Akhirnya bel panjang memutuskan keseriusan kami pada mata pelajaran terakhir. Seketika itu siswa/siswi di kelas ini cepat keluar kelas dan berhamburan di jalanan sekolah, dan seperti biasa aku masih duduk membatu di kursi, namun kali ini nggak ada rasa tenang yang kurasa. Saat itulah tiba-tiba terlintas dalam otakku perkataan Alfian dan Bu Ida. Menyusul kemudian hatiku perlahan kembali gelisah, bahkan sangat gelisah. Perlahan juga otakku seakan buntu, nggak dapat berpikir apapun. Aku benar-benar bingung dengan diriku saat ini, entahlah, mungkin bisa saja aku nggak perduli, membuang semua yang kudengar dan kulihat, tetapi kenyataannya seperti ada yang membuat otakku membatu tiba-tiba, hanya memikirkan yang telah kudengar dan kulihat.
“Zifan, aku duluan.” Hisyam keras, lalu dia cepat keluar kelas.
Tanpa menjawab hanya kualihkan kedua sorot mataku pada Elok yang masih merapikan buku-buku. Seperti biasa sejenak Elok menoleh dan meihatku dengan wajah dingin. Setelah itu barulah Elok bangkit dari kursi, berjalan keluar kelas. Hingga kurasakan kelas ini benar-benar sepi.
Sembari menghembuskan nafas aku bangkit berdiri, kemudian berjalan dengan sorot mata nggak bergerak. Keluar kelas dan menyusuri lorong sekolah yang sepi dengan hati yang hampa, namun teras sangat sesak. Belum pernah aku mengalami seperti yang kurasakan saat ini. Entahlah, kenapa bisa begini, aku seperti nggak bisa mengendalikan hati dan pikiranku. Menyusul hatiku berbisik bahwa aku arus mengatakan yang kutahu pada Bu Ida tentang Elin. Tapi saat itu juga tiba-tiba sisi hatiku yang lain menegaskan, nggak seharusnya aku ikut campur. Itu masalah mereka, bukan masalahku.
“Haaa....kenapa aku ini?!” Aku berhenti melangkah dan menghela nafas.
Setelah itu sorot mataku bergerak ke setiap sudut sekolah, melihat sekolah ini yang udah benar-benar sepi, nggak ada satu siswapun. Aku pun kembali berjalan pelan sembari memandang jalan yang kulalui, kemudian sejenak kualihkan pandanganku. Saat itulah kedua mataku menangkap Elok berjalan tergesa di belakang Riska yang berjalan cepat. Sepertinya Elok mencoba menahan Riska yang nggak perduli dengannya.
Saat itu juga hatiku berbisik ”Apalagi yang dilakukan Riska, dan kenapa wajah Elok tegang dan kaku.” Namun sisi hatiku yang lain menegaskan “Itu bukan urusan kamu Zifan, ngapain kamu perduli sama mereka. Mending kamu langsung pulang aja, nggak usah mikirin mereka.”
“Haaa...kenapa aku ini! Kepo banget sih.” Aku kesal.
Akhirnya kuputuskan melangkah ke tempat parkir dengan rasa gelisah di hati. Sementara dua bisikkan dalam hatiku masih terus berdebat, hingga membuatku nggak tenang “Ayo Zifan, kamu harus tahu apa yang dilakukan mereka.” Namun sigap sisi hatiku yang lain berkata lebih keras “Jangan Zifan, lebih baik kamu pulang, nggak usah perduliin mereka. Itu bukan urusanmu.”
Karena sangat kesal dengan perdebatan di dalam hatiku, akhirnya tegas aku menghentikan langkah. Kali ini tanpa banyak berpikir lagi aku balik badan dan berjalan tergesa ke arah Elok dan Riska. Tegas aku berkata “Aku harus tahu apa yang dilakukan Riska dan Elok. Sepertinya mereka ke arah toilet cewek.”
Hingga akhirnya toliet cewek terlihat juga. Saat itulah aku memperlambat langkahku sembari memeriksa dengan kedua mata dan telinga. Melewati toliet cewek yang tertutup ini sejenak aku menoleh, namun langkahku mendadak terhenti di samping toilet cewek kelas 10 dan 11 yang cukup besar dan terpisah dari toilet cewek kelas 12. Saat itulah mendadak aku ragu untuk masuk ke dalam, sementara pendengaranku masih meneliti dengan seksama. Ternyata aku nggak mendengar apapun.
