diriku selama satu minggu. Keputusan selanjutkan akan ditentukan setelah masa skorsing berakhir.

 

                                                                                        ***

Malam yang selalu sunyi menambah sunyi kamar ini. Sedari pulang dari sekolah aku nggak beranjak kemanapun. Itu karena Ayah mengunci diriku di dalam kamar. Pintu kamar hanya terbuka saat kumandang Azan terdengar, namun Ibu mengunci kamarku lagi setelah aku selesai wudhu. Yang kurasakan saat ini aku bagaikan hidup di dalam penjara, nggak ada yang bisa kulakukan selain memandang langit. Kenapa bisa jadi seperti ini? Harusnya aku nggak mendapatkan semua ini. Ini nggak adil, aku nggak salah, aku nggak mem-bully Elok, aku nggak mem-bully siapapun.

Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, kemudian Ayah masuk ke dalam kamar. Tanpa berkata Ayah langsung menurunkan lukisan-lukisan di dinding kamar, mengambil buku canson, stander, dan alat-alat lukisku. Setelah itu membawanya semuanya keluar kamar. Membuatku sangat terkejut, lalu sigap mengikuti Ayah sembari bertanya “Ayah, mau dibawa ke mana lukisan Zifan?”

Namun Ayah nggak menjawab, sementara wajahnya terlihat masih memerah bahkan bertambah pekat dengan amarah. Di tong sampah yang terbuat dari beton di depan rumah ini Ayah menghempaskan lukisan-lukisanku, kemudian tegas berkata padaku “Zifan, Ayah akan bakar semua lukisan ini dan Ayah juga akan bakar semua alat lukismu. Itu karena kamu sudah membuat Ayah dan Ibu malu! Kamu tidak mendengar perkataan Ayah dan Ibu!”

Setelah itu sigap Ayah kembali masuk tergesa ke dalam rumah, meninggalkan aku yang masih terkejut mengetahui Ayah akan membakar semua lukisan dan alat lukis milikku. Sigap aku mengambil alat-alat lukisku dan lukisan-lukisn di tong sampah, kemudian membawanya masuk. Namun sebelum sampai di depan pintu rumah Ayah menghentikanku, dan kembali merebut semua lukisan dan alat-alat lukisku, kemudian kembali menghempaskannya di tong sampah.

Keras Ayah berkata padaku “Zifan, jangan sekali-kali kamu mengambil apa yang sudah Ayah buang dan akan Ayah bakar! Kalau kamu tetap mengambilnya kamu pergi dari rumah ini!”

Setelah itu Ayah kembali masuk, mengambil besin dan korek api yang tergeletak di teras. Sementara aku sigap mencegah Ayah, menghalanginya dan mencoba merebut bencin dan korek api. Namun tangan Ibu mencegah diriku, tangannya menggenggam erat tanganku. Seolah ingin membiarkan Ayah membakar semua duniaku, melukis.

Hingga api pun berkobar besar dan membuat para tetangga semakin berjubel mengelilingi rumah ini. Saat itulah air mataku berjatuhan, sangat deras. Malam ini aku menangis, menangis melihat semua yang menjadi kebangganku lenyap seketika.

Setelah itu Ayah memaksaku masuk ke dalam kamar dan kembali mengunciku di dalam kamar. Hanya menangis dengan dada yang sesak, merasakan  begitu sedihnya dan marahnya diriku. Apa yang harus kulakukan tanpa duniaku? Kenapa Ayah dan Ibu nggak mau mendengarku? Selama ini aku sudah berusaha menjaga perjanjian dengan Ibu dan Ayah. Aku mencoba nggak perduli dengan yang kulihat dan kudengar, aku mencoba melenyapkan egoku sama mereka yang mau melukaiku! Tetapi kenapa jadi begini?! Kenapa Tuhan tidak menolongku? Kenapa tidak mendengarku? Apa yang bisa kulakukan tanpa duniaku? Tanpa melukis? Apa aku harus masti saja? Aku mati saja!

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • YoonCahya

    Fighting^^

    Comment on chapter Kenapa Begini!
Similar Tags
Petrichor
4108      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Tanda Tanya
362      250     3     
Humor
Keanehan pada diri Kak Azka menimbulkan tanda tanya pada benak Dira. Namun tanda tanya pada wajah Dira lah yang menimbulkan keanehan pada sikap Kak Azka. Sebuah kisah tentang kebingungan antara kakak beradik berwajah mirip.
Kamu!
1853      700     2     
Romance
Anna jatuh cinta pada pandangan pertama pada Sony. Tapi perasaan cintanya berubah menjadi benci, karena Sony tak seperti yang ia bayangkan. Sony sering mengganggu dan mengejeknya sampai rasanya ia ingin mencekik Sony sampai kehabisan nafas. Benarkah cintanya menjadi benci? Atau malah menjadikannya benar-benar cinta??
Rêver
5495      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Mencintaimu di Ujung Penantianku
4175      1140     1     
Romance
Perubahan berjalan perlahan tapi pasti... Seperti orang-orang yang satu persatu pergi meninggalkan jejak-jejak langkah mereka pada orang-orang yang ditinggal.. Jarum jam berputar detik demi detik...menit demi menit...jam demi jam... Tiada henti... Seperti silih bergantinya orang datang dan pergi... Tak ada yang menetap dalam keabadian... Dan aku...masih disini...
Simbiosis Mutualisme seri 1
9683      2168     2     
Humor
Setelah lulus kuliah Deni masih menganggur. Deni lebih sering membantu sang Ibu di rumah, walaupun Deni itu cowok tulen. Sang Ibu sangat sayang sama Deni, bahkan lebih sayang dari Vita, adik perempuan Deni. Karena bagi Bu Sri, Deni memang berbeda, sejak lahir Deni sudah menderita kelainan Jantung. Saat masih bayi, Deni mengalami jantung bocor. Setelah dua wawancara gagal dan mendengar keingin...
SATU FRASA
12897      2673     8     
Romance
Ayesha Anugrah bosan dengan kehidupannya yang selalu bergelimang kemewahan. Segala kemudahan baik akademis hingga ia lulus kuliah sampai kerja tak membuatnya bangga diri. Terlebih selentingan kanan kiri yang mengecapnya nepotisme akibat perlakuan khusus di tempat kerja karena ia adalah anak dari Bos Besar Pemilik Yayasan Universitas Rajendra. Ayesha muak, memilih mangkir, keluar zona nyaman dan m...
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
complicated revenge
17277      2761     1     
Fan Fiction
"jangan percayai siapapun! kebencianku tumbuh karena rasa kepercayaanku sendiri.."