“Mungkin....mereka cuma ribut biasa, lagian kenapa aku ini sok sibuk ngurusin mereka.” Aku pun menghela nafas panjang, lalu melangkah lagi, tapi baru beberapa langkah aku mendengar suara gaduh dari dalam toilet cewek.
Sigap aku menghentikan langkah sembari cepat menoleh, sementara pendengaranku meraba-raba suara gaduh tadi. Menyusul kemudian sisi hatiku memintaku untuk masuk, namun sisi hatiku yang lain mencegahku. Hingga perdebatan dalam hatiku nggak terelakan. Hatiku berkata keras “Nggak seharusnya kamu di sini. Kamu bukan guru, pahlawan, orang bener atau orang bijak. Buat apa kamu perduli sama suara gaduh tadi, bisa aja itu cuma kucing yang kejebur di bak kamar mandi.” Sigap sisi hatiku yang lain berkata lebih tegas “Zifan cepat masuk ke dalam, kamu harus belajar peka sama orang lain, ayo cepat masuk. Kamu nggak harus berkelahi, cukup lihat aja.”
“Braaakkk!!!” Suara salah satu pintu dalam kamar mandi membentur dinding.
Sigap aku menoleh dengan kedua mata terbuka lebih lebar. Namun saat ini aku hanya bisa terpaku memandang pintu utama kamar mandi yang sangat luas dan berbentuk lorong. Di dalam kamar mandi itu ada enam deret pintu dan di samping pintu paling ujung ada cermin besar. Merupakan jenis kamar mandi yang tertutup.
“Kenapa kalian selalu seperti ini?” Suara Elok keras dari dalam kamar mandi.
“Eh Elok, harusnya kita yang nanya sama elo! Sejak kapan lo berani belain mereka!” Suara Tara keras.
“Lo nggak usah ikut campur, sebaiknya lo keluar dari sini sekarang.” Vera tegas.
“Dan jangan lapor siapapun! Awas kalo lo berani lapor sama guru atau sama yang lain.” Suara Lani keras.
“Udah cepet keluar!” Suara Riska keras.
Setelah itu suasana di dalam kamar mandi hening sejenak. Sementara aku masih membatu di depan pintu kamar mandi. Menyusul perlahan hatiku bergetar dan perlahan jantungku semakin cepat berdetak. Aku ingin masuk dan menghentikan semua, mengikuti kata hatiku yang pertama, namun sisi hatiku yang lain nggak mengijinkanku. Membuatku bingung, apa yang harus kulakukan.
“Kalian tahu seperti apa kalian kalau selalu seperti ini, kalian seperti monster. Kalian membenci orang yang nggak kalian suka, kalian membenci orang yang nggak punya salah sama kalian, kalian kasar sama semua orang dan kalian orang-orang yang suka cari muka.” Elok keras.
“Lo pikir mereka lebih baik dari kita?! Asal lo tahu, mereka ini premannya kelas 10, dan mereka mau ngikutin kita. Mereka lebih dari kita, mereka suka nge-bully temen mereka.” Suara Riska keras.
“Mending lo keluar sekarang atau mau gue siram air dan gue hajar, biar lo tambah sakit. Sakit karena ginjal elo, lo punya masalah sama ginjal lo kan? Jadi jangan macem-macem sama kita.” Ancam Tara.
Membuatku terkejut karena aku baru tahu ternyata Elok punya kelainan ginjal. Menyusul cepat suara air berjatuh dari kamar mandi, berkali-kali. Setelah itu terdengar suara ember keras membentur lantai kamar mandi, lalu pintu kamar mandi terbuka keras. Sigap Riska dan Tara mendorong Elok keluar dari kamar mandi, hingga Elok hampir jatuh tepat di sampingku, bersamaan sgap aku menoleh, menatap Elok yang terengah-engah dengan seragam yang basah dan wajah yang masih meneteskan air.
Saat itulah untuk pertama kalinya Elok menatapku dengan wajah yang sangat tegang dan pucat. Kemudian sorot mataku bergeser pada Riska dan Tara yang menahan pintu kamar mandi. Ternyata membuat wajah mereka mendadak menegang saat melihatku.
Namun saat ini nggak ada yang kulakukan. Aku masih saja bingung, apa yang harus aku lakukan? Aku harus apa? Apa aku harus membantu Elok dan empat siswi kelas 10 yang masih di dalam kamar mandi? Keempat siswi kelas 10 yang udah ng-ebully Elin. Hingga Elin kabur dari rumah dan nggak masuk sekolah karena ulah mereka. Apa aku pantas menolong mereka yang udah jahat sama orang? Sama temennya? Dan kini siswi yang selalu memandangku dengan wajah yang dingin dan kaku ada di sampingku, seolah berbicara dengan kedua sorot matanya, mengharapkan aku harus berbuat, tapi aku harus berbuat apa?
“Eh, kenapa kalian masih buka pintu? Cepet tutup pintunya.” Teriak Vera.
Namun Riska dan Tara yang masih memandangku tajam tegas berkata pada Vera “Kayaknya kita udahan dulu, ada yang mau jadi mata-mata.”
Tanpa mengalihkan pandanganku, sejenak aku membuang nafas. Menyusul hatiku kembali berdebat, “Ayo Zifan cepet pergi, ngapain kamu masih di sini. Mereka orang-orang yang nggak penting.” Tegas sisi hatiku yang lain berkata “Jangan Zifan, cepet kamu tolong mereka. Lawan orang-orang sombong itu, supaya mereka nggak berbuat masalah terus di sekolah ini.”
“Enggak Zifan, jangan lakukan itu. Kamu pasti bakal dikeluarkan dari sekolah. Ayah sama Ibu pasti marah besar, dan kamu nggak bisa sekolah lagi. Ingat! Ini sekolah terakhirmu.” Tegas Hatiku membantah.
Sedikit tegang kurasa pada wajahku saat memilih memalingkan wajah, nggak menatap Elok dan juga Riska, Tara, Vera, Lani dan Elis di kamar mandi. Kemudian aku balik badan, melangkah ke tempat parkir meninggalkan mereka. Nggak lama kemudian terdengar tawa keras dari belakangku , mungkin Riska, Tara, Vera, Lani dan Elis bahagia dengan semua ini. Dan kuharap aku bisa lebih bahagia dari mereka, saat diriku nggak perduli dengan apa yang kulihat dan kudengar.
***
Malam ini hujan akhirnya turun ke bumi saat aku dan keluarga kecilku duduk di depan meja makan. Saat ini jari-jariku memegang erat sendok dan garpu di atas piring dengan wajah yang kurasa pucat, memandang kosong nasi di piring.
“Zifan, cepat habiskan makanannya.” Kata Ibu.
Tanpa menjawab aku melahap nasi satu sendok, kemudian mengunyah malas. Entahlah, apa yang terjadi dengan diriku, aku benar-benar nggak mengerti dengan diriku saat ini, dengan hatiku saat ini. Baru kali ini hatiku sangat gelisah dan nggak tenang, memikirkan yang telah kulihat dan kudengar. Padahal sudah aku mencoba membuangnya, nggak lagi memikirkan kejadian di sekolah. Namun entahlah, semakin kuat aku melupakannya, semakin kuat juga rasa gelisah di hatiku.
“Bu. Sani udah selesai makannya, Sani mau naik ke atas dulu.”
“Iya.”
Sigap Sani bangkit dari kursi, lalu naik ke lantai dua.
“Zifan, apa kamu ada masalah di sekolah?” Tanya Ayah, tapi aku nggak menjawab, dan masih makan dengan malas.
“Zifan, kamu dengar Ayah kan?” Suara Ayah lebih keras.
Saat itu juga tanpa berkata aku hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandanganku. Tegas Ayah berkata “Ya sudah, bagus kalau kamu nggak berbuat masalah di sekolah. Ingat, jangan ulangi yang pernah kamu lakukan di sekolah-sekolah sebelumnya. Jangan berantem, jangan buat masalah di sekolah kamu yang sekarang.”
Setelah itu Ayah beranjak dari kursi, lalu Subhan mengikuti. Hanya aku dan Ibu yang masih di meja makan ini, tapi kami nggak saling bicara. Pelan dan lembut Ibu berkata “Zifan. Kamu nggak seperti biasa, Ibu tahu kamu menyimpan sesuatu.”
“Zifan nggak apa-apa kok Bu.” Suaraku datar.
Sejenak aku memandang wajah Ibu. Ada gurat khawatir di wajahnya, dan sorot matanya penuh kasih sayang.
“Baik. Ibu nggak akan paksa kamu untuk cerita, tapi Ibu akan menunggumu untuk cerita pada Ibu.” Suara Ibu lembut.
Setelah itu Ibu bangkit berdiri, lalu merapikan meja makan dan membawa piring-piring kotor ke tempat cucian.
“Zifan, cepat habiskan makanannya.” Kata Ibu.
Sejenak aku menoleh pada suara Ibu. “Iya Bu.”
Sigap aku kembali melahap makanan sendok demi sendok, namun masih kukunyah malas. Selesai makan aku masuk ke dalam kamar dan menjatuhkan tubuhku di kasur. Aku bingung dengan diriku, baru kali ini aku merasa seperti ini. Setelah itu pandanganku tertuju pada lukisan-lukisan di dinding kamar, lalu teringat perkataan Alfian, “Melukis makhluk bernyawa itu diharamkan, kecuali untuk kepentingan agama Islam. Allah yang mengharamkan, bukan aku. Melukis selain dari itu adalah makruh.” Setelah itu perkataannya digantikan sama perkataan Ibu “Ibu nggak bangga kamu jadi pelukis, ada beberapa lukisan yang diharamkan dalam Islam dan sisanya makruh untuk dilukis.”
Aku pun bangkit berdiri, lalu berjalan ke jendela kamar dan membuka tirai jendela. Saat itulah kedua mataku pergi mengembara memandang langit malam yang luas. Dan saat itu juga tiba-tiba otakku menangkap bayangan Elok. Di susul perkataan hatiku “Aku baru tahu ternyata Elok punya kelainan ginjal. Dan dia berani melawan Riska, Tara dan ketiga temanya, saat mereka akan nge-bully adik kelasnya, tapi mungkin keempat siswi kelas 10 emang pantas di-bully sama Riska, Tara, Vera, Elis dan Lani, soalnya mereka pernah nge-bully Elin, sampai Elin kabur dari rumah dan nggak masuk sekolah. Elin pasti sangat truma.”
Setelah itu aku menutup tirai, lalu duduk di depan meja belajar. Sejenak pandangnku meneliti kalender duduk di meja, kemudian tanganku maraihnya sementara kedua mataku kembali mengamati tanggal perlombaan melukis yang semakin dekat. Haaa bagaimana caranya supaya aku bisa ikut perlombaan itu? Sedangkan saat ini aku belum juga membeli beli cat minyak dan belum punya uang untuk mendaftar. Apa semua yang kualami adalah pertanda bahwa Allah nggak mengijinkan aku ikut perlombaan melukis? Dan ingin aku nggak melukis, melukis makhluk bernyawa.
“Alfian...siapa sebenarnya kamu? Kenapa kamu bisa tahu banyak tentang hukum melukis? Dan kenapa kamu mengatakan semuanya padaku?”
Menyusul kemudian hatiku kembali bergetar saat mengingat perkataan Alfian. Kemudian tanganku kembali membuka tirai jendela, sigap kedua mataku kembali memandang langit. “Langit, apakah benar keindahanmu bukan untuk dilukis? Tapi supaya aku memuja yang telah melukis engkau di setiap malam?”
Berat aku membuang nafas sembari membuang pandanganku pada deretan lukisan di dinding kamar. Saat itulah otakku mulai berjalan dan hatiku menegaskan “Zifan, jual saja lukisan-lukisan itu! Dan uangnya bisa kamu pakai untuk biaya pendaftaran dan membeli alat-alat lukis yang kamu butuhkan.”
Saat itu juga senyum di wajahku menyambut perkataan hatiku. Pelan aku berkata “Haaa Zifan....Zifan! Kenapa nggak terpikir dari tadi.”
Fighting^^
Comment on chapter Kenapa Begini!